19 : Hadiah

Dirga sudah resign dari Man Robusta. Kini ia bekerja sampingan di salah satu warnet dekat daerah Kandang Anjing. Sebuah warnet yang diolah oleh salah satu koneksi Donay.

Waktu menunjukkan pukul enam sore. Seorang pria masuk ke dalam warnet tersebut dan menatap Dirga yang bekerja sebagai operator.

"Paket satu jam," ucapnya.

"Oke, sebentar." Dirga mengenakan tudung jaketnya, lalu berjalan dari kursi operator menuju kamar mandi.

Di kamar mandi, seorang pria yang mengenakan jaketnya persis dengannya sudah menunggu. Ia menatap Dirga dengan tampang serius.

"Satu jam," ucap Dirga.

"Oke." Orang itu mengenakan tudungnya, lalu berjalan ke komputer operator menggantikan Dirga.

Sementara itu, Dirga mengganti outfit kembali. Kini ia mengenakan jaket parka berwarna abu-abu, topi hitam dan kacamata hitam. Dirga berjalan keluar warnet menuju Kandang Anjing melalui pintu belakang.

Hari ini merupakan putaran terakhir. Jika Dirga menang lagi, maka selanjutnya ia akan masuk ke babak final, di mana empat orang terkuat akan saling menghancurkan dalam ajang battle royale.

Sejak mengikuti arahan Donay, Dirga merasa aman karena dengan penyamarannya ia tak mudah dikenali. Jadwalnya juga mudah diatur dan lebih fleksibel sekarang.

Kini petarung muda itu sudah memasuki area bawah tanah. Ia melepaskan topi dan kacamata hitamnya sambil terus berjalan hingga berada di depan bar. Dirga duduk di sebelah Donay yang sudah duduk menunggunya.

"Apa pun yang terjadi, lu harus menang," bisik Donay.

Dirga menatap tajam lurus ke depan. "Ya."

Seorang pria berpakaian rapi dengan jas hitam memasuki arena. "Pertarungan yang di nanti-nanti pun tiba. Dirga melawan Joni Killer!"

Dirga dan Donay menahan tawa. "Joni killer? Ngeri bener," ledek Dirga.

"Meskipun namanya agak mencolok, tapi yang satu ini harus lu waspadain," celetuk Donay.

Dirga bangkit. "Tenang aja." Ia melepas jaket parka yang ia kenakan, menyisakan celana panjang dan kaos hitam lengan buntung.

Kini pemuda itu sudah berada di arena bersama seorang pria tinggi kurus dengan tatapan datar.

Kali ini Dirga bermain agresif, ia meyerang duluan. Rupanya benar kata Donay, yang satu ini agak lain.

Jika selama ini Dirga selalu dihadapkan dengan lawan bertubuh besar yang lambat dan empuk menjadi sasaran serang, saat ini ia berhadapan dengan lawan yang memiliki kecepatan.

Pada satu titik, Dirga berfokus untuk mengakhiri pertarungan. Ia lepaskan pukulan terkuatnya ke arah hidung lawannya.

Namun, Joni menangkap tangan Dirga dan membanting pemuda itu hingga tersungkur di lantai. Joni hendak menghabisi Dirga, tetapi dengan cepat Dirga menarik tangannya dari cengkeraman Joni hingga membuat gelang yang ia kenakan putus.

"Bangsat!" Dirga menendang pria itu dan bebas dari jeratnya. Ia langsung menerjang dan memukuli lawannya hingga bercucuran darah.

Wasit menghentikan pertarungan dan mengangkat tangan Dirga, pertanda ia sudah memenangkan pertandingan.

***

Di sisi lain, Chica sedang berjalan dengan dua sahabatnya. Mereka baru saja pulang dari tempat bimbel di luar sekolah.

"Sebentar lagi kita lulus, kamu beneran mau lanjut ke UGM, Ca?" tanya Savira.

Chica mengangguk. "Iya, aku kepingin tinggal di Jogja. Dari kecil aku sering main ke rumah Eyang dan denger cerita-cerita orang tuaku tentang Jogja, aku suka."

"Semoga aja kita bisa masuk Universitas yang kita incer," balas Tania.

Di tengah perbincangan itu, telinga Chica berdengung. Ia sontak menghentikan langkahnya hingga membuat Savira dan Tania menoleh.

"Kenapa?" tanya Tania.

Chica menatap sekitar. "Entah, aku ngerasa Dirga ada di sekitar sini."

"Ikatan batin?" tanya Savira.

"Mungkin," jawab Chica.

Tiba-tiba seorang pria keluar dari gang yang kebetulan Chica lewati. Ia mengenakan topi dan kacamata hitam. Tak sengaja pundak mereka bertabrakan. Waktu seolah melambat untuk Chica.

"Dirga ...," lirih gadis itu.

Pria itu terus berjalan dan berbelok kembali ke gang setelahnya.

"Kalian kalo mau duluan, duluan aja." Chica berjalan cepat menuju gang tersebut untuk mengejar Dirga. Firasatnya agak tak enak.

'Ngapain Dirga di sini?' Pikir Chica.

"Dirga," panggil Chica.

Pria itu menghentikan langkahnya, lalu menoleh. Ia membuka kacamatanya menatap Chica. "Sorry?"

Chica tersenyum memandangnya. "Maaf, salah orang." Ia segera pergi menyusul Savira dan Tania.

Di sisi lain Dirga sedang terduduk di balik pintu belakang warnet dengan napas terengah-engah. Ia membuka topi dan kacamata hitamnya.

"Hampir aja mampus gua," gumamnya.

Beberapa detik lalu, ia menabrak Chica dan berjalan cepat menuju gang sebelah yang merupakan lokasi warnet. Setelah satu jam ia pergi meninggalkan warnet, kini Dirga mengetuk pintu belakang. Dari pintu itu keluar seorang pria yang kini berpakaian persis dengannya, mereka pun bertukar tempat.

"Gimana rencana gua?" tanya Donay yang sudah berada di sana lebih dulu. "Aman, kan?"

"Bangsat! Deg-degan gua," balas Dirga.

"Ngomong-ngomong, selamat atas kemenangan lu. Selangkah lagi lu bakal jadi lagenda, Dir."

Dirga terkekeh, ia mengeluarkan lencana final yang merupakan tiket untuk memasuki arena battle royale minggu depan.

***

Waktu terus berjalan, kini gelap sudah merajai Bumi. Dirga, Tirta, Tama, Ajay, Andis, Uchul, dan Kei berkumpul di Bon Voyage. Bukan hanya ada para Mantra, di sana juga ada beberapa gadis seperti Alya, Sarah, Nabila, Kia dan Chica.

"Selamat ulang tahun, kembar sialan!" seru Andis.

Dirga dan Tirta terkekeh. "Makasih semuanya," balas Tirta.

Mereka semua duduk melingkari api unggun untuk menghangatkan diri dari udara malam. Tiba-tiba Tama memainkan gitar dan mereka pun bernyanyi bersama ditemani instrumen ngorok seorang pria berambut agak ikal yang tidur sambil duduk dibalut selimut biru muda, ia bernama Kei Yudistira.

"Kamu mau ngasih hadiah apa?" tanya Dirga pada Chica yang duduk di sampingnya.

"Aku enggak punya apa-apa," jawab Chica sambil menatap langit malam sambil tersenyum.

"Enggak apa-apa. Toh, kamu udah jadi hadiah terindah dari Tuhan buat aku kok," balas Dirga dengan senyum senada. "Makasih ya."

Gadis itu terkekeh sambil mengarahkan tangannya ke langit, seolah sedang meraih bintang. "Aku ambilin bintang buat kamu." Ia menggenggam tangannya. "Tutup mata kamu."

Dirga menutup matanya tanpa pertanyaan.

"Sekarang buka."

Pemuda itu kembali membuka mata. Ditatapnya tangan Chica yang tergenggam erat menghadap ke atas. "Sekarang, buka tangan aku," lanjut Chica.

Dirga membuka genggaman tangan Chica. Ia menatap dua buah lonceng kecil di tangan mungil Chica.

"Lonceng?" Dirga memicing.

Chica mengangguk. "Iya, lonceng. Kalo lonceng itu bunyi, mungkin aku ada di sekitar kamu."

Dirga terkekeh. "Bisa gitu, ya?"

"Kamu bilang kalo aku hadiah terindah dari Tuhan, kan? Biar nanti waktu kamu nyusul aku ke Jogja, ketika kamu denger lonceng itu bunyi artinya aku ada di sekitar kamu. Kamu percaya enggak?"

Pemuda itu mengangguk. "Percaya."

"Bagus, kamu harus percaya. Karena aku punya lonceng yang sama. Kalo nanti aku pergi duluan ke Jogja, terus kamu nyusul dan kita ketemu satu tahun setelahnya, aku akan nyambut kamu di Stasiun Lempuyangan pake suara lonceng."

Dirga tersenyum. "Ya, aku tunggu."

"Harapan kamu apa?" tanya Chica.

"Aku cuma berharap, hari-hari kayak gini enggak pernah berakhir," jawab Dirga.

Chica menyandarkan kepalanya di bahu Dirga. "I wish so too."

Dirga menggenggam punggung tangan Chica. "Aku suka kamu."

"Kenapa kamu suka aku?" tanya Chica.

"Kamu cantik."

"Kalo suatu hari nanti aku enggak cantik lagi gimana?"

Dirga terkekeh. "Ya enggak apa-apa, udah terlanjur jatuh cinta."

"Dir, ambil ikan di ice box gih, kita bakar-bakar," ucap Tirta.

"Wah, akhirnya jerih payah kita bisa dinikmatin," celetuk Andis. "Enggak salah mancing dari pagi."

"Oke." Dirga bangkit dan mengambil ice box yang berisi ikan yang sudah siap dibakar.

Malam ini di tutup dengan canda dan tawa yang mungkin tak akan pernah bisa terulang kembali.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top