3 : Kembar Martawangsa

Tirta Martwangsa

Tirta baru saja keluar dari ruang kepala sekolah untuk menjelaskan kejadian penyerangan sore tadi. Ia bersandar di dinding sambil menghela napas dengan mata terpejam.

"Dir, Dir, beruntung lu punya kembaran satu sekolah yang kebetulan ketua Osis. Kalo itu orang lain, mungkin dari dulu udah dikeluarin dari sekolah lu." Setelah itu, Tirta bangkit dan berjalan menuju ruang UKS.

Di depan UKS ada tiga orang yang sedang duduk menunggu Dirga siuman. Seorang pemuda tampan dengan syal biru yang menggantung di lehernya dan sarung tangan hitam yang menempel pada kedua tangan. Ada juga Andis, pria bertopi beanie cokelat yang menemani Dirga saat menghadapi Abet. Terakhir seorang pria yang terlihat sangar dengan potongan rambut seperti preman, yang mana memiliki bagian atas agak panjang, dan tipis di pinggir dengan garis-garis ukiran.

"Makasih udah nungguin Dirga. Kalo mau pulang, pulang aja enggak apa-apa, udah sore," ucap Tirta.

Pemuda bersarung tangan hitam sibuk memainkan rubik. Sejenak ia menatap Tirta, lalu menatap kembali rubiknya yang sebentar lagi selesai.

"Semua khawatir sama Dirga," ucap pria sangar. Fajar Utomo, itulah nama yang terpampang di seragamnya.

"Makasih, Jay, Tam, Dis, udah luangin waktu buat nungguin Dirga," lanjut Tirta.

"Santai, kita kan temen," balas Andis. Ia menatap Fajar, atau yang akrab disapa Ajay. "Jay, lu pulang aja duluan bareng Tama."

"Ya udah kalo gitu. Titip salam buat Dirga." Ajay beranjak dari duduknya. "Yok, Tam."

Retsa Pratama, pemuda tampan itu bangun dan meletakkan rubik yang berwarna senada pada masing-masing sisinya di kursi.

"Itu buat Dirga," ucap Ajay yang bertugas menjadi mulut Tama, mengingat Tama hampir tak pernah berbicara. "Biar dia enggak perlu repot-repot muter Rubik pake otaknya yang bego. Nanti malah enggak selesai-selesai." Ajay terkekeh, kemudian ia berjalan pergi diikuti Tama.

"Lu enggak pulang?" Tirta duduk di sebelah Andis.

"Gua merasa bertanggung jawab. Gua ada di samping dia tadi."

Tirta menghela napas. "Sampe kapan mau kayak begitu? Waktu terus berjalan, hari terus berganti, Dis. Kalian semakin dewasa. Apa sih tujuan dari saling berkelahi? Bikin warga sekitar takut, ngerusakin fasilitas umum, enggak jarang ada yang mati konyol karena jadi sasaran salah target, ada juga yang emang mati gara-gara ikut tawuran. Enggak ngebayangin perasaan orang tua mereka, hah?"

Andis terdiam mendengar siraman rohani dari ketua Osis.

"Berubah, Dis. Ajak Dirga buat berubah juga. Dia enggak akan dengerin omongan gua, tapi semoga dia dengerin omongan lu," lanjut Tirta.

"Yahhh ... semoga baik gua atau pun Dirga bisa cepet sadar," balas Andis.

Tirta beranjak dari duduknya. "Gua pulang duluan. Dirga udah gede, dia bisa pulang sendiri. Lu juga sebaiknya pulang."

"Duluan deh, bentar lagi gua pulang." Andis beranjak, ia mengambil rubik Tama dan membawanya masuk ke dalam UKS.

Tirta melanjutkan langkahnya. Ia bejalan hingga keluar dari gerbang sekolah dan melewati sebuah warung yang menjadi basecamp komplotan Dirga.

"Gua pikir Dirga, ternyata cuma ketua Osis culun," ledek salah satu teman Dirga yang bernama Agoy.

'Seandainya ini orang enggak ada, sekolah kita bakalan jadi yang terkuat. Enggak akan ada lagi yang berani macem-macem sama kita. Gara-gara dia, Dirga harus terkekang enggak bisa bebas'. Batin Agoy.

Tirta menghela napas setelah mendengar isi pikiran pemuda itu. Ia merubah haluan dan melipir ke warung samping sekolah, lalu berdiri menghadap enam orang rekan kembarannya.

"Gua pikir lu semua temennya Dirga, tapi ternyata salah besar. Enggak ada satu pun yang nungguin dia di UKS. Padahal ini semua gara-gara lu pada," ucap Tirta.

Babay menghentikan permainan gitarnya yang asal dan terdengar sumbang. Ia beranjak dan berjalan ke hadapan Tirta. "Maksud lu apa?"

"Silakan rusak hidup lu sendiri, tapi jangan rusak hidup orang lain. Jangan pernah deketin Dirga lagi."

Suasana semakin memanas. Babay meletakkan gitar dan berdiri di depan Tirta dengan tatapan tajam. "Dirga yang memilih temennya sendiri."

'Anjing nih orang. Apa gua hajar aja, ya? Gua mampusin sekalian biar enggak ada yang ngatur-ngatur Dirga lagi'. Batin Babay.

"Gua paham seberapa busuk lu semua. Enggak akan gua biarin Dirga berurusan sama lu pada," balas Tirta.

"Jangan mentang-mentang karena lu kembarannya Dirga, lu bisa semena-mena. Lu itu cuma orang munafik yang egois. Jangan ngatur-ngatur Dirga."

Tirta membalas tatapan itu sebagai bentuk perlawanan. "Jangan pernah ngatur gua. Lu harus tau, ada monster yang lebih mengerikan daripada seorang Dirga Martawangsa. Dia cuma enggak nunjukin taringnya aja."

"Bay, udah, Bay," ucap Agoy berusaha melerai.

"Dia butuh dikasih pelajaran tambahan, Goy," timpal Babay. Matanya menyorot tajam pada kedua bola mata Tirta yang lebih pendek darinya. "Kalo bukan kembarannya Dirga, udah gua bikin mampus lu."

Tirta tertawa. "Coba. Bikin gua mampus. Lu yang harusnya lega. Karena Dirga, lu semua selalu lolos hukuman, lu semua lolos dari kematian setiap tawuran. Lu semua cuma sampah yang lebih rendah dari tai anjing."

Babay melepaskan tinjunya ke arah wajah Tirta. Pukulan itu berhasil mengenainya dengan telak. "Mampus!" bentak Babay.

"Lu duluan yang mulai. Lu berhutang satu pukulan," balas Tirta.

"Bacot!" Babay melancarkan pukulan kedua, tapi kali ini Tirta menahannya dengan satu tangan. "Sekarang giliran gua, kan? Jangan serakah." Ia menghantam wajah Babay hingga membuat Babay terjatuh menggeser meja.

Melihat temannya dihajar, lima orang yang tersisa mengepung Tirta. Pemilik warung ketakutan, ia berusaha melerai perkelahian, tetapi tak ada yang mau mendengarkan.

"Maju lu semua, bangsat," ucap Tirta. "Kesabaran gua udah mulai abis buat orang-orang modelan lu pada."

***

Dirga Martawangsa

"Enggak usah pura-pura tidur. Barusan Tirta pulang duluan, gua tau dia udah sadar kalo lu bangun. Ikatan anak kembar mungkin," ucap Andis. Ia berdiri di samping Dirga.

Dirga membuka mata menatap langit-langit UKS. "Waktu bangun tadi pikiran gua nanya, ini di mana? Jam berapa? Mungkin Tirta denger. Dia kan bisa baca pikiran." Ia merubah posisi dari tidur menjadi duduk. "Jam berapa sekarang?"

"Hampir maghrib," jawab Andis. Pemuda bertopi beanie itu memberikan sebuah rubik pada Dirga. "Dari Tama. Sengaja udah dijadiin, biar lu enggak perlu repot-repot mikir dan ngotak-ngatik."

Dirga tersenyum sambil menatap rubik di tangannya. "Dasar Tama, orang mah bawain buah. Ini malah ngasih rubik."

"Gua pulang duluan." Andis berjalan pergi, lalu sejenak berhenti di depan pintu. "Jangan pulang malem-malem, di sini angker."

Sontak bulu kuduk Dirga berdiri. Andis adalah seorang indigo yang mampu melihat mereka. Ya, mereka yang tak terlihat.

"Bangsat, abis ngomng kayak gitu dia kabur." Dirga pun segera bangkit dan mengenakan tas ransel yang sudah dibawakan oleh teman-temannya. Setelah selesai mengenakan sepatu, dengan langkah cepat ia keluar dari ruang UKS dan pergi.

Ketika melewati gerbang, Dirga menyempatkan waktu untuk menengok ke warung tempat biasa ia dan anak-anak tawuran nongkrong. Tak ada siapa pun di sana, kecuali pemiliknya.

"Den Dirga, tadi temen-temen berantem sama kembarannya," ucap si ibu pemilik warung.

"Serius, Bi?"

"Iya, barusan aja pada bubar."

"Makasih infonya, Bi." Dirga mempercepat langkah. Namun, baru berjalan beberapa meter, ia melihat seorang gadis dengan rambut sepanjang bahu sedang berdiri mematung. Tak jauh di depannya, ada gerombolan anak SMA lain yang sedang duduk-duduk di pinggir jalan. Sepertinya, gadis itu takut.

Dirga terus berjalan hingga langkahnya melewati gadis itu. Sadar ada anak laki-laki dari sekolahnya yang berjalan melewati, gadis itu pun berjalan tak jauh di belakang Dirga.

Dari kejauhan, anak-anak sekolah lain terlihat memandang ke arah mereka berdua. Anak-anak itu bangun dari duduknya. Gadis yang berjalan di belakang Dirga mendadak ciut dan hendak berhenti.

"Jangan berhenti ...," lirih Dirga.

Gadis itu mendengar bisikan yang Dirga lontarkan dan berjalan kembali. Kini jarak si gadis hampir menempel dengan Dirga. Mungkin karena takut, gadis itu mencubit ujung seragam Dirga yang keluar.

Benar rupanya, anak-anak dari sekolah lain itu berjalan ke arah mereka. Dirga melirik ujung tangan gadis itu, ia merasakan ada getaran kecil dari gadis di belakangnya.

"Jangan takut. Kalo gua ditahan, lu jalan terus, jangan nengok ke belakang ...."

Benar saja, anak-anak ini menghadang Dirga. Namun, si anak gadis dibiarkan lewat. Ia berjalan melewati Dirga dan terus berjalan tanpa hambatan. Untungnya para bajingan ini hanya mengincar Dirga saja, jadi gadis itu aman.

"Bagi duit," ucap salah satu anak sekolah lain.

"Enggak ada, Bang," balas Dirga.

Tangan pemuda itu terlalu ringan, ia menempeleng kepala Dirga dengan indahnya. "Jangan boong lo."

"Beneran, Bang." Dirga masih mencuri pandang pada sosok gadis yang sempat berlindung padanya. Kini gadis itu sudah jauh dan aman.

"Periksa tasnya," ucap pemuda itu memerintah bawahannya.

Sebuah tinju menghantam kepala pemuda yang baru saja memerintah. Semua anak terkejut melihat kejadian itu. Pimpinan mereka tumbang sekali pukul.

"Kalo gua bilang enggak ada, harusnya kalian percaya aja. Sekarang udah terlanjur deh, mau enggak mau harus diselesain." Dirga melempar tasnya ke tanah. Sepertinya ia sudah siap untuk babak selanjutnya.

Salah satu anak membaca nama yang tertulis pada seragam putih pemuda di hadapannya. "Dirga Martawangsa!" Semua terbelalak ketika mendengar ia membacakan nama Dirga.

"Pergi lu semua dari sini dan jangan balik lagi. Cuma itu pengampunan yang bisa gua kasih. Kalo gua masih liat lu pada di sekitar sini, gua mampusin lu semua." Semua anak itu berhamburan lari terbirit-birit meninggalkan pimpinannya yang tak sadarkan diri.

Setelah mereka pergi, Dirga melanjutkan langkah. Gadis penakut yang tadi sudah pergi, tak terendus lagi aromanya, tak meninggalkan jejak. Jujur, gadis itu cukup manis. Terbesit rasa ingin mengenalnya. Namun, Dirga sadar ... ia hanyalah anak pembawa masalah.

'Gua yakin, beda sama gua yang mau kenal dia, dia enggak mau kenal sama gua'.

***

Di tempat ini banyak sekali berserakan benda rongsok, tetapi bukan tempat pembuangan sampah. Langkah kaki Dirga berujung pada sebuah mobil bus kuning yang berada di pojok lapangan tanah merah. Area tanah merah yang bersembunyi di tengah hamparan rumput-rumput panjang sejauh mata memandang.

Bon Voyage.
Semoga Perjalananmu menyenangkan.

Sebuah tulisan besar yang terbuat dari pilox berwarna biru tua menghiasi badan bus tersebut. Ini adalah cerita lama, ketika Dirga dan kelompok teman-teman semasa kecilku yang bernama Mantra menemukan bus itu. Kala itu mereka sedang melakukan petualangan kecil menyusuri area rimba ini hingga tak sengaja menemukan Bon Voyage. Bus itu tak memiliki roda untuk berjalan, ia dibuang tanpa pernah ditemukan. Beruntung anak-anak itu menemukannya dan memberikan nama pada bus tua yang entah sejak kapan berada di tempat ini.

"Bon Voyage ...," gumam Dirga lirih sambil mengusap badan mobil tua yang ia rawat selama ini.

"Mobil ini enggak bisa bergerak, tapi kita yang melangkah maju. Itu yang lu bilang dulu, kan?"

Dirga menoleh. Ditatapnya Tirta yang sedang duduk di pintu mobil. "Lu enggak apa-apa?" tanya Dirga.

"Harusnya lu nanya gitu ke temen-temen lu," balas Tirta.

"Udah gua bilang buat jangan berurusan sama mereka dan ikut campur masalah gua."

"Waktu lu bangun, apa lu ngeliat salah satu dari mereka?" tanya Tirta. "Mereka asik-asikan nongkrong di warung. Siapa yang nungguin lu? Anak Mantra."

"Gua udah gede, enggak butuh ditungguin," balas Dirga.

"Gua begini karena gua peduli sama lu, Bro. Pergaulan lu enggak bagus. Mereka cuma manfaatin lu doang."

"Apa yang lu tau tentang persahabatan gua sih?" tanya Dirga sewot.

Tirta menunjuk-nunjuk kepalanya. "Gua bisa baca isi pikiran orang, Bro. Lupa lu? Gua tau busuk-busuknya mereka."

"Buktiin!"

Tirta menarik napas sambil menatap ke arah Bon Voyage. "Gua selalu percaya sama prekognision lu, apa lu enggak percaya sama kemampuan gua dalam membaca pikiran orang lain?"

"Lu itu terlalu manipulatif, Tir. Lu posesif terhadap kehidupan gua seolah gua enggak boleh ini dan itu sesuai apa yang gua mau," ucap Dirga, "lu bukan bapak gua, Tir."

"Denger ... karena kita enggak punya siapa-siapa, gua berusaha peduli sama lu. Cuma lu satu-satunya keluarga yang gua punya, dan cuma gua satu-satunya keluarga yang lu punya. Gua peduli sama lu, makanya gua begini. Demi kebaikan lu sendiri."

"Enggak, enggak ... alesan lu enggak masuk di gua. Baik dan buruk itu enggak bisa dinilai dari satu sudut pandang," balas Dirga dengan sedikit kekehan.

"Bergaul sama orang-orang tolol bikin otak lu makin tolol apa gimana?" balas Tirta. "Kalo emang enggak bisa dibilangin pake mulut, apa perlu dibilangin pake tangan? Kalo gua kalah, terserah lu mau ngapain. Terserah lu mau jadi apaan. Gua akan berhenti peduli."

"Boleh, bagus itu. Biar enggak ada lagi yang sok peduli." Dirga melepas seragam yang ia kenakan dan menggantungnya di jendela bus yang terbuka.

Tirta sudah melepas seragamnya sedari ia datang, kini pemuda itu berjalan hingga berada di depan kembarannya. "Sayangnya lu enggak akan bisa lepas dari gua, Bro."

"Bacot!" Dirga melepaskan sebuah pukulan yang mengarah ke wajah Tirta. Namun, Tirta menghindar dan meninju rusuk kanan Dirga.

"Lu mungkin bisa memprediksi masa depan, tapi setiap yang lu baca. Gua ambil lewat pikiran lu," ucap Tirta. "Enggak ada orang yang bisa memulai sesuatu tanpa rencana."

Pertarungan berlangsung sengit, tetapi Tirta lebih mendominasi hingga pada satu titik, pukulan keras itu menghantam ulu hati kembarannya hingga membuat Dirga yang hebat itu bertekuk berlutut.

"Welcome to brotherhood life," tuturnya. Ia masuk ke dalam bus dan meninggalkan Dirga sendirian di tanah merah.

Dirga tak menerima kekalahan barusan. Ia bangun dan pergi dari Bon Voyage. Malam ini Dirga tak ingin tidur satu atap dengan Tirta.

***

Kedua kaki itu membawa Dirga ke sebuah rumah sakit. Ia datang ke sana untuk menjenguk seorang sahabat yang terkapar koma. Cikal bakal pertempuran melawan Abet tadi sore.

"Pergi! Saya enggak mau lihat kamu."

Baru juga sampai di depan ruangan Koirudin berbaring, tetapi Ayah dari Koi langsung memakinya.

"Saya cuma mau jenguk, Om. Biar bagaimana pun, Koi itu temen saya."

"Pergi!" bentaknya.

"Ayah, udah ...." Istri dari pria itu berusaha menenangkan suaminya yang naik pitam karena melihat keberadaan Dirga.

"Pergi kamu, jangan pernah berkeliaran di sekitar anak saya lagi. Gara-gara kamu anak saya jadi begini!"

Dirga menunduk malu penuh penyesalan. Matanya berkaca-kaca.  Dengan berat hati ia berbalik dan pergi meninggalkan rumah sakit.

Sekarang pemuda berantakan itu berada di tepi jalan sebrang supermarket. Ia duduk di tepi trotoar sambil mencerna tiap kata-kata yang dilontarkan oleh Ayahnya Koi. Berkat kejadian itu pula, ada ucapan Tirta yang masuk ke otaknya.

Di tengah rasa bersalah itu, tiba-tiba sesuatu yang dingin menyentuh tengkuk Dirga hingga membuatnya merinding dan terkejut. Dengan cepat pemuda itu menoleh dan hendak marah karena diganggu, tetapi raut wajahnya berubah total. Gadis yang sempat ia bantu melewati jalan tadi rupanya.

"Makasih yang tadi," ucapnya sambil memberikan minuman kaleng yang ia beli dari supermarket.

"Buat gua?"

Gadis itu mengangguk.

"Lu ngapain malem-malem begini?" tanya Dirga berbasa-basi.

Gadis itu menunjuk plastik belanjaan yang ia bawa.

"Oh, belanja."

"Makasih ya tadi," ucapnya.

"Iya, sama-sama," balas.

Gadis itu ikut duduk di samping Dirga, menatap laju kendaraan di jalan yang berlalu-lalang. Dirga membuka minuman kaleng yang berikan gadis itu, lalu meneguknya.

"Enggak takut sama gua?" tanya Dirga sehabis meneguk minuman.

Gadis itu menggeleng. "Kenapa harus takut? Kamu orang baik."

"Orang baik, ya?" Ia menunduk menatap kaleng minuman di tangannya. Sesaat wajah Dirga terlihat sendu. "Lu salah nilai orang deh kayaknya. Lu tau enggak gua itu siapa?"

"Dirga Martawangsa. Anak paling terkenal di sekolah karena kenakalannya," jawabnya.

"See? Anak nakal." Dirga tertawa pilu.

"Itu kata orang," balas gadis itu. "Setiap manusia punya penilaian sendiri terhadap manusia lain. Tadi sore kamu bantu aku yang ketakutan." Ia tersenyum menatap jalanan. "Itu bukan hal yang dilakukan orang jahat."

"Semua cowok bakalan gitu kayaknya kalo ngeliat ada cewek yang ketakutan."

"Aku sering pulang terlambat karena ada kegiatan di sekolah. Di jam itu anak-anak sekolah udah tinggal sedikit. Beberapa cowok lebih memilih jalan lain karena takut diganggu anak sekolah lain. Enggak jarang yang lari menyelamatkan diri sendiri, tapi kamu? Kamu bilang buat jangan takut, kamu bahkan rela direndahkan, seenggaknya sampai cewek yang ketakutan ini aman. Menurutku kamu keren."

Wajah Dirga memerah. Ternyata masih ada yang menganggapnya keren di dunia ini. "Ma-makasih."

Gadis itu beranjak dari duduknya. "Aku pulang dulu, ya."

Ah, sial. Padahal malam masih panjang dan Dirga masih butuh seseorang untuk diajak bicara. Tapi ia pun sadar, bahwa gadis itu harus pulang karena sudah malam. Berbeda dengan anjing jalanan seperti Dirga yang bisa tidur di mana pun. Ada orang yang mencemaskan gadis itu dan menunggunya di rumah.

Sebenarnya Dirga juga punya orang seperti itu meskipun cuma satu di dunia.

"Hati-hati di jalan," balas Dirga.

Setelah gadis itu berjalan cukup jauh, diam-diam Dirga mengikuti sampai ke depan rumahnya. Bukan untuk menguntit, melainkan mengawasi gadis itu jika ada penjahat yang mengganggunya. Setelah gadis itu masuk ke dalam rumahnya, Dirga berjalan pergi.

"Aihh ... balik ke realita. Harus pulang." Dirga menghela napas seraya membuang emosi yang berkumpul, lalu berjalan menuju Bon Voyage. "Tirta udah makan belum, ya? Beliin aja deh, takut dia belum makan."

Dari dalam rumah, gadis itu mengintip keluar dan tersenyum. "Terimakasih lagi karena udah nemenin aku sampai ke rumah ya, Dirga."

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top