2 : Sang Pembantai Khodam
Dirga menatap ke arah gerbang sekolah yang tertutup rapat. Ia berteriak menggemuruhkan genderang perang dengan suaranya yang lantang. Beberapa pasukannya mengambil senjata dari dalam tas dan berjalan mengikuti Dirga.
"Hey, kalian pada mau ngapain?" tanya Bang Boim yang merupakan satpam sekolah.
"Minggir, Bang Boim. Di sini medan tempur," ucap Dirga.
"Tapi ...."
"Buka gerbangnya," titah Dirga dengan sorot mata yang tajam.
Bang Boim meneguk ludah. Ia membuka gerbang dengan berat hati.
Sang Jendral beranjak dari posisinya dan berjalan keluar gerbang. "SERAAAANG!"
Seluruh pasukan berlari keluar dan membabi buta. Mereka langsung menerjang SMA Batu Arang yang sudah berada tak jauh dari gerbang sekolah SMA Adinata. Karena panik serangan dadakan mereka gagal, SMA Batu Arang mundur agak menjauh dari area sekolah. Mereka kocar-kacir.
Pada satu titik, semua pasukan SMA Adinata menghentikan serangan dan berdiri mematung ketika seorang pria berjaket hitam dengan wajah garang berdiri di hadapan mereka menggenggam tongkat bisbol. Pria itu berdiri di barisan depan dan membuat anak-anak Adinata kehilangan nyali.
"Kenapa berhenti? Takut?" tutur pria itu dengan suara berat penuh tekanan. Sebatang rokok cerutu menempel pada mulutnya.
Dari belakang, Dirga berjalan hingga posisinya berada paling depan memimpin SMA Adinata. Di samping kanan dan kirinya ada dua orang anak yang mengikutinya.
"Gimana menurut lu?" tanya Dirga.
Seorang pria berseragam keluar dengan topi beani cokelat maju hingga sejajar dengan Dirga. "Ya, orang itu nyimpen khodam. Bukan cuma rumor, pentolan SMA Batu Arang, Rian Saputra, alias Abet ... dia megang amalan."
Khodam adalah jin pendamping yang mendiami sebuah wadah dan memberikan kesaktian bagi penggunanya.
Seorang pria dengan penutup mata satu, berkaus hitam dibalut seragam yang tak dikancing berjalan maju. Kini mereka bertiga berdiri sejajar. "Kekeke ... jadi apa rencananya? Kalau bentrok, pasukan kita enggak akan bisa bikin dia luka. Jangan lupa, dia itu penguasa pasar gelap yang punya banyak koneksi. Salah-salah langkah, kita bisa jadi musuh seluruh pembelinya."
Dirga melepas seragam putihnya menyisakan kaos hitam lengan buntung yang melekat pada tubuhnya, menampilkan lengannya yang kekar, tetapi tak terlihat besar. Ia memberikan seragam itu pada pria bertopie beanie. "Dis, tolong pegangin."
"Mau ngapain lu?" tanya Andis.
"Ini enggak akan jadi pertempuran antar sekolah." Dirga memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana dan berjalan santai ke arah Abet. Ia ingat betul ekspresi wajah teman-teman sekelasnya yang ketakutan akibat serangan batu dari SMA Batu Arang, dan kali ini Dirga tak ingin melihat ekspresi itu tercipta kembali di wajah-wajah mereka.
"Satu lawan satu antar Panglima!" teriak Dirga. "Maju kalo bukan penari balet!"
Abet tertawa, ia memberikan tongkat bisbol yang ia pegang pada orang di sebelahnya, lalu berjalan maju ke arah Dirga dengan tangan kosong. Melihat Abet yang maju, Dirga melanjutkan langkahnya hingga jarak mereka cukup dekat. Mereka berdua saling masuk dalam jangkauan serang.
"Gede juga nyali lu," ucap Abet. "Siapa nama lu?"
"Dirga Martawangsa."
Abet mengerutkan dahi. "Belom pernah denger."
Wajar saja jika pentolan sekelas Abet tak mengenal Dirga. Dirga bukanlah orang yang haus kekuasaan dan peduli terhadap kancah tawuran di Jabodetabek. Ia hanya berperang ketika rekannya dihajar.
"Yang harus lu pahami adalah, ini semua dimulai ketika basisan lu nyerang temen gua sampe hampir mati. Darah dibayar darah, nyawa dibayar nyawa." Tanpa basa-basi Dirga langsung menghantam wajah Abet dengan tinjunya.
Abet masih berdiri di posisinya dengan wajah condong ke kanan akibat pukulan tangan kanan Dirga. Matanya melirik tajam ke arah lawan di hadapannya. "Cuma segini?"
Pria yang disebut penguasa pasar gelap itu melancarkan tendangan, tetapi Dirga cepat. Sebelum Abet bergerak, ia sudah memprediksi pergerakan Abet dan melakukan antisipasi dengan baik.
Abet cukup terkejut. Pergerakan Dirga bukanlah pergerakan manusia pada normalnya. Untuk disebut refleks pun itu terlalu cepat. Kini Abet mlancarkan pukulan, tetapi lagi-lagi Dirga menghindari itu dengan sempurna dan memberikan serangan balasan pada pelipis Abet. Bukannya merasa terpojok, Abet malah menyeringai.
"Ini kelewat gila. Kalo dugaan gua bener ... lu bisa memprediksi masa depan, hah?"
Matanya berkedut mendengar ucapan Abet. Baru kali ini ada yang sadar dengan refleks super cepat Dirga dan mampu menyimpulkan sesuatu yang tak masuk pada nalar manusia biasa. Sayangnya, insting itu mendapatkan jawaban yang benar.
Prekognision adalah kemampuan untuk membaca masa depan. Dari visualisasi masa depan itu akan muncul sebuah kejadian yang merupakan prediksi. Berdasarkan prediksi itulah, Dirga menyerang dan bertahan. Terkadang prekognision muncul lewat pertanda alam, atau kartu tarot. Namun, pada kasusnya kali ini, Dirga memaksa dirinya untuk terus menerus melihat masa depan untuk bisa menumbangkan pria di hadapannya. Semua yang ia lihat bukanlah 100% kejadian yang akan datang, itu hanyalah sebuah prediksi yang cukup akurat.
Hidungnya yang berdarah tanpa sebab menandakan bahwa ia telah melebihi kapasitasnya untuk membaca masa depan. Di tengah kondisinya yang semakin memburuk, Abet justru baru memulai.
"Gua akuin lu unik, tapi tetep aja pukulan lu belum bisa ngelukain gua. Jadi gua punya handicap buat lu," tutur Abet.
Dirga mundur dan menjaga jarak. Ia mengusap darah yang keluar dari hidungnya. "Lu bakal nyesel karena udah remehin gua, bangsat!"
Abet membuka jaket hitam beserta seragamnya. Kini pria garang itu menampilkan tubuh kekarnya yang penuh dengan tato. Perawakannya lebih besar dan berisi dari Dirga. Secara tinggi juga Abet lebih unggul. Melihat pria itu berdiri saja membuat lawannya bergidik ngeri. Aura mematikan memancar dari tubuhnya.
Andis terdiam dari kejauhan. Dari sekian banyak tato yang melekat di tubuh Abet, ada satu yang menarik perhatiannya. Sebuah tato bergambar tokek. Tokek itu bergerak dan berjalan-jalan di tubuh Abet seperti makhluk hidup, tapi sepertinya tak ada yang mampu melihat tato aneh itu selain Andis yang memang tergolong indigo.
Abet menyeringai menatap Dirga. "Kalo lu bisa kasih hadiah buat tubuh ini berupa luka. Gua anggap lu menang dan gua akan narik pasukan gua dari sini. Gua enggak akan cari masalah lagi sama anak-anak sekolah lu."
"Bukan cuma luka ... gua bikin mampus lu sekalian!" Dirga menerjang Abet dengan tendangannya, tetapi Abet hanya diam menerima tendangan itu.
"Sejujurnya gua agak berharap. Ayo hibur gua, bangsat!" Abet menangkap kaki Dirga dan menendangnya balik di area ulu hati. Dirga terbelalak dan terhempas karena tendangan itu. Wajar saja, dari segi postur, Abet jauh lebih besar dan kekar dari seorang Dirga Martawangsa.
Melihat panglimanya babak belur, rekan-rekan Dirga hendak maju, tetapi pria bermata satu melarang mereka untuk membantu. "Jangan lukai harga diri pemimpin kalian. Kalah masih jauh lebih baik daripada dibuat malu."
"Tapi ...."
Uchul, pria itu menoleh ke belakang dan menatap tajam ke arah rekan-rekan Dirga. "Jangan pernah patah kepercayaan pada seseorang yang masih berjuang."
"Dia yang mulai, dia yang harus mengakhiri. Itu adalah isi pikiran Dirga," timpal Andis. "Sekarang ini bukan masalah antar sekolah, tapi antar Panglima. Dia nanggung semua beban itu di pundaknya. Jangan bikin dia patah arang dengan coba-coba membantu. Dirga enggak butuh bantuan siapa-siapa."
Kembali pada pertarungan yang terlihat berat sebelah ini. Dirga kembali bangkit, ia melepeh ludah yang berwarna merah. Serangan Abet melukainya.
Sorak-sorai dari SMA Batu Arang membuat Dirga tertekan. Kini ia menutup mata dan mencoba lebih rileks. Ia lebih cepat dari Abet, tak ada yang perlu ditakutkan. Dirga mengatur kembali napasnya yang kehilangan ritme. Perlahan aura di sekitarnya berubah. Abet merinding, ia merasakan ombak besar akan datang.
"Aura mencekam apa ini?" gumam Abet lirih.
Dirga melebarkan kuda-kuda kakinya dan menarik tangan kanannya yang terkepal hingga tinjunya sejajar dengan pinggang.
Merasakan bahaya dengan instingnya, Abet berlari menerjang Dirga. "MAMPUS LU, BANGSAT!" Ia melancarkan pukulan hingga mengenai kepala Dirga. Dirga terjatuh dan langsung diinjak oleh Abet di bagian dadanya.
Precognition deactived ...
"MAMPUS LU, BANGSAT!"
Dirga menggerakkan kepalanya untuk menghindari pukulan Abet. Sedetik sebelum semua prediksi masa depan itu terjadi, Dirga mematahkannya. Kini ada jeda waktu antara dirinya dan Abet yang baru saja menyerang dan kehabisan langkah. Dirga memanfaatkan itu dengan melancarkan serangan telapak tangannya hingga mengenai perut Abet.
Di dalam dunia ini, ada sebuah energi spiritual tak kasat mata yang berbaur dengan kehidupan manusia. Energi itu disebut dengan atma. Energi murni yang tercipta dari alam dan serpihan-serpihan roh manusia yang telah pudar dari dunia. Roh-roh ini tak sepenuhnya menghilang, mereka terekstaksi menjadi energi tak kasat mata yang mampu menjadi penawar dari segala jenis ilmu hitam.
"Braja ...," gumam Dirga lirih.
Impuls syarafnya merespons dengan mengirimkan arus listrik yang berpusat pada telapak tangan Dirga.
Manusia memiliki listrik di dalam tubuh yang berperan mengatur berbagai fungsi organ, mulai dari otak hingga jantung. Listrik di dalam tubuh berasal dari tiga elemen utama, yaitu proton, elektron, dan neutron. Proton mengandung muatan positif, elektron mengandung muatan negatif, dan nutron mengandung muatan netral.
Dengan memanipulasi atma di dalam tubuh, Dirga mampu menciptakan daya serang seperti halilintar. Ia memanipulasi listrik dalam tubuh untuk menjadi serangan yang mampu mengejutkan lawannya, terutama pengguna ilmu hitam.
Bagi Abet yang seorang pemegang khodam, tentunya serangan itu bisa berefek fatal. Terlebih, Dirga tak sengaja menyerang pada bagian tato berbentuk Tokek milik Abet.
Semua yang berada di sana kini menjadi saksi ketika seorang Dirga Martawangsa mampu membuat seorang Rian Saputra memuntahkan darah dari mulutnya.
Berkat serangan itu, Dirga mampu melukai Abet hingga memberikan bekas luka berbentuk telapak tangan. Setelah menyerang dengan kemampuan itu, Dirga tumbang. Braja bagaikan pisau bermata dua, di satu sisi menyerang lawan, tetapi di sisi lain juga menyerang syaraf selama beberapa menit hingga membuat Dirga lumpuh sementara waktu. Ia tak sadarkan diri, tetapi Abet menopang tubuhnya yang hampir terkapar di tanah.
Semua pasukan SMA Adinata terduduk lemas melihat Panglimanya tidak berdiri di akhir, melainkan sosok Abet lah yang berdiri dengan kesadaran utuh.
"Angkat kepala kalian, Adinata. Ini kemenangan kalian," tutur Abet. Pria itu membawa Dirga ke hadapan teman-temannya dan memberikannya secara cuma-cuma. Sebenarnya bisa saja Abet mengkhianati janjinya dan menjadikan Dirga sebagai tawanan, tetapi Abet bukan pria seperti itu. Dirga telah memberikan luka padanya hingga sempoyongan, Abet mengakui kemampuan Dirga sebagai Sang Pembantai Khodam.
"Kalo itu orang lain, udah pasti orang itu bakal mampus," lanjut Abet. Ia berjalan menuju rekan-rekannya dan pergi meninggalkan Dirga bersama pasukannya.
Di sisi lain, Tirta sedang berdiri dari kejauhan memantau situasi bersama beberapa anak Osis. "Masalah ini udah selesai. Seenggaknya enggak ada korban. Biar gua yang tanggung jawab atas dosa Dirga sebelumnya. Tragedi penyerangan ini emang salah satu buah yang dia tanem, tapi semoga ini jadi pelajaran berharga buat dia untuk ke depannya." Tirta bangkit dan meninggalkan tempatnya berpijak.
"Enggak apa-apa begitu?" tanya salah satu anak Osis berkacamata.
"Ya, sesekali enggak apa-apa. Kalo karena tragedi hari ini masih ada buntutnya, gua akan turun dari kursi Ketua Osis karena ngambil keputusan sepihak yang enggak tepat."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top