31 : Kekalahan Sang Panglima

Dua hari berlalu sejak keenam orang siswa Adinata dinyatakan hilang oleh kepolisian. Malam ini suasana hening menyelimuti Bon Voyage. Hanya ada suara jangkrik dan lirih gemericik sungai yang menemani bus kuning tua itu. Di tengah senyap, dua pasang bola mata saling beradu tajam.

"Ke mana Agoy, Babay, Metkul, Junbao, Donay, sama Pikray?" tanya Tirta.

"Mana gua tau. Bolos kali. Mereka kan tukang bolos sekolah," jawab Dirga sambil berbaring di kursi belakang.

Akhirnya setelah sekian hari, dua kembar itu bertemu kembali. Namun, dari nada bicara mereka, sepertinya bukan sebuah percakapan yang santai.

"Udah dua hari mereka enggak kelihatan di sekolah. Mereka juga enggak pulang," lanjut Tirta.

Dirga masih berbaring diam. Ia seolah tak peduli dengan obrolan Tirta. Wajar, sebisa mungkin Dirga sedang menghindari topik tentang hilangnya enam orang itu.

"Dirga!" Tirta agak membentak.

"Apa lagi sih?" Dirga beranjak dari tidurnya. Kini ia duduk masih sambil menatap Tirta dengan sorot mata yang tajam.

"Gua enggak tolol, jadi cepet jujur."

"Jujur apa sih, Tir?" Dirga mulai emosi menimpali Tirta. "Kalo lu tolol, lu enggak akan dapet ranking dan jadi ketua OSIS. Kan yang tolol gua."

"Lu tau, kan? Di mana mereka berenam?"

"Enggak tau."

"Ketika pikiran lu kosong, artinya lu lagi nyembunyiin sesuatu dari gua, biar gua enggak baca pikiran lu. Gua tinggal bareng lu dari kecil, jangan begoin gua. Gua paham kapan lu bohong dan kapan lu jujur," tegas Tirta.

"Mau lu apa sih? Kok lu menginterogasi gua pake nada tinggi gitu?" tanya Dirga.

"Gua cuma nanya. Ke mana mereka? Lu kan temennya, Dir. Bareng terus sama mereka selama ini."

"Ya gua enggak ngurusin mereka. Mereka kan punya orang tua, kenapa harus gua yang repot ngurusin mereka mau ke mana? Lagi juga udah pada gede."

"Ke mana mereka?" tanya Tirta lagi.

"Harus gua bilang berapa kali lagi sih ...." Dirga beranjak dari duduknya dan berjalan mengambil jaketnya.

"Lu udah tau, kan? Siapa dalang di balik tragedi Chica?"

Ucapan Tirta membuat Dirga bergeming. Sejenak rasa senyap ini kembali hadir, melenyapkan kata yang hendak terucap. Dirga memalingkan wajah, ia membuka pintu, lalu berjalan keluar sambil menyalakan rokok.

Namun, Tirta menolak diam begitu saja. Pria itu mengejar Dirga keluar. "DIRGA MARTAWANGSA!"

Dirga menghentikan langkahnya. Dalam posisi membelakangi Tirta, ia membuang asap dari mulutnya. Kini asap-asap itu melebur bersama angin malam. Seandainya luka di hati pria tambeng itu juga ikut keluar bersama asap dan melebur menjadi bagian dari kehampaan malam. Seandainya ....

"DI MANA KEENAM ORANG ITU?!" bentak Tirta.

"Ada," jawab Dirga singkat. Sejenak ia menatap langit malam yang penuh dengan bintang-bintang.

"Gua butuh nama tempat! Di mana?!"

Dirga separuh menoleh sambil menunjuk ke arah langit di atasnya. "Di Neraka Jahanam, lagi nebus dosa."

Tirta tak kuasa menahan emosi. Amarahnya mencuat lewat ekspresi wajahnya. Tangannya terkepal keras hingga membuat telapak tangannya terluka.

"GOBLOK!" Ia berlari dan mendaratkan bogem keras pada wajah Dirga. "Lu tau apa artinya itu?! Tau?!"

"Darah dibayar darah, nyawa dibayar nyawa...," balas Dirga lirih.

"GOBLOK, DIRGA!" Bogem itu kembali memberikan hadiah berupa lebam pada wajah Dirga. "LU PEMBUNUH!" Tirta terus menghujani pukulan demi pukulan ke wajah Dirga dengan wajah penuh amarah bercampur rasa kecewa.

Hingga pada satu titik, Dirga menangkap tangan itu dan menendang Tirta hingga terdorong dan memberikan jarak di antara mereka. Tirta menerjang kembali, tetapi kali ini hantaman keras dari Dirga membuat dirinya terbaring di tanah tanpa kuasa. Tirta masih sadar, tetapi tubuhnya seakan mati rasa oleh hantaman itu. Hidungnya mengeluarkan darah segar yang cukup banyak. Dirga mematahkan hidung Tirta dengan satu pukulan.

"Selama ini lu selalu menang berantem lawan gua. Apa lu pikir lu menang karena lu lebih kuat dari gua yang hidup dalam kegelapan?" Dirga menggeleng. "Big no, Bro ...." Ucapannya terdengar lirih, mata pria tangguh itu terlihat lemah dengan kaca-kaca yang sebentar lagi akan mencair. "Gua bisa mukulin siapa pun yang gua mau. Gua berani bunuh orang yang ngebunuh orang terkasih gua ... tapi gua enggak pernah bisa bales tiap tinju lu. Lu tau kenapa?"

Tirta terbaring di tanah sambil menatap Dirga. Ia tak mampu menggerakkan tubuhnya karena rasa sakit yang ia terima. Matanya terbelalak mendapati Dirga yang tiba-tiba menangis.

"Lu satu-satunya keluarga gua, dan gua enggak akan pernah rela, gua enggak akan pernah sudi nyakitin lu. Gua benci kalah, tapi kalo itu bersangkutan sama lu ... gua rela kalah. Di mata orang, lu itu karakter protagonis, sementara gua antagonis. Apa kata mereka kalo tokoh protagonisnya kalah? Film berakhir, bro ...."

Tirta memejamkan mata. Sejenak mereka berdua dilumat kesunyian. Hingga Dirga kembali membuka mulut.

"Ini pertama kalinya gua mukul lu keras sampe bikin lu sakit. Apa lu pikir gua enggak terluka? Terluka gua bikin lu terkulai lemah di tanah begitu. Sakit ... tapi biar lu tau ... semua yang lu rasain dalam pukulan gua tadi, belum ngeluarin semua perih yang ada di sini." Dirga memukul dadanya sendiri. "Rupa kita emang mirip, tapi apa yang ada di dalem sini enggak akan pernah sama. Sedikit pun enggak!"

Tirta perlahan ikut menitihkan air mata. Ia hanya pasrah dan mendengarkan segala kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Dirga.

"Ketika gua butuh seseorang di samping gua ... enggak ada siapa-siapa. Gua paham lu sibuk, anak-anak juga. Bon Voyage jadi saksi. Bus tua ini kesepian tanpa dikasih makan sama candaan kalian semua ... tapi apa pernah ... gua ngerengek minta waktu lu? Ngemis buat ditemenin? Enggak pernah. Itulah gua. Terus sok keliatan kuat dan bisa diandalkan, tapi jauh di lubuk hati gua, gua rapuh dan butuh seseorang buat bersandar, Tir. Chica ... cuma Chica yang ada di saat gua berada dalam titik terendah hidup gua. Bangsatnya apa? Dia diperkosa temen-temen gua sendiri cuma buat bangkitin sisi gelap gua yang haus pertempuran. Akhirnya apa? Chica bunuh diri, Tir ... BUNUH DIRI, BANGSAT! Mereka masih bisa jalan-jalan dan ketawa-ketawa! APA LU PIKIR GUA SUDI BIARIN ITU SEMUA?! Asal lu tau ... setiap kali gua denger ketawa mereka ... gua enggak tahan buat bunuh mereka saat itu juga! Tapi gua sabar, sampe pada suatu hari gua menyerah buat sabar. Gua bayar orang buat bunuh mereka semua."

Dirga masih menatap Tirta dengan air mata yang semakin deras. "Lu malu punya kembaran yang jahat dan kriminal kayak gua, hah?" Pria itu tersenyum getir dan beranjak pergi meninggalkan Tirta. "Kedepannya biarin orang enggak pernah tau kalo lu punya kembaran. Seenggaknya image lu enggak akan buruk. Gua ... pergi dulu."

"Ma-mau ke-mana?" Hidung yang patah itu membuat Tirta kesulitan bicara karena menahan sakit.

Langkah Dirga terhenti sejenak sambil mengeluarkan tambang dari kantong jaketnya. "Kadang gua iri sama mereka yang dicariin orang tuanya kalo main enggak pulang-pulang, gua iri sama mereka yang setiap berangkat sekolah bisa cium tangan orang tuanya, gua iri denger gelak canda mereka yang hangat bersama orang tua mereka di malam badai yang dingin ... apa lu pernah ngerasin itu semua? Rasa iri yang gua rasain? Gua bandel karena gua cari perhatian. Gua mau diperhatiin orang lain meskipun dalam konotasi negatif. Gua capek, gua udah terlalu capek buat iri sama orang lain, Tir. Gua sadar gua udah terlalu jauh ngelewatin batas. Sekarang waktunya bertanggung jawab atas dosa-dosa itu."

"Dir-ga ...."

Dirga tak merespon panggilan Tirta. Ia berjalan pergi ke arah sungai. Tirta berusaha sekuat tenaga untuk bergerak dan bangkit, tetapi tubuhnya tak mampu melakukan apa yang ia inginkan. Kini Tirta paham, ada jurang yang terbentang di antara mereka. Dirga tak bisa lagi dilawan dengan adu fisik. Ia hanya mampu menatap punggung Dirga yang perlahan hilang ditelan jarak ditemani gelinang air matanya.

***

Dirga berpikir untuk mengakhiri hidupnya yang sudah terlalu kelam. Tak ada jalan kembali. Hatinya sudah terlalu hitam dipenuhi kebusukan angkara murka. Ia terus berjalan ke arah sungai dan berhenti pada satu pohon yang berdiri kokoh di pinggir aliran sungai.

"Jadi begini akhirnya?"

Dirga menoleh, ditatapnya sosok Zahran Utomo yang sedang berdiri di belakangnya dengan kedua tangan yang bersembunyi di balik kantong jaket merahnya.

"Ngapain lu di sini?" tanya Dirga.

"Lu jawab pertanyaan lu sendiri," balas Uchul.

"Jawaban gua bukan urusan lu."

"Sama," balas pria tengil bermata satu itu lagi.

"Udah cukup ngehajar Tirta, gua enggak mau nambah luka lagi karena ngehajar satu sahabat gua, Chul."

"Kekeke menarik, jadi selama ini lu juga ngalah ke gua?"

"Kalo enggak gitu, enggak akan lu lebih unggul dari gua soal adu kekuatan," jawab Dirga. "Katakanlah kalo lu itu kuat, tapi tubuh Tomo enggak sekuat itu."

"Nah, itu baru semangat. Ayo kita buktiin ucapan lu barusan." Uchul melepaskan jaket merahnya, meninggalkan kaos hitam lengan pendek yang melekat di tubuhnya. "Kita taruhan. Kalo lu menang dari gua, lu bebas mau ngapain aja. Kalo sebegitu pengennya mati, biar gua bawa lu ke Alam Suratma langsung, tapi ... kalo gua menang, lu harus hidup buat nebus semua dosa lu. Mati bukan solusi, mati enggak menyelesaikan apa pun, yang tertinggal dari kematian itu cuma kenangan buat orang yang ditinggalkan dan penyesalan buat jiwa yang kehilangan raganya. Kalo mau ngomongin kematian, lu ketemu sama orang yang tepat."

Dirga menghela napas. Ia lepas dan lipat jaket jeans birunya rapi dan meletakkannya di atas rerumputan, meninggalkan kaos hitam lengan buntung di tubuhnya. Kulitnya agak gelap ketimbang kulit Uchul yang sangat putih pucat, dan lebih terlihat kekar ketimbang lengan Uchul yang kerempeng.

"Gua akuin mata suratma lu itu yang paling ngerepotin, tapi tanpa mata itu ... lu cuma sampah yang enggak bisa melindungi diri," ucap Dirga. "Jangan nyesel." Ia berlari menerjang ke arah Uchul.

"Kekeke ucapan lu terlalu kasar buat seorang anak-anak," balas Uchul. "Maju sini. Biar gua ajarin rasanya kekalahan. Ya, biarpun di hadapan Miko lu juga enggak bisa apa-apa sih kekeke."

Mata Dirga berkedut mendengar nama Miko. Selama ia hidup, ia baru merasa kalah oleh Abet, Miko, dan Frinza, selebihnya ia hanya mengalah.

Dirga melepaskan pukulan pertama dengan sangat cepat dan kuat ke arah wajah Uchul. Selisih jarak tinjunya tipis dengan wajah Uchul. Hanya saja, Uchul memukul tangan Dirga dengan tangan kanan mengarah ke dalam, lalu memutar tubuhnya dan menghantam kepala Dirga dengan siku kirinya. Kejadian itu terjadi sangat cepat, bahkan Dirga tak mampu menganalisa apa yang terjadi.

Uchul yang memutar tubuhnya langsung menangkap leher Dirga dengan lengan kanannya kembali dan menghancurkan titik tumpunya dengan menendang satu kaki Dirga hingga terjatuh.

Pria bermata satu itu sengaja terjatuh dan meniban kedua tangan Dirga dengan lututnya hingga membuat Dirga memekik kesakitan.

"AAAAAAAAAAA!"

"Kekeke." Ia menyeringai menatap penderitaan Dirga, lalu menghajarnya tanpa ampun hingga wajah Dirga babak belur dan berlumuran darah.

Dalam sekejap Dirga tak mampu bangkit seperti Tirta. Kini Uchul melepaskan mangsanya dan berdiri menatap pria yang terkapar di tanah itu.

"Terus jalani hidup lu," ucap Uchul. "Mungkin lu berpikir kalo lu mati semua selesai, tapi apa lu enggak mikirin Tirta? Cuma lu yang dia punya. Apa lu tega ngerebut diri lu sendiri dari dia? Kalo lu berpikir enggak akan ada yang sedih, otak lu beneran tolol." Uchul menunjuk dirinya sendiri. "Orang yang ada di dalem sini juga bakalan sedih, bangsat! Dan itu bakal buat gua enggak nyaman! Jadi terus hidup demi Tirta, demi Zahran Utomo, demi Mantra, dan demi diri lu sendiri!"

Dirga menutup matanya, berusaha menahan semua perih yang ia rasakan, baik di hatinya, maupun tubuhnya.

"Demi Chica juga ...," lirih pria bermata satu itu. Kepribadiannya berganti menjadi lembut. Ia tersenyum dengan gelagat sedih. "Chica pasti enggak mau lu ikut nyusul dia. Seenggaknya, kalo lu merasa bersalah sama Chica, tetep hidup. Impian dia cuma satu, yaitu lu bisa wujudin impian lu."

Mata Dirga terbelalak mendengar ucapan Uchul.

"Lu wujudin semua hal yang belum bisa Chica wujudin. Seenggaknya itu dosa yang harus lu pikul."

Dirga lagi-lagi menitihkan air mata. Ia tak memiliki balasan kata untuk Uchul. Namun, kata-kata Uchul meresap di dalam kepalanya. Akhirnya Sang Panglima Perang kalah dan luluh di tangan Sang Raja Iblis.

"Puas-puasin deh nangis, biar hati lu lega. Abis itu istirahat kalo lu capek. Besok hari terakhir kita sekolah sebelum kelas tiga Ujian Nasional." Uchul mengambil tambang yang Dirga bawa, lalu berjalan meninggalkan pria rapuh itu seorang diri. "Besok pulang sekolah kita semua kumpul di Bon Voyage."

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top