20 : Berakhir

Hari ini Dirga dan Chica pergi ke Mall, mereka sedang bermain di game zone.

"Kalo kamu bisa ngalahin skor basket aku, nanti aku ambilin boneka," ucap Dirga.

"Bener, ya?"

"Iye."

Chica memasukan koin ke dalam mesin, lalu beberapa bola basket pun menggelinding ke arahnya. Gadis itu melempar bola ke ring dengan harapan mengalahkan rekor yang Dirga buat.

"Semangat," ucap Dirga.

Chica tersenyum. "Baru kali ini disemangatin lawan taruhan."

Dirga terkekeh tipis. "Bukan taruhan sih. Kamu menang atau kalah pun, aku tetep ambilin boneka kok."

Ya, pada akhirnya Chica tak mampu menandingi skor yang Dirga buat. Namun, Dirga tetap berusaha mengambilkannya boneka hingga pemuda itu benar-benar berhasil.

"Yeeei! Terimakasih, jagoan!" ucap Chica memeluk boneka barunya.

"Seneng?" tanya Dirga.

Chica tersenyum. "Banget!"

Dirga pun ikut tersenyum. "Aku ikutan seneng."

Mesin boneka bukanlah sesuatu yang bisa dimenangkan begitu saja. Dirga hanya melihat sedikit masa depan dan melihat keberuntungan, jadi ia gunakan kemampuannya demi satu boneka itu.

Koin mereka masih tersisa sedikit, tetapi Dirga dan Chica sudah terlalu lelah untuk bermain.

"Koin penghabisannya kita buat itu yuk." Chica menunjuk mesin foto box.

"Aku enggak bisa foto," ucap Dirga.

"Tapi kita belum punya foto berdua, gimana dong?" Wajah Chica mendadak murung.

Dirga menghela napas, ia tak sanggup melihat wajah murung gadisnya. "Oke, oke. Ayo kita foto."

"Yeei!" Chica menggandeng tangan Dirga. "Sini, sini!"

Dirga pasrah mengikuti gadisnya memasuki tempat foto.

"Jangan kaku-kaku, ya!"

"Oke, aku usahain, tapi enggak janji," balas Dirga.

Dirga berkata seolah-olah ia adalah seorang Tama yang pendiam dan tak memiliki ekspresi, tapi nyatanya dalam foto itu ia terlihat bahagia dan tidak kaku seperti orang yang tidak suka difoto.

***

Selesai main, Dirga mengantar Chica pulang mengendarai motor gadis itu. Dirga sudah lihai mengendarai motor sekarang.

"Aku pulang dulu, ya. Sampe ketemu besok di sekolah," ucap Dirga yang baru saja turun setelah memarkirkan motor Chica di halaman rumahnya.

Chica tersenyum sambil memeluk bonekanya. "Belajar ya, besok udah mulai ujian."

"Oke."

Gadis itu menatap tangan Dirga, ia baru menyadari bahwa pemuda itu tak mengenakan gelang yang ia berikan.

"Gelang perdamaian mana?" tanya Chica.

Dirga ikut menatap pergelangan tangannya. "Oh, ketinggalan di Bon Voyage."

"Jangan lupa dipake!"

Pemuda itu terkekeh. "Iya, nanti pulang aku pake lagi. Tadi kelupaan gara-gara buru-buru."

Chica menatap langit mendung. "Ya udah, hati-hati di jalan. Kalo nanti hujan di tengah jalan, neduh dulu, ya."

"Oke." Dirga berjalan pergi meninggalkan Chica di teras rumahnya.

Sebenarnya Dirga tidak benar-benar pulang, hari ini merupakan hari yang krusial. Sebab final battle royale akan di selenggarakan sore ini. Siapa pun yang menang akan mengukir sejarah baru di Kandang Anjing.

Pemuda itu menatap langit mendung. Perasaannya agak kurang baik saat itu. Ia hendak menggunakan prekognisi untuk mengintip sekilas masa depan, tapi terkadang kemampuan itu enggan keluar mengikuti keinginannya.

Hampir dua puluh menit berlalu, Dirga akhirnya tiba di Kandang Anjing. Saat sedang duduk beristirahat di depan bar, tiba-tiba seorang pria duduk di sampingnya.

"Kira-kira siapa yang menang nanti?" tanyanya dengan suara berat.

Dirga menoleh. Ia terbelalak menatap sosok Abet di sana. Pria bertato itu sedang duduk sambil membawa botol minuman keras.

"Lu ngapain di sini?!" Dirga sontak bangkit dengan waspada.

"Santai, ini wilayah netral. Kalo ada yang ribut di sini pasti bakal mampus," balas Abet. "Gua cuma penikmat perang yang kebetulan tertarik masang taruhan, tapi ternyata gacokan gua enggak main di sini. Sekarang gua bingung harus nge-bet siapa yang menang."

"Siapa yang lu cari?" tanya Dirga. Ia sudah agak tenang dan duduk kembali.

"Jatmiko," jawab Abet.

"Ah, orang itu. Gua pernah denger namanya."

Abet tertawa mendengar ucapan Dirga. "Pernah denger, ya?"

Dirga mengerutkan kening. "Kenapa?"

"Di Jakarta ini ada lima Raja yang ngewakilin lima region," celetuk Donay yang ikut bergabung dengan Dirga dan Abet. "Abet dari Selatan, Kilog dari Barat, Mantoy dari Timur, Buddha dari Utara." Ia menghentikan ucapannya sejenak. "Terakhir Miko dari Pusat. Bisa dibilang dia ini King of the King."

"Sekuat itukah si Miko?" tanya Dirga.

"Tanya aja cowok di sebelah lu. Kalo bukan karena mau liat Miko tarung, mana mungkin dia ada di sini," jawab Donay.

Abet menghisap rokok, lalu membuang asapnya. "Sialnya, si berengsek Jatmiko itu enggak ada di sini. Dia enggak ikut partisipasi di event kali ini."

"Terus lu mau pulang? Apa lanjut taruhan?" tanya Dirga.

"Karena udah kepalang tanggung sampe sini, gua enggak bisa pulang gitu aja."

"Lu pasang di siapa?" tanyanya lagi.

Abet menyeringai. "Udah jelas, kan?"

Dirga terkekeh. "Sial, makin berat aja punggung gua."

"Enggak banyak orang yang bisa ngalahin gua," lanjut Abet.

"Sayangnya gua enggak pernah menang dari lu. Kalo bukan karena handicap lu waktu itu, gua pasti udah kalah. Cuma karena gua bisa ngasih lu luka aja."

Abet tertawa. "Oke, gua ralat kalimat gua. Enggak banyak orang yang bisa ngasih gua luka."

Di tengah percakapan itu, tiba-tiba dari arah depan terdengar riuh siulan.

"Cewek."

"Bisa kali."

"Sini dong."

Suara pria yang menggoda wanita terdengar jelas di telinga Dirga, tapi ia tak peduli. Ada banyak mata keranjang di tempat ini. Meskipun jarang terlihat, tetapi ada juga beberapa penjudi wanita di tempat ini. Hanya saja ... mereka tak pernah digoda karena memiliki back up yang kuat.

Dirga menoleh dan terdiam dengan mata terbelalak ketika melihat Chica di Kandang Anjing. Rupanya para bajingan itu sedang menggoda gadisnya.

Seorang pria menghampiri Chica. "Main sama aku, yuk?"

Chica terlihat takut. Kalau bukan karena Dirga, ia tak akan sudi berada di tempat yang bau rokok dan alkohol itu.

"Jangan sentuh cewek gua!" bentak Dirga. Ia berjalan menghampiri Chica.

Sontak para pria di sana enggan mendekati Chica begitu tau bahwa gadis itu adalah milik Dirga, si anak ajaib.

Dirga menggandeng Chica dan menuntunnya kembali ke atas. "Kamu ngapain di sini?" tanya Dirga, tapi Chica diam seribu bahasa. Pemuda itu terus menggandeng Chica hingga mereka berada di gang sempit yang menghubungkan dunia bawah dan kota.

"Kamu ngapain sih di situ?" tanya Dirga lagi.

"Aku yang harusnya nanya ... kamu ngapain di tempat itu?" balas Chica.

Dirga menghentikan langkahnya, lalu memutar arah menatap Chica. Ia tak memiliki kata-kata untuk di sampaikan.

"Perasaanku enggak enak. Aku ngikutin kamu karena khawatir, tapi bukannya pulang ke rumah, kamu malah pergi ke tempat ini? Ternyata perasaan enggak enakku enggak salah. Aku pun tahu, kalo waktu itu aku juga enggak salah. Orang yang keluar dari gang ini tuh—kamu, kan?"

Dirga menghela napas. Ia merasa sebuah pistol sedang menodong kepalanya. Tak ada gunanya menghindar.

"Ya, itu aku."

Mata gadis itu berkaca-kaca. "Kamu udah janji, kan? Kamu udah janji enggak berantem lagi?" Gadis itu menatap pergelangan tangan Dirga. "Gelang perdamaian mana?"

"Setelah aku pikir-pikir, ternyata aku enggak bisa lari dari pertempuran," balas Dirga. "Cuma di sini aku merasa aku bisa bikin orang lain seneng dan bangga."

"Seneng?" tanya Chica. "Seneng liat orang pukul-pukulan? Bangga? Siapa yang bangga? Penjudi yang menang taruhan? Bangga sama kamu, atau sama hasil judi mereka?"

"Kamu enggak akan ngerti, Ca."

"Aku berusaha ngerti."

Dirga tertawa miris. "Kamu punya segalanya yang aku enggak punya, kamu enggak akan ngerti."

"Kamu tau enggak sih, kalo yang kamu lakuin itu salah, Dir?"

"Dari mana patokan salah dan benernya? Dalam setiap masalah akan selalu ada tiga sudut pandang tentang kebenaran. Pertama dari sudut pandang aku, kedua dari sudut pandang kamu, dan ketiga kebenaran dari sudut pandang kebenaran itu sendiri."

"Dir, kamu udah udah dewasa. Kamu harus bisa bedain antara kebenaran dan pembenaran," balas Chica.

Hujan mulai turun perlahan. Dirga kembali menghela napas dan menggandeng tangan Chica kembali. "Ayo, aku anter pulang."

Namun, Chica melepaskan tangan itu. "Terus apa?! Balik lagi ke sini?"

"Kali ini aja, ngertiin aku. Setelah ini, aku selesai sama Kandang Anjing."

Air mata Chica mulai berjatuhan seperti rintik hujan sore ini. "Ngertiin apa kalo kamu terus bohongin aku, Dir?"

"Kenapa kamu ngelarang aku berantem?" tanya Dirga.

"Aku enggak mau kamu terluka, Dirga Martawangsa!"

"Selama ini aku enggak pernah ketauan karena aku enggak pernah pulang dalam kondisi terluka," balas Dirga. "Apa yang kamu takutin? Aku enggak selemah yang kamu kira, jangan remehin aku."

"Dirga Martawangsa ...." Kini gadis itu berbicara sambil terisak. "Kamu mungkin enggak terluka, tapi gimana orang yang kamu pukulin? Di luar sana ... mungkin di rumah-rumah mereka, ada yang nunggu mereka pulang dengan harapan mereka baik-baik aja, tapi apa? Kamu buat mereka babak belur!"

"Seenggaknya ada yang nunggu mereka di rumah!" bentak Dirga. "Kamu liat aku, liat aku baik-baik, Chica Ramalia. Apa ada orang yang nunggu aku di rumah dengan harapan aku baik-baik aja? Jangankan orang ... rumah aja aku enggak punya! Aku enggak punya tempat pulang semenjak ibuku dibunuh! Sejak saat itu, enggak ada satu hari pun yang aku lewati dengan baik-baik aja! Aku cuma berusaha nutupin semua lara itu dengan cara apa pun. Seneng-seneng sana-sini, berantem, nongkrong, main, apa pun itu yang buat aku lupa sama sakit yang aku rasain! Tapi setelah itu apa? Aku balik lagi dan lagi ke dalam kesunyian. Apa yang ada di dalam kesunyian itu, hah?! Cuma ada aku dan sendirian. Berdarah, lebam, robek, patah tulang, atau apa pun itu, itu enggak terasa sesakit lubang yang ada di dadaku!"

"Karena itu aku ada buat kamu, Dirga!" Nada Chica ikut meninggi. "Aku enggak akan biarin kamu merasa sendirian! Aku enggak akan biarin kamu ngerasa sakit lagi! Aku akan jagain kamu!"

"Kalo aku bilang ... caraku biar sembuh dari rasa sakit ini adalah dengan mukulin orang lain, kamu bisa terima?" tanya Dirga.

"Berapa banyak orang yang kamu pukulin selama ini, Hah?! Apa selama itu kamu merasa jauh lebih baik? Jawab aku!"

"Enggak ada abisnya ngomong begini. Ujan makin deres, mending kamu pulang," ucap Dirga.

"Aku enggak akan pulang tanpa kamu!"

"Dirga! Udah mau mulai!" teriak Donay yang muncul di ujung gang.

"Udahlah, terserah kamu aja," ucap Dirga pada Chica. Ia memutar tubuhnya dan berjalan hendak meninggalkan Chica.

"Kalo kamu melangkah lebih dari ini, kita putus!"

Ucapan Chica membuat Dirga menghentikan langkahnya. Pria itu menunduk menatap sepatunya yang basah.

"Ya, aku rasa lebih baik gitu. Seorang Dirga Martawangsa yang bajingan ini enggak pernah pantes bersanding di sisi seorang Chica Ramalia yang terhormat. Kamu layak dapetin cowok yang lebih baik. Aku emang pembohong, tapi ada satu kata-kataku yang jujur. Hari-hari yang aku lewatin bareng kamu ... itu adalah hari-hari terindah dalam hidupku."

Dirga berjalan pergi meninggalkan Chica yang menangis seorang diri. Pria itu terus melangkah semakin jauh hingga tali yang selama ini mereka ikat bersama putus.

"Kalo aku itu adalah kebahagiaan kamu, kenapa kamu lepas gitu aja? Kenapa kamu lebih memilih terluka daripada bahagia?" gumam Chica sambil terisak dalam kesunyian. Ia hanya ditemani suara hujan. "Aku pun ngerasain hal yang sama, makanya aku bertahan di sisi kamu. Banyak yang bilang kamu bukan cowok baik, tapi aku selalu jaga punggung kamu dari pandangan-pandangan buruk orang lain tentang kamu. Aku percaya kamu bisa berubah, tapi sekarang apa? Apa yang harus aku bilang ke mereka semua? Aku enggak mau kamu terluka, tapi kenapa kamu malah ngelukain aku?"

Dirga mendengar semua gumam-gumam lirih gadis itu dari balik dinding. Ia menangis di bawah hujan.

"Dir, sekarang rante yang ada di leher lu udah sepenuhnya putus. Emang awalnya sakit, tapi lama-lama lu akan terbiasa. Sekarang enggak ada alasan lu kalah. Kalo lu emang merasa sakit, lampiasin di arena. Buat mereka semua mampus," ucap Donay.

Dirga mengepal keras tangannya, lalu berjalan melewati Donay turun ke Kandang Anjing.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top