27 : Sakit
Dirga membuka matanya. Sudah hampir dua hari ia tak sadarkan diri. Kini ia terbaring lemah di kasur rumah sakit. Melihat tak ada seorang pun di sampingnya, rasa sakit itu semakin terasa. Kekalahan, kesepian, kekecewaan, ia tak mampu menggambarkan perasaannya saat ini. Terang saja, ingatan terakhirnya adalah ketika dirinya dihajar habis-habisan oleh orang-orang yang ia duga sudah melecehkan Chica.
Air matanya luruh. Dirga benar-benar kecewa karena tak mampu menyeret pelaku yang telah menodai gadis yang ia cintai. Jujur, Dirga masih menyayangi Chica, ia hanya merasa tak layak berada di samping gadis sebaik itu.
Di tengah kesedihannya, Dirga mencabut selang infus di tangannya, lalu berjalan keluar kamar begitu saja. Ia ditahan oleh perawat, tapi karena keras kepalanya, akhirnya Dirga diizinkan pergi setelah luka akibat tarikan selang infusnya diobati.
Dirga kembali ke Bon Voyage dan tak mendapati Tirta di sana. Sepertinya Tirta pun tak pernah mengunjungi Bon Voyage selama beberapa hari ini. Terlihat dari hawa tempat itu yang agak lembab karena tak merasakan hangatnya hadir manusia.
"Haaaah ...." Suara helaan napasnya merajai kesunyian. Ia berharap setidaknya ada satu orang yang akan datang mendekapnya sambil berkata 'semua baik-baik aja kok' meskipun pada kenyataannya tidak begitu.
Di sana Dirga hanya singgah sejenak untuk mandi, sebelum akhirnya langkahnya kembali menuntun pria itu untuk pergi lagi. Kini kedua kakinya berjalan menuju rumah Chica.
***
Sudah dua hari ini Chica tak masuk sekolah. Ia masih shock dengan apa yang menimpanya, tetapi gadis itu tak menyalakan Dirga karena ia pun tahu bahwa itu bukan kesalahan Dirga.
Kini Dirga sudah berada di rumah Chica. Mereka duduk di kamar berdua dengan kondisi pintu terbuka.
"Kamu udah makan?" tanya Dirga. "Nih, aku bawa kue rangi."
Chica hanya diam sambil melirik kue rangi yang Dirga bawa. Baru dua hari, tetapi perawakannya agak berubah, terutama pada bagian mata. Kini ada kantung hitam yang singgah di bawah matanya. Sepertinya mimpi buruk selalu menghantui Chica hingga ia memilih untuk tidak tidur.
"Ca, makan dulu, ya. Aku suapin mau?"
Chica menggeleng. "Aku enggak laper."
"Kata ibu, kamu belum makan dari semalem. Ayo dong, jangan nyakitin diri sendiri," balas Dirga.
"Kenapa kamu peduli?"
Dirga terdiam, wajahnya terlihat sendu. "Karena aku masih sayang."
"Jangan nyakitin sendiri kata kamu, tapi kamu enggak pernah sadar diri. Sekarang, gimana rasanya liat orang yang kamu sayang terluka?"
Pria itu tak memiliki kata-kata untuk membalas pertanyaan Chica. Ia terdiam beberapa saat, hingga wajahnya berani memandang Chica kembali. "Aku juga terluka." Mata pria itu berkaca-kaca lagi ketika melihat wajah Chica.
"Dirga ...."
Dirga masih memandang Chica. "Ya?"
"Kamu boleh benci sama orang lain, tapi jangan berlebihan," tutur Chica. "Kamu itu manusia, bukan binatang, apa lagi anjing liar. Kalo kamu lagi benci sama seseorang, sewajarnya aja."
Kata-kata Chica membuat Dirga malu. Seharusnya ia berada di posisi sebaliknya. Seharusnya dirinya lah yang menghibur Chica, bukan sebaliknya.
"Makasih udah dateng buat nengokin aku, dan makasih karena masih ada rasa sayang yang tersisa di hati kamu buat aku," lanjut Chica. "Tapi sekarang aku lagi butuh waktu sendiri. Bisa kamu pergi?"
Dirga segera bangkit, tapi bukan untuk pergi. Ia mendekap tubuh gadis itu. "Kalo kamu cuma mau nangis sendirian, aku enggak bisa biarin itu. Aku yang paling bersahabat sama kesendirian. Aku tau kalo saat ini yang kamu butuhkan bukanlah kesendirian, tapi sebuah dekapan. Karena, di saat aku merasa sendirian, aku pun berharap ada seseorang yang datang dan memberikan dekapan untuk sekadar menangis. Keluarin semuanya. Aku di sini."
Perlahan air mata Chica luruh. Gadis itu kembali terisak dan mencengkeram bahu Dirga dengan kencang. Rasa sakit yang ia tumpuk tak dapat lagi terbendung. Mungkin jika bicara perihal luka fisik, waktu mampu menyembuhkannya. Namun, perihal luka batin, terkadang waktu pun tak mampu mengikisnya. Sebab Dirga paham bahwa waktu bukanlah obat, maka ialah yang harus mengambil peran untuk membasuh luka Chica.
"Semua baik-baik aja."
Ia tepuk-tepuk pelan punggung Chica sambil menahan perih yang sama. Namun, Dirga bertahan untuk tidak menangis. Saat ini ia harus terlihat kuat agar Chica bisa leluasa melepaskan semua perihnya.
"Aku janji bakal nangkep pelakunya, tapi enggak dengan kekerasan lagi," ucap Dirga. "Maafin aku, seharusnya aku ada di samping kamu, tapi aku dengan bodohnya memilih hal yang nyakitin diri aku sendiri. Akibatnya ...."
"Jangan nyalahin diri sendiri," celetuk Chica memotong. "Sebab self blaming itu adalah pelecehan emosional tertinggi. Kalo kamu masih suka menyalahkan diri sendiri, akibatnya kamu malah menghambat kemampuan kamu buat berkembang."
"Iya, aku akan berubah, tapi makan dulu ya? Nanti aku suapin."
Chica tersenyum menahan tawa. "Kok jadi tawar-menawar?"
"Biarin. Ya mau, ya?"
"Tapi suapin beneran?"
"Oke, siap!" balas Dirga.
Akhirnya Chica pun bersedia makan dengan syarat Dirga harus menyuapinya, dan Dirga yang menawarkan diri pun senang mendengarnya. Mereka berusaha pulih bersama dan berjanji untuk saling mendukung satu sama lain.
***
Hari silih berganti. Chica perlahan pulih, tetapi banyak hal yang berubah. Gadis itu kini terlihat penyendiri. Psikologinya terguncang akibat berita panas beraroma tak sedap tentangnya. Padahal kejadian pilu itu adalah musibah dan sengaja ditutup-tutupi, tapi entah dari mana kabar tersebut muncul ke permukaan. Kini pandangan-pandangan orang yang menatapnya membuat gadis itu gelisah.
Lambat laun tekanan itu membuatnya tak kuat dan akibatnya gadis teladan itu jadi sering tak masuk sekolah ketika mentalnya tak siap. Ia juga tak pernah lagi ikut bimbingan belajar, padahal sebentar lagi Ujian Nasional akan berlangsung.
"Kamu hari ini enggak masuk lagi, nak?" tanya ibu.
Chica hanya diam terduduk di tepi kasur. Ketika hendak menjawab, mulutnya menggembung dan tiba-tiba ia berlari ke kamar mandi yang ada di kamarnya.
"Hoeeek!"
Ibu menemani sambil mengusap-usap halus pundaknya. "Kamu masih sakit?"
"Chica cuma mual kok, besok juga sembuh," jawab Chica.
"Kalo merasa enggak enak langsung bilang ibu, ya. Ibu khawatir."
Chica mengangguk. "Iya, bu."
Sakit bukanlah sesuatu yang Chica khawatirkan. Kini ia duduk seorang diri di tepi ranjang sambil menatap sebuah benda yang ia beli di apotek. Chica memang membeli benda itu, tapi ia terlalu takut untuk menggunakannya.
***
Di sisi lain Dirga duduk di kelas menatap jendela. Di tengah lamunannya, bel istirahat berbunyi.
"Woy, Dirga."
Dirga menoleh, ditatapnya Tirta yang muncul dari pintu kelas. Rasanya sudah lama sekali ia tak melihat manusia yang satu itu. Sejak Dirga berulah, Tirta lebih sering menetap di rumah pamannya ketimbang Bon Voyage. Tirta masuk semakin dalam ke kelas Dirga sampai berada di depan kembarannya.
"Ini buat lu, dibeliin sama paman biar lu bisa dihubungin. Di dalem situ ada nomor gua sama paman." Tirta meletakkan sebuah ponsel di atas meja Dirga. "Jujur, gua lagi muak liat muka lu, tapi karena ada berita enggak enak tentang Chica, gua tau lu lagi enggak baik-baik aja. Kalo lu butuh apa-apa, lu tau gua di mana."
Setelah memberikan titipan pamannya, Tirta pun beranjak pergi dari kelas Dirga. Namun, sekali lagi, langkahnya terhenti dan separuh menoleh ke belakang. "Oh iya, satu lagi. Koi udah sadar."
Dirga tersenyum penuh getir. "Syukur kalo dia udah siuman."
"Dia mau ketemu sama lu. Kalo lu takut ketemu dia, di Bon Voyage ada satu seragam gua. Nanti lu pake aja terus ngaku-ngaku jadi Tirta di depan orang tuanya."
"Makasih, Tir."
Kini Tirta benar-benar menghilang dari pandangan Dirga.
Dirga benar-benar bersyukur bahwa Koi masih diberi kesempatan hidup. Jika saja Koi tidak selamat, sudah pasti Dirga kembali menyalahlan diri sendiri atas apa yang terjadi.
***
Sore ini Dirga berjalan di koridor rumah sakit dengan seragam milik Tirta. Ia sisir rambutnya agar sedikit terlihat seperti Tirta. Baju seragamnya pun juga ia masukkan agar terlihat rapi.
"Sore, om, tante," sapa Dirga ramah.
Ayah Koi menatap nama pada seragam yang Dirga kenakan.
"Sore, sore, mau jenguk Koirudin, ya? Silakan masuk," ucap pria yang biasanya galak terhadap Dirga tersebut.
Dirga pun permisi dan masuk ke kamar Koi dirawat. Tak perlu waktu lama bagi Koi untuk mengenali siapa Dirga.
"Apa kabar lu?" tanya Koi.
"Kurang baik. Lu sendiri gimana udah baikan?"
Koi terkekeh. "Gua juga kurang baik."
"Ngomong-ngomong, sorry, ya. Gara-gara gua lu jadi diserang anak Batu Arang," ucap Dirga.
Koi memicing. "Gua denger abis gua koma, Adinata langsung selisih sama Batu Arang. Ternyata beneran?"
"Iyalah, gua enggak bisa biarin gitu aja ...."
"Dir, Tirta udah ngomong, kan? Kalo ada yang mau gua omongin ke lu," celetuk Koi memotong ucapan Dirga.
"Iya, emang ada apaan?" tanya Dirga yang penasaran.
"Pertama, gua mau ngasih kabar kalo gua bakalan pindah sekolah."
Dirga terlihat murung. "Serius lu?"
"Gua udah koma kelamaan, Adinata enggak mau naikin kelas. Artinya buat sekolah tanpa ngulang, gua harus pindah. Itu alasan keduanya. Terus, alasan utama kenapa gua pindah itu gara-gara ...." Koi menghentikan bicaranya sejenak. Ia menarik napas, lalu mendekat pada Dirga. "Gara-gara Donay."
Dirga memicing. "Donay? Kenapa dia?"
"Orang yang udah bikin gua mampus bukan SMA Batu Arang, Dir, tapi Donay sama anak basis."
Ucapan Koi membuat Diga terdiam dikeroyok badai pemikiran. "Hah?"
"Buat mancing amarah lu itu harus ada pengobanan. Waktu itu, karena gua deket sama lu, mereka nyerang gua dan mengkambing hitamkan SMA Batu Arang. Terbukti lu maju, kan? Terus gua denger juga dari Tirta kalo Andis, Tama, sama Ajay diserang sama tiga sekolah Raja, kan? Lu pikir deh pake otak, masa timing-nya pas banget? Dari sekian banyak anak di sekolah kita, kenapa mereka bertiga yang notabenya sahabat deket lu? Kenapa bukan anak basis? Padahal mereka biang keladi."
Dirga meneguk ludah. "Lu masih sakit kayaknya, Koi."
"Lu yang sakit, Dir. Ya terserah lu mau terima apa enggak, tapi saran gua satu buat lu. Hati-hati sama Donay, dia itu iblis bermuka banyak," balas Koi.
Ucapan Koi sore ini cukup membuat Dirga terus-menerus menggunakan otaknya untuk berpikir, tetapi rasanya semua ucapan Koi masih terlalu mentah. Saat ini Dirga butuh teman bicara, dan hanya ada Chica dalam pikirannya. Pria itu pun bergegas menjumpai Chica di rumahnya.
***
Begitu tiba di rumah Chica, Dirga disambut oleh orang tuanya. Kedatangannya saat ini memanglah tepat. Pasalnya, dari siang ini Chica belum makan dan mengurung diri di kamar.
"Kamu temenin Chica ya, Nak," ucap ibunda Chica pada Dirga.
Dirga mengangguk. "Iya, Bu. Dirga enggak akan biarin Chica sendirian." Ia pun berjalan menuju kamar Chica.
"Ca." Dirga memanggil dan mengetuk pintu kamar Chica sebanyak tiga kali.
Tak lama berselang, suara kunci pintu yang terbuka pun terdengar. Chica membuka pintu untuk Dirga. Keadaannya makin memprihatinkan.
"Ca, kamu belum makan?"
Chica hanya menggeleng sebagai respons untuk pertanyaan Dirga.
"Makan ya, aku suapin mau?"
"Dirga ... ada yang mau aku kasih tau. Aku enggak tau harus cerita ke siapa, aku takut bilang ke orang tuaku juga.
Dirga tersenyum dan mengusap rambut Chica. "Kenapa?"
"Aku hamil."
Dunia Dirga seakan runtuh ketika mendengar ucapan Chica. Ia merasakan sakit di dadanya, mungkin rasa sakit itu tidak seberapa ketimbang yang Chica rasakan.
"Pe-perasaan kamu doang kali?"
Chica menunjukkan test pack yang ia beli di apotek. "Udah beberapa hari ini aku telat datang bulan, terus juga belakangan ini sering mual. Aku takut Dirga, aku takut. Dan sekarang ketakutan itu jadi kenyataan." Matanya berkaca-kaca dan pecah menjadi bulir air.
Dirga memeluk Chica. "Apa pun yang terjadi aku enggak akan ninggalin kamu. Aku juga siap buat jadi ayah dari anak itu gantiin siapa pun ayahnya. Aku akan tanggung jawab."
Chica terisak sambil memeluk Dirga. "Aku enggak sanggup Dirga, aku enggak sanggup."
"Ca, denger. Kamu selalu kasih semangat buat aku di saat aku butuh, dan saat ini aku pun akan melakukan hal yang sama. Aku enggak akan pernah ninggalin kamu lagi. Kalo emang berat, kita pikul sama-sama, Ca. Aku siap nerima segala resikonya."
"Dirga ... aku malu. Apa kata orang nanti?"
"Ca, ini tuh kecelakaan yang kita semua berharap enggak pernah terjadi. Aku yakin, mereka enggak akan ...."
"Kamu enggak ngerti, Dirga Martawangsa!"
Dirga menghela napas. "Minjem hape kamu sini." Dirga beranjak dan mengambil ponsel milik Chica. Ia memasukkan nomor ponsel barunya ke kontak ponsel Chica. "Kalo butuh apa-apa bilang, ya. Itu aku masukin nomorku. Aku emang enggak ngerti apa yang kamu pikirin dan rasain, tapi seenggaknya aku mau belajar ngerti."
"Janji enggak ninggalin aku lagi?" tanya Chica.
Dirga berusaha tersenyum. "Janji." Ia menghapus air mata Chica.
"Maafin aku ya, Dirga ...," lirih Chica dengan wajah sendu. "Makasih karena masih ada di samping aku."
"Kamu enggak salah, jangan minta maaf. Aku mau nyalahin diriku atas tragedi ini, tapi kamu bilang buat enggak nyalahin diri sendiri, jadi kita mulai semua dari awal lagi, oke?"
Chica pun berusaha tersenyum. "Iya."
"Kalo gitu makan yuk, aku suapin," ucap Dirga.
Chica membalasnya dengan anggukan kepala.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top