18 : Kecewa

Dirga berjalan di tanah merah ditemani cahaya bulan dan bisikan rumput yang bergoyang ditiup angin. Lentera yang menjadi penerangan di Bon Voyage tak menyala, menandakan Tirta tak bermalam di sana.

Pemuda itu membuka pintu dan masuk. Ia terkejut ketika mendapati sosok bayangan hitam di dalam Bon Voyage.

"Bangsat!" pekiknya kaget.

"Ini gua," ucap Tirta.

"Bikin kaget aja lu. Kenapa enggak nyalain lentera?"

"Enggak ada korek," jawab Tirta.

"Lah, emang stok udah abis?"

"Lu kalo pulang malem gini biasanya ngapain aja, Dir, sama Chica?" tanya Tirta.

"Ya makan malem sambil ngobrol sama orang tuanya," jawab Dirga.

Tirta terkekeh. "Enak ya. Tadi makan apa lu?"

Dirga tampak berpikir selama beberapa detik. "Ikan bakar."

"Oh, emang bener?"

"Iye, bener. Kenapa?" tanya Dirga balik.

"Bukan lu. Gua enggak nanya sama lu," balas Tirta.

Dirga baru menyadari kehadiran orang lain di dalam Bon Voyage, ia menoleh ke kursi belakang dan menatap siluet seorang gadis.

"Wah, lu bawa Alya ke sini, Tir? Kok gelap-gelapan? Wah, curiga gua," ledek Dirga.

"Bukan, dia bukan Alya," balas Tirta.

Dirga mengerutkan kening. "Lah, terus siapa?"

"Chica," jawab gadis itu.

Dirga terbelalak mendengar suara Chica yang menggema bersama angin malam. Sontak ia kembali menatap Tirta.

"Kalian ngapain gelap-gelapan berdua?" tanyanya dengan nada datar mengancam. Dirga tersulut api cemburu.

"Nungguin lu," jawab Tirta. "Yang katanya mau kencan, yang katanya mau kerja, yang katanya mau nemenin gua. Dari mana aja lu?"

Dirga menghela napas. Ia duduk di salah satu kursi. Untuk seorang pembohong, ia terlihat tenang. "Maen."

"Sama Donay?" tanya Tirta.

"Iya, sama anak-anak basis."

"Ke mana?"

"Warung depan sekolah," jawab Dirga.

"Oh, kirain Kandang Anjing."

Ucapan Tirta membuat tubuh Dirga bergetar. "Denger kata-kata itu dari mana?"

"Udah banyak bacot lu ah, jawab aja deh. Dari mana lu, bangsat?" tanya Tirta.

"Gua tanya, denger kata-kata itu dari mana?" tanya Dirga balik penuh tekanan.

Chica hanya mampu terdiam menatap dua kembar itu saling mengintimidasi satu sama lain.

"Sadar posisi lu, bangsat," balas Tirta dengan tatapan kosong. "Gua yang nanya, lu yang jawab."

Dirga memasang raut gusar. "Eh ...."

"Cukup!" seru Chica. "Dirga, jawab!"

"Jawab apa sih?" Kini Dirga menatap gadisnya.

"Ya-kamu abis dari mana?"

Dirga mendekat pada gadis itu. "Main, aku tadi main sama temen-temen basis," jawab Dirga.

Kini detail wajah Chica terlihat jelas. Matanya berkaca-kaca. "Kecewa aku." Chica berjalan cepat keluar dari Bon Voyage.

Dirga kembali menoleh pada Tirta. "Anjing lu ya! Ikut campur urusan gua mulu!"

Tirta menunjuk Dirga. "Gua yang udah bantuin lu deket dan dapetin dia! Enggak akan gua biarin lu nyakitin Chica!"

Dirga hendak maju untuk menghajar Tirta.

"Urusan lu sekarang bukan sama gua."

Langkah Dirga terhenti.

"Kejar dia," sambung Tirta. "Sebelum terlambat."

Kedua tangan Dirga terkepal. Ya, ia harus sadar bahwa Tirta tak bersalah. Kini pria itu memutar arah dan berlari keluar mengejar gadisnya.

"Chica tunggu!" Dirga berlari kencang mengejar Chica yang sedang berjalan dengan ritme terburu-buru. "Hey, hey." Ia berhasil mengejar dan menarik pelan lengan gadis itu.

"Apa?!" Kini wajah gadis itu sudah banjir oleh air mata.

"Maaf." Dirga berusaha mendekapnya, tapi Chica tak mau.

"Lepasin!"

"Enggak akan," balas Dirga mendekap gadis itu. "Maafin aku. Aku udah bohong. Iya, aku abis dari kandang anjing, tapi cuma nonton doang."

"Bohong!"

"Betulan," sanggah Dirga.

"Terus tentang keluarga kamu? Betulan juga?!"

Dirga terdiam, dekapannya semakin erat. "Kamu udah tau semuanya dari Tirta, ya?"

Gadis itu hanya terisak tanpa jawaban.

"Maaf ...." Nada bicara Dirga semakin lirih.

"Aku udah bilang, kan? Aku benci pembohong!"

"Iya, maafin aku yang udah bohongin kamu, tapi aku punya alasan kenapa aku belum bisa cerita."

"Terus nunggu apa? Harus banget sampe aku denger dari orang lain, hah?! Aku mau denger semuanya dari kamu, Dirga! Kita pacaran, kan? Ini hubungan kita, kan? Bukan kamu doang atau aku doang, kan?"

"Aku enggak tau harus mulai dari mana!" Nada Dirga ikut meninggi diikuti air mata yang luruh. "Selama ini aku berusaha lupain itu semua, jadi tolong ... bantu aku buat ngubur semua memori kelam itu. Bukannya aku berusaha nutupin segalanya dari kamu, aku cuma berusaha bersembunyi dari bayang-bayang masa lalu aku sendiri. Aku nutupin semua fakta itu dan berusaha percaya dengan semua kebohongan yang aku buat. Kamu enggak ngerti rasanya sendrian, kan? Enggak ngerti rasanya tumbuh tanpa peran orang tua, kan? Kalo aku ngebahas masa lalu, yang ada aku nangis! Aku enggak mau keliatan lemah di depan orang yang berusaha aku lindungin!"

"Enggak ada salahnya keliatan lemah, Dirga! Kamu itu cuma manusia. Kita ini lemah! Jangan tanggung semuanya sendiri. Makasih udah jagain aku, tapi inget, kalo kamu terus-terusan jagain aku, siapa yang jagain kamu? Bukan cuma kamu yang mau buat aku bahagia, aku juga mau bahagian kamu, tapi gimana cara kita bisa saling ngerti kalo aku enggak kenal kamu siapa. Apa bedanya kamu sama orang asing?"

Dirga hanya bisa terdiam dalam dekap gadis itu. Ia tak tahu harus berbicara apa di saat seperti ini.

"Aku kecewa karena kamu enggak pernah ngelibatin aku dalam setiap masalah kamu, aku kecewa karena kamu nutupin semuanya seolah aku enggak punya kepentingan buat tau, aku kecewa kamu lebih milih bohongin aku daripada jujur apa adanya," lanjut Chica.

Keadaan mendadak hening, menyisakan isak dua orang itu di tengah hamparan padang rumput.

"Bisa kita mulai semuanya dari awal lagi?" tanya Dirga. Nadanya sudah surut kembali dan terdengar lebih tenang. "Namaku Dirga Martawangsa, anak dari Broto dan Dinda. Aku lahir sebagai anak ketiga. Kakak tertuaku namanya Gemma, kakak keduaku Frinza, terus yang terakhir itu kembaranku, Tirta. Sejak kecil aku ...." Dirga menceritakan seluruh rangkaian perjalanan hidupnya pada Chica. Sebuah kisah hidup yang tertuang dalam cerita Martawangsa.

Kini mereka duduk di hamparan rumput, menatap gemerlap lampu kota yang terlihat jauh dari sebrang sungai.

Dari kejauhan Tirta memantau. Setelah memastikan semua aman, ia kembali ke Bon Voyage dan menyalakan lentera.

"Semoga lu tobat beneran abis kejadian ini, Dir," gumamnya.

***

Hari berganti, Dirga tak pernah lagi macam-macam dengan janjinya pada Chica. Hingga tibalah hari keempatnya.

Ketika ia berjalan menyusuri lorong sekolah, sebuah tangan menariknya dan membanting tubuh Dirga ke dinding.

"Lu ke mana kemaren?!" hardik Donay.

"Gua udah selesai, Nay. Gua berhenti!"

"Enggak bisa gitu dong! Lu gila, ya? Kemaren tuh harusnya jadi big match, dua anak SMA ketemu di Kandang Anjing, Dir. Lawan lu itu pentolan SMA Gerhana, si Miko! Dua anak SMA yang belum pernah kalah."

"Lu budek, ya?" Dirga melepaskan diri dengan menendang perut Donay dengan dengkulnya. "Gua udah enggak peduli."

"Enggak peduli apa pura-pura enggak peduli? Sejak kapan Dirga tunduk sama orang lain?"

"Gua enggak tunduk sama siapa pun," bantah Dirga.

"Cewek lu, Dir. Gara-gara dia, kan?"

"Udahlah, Nay. Gua enggak mau memperkeruh hubungan gua," balas Dirga.

"Kedepannya gua bakal lebih hati-hati, gua punya rencana biar lu enggak ketauan lagi."

Dirga menghela napas. "Nay, gua enggak bisa."

Donay mencengkeram kedua pundak Dirga dengan tangannya. Mata pemuda itu menatap dalam mata Dirga.

"Dir, gua tau kalo lu sebenernya enggak mau berhenti, jadi sebagai temen gua bakal dukung lu. Bener enggak? Lu mau berhenti gitu aja? Kabur kayak pecundang?"

Tatapan Dirga melemah. "Kalo ketauan lagi gimana?"

"Gua yang tanggung jawab! Gua bakal ngomong ke cewek lu kalo lu itu terpaksa."

"Lu pikir dia bakal percaya?" tanya Dirga.

"Tenang, semua udah gua rencanain. Lu kalem aja pokoknya, kita perkecil kuantitas jam terbang lu, yang penting lu siap aja di match-match penting."

"Gua enggak yakin, Nay." Dirga masih merasa ragu.

Donay mengeluarkan selembaran kertas. "Nih, bentar lagi Kandang Anjing bakalan ngadain turnamen besar."

Dirga membaca lembaran itu. "Battle royale?"

"Empat orang terkuat bakal diadu dalam satu arena. Cuma ada satu pemenang, cuma ada satu yang terkuat," jelas Donay. "Dunia bawah enggak butuh dua Raja, Dir. Apa lagi empat."

Dirga meneguk ludah. Hasratnya untuk mendominasi muncul kembali. Ia menatap ragu ke arah dua bola mata Donay.

"Gimana?" tanya Donay.

"Oke, gua ikut," balas Dirga.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top