24 : Perang Pemikiran

Rambut gimbal itu berada dalam genggaman Dirga yang sedang berjalan menyeret seorang pria. Pria tersebut adalah Darta Danasura, atau yang dikenal Buddha di kancah tawuran Jabodetabek.

Melihat Dirga masih berdiri di akhir, sorak-sorai pasukan Adinata riuh menggemakan suara kemenangan. Tepat beberapa saat lalu, terjadi pertempuran panas antara Dirga dan Darta. Pria berambut gimbal itu memiliki pertahanan yang kokoh dan serangan balik yang berbahaya. Refleksnya juga sangat cepat dalam menghindari setiap serangan yang Dirga lancarkan. Namun, di hadapan prekognisi milik Dirga, Darta bukan masalah besar. Abet masih jauh lebih kuat.

Kini nama SMA Adinata mulai naik di kancah tawuran Jabodetabek. Hal wajar, mengingat Dirga sudah mengalahkan empat Raja, meskipun saat melawan Abet ia tidak benar-benar menang secara harfiah.

Tersisa satu kekuatan lagi di Jakarta Pusat, yaitu SMA Gerhana yang dipimpin oleh Miko. Rumor mengatakan, kekuatan tempur SMA Gerhana sama dengan empat Raja jika bersatu. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri untuk tentara Adinata.

Sayangnya tantangan terberat mereka bukanlah SMA Gerhana, melainkan ambisi Dirga yang pasang surut. Selesai meruntuhkan Utara, Dirga dan bala tentaranya bergerak kembali menuju istana mereka.

***

"Ternyata ada kepingan yang hilang," gumamnya lirih sambil menatap langit. "Bocah itu tipe yang paling aku benci."

Di sisi lain, Uchul sedang duduk di kursi halaman belakang sekolah. Rasanya ada yang mengganjal perasaannya. Sebab kegelisahan itu, siang ini pemuda itu membolos dari kelasnya.

Bukan hal aneh melihat Uchul yang membolos terang-terangan di area sekolah. Tak ada yang berani menegurnya, bahkan kepala sekolah sekali pun. Ia memegang hampir seluruh rahasia siswa, kepala sekolah dan guru. Namun, di antara semua rahasia yang Uchul genggam, Donay sama sekali tak memiliki jejak atau pun aroma. Pemuda itu benar-benar sangat berhati-hati dalam setiap langkah yang ia tapaki.

Waktu seolah bergerak cepat ketika Uchul sedang berpikir dengan otaknya yang karatan. Ia terlalu fokus mencari kepingan yang tertinggal hingga tak sadar bahwa hari mulai sore.

Di tengah lamunannya, seorang pria duduk di sampingnya. Uchul pun melirik sambil menutup hidung.

"Gua kira bau busuk apa, ternyata sampah berjalan," ucapnya.

Donay terkekeh. Ia mengambil sebuah kepingan puzzle dari dalam kantong seragamnya. "Nih, buat lu."

"Gini cara lu ngirim hadiah buat target yang lu incer?" tanya Uchul.

Donay mengerutkan kening. "Maksudnya?"

"Kekeke, belaga bego lagi." Uchul merubah arah duduknya menghadap Donay. Ia menampilkan seringainya. "Lu, kan? Yang beresin Andis, Tama, sama Ajay?"

Mendengar itu Donay terkekeh. "Buat apa gua ngelakuin hal yang ribet begitu? Toh lagi pula mereka kan anak satu sekolah. Semua yang ada di dalem sini itu sekutu."

"Buat ngendaliin Dirga," jawab Uchul. "Dirga itu enggak punya ambisi buat perang, kecuali balas dendam."

Kekehan itu pudar menjadi senyum tipis. "Enggak. Itu murni kecelakaan yang kebetulan sejalan sama apa yang gua mau aja sih. Emangnya lu punya bukti kalo gua yang beresin temen-temen lu?"

Uchul terdiam, ia tak memiliki bukti secara langsung. Seketika itu, seringai di wajahnya hilang berganti tampang serius. Ia tak menduga bahwa musuhnya akan mendatanginya duluan untuk menyapa. Ditatapnya area sekitar, Donay tak mungkin hanya datang sendirian.

Donay memperhatikan mimik wajah Uchul. "Lu nyari apaan?"

"Mana basis lu?"

"Gua cuma mau ngasih pesan doang, enggak lebih kok." Donay beranjak dari duduknya, lalu berjalan mundur masih menghadap Uchul. "Hati-hati lu."

"Lu juga," balas Uchul.

Seperginya Donay, Uchul beranjak dari duduknya. Ia berjalan menuju rumah sakit karena khawatir dengan Tirta.

***

Tirta termenung di ruang tunggu rumah sakit. Awalnya orang tua Koi, terutama ayahnya tak mengizinkan Tirta untuk menjenguk karena salah kaprah menganggapnya Dirga. Namun, setelah dijelaskan, lambat laun ayah Koirudin pun mengerti dan mengizinkannya.

Sudah hampir satu bulan Tirta menjenguk Koi yang belum juga sadar, dan beberapa hari di antaranya ia menemukan Donay berkeliaran di rumah sakit. Namun, beberapa hari terakhir kehadiran Donay semakin intens dan membuat Tirta resah. Pria licik itu seperti menyembunyikan sesuatu. Donay terlihat memiliki rencana yang berhubungan dengan Koi.

Tak jarang Tirta berjalan ke arah Donay untuk berpura-pura lewat. Anehnya, setiap mereka berpapasan, Donay tak pernah mengeluarkan isi pikirannya. Ia seperti Dirga saat berada di dekat Tirta yang sangat berhati-hati.

'Apa dia tau soal kemampuan gua?' Batin Tirta. 'Enggak mungkin, kan? Dirga enggak mungkin ngasih tau soal kemampuan gua, kan? Kita udah sepakat buat rahasiain ini, kecuali dari orang-orang terdekat kita.'

Di balik semua pemikirannya, Tirta mengkhawatirkan Uchul. Mungkin Donay punya rencana untuk menjatuhkan pria bermata satu itu. Kehadiran Donay yang tak muncul di rumah sakit membuat Tirta semakin ditelan resah.

"Lu pasti mikirin gua, kan?" tanya Uchul yang tiba-tiba muncul dan duduk di sebelah Tirta.

Tirta menatapnya heran. "Lu ngapain di sini?"

"Gua berpikir, lu yang bakal diabisin, jadi gua dateng buat mastiin," jawab Uchul.

"Dia enggak di sini," balas Tirta. Sejenak ia mengambil napas. "Apa Donay udah selesai?"

Uchul tampak sedang memikirkan jawabannya. "Enggak mungkin. Tinggal satu langkah lagi buat nguasain semua distrik di Jakarta. Enggak mungkin dia berhenti."

"Tapi ada kemungkinan dia rehat sebentar. Dirga butuh waktu buat pulih. Udah tiga hari mereka bergerak ekspansi ke Barat, Timur, sama Utara, kan? Enggak mungkin dalam waktu dekat ini mereka maju lagi. Pasti ada fase di mana mereka berhenti buat rehat."

"Ya, bisa jadi. Kita enggak tau kapan dia mulai bergerak lagi. Selagi ada waktu meskipun sedikit, kita harus matahin apa pun rencananya," balas Uchul.

Tirta memberikan tinjunya untuk sebuah tos, lalu Uchul menyambutnya dengan tinju miliknya.

"Demi Mantra," tutur Tirta.

"Demi Mantra," balas Uchul.

***

Warung depan sekolah.

Pikray menunjuk kepalanya. "Pemikiran gua ya. Lu punya Dirga, lu menang."

"Tapi buat gua enggak, Nyet," balas Babay. "Ibaratnya nih, lu punya pimpinan yang enggak punya ambisi, lawan musuh yang berambisi ...."

"Bisa jadi kita menang, soal Panglima lawan Panglima," celetuk Pikray.

"Masalahnya, buat nyerang satu sekolah, kita harus numbalin anak Mantra. Sekarang sisa dua, siapa target kita selanjutnya?" tanya Babay.

Saat ini basis tongkrongan sedang berkumpul mengadakan rapat tanpa kehadiran Dirga. Rapat itu dipimpin oleh Donay yang merupakan otak dari segala penyerangan selama tiga hari terakhir.

"Tirta sama Uchul pasti berpikir kalo selanjutnya adalah mereka, tapi sayangnya mereka berdua enggak masuk ke dalam list target yang gua buat," ucap Donay.

Babay memicing. "Kenapa gitu? Lu takut?"

Donay menghela napas. "Gua tanya deh, emang ada yang berani ngusik si Tomo?"

Semua diam tanpa jawaban. Tak ada yang berani menyentuh Uchul. Jangankan mereka, Dirga pun segan pada monster yang satu itu.

"Kalo Tirta gimana?" tanya Pikray.

Donay menggeleng. "Enggak bisa. Gua merasa Tirta itu bisa baca isi pikiran orang lain. Dia itu kayak orang yang tau semua rencana musuhnya, jadi kita harus menghindari dia. Jangan coba-coba berurusan sama Tirta. Toh, kalo pun ada benturan, dia juga kuat. Mungkin setara Dirga. Ada yang sanggup nanganin Dirga?"

Lagi-lagi semua terdiam diiringi gelengan tipis.

"Terus apa rencana lu sekarang?" tanya Babay.

"Sekarang Tirta sama Uchul pasti sadar apa yang terjadi. Itu semua udah masuk skema yang gua rancang, tapi percuma sadar sekarang. Udah terlalu terlambat. Mereka pasti lagi hati-hati sama serangan dadakan, tapi sayangnya apa yang mereka waspadai itu enggak akan pernah terjadi."

Semua masih diam menunggu ilham dari Donay.

"Uchul sama Tirta pasti berpikir kalo kita lagi istirahat buat langkah selanjutnya, tapi sayangnya mereka salah lagi. Kita enggak punya waktu buat santai, mumpung lagi megang momentum, kita gas terus," lanjut Donay.

"Lu berhasil mancing Dirga pake tiga temennya. Sekarang sisa dua, kan? Terus gimana? Lu belum jawab," sahut Babay.

"Andis itu pure kecelakaan, enggak ada campur tangan gua, tapi gua merasa itu sebuah pertanda. Dari sana gua dapet semua rencana ini. Sengaja gua targetin Ajay sama Tama duluan, karena Tirta sama Uchul lebih ngerepotin buat dilawan. Saat mereka berdua sadar bahwa bahaya mengancam, di situlah plot twist-nya. Target buat jatohin Miko dari singgasananya bukan Tirta atau pun Uchul."

"Terus siapa?" tanya Babay.

"Orang yang paling ngeselin dari semua obstacle," jawab Donay menyeringai. "Ah—gua udah enggak sabar buat yang satu ini."

Semua merinding melihat ekspresi Donay sore itu.

Donay pun membeberkan rencananya sambil terbahak-bahak. Namun, ekspresi teman-temannya tak berkata demikian. Tak ada yang lucu dari rencana terakhir itu. Malahan, semua mata terbelalak.

"Serius lu?" tanya Babay sambil sesekali meneguk ludah.

Donay menatap jam tangannya. "Iya, sebentar lagi operasi ekspansi terakhir dimulai. Malam ini juga kita abisin SMA Gerhana. Semua paham tugas masing-masing, kan?"

Semua berkeringat dingin, tetapi tetap mengangguk paham.

"Kalo gitu, bergerak!" seru Donay.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top