22 : Berburu Anjing

Dirga berlari di lorong rumah sakit dengan napas terengah-engah, hingga pada satu titik, ia menatap teman-temannya yang sedang menunggu di luar ruangan.

"Gimana kondisi Andis?" tanya Dirga.

Tirta mengepal tangannya. Ia hendak menyerang Dirga, tapi Uchul menahan pria itu. "Enggak akan nyelesain masalah, Tir," ucap Uchul.

"Ini nih, akibatnya kalo main api!" ucap Tirta dengan nada tinggi. "Mungkin bukan lu yang kebakar, bisa jadi itu orang lain. Bisa jadi itu Andis!"

Dirga terdiam. Ucapan Tirta menamparnya hingga kehilangan kata-kata.

Tirta menatap wajah Dirga yang babak belur. "Kenapa lagi muka lu? Abis dihajar siapa lagi lu?" Ia terkekeh. "Bisa jadi besok bukan lu yang babak belur, bisa jadi itu gua, Tama, Ajay ...."

"Gua sih enggak kekeke," celetuk Uchul.

Di tengah ketegangan itu, Dokter bedah keluar dari ruang operasi. Abah Andis yang sedari tadi diam, akhirnya bangkit. "Gimana keadaan anak saya, Dok?"

Dokter menghela napas. "Alhamdulillah operasinya berjalan lancar. Putra bapak akan segera lekas pulih, tapi ...."

"Tapi apa, Dok?"

"Dia mengalami gagar otak ringan. Kemungkinan ada beberapa memori yang hilang dari ingatannya. Mengingat, anak bapak mengalami benturan keras di kepala bagian belakang."

Tirta kembali menatap Dirga sambil menggeleng kecewa, lalu ia pergi begitu saja meninggalkan rekan-rekannya. Melihat Tirta yang pergi, Tama dan Ajay ikut berdiri dan pergi.

Abah berjalan menghampiri Dirga, lalu menepuk pundaknya yang terlihat rapuh. "Bukan salah kamu. Bukan salah siapa-siapa. Semua udah diatur sama yang di atas. Jangan salahkan diri kamu ya."

Dirga memejamkan mata. Perlahan ia keluarkan semua sesak di dadanya menjadi bulir air mata.

'Bah, kalo suatu saat Dirga butuh nasehat, tolong nasehatin dia ya. Dirga enggak punya siapa-siapa kecuali Andis sama temen-temen. Dari kecil dia udah enggak punya keluarga. Seenggakanya, kalo dia keliatan sedih, tolong jadi Ayah buat Dirga juga, ya. Dia itu keluarga Andis juga.'

Abah tersenyum mengingat kata-kata yang pernah Andis ucapkan. Pria itu memeluk Dirga seperti anaknya sendiri. "Enggak apa-apa anak cowok nangis. Kalo emang sakit, kamu keluarin aja semua lewat air mata. Nanti abis nangis jadi lebih kuat lagi, ya."

Uchul masih berada di depan ruangan, menatap momen haru itu. Ia belum ingin pergi seperti yang lain. Bahkan sampai Dirga pergi, ia masih di sana menunggu Andis yang entah kapan akan tersadar.

***

Keesokan harinya, Dirga mampir ke warung depan sekolah. Ia duduk di sofa yang dahulu menjadi singgasananya.

"Wih, liat nih siapa yang nongol," ucap Pikray sembari menyematkan senyum.

Bukan hanya Dirga. Sore ini Donay juga ikut berkumpul di sana. Sudah lama mereka tak kumpul dengan formasi lengkap. Dirga, Donay, Pikray, Agoy, Babay, Metkul, dan Junbao, tak lupa dengan Ratu mereka, Vivi.

"Gua denger-denger, kemaren si Andis diserang anak-anak Dog Boy," ucap Metkul.

"Bajingan! Belkur emang cari gara-gara sama kita." Babay merasa kesal, tapi ia tak punya kuasa untuk memberi komando.

Keadaan hening seketika. Tak ada yang berani membuka obrolan ketika wajah Dirga terlihat gusar.

"Lu bakal diem aja, Dir?" tanya Donay. Semua mata menatap Sang Jendral. "Diem, atau nyerang?"

"Enggak dua-duanya," jawab Dirga.

Semua kecewa mendengar jawaban Dirga. Mereka semua sangat ingin menghajar Belkur yang kerap meresahkan anak-anak Adinata.

"Kita enggak akan nyerang, apa lagi diem," sambung Dirga.

Babay memicing. "Terus?"

"Waktunya berburu anjing." Dirga bangkit dari duduknya. "Kumpulin anak-anak, tapi jangan keliatan ngumpul. Kita jalan terpisah, sisir wilayah Barat. Hajar setiap anak-anak Belkur yang ada di jalan, tapi jangan libatin anak-anak yang enggak bersalah. Inget, kita berburu anjing."

"Setiap orang yang pake jaket Dog Boy, ya?" sambung Donay menyeringai. "Oke. Berangkat."

Mereka semua berpencar mengumpulkan masa. Sementara itu, Dirga, Donay, dan Babay berjalan bersama menuju sarang anjing. Kedua orang itu tak berani bicara. Wajah Dirga sore ini benar-benar terlihat gusar.

***

Di tengah area pemakaman, Kilog dan beberapa anggota Dog Boy sedang duduk sambil bermain kartu. Memang sebuah markas yang agak berbeda dari tongkrongan lain. Seorang pemuda behoodie Dog Boy berlari dari arah depan. Ia terseok-seok dan jatuh di hadapan Kilog.

"Kenapa lu?" tanya Jonathan santai.

"Ki-kita diserang," jawabnya.

"Sama siapa?"

"Dirga."

Kilog bangkit dari duduknya. "Mereka jual, kita beli. Jangan kasih ampun." Ia dan pasukannya berjalan menuju jalan utama.

Baru saja keluar dari area pemakaman, serbuan batu menghujani pasukan Dog Boy. Kilog dan pasukannya lari berpencar menghindari batu-batu yang mengudara tersebut.

Begitu mereka berpencar, pasukan Adinata langsung berlari mengejar mereka semua. Dari kejauhan Kilog menemukan kehadiran Dirga yang sedang berdiri memandangnya penuh amarah.

"Lu marah gara-gara temen bertopi lu gua hajar?" tanya Kilog.

Dirga mengepal tangannya. Ia berlari kencang ke arah Kilog. "ANJING!"

Kilog tertawa gila. Ia pun berlari menerjang Dirga. Kedua Jendral itu saling bertukar pukulan. Untuk sesaat seluruh atensi teralihkan pada pertarungan mereka. Dirga Martawangsa melawan Jonathan Noel Kusuma.

Kilog merupakan tipikal petarung yang mengandalkan kecepatan. Biasanya ia menyerang bertub-tubi tanpa memberikan waktu bernapas untuk lawannya, tetapi kali ini ia yang tak memiliki waktu bernapas.

'Ini orang gerakannya juga cepet.' Batin Kilog sambil terus bergerak mencari celah.

Pada satu titik, Dirga menginjak kakinya sehingga ia tak mampu ke mana-mana. "Jangan lari-larian, nanti makin mirip anjing," tutur Dirga. Ia melepaskan pukulan pada wajah Kilog.

'Gua enggak akan kalah lagi.' Batin Dirga.

Seorang anggota Dog Boy hendak menghajar Dirga dari belakang dengan sebongkah balok kayu, tetapi tiba-tiba seorang pria berjaket merah muncul dan menangkap kayu balok yang menjadi senjatanya.

"Apa kayu ini yang dipake buat mukul Andis?" ujarnya. Pria itu terlihat marah dengan satu mata yang tertutup penutup mata berwarna putih. "Jawab." Lututnya menghantam ulu hati lawannya. "Jawab, anjing!" Uchul tak memberikan ampun pada orang itu.

Dirga menoleh ke arah Uchul. Jarang-jarang pria berjaket merah itu ikut membantunya. Mungkin alasannya ikut kali ini adalah Andis.

"Yah, kalo dia udah turun tangan, kemenangan Adinata udah pasti sih," ucap Dirga.

Meskipun sudah babak belur dihajar Dirga, Kilog masih bisa menyeringai. Ia menarik kerah seragam Dirga, lalu memukul pelipis Dirga hingga sobek dan berdarah.

Dirga agak terkejut. Ia pikir, Kilog sudah tak mampu melakukan serangan lagi. Namun, tak banyak yang tahu bahwa hal yang paling mengerikan dari Kilog bukanlah kecepatannya. Melainkan kegilaannya pada pertempuran. Kini pria itu terkekeh seolah tak menerima luka apa pun. Semakin ia terluka, semakin pergerakannya tak terbaca. Ia seperti seekor anjing gila yang liar. Semakin dipukul, semakin tertawa.

"kita mulai dari nol, ya ...," gumam Kilog diiringi seringai.

Untuk sesaat, Dirga dibuat merinding, tapi sebelum rasa takut itu menjulur semakin dalam, ia maju kembali.

Namun, kali ini matanya terbelalak ketika hidungnya terkena pukulan Jonathan yang sangat cepat dan hampir tak terlihat.

Melihat darah yang keluar dari hidung Dirga, Jonathan menjilat bibir bagian atasnya.

"Mau bertukar, kawan? Kekeke," tanya Uchul yang sudah beres dengan urusannya. Ia sudah menumbangkan enam orang seorang diri dan duduk di atas tumpukan tubuh korbannya.

Dirga tak menjawab. Jika boleh jujur, ketimbang lawan-lawannya di Kandang Anjing, Kilog jauh lebih kuat. Namun, jika disandingkan dengan Abet sebagai sesama Raja, ia masih jauh di bawah level Abet.

Meskipun masih di bawah level Abet, tapi Dirga merasakan tekanan misterius dari pria itu. Pada satu titik, Kilog bergerak cepat ke kiri. Begitu Dirga hendak mengantisipasinya, rupanya tak ada apa pun di sisi kiri. Pergerakan Kilog mengecohnya. Sesaat sebelum melesat, Kilog merubah arah kakinya dan berlari ke kanan. Ia memukul rusuk kiri Dirga.

Dirga memuntahkan darah segar dari mulutnya. Namun, ia menangkap tangan Kilog agar pria itu tak bisa bergerak leluasa. Kilog hendak berlari untuk melepaskan diri, tapi rupanya cengkeraman Dirga tak selemah yang ia kira.

"Udah gua bilang, kan ... jangan lari-larian," ucap Dirga. Ia menghajar rusuk kiri Jonathan sebagai balasan, lalu menghantam perutnya dengan lutut.

Kilog kesakitan, tapi ia masih bisa menyerang balik. Di tengah lukanya, ia mampu mendaratkan pukulan di wajah Dirga, tetapi cengkeraman Dirga belum juga lepas. Kilog memutar tubuhnya dan menendang kembali rusuk kiri Dirga, tapi kali ini Dirga menangkap kakinya.

Dirga menendang satu kaki Kilog yang menjadi tumpuan hingga terjatuh. Tak menyiakan peluang, Dirga langsung menekan perut Kilog dengan lututnya, lalu menghajar wajahnya bertubi-tubi.

"Bangsat!" Ia bertahan dengan kedua tangan. Namun, kedua tangan itu menyingkir karena satu tangan Dirga mencengkeramnya.

'Oi, oi! Ini orang tenaganya enggak wajar.' Batin Kilog.

Dirga memandang datar ke arah Kilog, lalu lanjut menghajarnya dengan satu tangan. Darah bercucuran di tanah. Pukulan itu berhenti ketika Uchul menahannya. Dirga menoleh. Uchul menggeleng, seolah berkata sudah cukup. Ditatapnya lagi wajah Jonathan yang bersimbah darah. Ia sudah kehilangan sadarnya.

"Kalo lu lanjutin lebih dari ini, dia bisa beneran mati," ucap Uchul. "Andis enggak mati. Jadi kalo lu bunuh dia, itu enggak adil."

Dirga melepaskan Kilog dan bangkit. Ia menatap perkelahian yang masih berlanjut antara pasukan Adinata dan Belkur.

"PERTEMPURAN SELESAI!" teriak Dirga. "JENDRAL DOG BOY UDAH TUMBANG!"

Seluruh anggota Belkur mendadak lemas ketika menatap pimpinan mereka terkapar berlumuran darah.

Dirga dan pasukan Adinata segera membubarkan diri sebelum suara sirine polisi memenuhi area itu. Mereka kembali ke warung depan sekolah.

***

Warung depan Adinata.

"Barat udah kalah," ucap Babay dengan wajah sumringah. "Selatan juga udah pernah kita kalahin. Dirga menang lawan Abet." Kini ia menatap Dirga. "Sisanya tinggal Timur, Utara, sama Central."

Dirga diam seolah tak peduli dengan itu semua. Ya, memang ia tak memiliki ambisi seperti menguasai wilayah Jakarta. Ia bertempur hanya karena ambisi dendamnya ketika ada seseorang yang terluka.

"Di Timur ada Mantoy dari SMK Angin Ribut. Sementara di sisi Utara, ada Buddha dari SMA Dewa Langit. Dua orang ini punya dua sisi yang berlawanan. Mantoy disebut Raja yang paling kuat daya serangnya, sementara Buddha memiliki pertahan paling kokoh," jelas Donay. "Sekilas Mantoy ini mirip sama Kilog sifatnya, tapi sebetulnya sangat berbeda."

"Bedanya?" tanya Babay.

"Sama-sama agresif, tapi Kilog lebih licik. Kalo dia bilang satu lawan satu, bisa jadi enggak begitu, tapi kalo Mantoy itu tipikal yang sukanya satu lawan satu antar Panglima, kayak Dirga," jawab Donay. "Kayak Mantoy sama Buddha, Kilog sama Abet itu juga berlawanan. Kalo Kilog dikenal Raja paling agresif, Abet disebut Raja yang paling tenang. Setiap sisi pasti berlawanan."

"Terus kalo Central?" tanya Pikray.

"Jatmiko," jawab Donay. "Apa perlu gua jelasin yang satu ini?"

Mendengar nama Miko membuat semua bergidik ngeri. Tak ada yang tak mengenal nama Jatmiko di kancah tawuran Ibu Kota.

"Gua enggak mau terlibat lagi. Udah cukup, ini yang terakhir," ucap Dirga. Ia beranjak dari duduknya, lalu hendak berjalan pergi.

"Lu kenapa sih?" tanya Babay.

Donay menggeleng. "Udah, Bay. Biarin Dirga sendiri."

Dirga berjalan meninggalkan tongkrongan.

Di sisi lain Donay tersenyum begitu Dirga pergi. "Kita enggak perlu memohon sama dia buat majuin musuh, biar dia sendiri yang merintah kita buat maju."

"Gimana caranya? Dia itu enggak punya ambisi, Nay!" seru Babay dengan nada gusar.

Donay menyeringai. "Gua udah tau caranya ngendaliin Dirga."

Semua meneguk ludah mendengar ucapan Donay. Salah satu yang mereka takutkan dari Donay adalah segala ide gilanya.

Babay memicing. "Gimana caranya?"

"Lima Raja, lima Mantra," ucap Donay. "Andis tumbang, Kilog tumbang."

Babay terbelalak ketika sadar apa yamg Donay rencanakan. Semua di luar nalarnya. Rencana gila Donay membuatnya merinding. "Jangan bilang ...."

Donay terkekeh. "Jadi siapa tumbal selanjutnya?"

.

.

.

TBC






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top