28 : Titik Penutup
"Bu, itu nomor hape Dirga. Kalo semisal butuh apa-apa kasih tau aja, ya. Nanti Dirga langsung ke sini," ucap Dirga.
Ibunda Chica tersenyum dengan mata berkaca-kaca. "Makasih ya, Nak, udah mau ngerepotin diri."
Dirga membalas senyuman itu. "Enggak apa-apa kok, Bu. Dirga enggak merasa repot juga."
"Nanti kalo ibu butuh apa-apa, ibu hubungi kamu. Cuma sama kamu Chica mau terbuka."
"Semoga Chica lekas pulih. Dirga pamit dulu, ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Rasanya ada kepingan puzzle yang tertinggal. Dirga berjalan kembali menuju warung depan sekolah untuk mencari kepingan itu, siapa tahu ia menemukan sesuatu.
***
Warung Depan Sekolah.
Dirga duduk di pinggir warkop ditemani secangkir kopi sachet panas. Tak ada anak basis saat ini, hanya ada beberapa abang-abangan yang sedang berkumpul menggantikan kuasa basis tongkrongan Dirga saat malam menjemput.
Si ibu yang sedang senggang duduk di samping Dirga, menemani bocah yang terlihat sendirian itu.
"Temen-temennya mana? Tumben ke sini malem-malem sendirian."
Dirga tersenyum. "Lagi pengen sendiri, Bi."
"Udah jarang pacaran lagi sekarang? Bibi enggak pernah liat Chica lagi."
Senyum itu luntur. "Enggak tau, Bi. Kan udah putus."
"Tapi teh, Chica masih sayang sama Dirga kelihatannya," ucap Bibi.
Dirga terkekeh. "Tau dari mana persoalan cinta ABG, Bi?"
"Waktu kapan itu si Chica pulang bimbel, eta si Pikray dateng naik motor nyamperin Chica. Katanya mah Dirga lagi kasetanan mukulin orang, cuma Chica yang bisa bantu Dirga buat sadar. Kalo enggak sayang mah, si Chica enggak akan nyusulin Dirga."
Dirga memicing. "Kapan tuh, Bi?"
"Belum lama ini. Emangnya enggak ketemu?"
"Terus gimana lagi?" tanya Dirga.
"Si Chica teh ikut dibonceng Pikray pergi nyamperin Dirga," jawab ibu. "Habis itu ibu jarang liat Chica lagi. Biasanya teh, si Chica mah pulang belakangan. Jangan-jangan mah galau atuh gara-gara Dirga?"
Dirga terdiam tak merespons ucapan ibu pemilik warung. Pikirannya semakin liar menarik segala spekulasi yang terlintas.
"Waktu si Pikray jemput, Donay sama anak-anak di mana, Bi? Ada di warung?"
Ibu pemilik warung menggeleng. "Enggak ada siapa-siapa di warung, sepi euy."
Ucapan Koi semakin terdengar logis di kepala Dirga. Jika memang Donay yang menghajarnya, berarti bisa jadi segala kejadian yang melibatkan tawuran lainnya juga merupakan ulah si bengal yang satu itu. Dirga tak heran jika Donay memang gila, tapi ia tak menduga bahwa pria itu mampu segila dan sejauh ini. Terlebih, jika ternyata pelaku pemerkosa Chica adalah rekan-rekan basis, entah apa yang akan Dirga lakukan pada mereka.
"Bangsat!" umpat Dirga sambil memukul meja.
Si ibu pemilik warung terkejut melihat ekspresi Dirga yang mendadak gusar. Ia tak sadar jika baru saja memberikan kepingan puzzle yang Dirga cari.
"Makasih, Bi." Dirga membayar kopinya, lalu pergi.
Malam ini ia berjalan ke arah yang berbeda dengan arah pulangnya. Dirga masih ingin memastikan sesuatu, ia pun berjalan ke arah Selatan.
***
Hari berganti, pagi ini Dirga datang menjemput Chica untuk sekolah. Jika dahulu Chica yang selalu membantunya untuk bangkit, kini giliran peran Dirga untuk membuat gadis itu kembali bersemangat.
Chica pun akhirnya mau datang ke sekolah. Ia dan Dirga jalan berdua menuju sekolah. Awalnya tak banyak perbincangan di antara mereka, tetapi Dirga berusaha mencairkan suasana yang terkesan canggung itu.
"Gimana pelajaran kamu? Sebentar lagi Ujian Nasional, kan?"
Chica mengangguk. "Iya, minggu depan udah masuk minggu tenang." Wajah gadis itu terlihat murung. "Waktu kita buat sama-sama tinggal sebentar lagi."
"Sebentar lagi kamu bakal pergi jauh, balas Dirga.
Chica tersenyum sendu. "Jangan sedih, ya."
Dirga terkekeh mendengar itu. "Cuma sebentar kok sedihnya. Tahun depan aku nyusul kamu ke Jogja. Aku udah janji."
Kini giliran Chica yang tertawa. "Kamu aja sekarang berubah lagi. Mana pernah kamu belajar selama kita putus?"
"Masih ada waktu, aku mau berubah lagi," balas Dirga.
"Dirga ...." Chica menghentikan langkahnya.
Dirga yang berada satu langkah di depannya pun ikut menghentikan langkah, lalu menoleh. "Ya?"
Chica tersenyum manis, seolah lupa pada lukanya. "Jadi anak baik, ya."
"Iya," balas Dirga. "Sini." Ia mengulurkan tangannya pada Chica.
Chica kembali melangkah. Ia meraih tangan pria itu. Mereka bergandengan sampai sekolah. Dirga tak membiarkan Chica merasa kesepian meskipun hanya selangkah.
Bahkan di sekolah, setiap beberapa jam sekali, Dirga memantau Chica dengan berpura-pura ke toilet dan lewat di depan kelasnya. Ia juga menemani gadis itu makan siang, hingga menggandengnya kembali ketika pulang.
***
Kini Dirga sudah mengantar Chica sampai di depan rumah, lalu pria itu berpamitan.
"Aku udah pikirin baik-baik. Pertama-tama, aku harus minta maaf sama temen-temen Mantra," ucap Dirga.
"Kenapa minta maaf?" tanya Chica.
"Karena mereka juga punya peran buat bikin aku berubah, tapi aku terlalu sering buat mereka kecewa. Jadi, aku mau minta maaf sama mereka."
Mendengar niat Dirga, Chica pun lagi-lagi tersenyum. "Ke aku enggak?"
Pria itu terkekeh. "Udah kan, tapi kalo belum dimaafin, aku minta maaf lagi nih."
"Bercanda. Kamu enggak ada salah kok sama aku, justru aku yang punya salah. Maafin aku ya," balas Chica.
Dirga memicing. "Maaf buat apa?"
"Segalanya," jawab Chica dengan nada sendu.
Dirga bersandar di pagar sambil menatap langit. "Kamu enggak punya salah apa-apa. Justru kamu layak dapet terimakasih sejuta kali, karena kamu bisa bikin hari-hariku jadi berwarna. Aku bahagia. Makasih udah hadir dalam kehidupanku, Chica Ramalia."
"Seneng dengernya," balas Chica tersenyum. "Ya, udah sana. Nanti ke maleman loh minta maafnya."
Dirga pun berjalan mundur masih sambil menatap Chica. "Aku pergi dulu."
Chica mengangguk dan melambaikan tangan. "Hati-hati di jalan."
Dirga memutar arah dan berjalan pergi. Namun, belum juga jauh ia melangkah, tiba-tiba tubuhnya tersentak ke depan. Matanya terbelalak ketika dari belakang Chica berlari dan memeluknya sambil menangis.
"Ca, kamu kenapa?" tanya Dirga yang terkejut.
"Jadi anak baik ya, jagoan ...," lirih Chica.
"Iya, aku janji jadi anak baik. Kamu tenang aja, kali ini percaya sama aku."
"Bukan demi aku atau pun buat siapa pun, tapi buat diri kamu sendiri," lanjut Chica. "Jangan khianati diri kamu sendiri lagi."
Dirga terdiam sambil mengusap tangan Chica.
"Makasih ya, jagoan." Perlahan Chica melepaskan diri dari Dirga, ia berjalan mundur sambil menatap Dirga. "Dan maaf ...."
Dirga belum sempat menghapus air mata gadis itu, tetapi Chica pergi begitu saja meninggalkan Dirga masuk ke dalam rumahnya.
Ada perasaan yang mengganjal, tetapi Dirga berusaha menepisnya. Kini ia berjalan pergi menuju rumah Andis.
***
"Assalamualaikum, Andis."
Pintu terbuka. Abah menatap Dirga yang berdiri di balik pagar dan mempersilakannya masuk. Dirga pun berjalan masuk dan langsung menuju kamar Andis.
Di dalam kamar, Andis sedang berbaring menatap langit-langit kamar. Ia langsung bangun ketika melihat Dirga yang masuk ke dalam kamarnya. Pria itu sedang tak mengenakan topi beanienya, agak aneh melihat seorang Andis Sagara tanpa topinya. Andis memicing menatap Dirga.
"Siapa, ya?"
Dirga memasang senyum melow. "Gua ...."
"Dirga," celetuk Andis. "Becanda ya elah. Ingatan gua udah pulih kok, meskipun banyak juga hal yang gua lupain sih."
"Dis, gua mau minta maaf," ucap Dirga.
Andis memicing. "Maaf buat apa?"
"Gara-gara gua, lu jadi terlibat," sambung Dirga.
Andis terkekeh. "Yah, kirain apaan. Santai, semua yang ada di dunia ini tuh namanya takdir. Emang gua lagi apes aja sih."
"Jangan benci sama gua ya, Dis. Cuma Mantra yang gua punya."
Andis berjalan merangkul Dirga. "Santai sih. Sebut nama gua kalo lu butuh, gua bakal dateng."
Dirga tersenyum. "Syukur deh. Kalo gitu gua pamit dulu ya. Gua mau ke rumah yang laen buat minta maaf."
"Kayak apa aja lu," balas Andis terkekeh. "Tapi kalo itu bisa buat lu tenang, ya udah sono."
"Gua pulang dulu. " Dirga beranjak pergi dari kamar Andis. "Makasih ya, Dis. Udah sabar jadi sahabat gua."
Andis tersenyum. "Sama-sama."
***
Setelah itu, Dirga melangkah pergi ke rumah Tama. Sama seperti sebelumnya, Dirga pun disambut hangat oleh kedua orang tua Tama dan dipersilakan naik ke kamar Tama.
tok ... tok ... tok
Dirga membuka pintu kamar. "Tam."
Tama mengalihkan tatap dari televisi ke arah Dirga. Pria tampan itu sedang bermain Playstation rupanya.
Dirga berjalan, lalu duduk di sebelah Tama. Tak ada kata yang terucap di antara mereka. Dirga hanya diam menatap layar televisi, sementara Tama masih asik bermain. Melihat wajah tampan Tama yang masih terukir bekas luka membuat Dirga murung. Menyadari kesedihan di wajah Dirga, Tama pun menyudahi permainannya. Kini ia duduk berhadapan dengan Dirga, lalu menatapnya seolah bertanya alasannya datang hari ini.
Dirga yang paham arti tatapan tersebut pun mulai membuka suara. "Gua mau minta maaf."
"Buat apa?" tanya Tama dengan suara beratnya. Jarang-jarang Tama berbicara. Hanya saja karena sikap Dirga yang mendadak aneh itu, Tama menjadi khawatir.
Dirga tersenyum menatap ke sembarang arah. "Buat segalanya. Gua jadi sering ngerepotin lu. Belum lagi kejadian kemarenan. Mungkin aja alasan lu dipukulin itu gara-gara gua."
Tama menghela napas, lalu memberikan jempol andalannya.
Dirga belum bisa memberitahu pada Tama bahwa kemungkinan besar yang menghabisi Tama waktu itu adalah Donay dan rekan-rekan basisnya. Rasanya ia ingin menyelesaikan masalah dapur tongkrongan tanpa melibatkan anak-anak Mantra. Sudah cukup menyeret sahabat-sahabatnya ke dalam masalah yang Dirga buat.
"Kalo gitu gua pergi dulu ya, Tam. Sorry ganggu waktu main lu." Dirga hendak berdiri, tetapi pria tampan bersarung tangan hitam itu menarik tangannya.
"Kalo ada apa-apa kasih tau gua," ucap Tama.
Dirga tersenyum. "Oke."
"Kalo lu enggak bisa kasih tau gua, seenggaknya kasih tau Tirta. Jangan simpen semuanya sendiri."
"Gua inget pesen lu, makasih, Tam."
Tama melepaskan lengan Dirga. Dirga masih tersenyum dan berjalan keluar dari kamar Tama.
***
Kini ia segera menuju rumah Ajay yang tak jauh dari rumah Tama. Sama seperti dua rumah sebelumnya, Dirga disambut hangat di sana dan dipersilakan masuk. Dirga pun berjalan masuk ke rumah Ajay dan langsung menuju kamarnya.
Sesampainya di kamar, Dirga menatap Ajay yang sedang membaca sebuah buku di pinggir kasur. Ia pun duduk di sebelah pria itu.
"Baca apaan lu?" tanya Dirga.
"Komik," jawab Ajay.
"Gua kira belajar," balas Dirga.
"Buat seseorang yang lagi berusaha pulih, selain istirahat, indikasi kebahagian juga penting. Gua ngelakuin apa pun yang bikin gua seneng biar cepet sembuh, seenggaknya bikin gua berpikir kalo gua baik-baik aja."
"Gimana keadaan lu?"
"Ya gini dah. Bukan kondisi yang perlu dikhawatirkan," jawab Ajay.
Dirga hendak berbicara, tetapi Ajay langsung menyambar tepat sebelum Dirga mengutarakan niatnya.
"Enggak usah minta maaf, lu enggak punya salah sama gua. Kalo lu merasa harus minta maaf, simpen aja buat Tirta."
"Gara-gara gua, lu jadi terlibat masalah, Jay. Maafin gua, " ucap Dirga bermuram durja.
"Seenggaknya kalo gua terlibat masalah karena lu, artinya kita itu sahabat beneran. Gua bersyukur karena gua masih bisa ikut terlibat dalam masalah lu. Dan gua tau, lu dateng buat bales mereka demi gua, itu udah lebih dari cukup. Tapi sebenernya enggak perlu sejauh itu. Lu harus bisa belajar nahan diri, Dir. Sama kayak lu, gua dan yang lain enggak mau liat lu kena masalah, apa lagi sampe babak belur."
Dirga berusaha tersenyum. "Ke depannya gua bakal lebih hati-hati dan pake otak dalam ngambil keputusan, Jay."
"Semoga deh," balas Ajay sambil ikut tersenyum. "Ngomong-ngomong, gimana keadaan Chica?"
"Dia udah agak membaik kok," jawab Dirga.
"Syukur deh. Jangan ditinggalin sendirian, Dir. Pokoknya dia itu lagi butuh ditemenin. Karena kalo sendiri, mungkin pikirannya liar. Orang depresi itu kalo overthingking suka serem."
Dirga memicingkan mata. "Seremnya?"
"Ya, serem aja. Hal paling menyeramkan itu kan pemikiran manusia itu sendiri. Kalo mental lagi sakit, biasanya banyak overthingking yang enggak-enggak."
"Dampaknya apa sih, Jay? Lu kan paham psikologi manusia."
"Yang jelas trauma. Chica pasti punya trauma yang dalem," jawab Ajay. "Dia enggak sering nyalahin diri sendiri, kan?"
Dirga tampak berpikir. "Enggak deh kayaknya."
"Bagus deh. Sejujurnya gua agak takut."
Dirga mengerutkan kening. "Takut?"
"Enggak apa-apa kok. Selama ada lu di sisinya gua percaya dia baik-baik aja dan bakal cepet pulih," jawab Ajay.
"Yah ... doain aja, Jay." Dirga beranjak dari duduknya. "Ya udah, gua balik dulu ya. Makasih karena udah mau jadi sahabat gua, Jay."
Ajay tersenyum. "Sama-sama."
Dirga hendak pergi, tetapi tiba-tiba kepalanya terasa sakit. Terpampang visualisasi sebuah kursi yang jatuh di lantai. Prekognisinya tiba-tiba saja aktif.
"Dir, ngapa lu?" Ajay yang khawatir pun mendekati Dirga. "Woy, Dirguy."
"Enggak apa-apa, Jay. Gua cuma pusing aja," balas Dirga.
"Gua buatin teh manis anget ya." Ajay berjalan keluar kamar untuk membuatkan teh manis untuk Dirga.
Sebenarnya Dirga tak ingin merepotkan Ajay, tetapi sepertinya ada hal yang harus ia pastikan terlebih dahulu sebelum pergi. Pria yang mendadak takut itu pun segera menelpon Chica.
"Angkat please," gumam Dirga sambil menunggu panggilan terhubung.
Tak lama berselang, Chica mengangkat panggilan Dirga. "Halo," ucap gadis itu.
"Kamu enggak kenapa-kenapa, kan? Kamu lagi ngapain sekarang?" tanya Dirga.
Saat ini Chica sedang duduk di meja belajarnya. Banyak buku paket dan satu buku tulis yang sedang ia gunakan untuk mencatat.
"Lagi belajar, kenapa?" tanya Chica.
"Ah, enggak apa-apa. Kamu jangan lupa makan ya. Kalo kamu enggak mau makan, nanti aku samperin."
Chica terkekeh. "Iya, abis belajar aku makan. Aku banyak ketinggalan pelajaran, jadi mau fokus dulu. Kalo pun lupa, besok pagi aku makan kok, jadi enggak perlu repot-repot ke sini lagi, ya. Kasian, kamu capek."
"Oh, oke, tapi kalo butuh apa-apa bilang ya," balas Dirga.
"Iya, bawel!"
"Janji?" tanya Dirga.
Chica tersenyum di balik telpon. "Enggak janji."
Dirga terdiam sejenak. Perasaannya sungguh tak enak. "Aku ke sana deh."
"Iya, iya janji. Jangan galau!" sambung gadis itu lagi.
"Nah, gitu dong," ucap Dirga. "Kalo gitu aku matiin ya,"
"Jangan! Biar aku yang matiin," balas Chica. Keadaan hening sejenak, tak ada yang berbicara baik Dirga maupun Chica. Namun, perlahan napas gadis itu terdengar berat seolah menahan sesak.
"Halo, Ca? Kamu kenapa, hey?"
"Jangan lupa sama janji kamu sendiri ya, jagoan. Jadi anak baik-baik!" ucap Chica gemetar.
Dirga terdiam. Suara gadis itu terdengar sedih.
"Aku ke sana sekarang, tunggu, ya," ucap Dirga. "Jangan dimatiin telponnya."
Keadaan mendadak hening kembali. Di tengah keheningan itu, Ajay datang membawa segelas teh manis hangat untuk Dirga.
"Jay, gua balik dulu." Dirga bergegas pergi dari kamar Ajay.
"Kenapa, Dir?" tanya Ajay yang heran.
"I love you, jagoan," ucap gadis itu lirih dari balik panggilan telpon, lalu memutuskan sambungan.
Dirga tak merespons ucapan Ajay. Ia berjalan cepat meninggalkan Ajay di kamarnya.
"Woy, Dirga!" seru Ajay.
Namun, Dirga mengabaikannya. Ia berjalan menuju pintu rumah Ajay.
"Makan malem dulu di sini Dirga, temenin Fajar," ucap ibunda Ajay ramah ketika melihat Dirga hendak pergi.
"Makasih, Bu, tapi Dirga ada urusan lagi. Dirga pamit dulu ya, Bu."
"Oh, ya udah kapan-kapan makan di sini, ya."
"Iya, kapan-kapan Dirga ikut makan bareng, Bu" balas Dirga.
Pria itu berjalan ke pintu dan pergi dari rumah Ajay.
Dering ponsel Dirga tiba-tiba berbunyi. Sepintas ia tatap layar ponselnya. Rupanya panggilan itu berasal dari ibunya Chica. Dirga tak bisa mengabaikan panggilan tersebut.
"Halo," ucap Dirga mengangkat telpon.
"Dirga! Chica ...." Ucapan wanita itu terjeda oleh suara tangisnya.
"Chica kenapa, Bu?!" tanya Dirga yang panik.
"Ada suara barang jatuh di kamar Chica, ibu khawatir. Chica enggak ada suaranya. Ibu panggil-panggil, tapi dia enggak nyaut. Pintu kamarnya juga dikunci."
Dirga tak lagi merespons, sebab ponselnya kini tak menempel dengan telinganya. Ia berlari sekencang yang ia bisa dengan raut wajah penuh ketakutan. Mungkin sejak pria pemberani itu dilahirkan, ekspresi tersebut adalah ekspresi tertakutnya.
"Jangan takut. Kalo gua ditahan, lu jalan terus, jangan nengok ke belakang ...," ucap Dirga kala itu yang menjadi tameng untuk Chica.
Dirga memacu kedua kakinya bekerja lebih ekstra melewati batas normalnya.
Chica duduk menemani Dirga yang terlihat kesepian. Gadis itu memberikan sekaleng minuman.
"Enggak takut sama gua?" tanya Dirga.
Chica menggeleng. "Kenapa harus takut? Kamu orang baik."
"Orang baik, ya?" Dirga menunduk menatap kaleng minuman di tangannya. Sesaat wajah Dirga terlihat sendu. "Lu salah nilai orang deh kayaknya. Lu tau enggak gua itu siapa?"
"Dirga Martawangsa. Anak paling terkenal di sekolah karena kenakalannya," jawab Chica.
"See? Anak nakal." Dirga tertawa pilu.
"Itu kata orang," balas gadis itu. "Setiap manusia punya penilaian sendiri terhadap manusia lain. Tadi sore kamu bantu aku yang ketakutan." Ia tersenyum menatap jalanan. "Itu bukan hal yang dilakukan orang jahat."
"Tunggu aku." Dirga terus berlari seolah staminanya tak terbatas. Perlahan air matanya luruh ketika semua ingatan tentang pertemuannya dan Chica muncul begitu saja.
"Hari ini enggak ada anak sekolah lain yang gangguin jalan," ucap Dirga murung.
"Bagus dong! Jadi aman," balas Chica.
"Kamu bisa pulang sendiri ...," lirih Dirga sambil memegangi tali ransel.
"Suka kue rangi?" tanya Chica.
Dirga mengerutkan kening. "Kue rangi?"
"Iya kue rangi," jelasnya, "suka enggak?"
"Suka," jawab Dirga singkat.
"Ayo makan kue rangi. Aku yang traktir. Anggap aja karena kamu udah nolongin aku kemarin dan bikin anak-anak nakal itu hilang nyali nongkrong di sini lagi."
"Enggak usah, aku ...."
Tanpa permisi Chica menarik tangan Dirga. "Ayo, enggak usah merasa enggak enak."
Tangan yang biasanya digunakan untuk memukul itu, kini berpasrah dalam genggaman seorang gadis. Kaki yang biasa menendang lawan, kini tunduk berserah diri mengikuti langkah gadis mungil itu tanpa perlawanan.
Mereka bergandengan hingga memasuki jalan raya. Karena jalur pinggir yang menyempit, Dirga memperlambat langkah dan melangkah di belakang Chica. Ia perhatikan gadis itu dari belakang.
'Ah, aku suka dia'.
Kini kedua langkahnya membawa Dirga sampai di rumah Chica. Tanpa permisi ia masuk dan terus berlari hingga bertemu dengan ibu Chica yang sedang berdiri di depan pintu kamar gadisnya.
"Dirga."
Dirga mengabaikan wanita itu dan langsung menyambar pintu berusaha membukanya, tetapi tak mampu terbuka.
"Chica!" seru Dirga, tetapi tak ada balasan.
"Dirga, tolongin Chica. Ibu takut," gumam wanita di sebelah Dirga dengan nada bicara gemetar.
Tanpa kata, Dirga mengangkat kaki kanannya dan menghempaskannya ke bawah secara cepat hingga menghancurkan gagang pintu. Ia berusaha membuka pintu, tapi belum terbuka. Pria itu mundur beberapa langkah, lalu menerjang ke depan sambil memutar tubuhnya, menendang pintu hingga terbuka lebar.
"Chica!" panggil Dirga.
Pria itu merinding. Ia mendadak diam dengan mata terbelalak ketika melihat pemandangan di hadapannya. Ada sebuah kursi kayu yang tergeletak di lantai.
"Kamu suka banget kue rangi?" tanya Dirga.
"Kalo aku bilang aku beli kue rangi biar bisa basa-basi bareng kamu percaya enggak?"
Dirga terkekeh mendengar ucapan Chica. "Enggak percaya."
"Ya udah kalo enggak percaya." Wajahnya berubah masam.
"Biar apa gitu basa-basi bareng seorang Dirga Martawangsa?" tanya Dirga lagi.
"Entah. Ada waktu di mana aku merasa aman aja bareng kamu. Kayak punya bodyguard."
"Aku bukan bodyguard kamu," balas Dirga.
"I know, bercanda," timpal Chica dengan sedikit tawa.
Keadaan berbalik. Kali ini giliran Dirga yang menatap dalam mata Chica. "Aku malaikat pelindung."
Tepat di depan mata Dirga, Chica terdiam dengan tali yang melingkar di lehernya. Kaki gadis itu kehilangan pijakan yang membuatnya tergantung tanpa pergerakan.
'Malaikat pelindung apanya?'
Meskipun gemetar, Dirga berlari ke arah Chica. Ia benarkan posisi kursi yang terjatuh itu hingga kedua kaki Chica menapak kembali. Dirga naik ke kursi itu dan melepaskan simpul tali yang mengikat leher gadis itu, hingga jasadnya terjatuh di lantai bersamaan dengan dirinya yang berusaha menopang raga Chica.
"Chica ...," panggil Dirga lirih sambil memeluk tubuh pucat tak bernadi itu. "Jangan tinggalin aku. Kamu udah janji, kan?" Air mata itu semakin deras mengalir.
"Selamat tinggal, jagoan ...."
Tepat di hari itu, Chica pergi meninggalkan Dirga untuk selamanya. Lagi-lagi pria itu kehilangan seseorang yang berharga dalam hidupnya. Hingga akhir, Dirga tak menyadari betapa rapuhnya seorang Chica Ramalia. Titik akhir dari kisah cinta pemuda itu, rupanya ditutup oleh sebuah penyesalan yang besar.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top