17 : Pembohong Ulung
Dua minggu sudah berjalan semenjak Dirga memutuskan ikut dengan Donay. Kini namanya mulai dikenal di dunia bawah karena tak banyak petarung yang seusia dengannya. Terlebih, meskipun masih bocah, Dirga diakui karena kemampuan bertarungnya yang efisien. Total sudah empat kali ia menang tanpa membawa pulang luka.
Siang ini Dirga sedang duduk di pintu Bon Voyage, mengikat tali sepatu dan hendak pergi untuk menganalisa lawan-lawan berikutnya di Kandang Anjing.
"Mau ke mana lu?" tanya Tirta.
Seperti biasa, tak ada apa pun yang mampu dibaca oleh Tirta. Dirga selalu mengosongkan pikirannya ketika ia tahu Tirta sedang berkeliaran di sekitarnya.
"Jalan sama Chica," jawab Dirga.
Tirta terkekeh. "Gokil, jalan mulu sekarang mah."
"Harus," balas Dirga. "Udah susah nyari waktu, jadi selagi punya waktu ya harus digunain sebaik mungkin dong."
"Ya udah gih sono, nanti Chica malah nunggu lama gara-gara gua," ucap Tirta.
"Oke, gua cabut dulu." Ia pun pergi meninggalkan Tirta bersama Bon Voyage.
***
Di sisi lain, Chica baru saja tiba di Man Robusta, tetapi ia tak menemukan sosok Dirga di tempat itu.
"Mas, si Dirga enggak dateng, ya?" tanya Chica.
Farhan menoleh. "Harusnya sih hari ini jadwal dia, tapi karena dia bilang ada keperluan nemenin kembarannya, jadi Dirga minta tuker shift. Besok baru dia yang jaga."
"Mas tau rumahnya Dirga?"
Farhan menggeleng. "Enggak tau, tapi kalo pulang dia biasanya ke arah kanan abis keluar pintu. Coba aja tanya-tanya orang, siapa tau nemu jawaban."
"Oh, oke deh. Makasih infonya." Chica keluar kafe dan berjalan ke arah kanan. Hari ini ia ingin mencari rumah Dirga.
***
Kembali pada Tirta. Kali ini ia tidak sendirian di Bon Voyage. Ada Andis dan Uchul yang datang dan duduk di tepi sungai menggenggam pancingan.
"Chul, kencing dah. Kencing lu kan racun tuh," ucap Andis.
"Jangan, benga! Nanti ikannya pada mati," balas Tirta.
"Justru itu, kita tinggal ambilin aja."
"Lu mau makan ikan bekas kencing Uchul, Dis?"
"Lah, iya juga," balas Andis.
"Kalian para bedebah lebih baik diam kekeke. Memancing itu adalah seni."
Tirta dan Andis menatap Uchul yang berdiri sambil memegang benang. Hanya ia seorang yang tak membawa pancingan dan langsung bermodalkan benang di tepi sungai.
"Yah, Chul. Ikan mana ada yang mau nyamperin sih kalo spot lu di situ?" tanya Andis. "Otak lu masih ada, kan?"
Mata pemuda itu berkedut, Uchul segera mengangkat benang yang ia pegang dan rupanya ia mendapatkan seekor ikan. "Kekeke."
Andis dan Tirta hanya diam menatap pemuda bermata satu itu berhasil. Mereka melepaskan benang dari batang kayu dan mengikuti jejak si Uchul. Namun, di tengah keseriusan mereka, tiba-tiba suara deheman gadis membuat semua sontak menoleh.
"Ehmm ...."
Mereka bertiga menatap Chica yang berhasil menemukan Bon Voyage bermodalkan pertanyaan yang ia bawa dan melemparkannya ke semua orang yang ia temui di jalan.
Kedatangan tamu pertama selain Mantra membuat Tirta bergerak dari posisinya dan menyambut Chica.
Kini Chica duduk di atas ember terbalik, tepat di depan Tirta. Sementara itu Andis dan Uchul membuat api untuk membakar tangkapan ikan yang berhasil mereka dapatkan. Ada hal yang membuat Tirta celingak-celinguk.
"Dirga mana?" tanya Tirta berbasa-basi, meskipun ia tahu bahwa pertanyaan itu juga merupakan sebuah pertanyaan yang Chica hendak tanyakan.
"Dia bilang hari ini kerja, tapi waktu aku ke Man Robusta, Mas Farhan bilang kalo dia lagi nemenin kamu," jawab Chica.
Tirta memicing. "Loh? Dia bilang ke aku kalo dia mau pacaran sama kamu."
Mendengar ucapan dua orang itu, Andis dan Uchul saling beradu tatap. "Jangan-jangan dia selingkuh?" gumam Uchul.
"Pe'a!" Andis menjitak kepala manusia itu. "Dirga mana mungkin selingkuh."
Mendadak wajah Chica murung.
"Dirga pasti punya alasan lain," ucap Tirta. "Tapi tenang aja, dia enggak akan selingkuh kok."
"Aku khawatir," kata Chica. "Bukan karena takut dia selingkuh atau apa, tapi firasatku tentang dia lagi enggak baik-baik aja. Kemarin dia main sama orang yang agak serem gitu."
Tirta memicing. "Serem? Siapa?"
"Donay," celetuk Uchul. "Belum lama ini Donay nongol lagi. Dia itu jarang ada di sekolah."
"Si Doni, Chul?" tanya Tirta.
"Iya, dia."
"Ketimbang modelan Babay, Agoy, Metkul, Junbau, sama Pikray sih ... Donay emang agak gimana gitu," sahut Andis.
"Iya, aku khawatir aja gitu. Toh, kalian jauh dari orang tua, kan? Aku pikir, peran pergaulan berarti besar banget dan aku enggak mau Dirga terjerumus sama sesuatu yang buruk," ucap Chica.
"Ya gitu deh. Sejak Ibu meninggal, banyak hal yang berubah, terutama Dirga."
Jantung Chica terasa sesak. "Meninggal? Kapan?"
Tirta memicing. "Udah dari kami kecil. Emang Dirga enggak cerita?"
"Dia bilang ibu kalian itu astronom yang lagi kerja di angkasa?"
"Hah?" Kini Tirta yang tak mengerti ucapan Chica. "Kalo di angkasa sih mungkin iya, ngelewatin malah, tapi kalo astronom jelas bukan."
"Kamu enggak lagi ngada-ngada, kan?" tanya Chica.
"Buat apa aku ngada-ngada dan bilang ibuku sendiri udah meninggal, Kak?"
Chica terdiam seribu bahasa. "Terus ... telor ceplok buatan ibu? Dirga bilang makanan favoritnya itu telor ceplok buatan ibu?"
Tirta pun merasakan sesak yang sama ketika topik pembicaraan mengalir membahas ibu. Ia menarik satu kesimpulan, bahwa Dirga rindu ibunya dan pria itu ingin percaya bahwa ibunya masih ada.
"Kak ...," panggil Tirta lirih. "Ibuku udah meninggal sejak aku masih kecil, dan karena sebuah konflik keluarga, aku sama Dirga harus keluar dari rumah. Sejak kecil kita tinggal sama paman dari keluarga ibu. Bus kuning tebengkalai yang ada di belakangku ini namanya Bon Voyage, dia itu rumahnya Dirga setelah Dirga pergi ninggalin rumah paman."
Dunia seakan terbalik di mata Chica. Udara di sini memang sejuk, tapi terlalu dingin sampai menusuk dadanya. Semua yang Dirga ceritakan padanya tentang keluarganya adalah sebuah fatamorgana. Pembohong ulung itu menancapkan sebuah luka di hati gadis yang katanya ia cintai dengan kebenaran palsunya.
Tirta merasa malu, ia tak berani menatap Chica. "Dirga pasti punya alasan kenapa dia bohong, dan kalo aku tarik kesimpulan, dia enggak mau bikin Kak Chica jadi sedih ataupun merasa iba. Dirga benci dikasihani. Tapi alasan apa pun di baliknya, seharusnya dia jujur. Karena dalam sebuah hubungan, nilai kejujuran itu harus di atas segalanya. Aku bukan Dirga, tapi aku minta maaf kalo dia udah nyakitin kakak dengan kebohongannya."
"Tir, ini ikan bakarnya udah jadi," ucap Andis. "Lu makan gih sama Kak Chica, gua mau pergi dulu, ada urusan." Pria bertopi beani itu menarik Uchul untuk ikut bersamanya. "Kita cari Dirga sekarang ...," lirih Andis.
Tirta hanya mampu menatap punggung kedua rekannya yang semakin lama semakin menjauh, sampai hilang ditelan jarak.
"Kakak mau denger apa lagi? Aku bisa bantu kasih tau."
Chica menggeleng.
"Aku emang egois, tapi aku harap hubungan kalian enggak berakhir. Aku paham Dirga itu agak liar, tapi aku bisa liat kalo dia bisa berubah. Sejak kenal Kak Chica, banyak hal yang berubah dari Dirga, dan ...."
"Aku enggak bisa," potong Chica.
Tirta tersenyum getir. Tak ada alasan harus melanjutkannya jika memang merasa ditikam dari belakang.
"Aku enggak bisa ninggalin dia tenggelam dalam kelam gitu aja," lanjut Chica. "Tapi aku enggak bisa sendirian, aku butuh bantuan kamu dan temen-temen Mantra."
"Kakak serius?"
Chica mengangguk. "Aku sayang dia beneran, dan aku juga mau dia berubah. Aku sakit dibohongin Dirga, tapi kalo kita putus, aku enggak tau hal apa yang nanti dia lakuin. Seenggaknya, aku mau pergi ketika aku merasa dia bisa dilepas sendirian, dan itu bukan sekarang."
Tirta kembali tersenyum. Chica memang orang yang tepat menurutnya. "Oke, aku akan bantu apa pun caranya. Biarpun agak saklek begitu, Dirga itu separuh nyawaku, Kak."
Setelah obrolan itu, mereka berdua menyantap ikan bakar yang disiapkan oleh Andis dan Uchul. Jujur, meskipun sederhana, tapi terasa nikmat. Di tengah kenikmatan itu, Andis dan Uchul kembali, tapi langkah mereka teburu-buru.
"Ngapa lu pada?" tanya Tirta yang sedang makan.
"Si Dirga ...," ucap Andis dengan napas terengah-engah. "Si Dirga ...."
"Si Dirga kenapa?" tanya Tirta.
"Kita dapet informasi dari budaknya Uchul yang tersebar di seluruh penjuru kota. Ada salah satu budak yang liat Dirga ikutan Kandang Anjing, Tir!" ucap Andis.
"Budak?" tanya Chica dengan wajah heran.
"Itu bukan problem utamanya sih, kalo masalah budak itu ceritanya panjang," balas Tirta.
"Terus Kandang Anjing itu apa?" tanya gadis itu lagi.
Tirta, Andis, dan Uchul saling beradu tatap. Jujur, Tirta pun kurang tahu perihal kandang anjing yang disebutkan oleh Andis.
"Sebuah ajang perkelahian bawah tanah," jawab Uchul ketika semua sibuk memikirkan jawaban. "Selain kekerasan, di tempat itu juga jadi sarang judi. Mereka yang bertarung di kandang anjing akan dijadikan bahan taruhan."
Chica menundukkan kepala. "Gara-gara aku larang berantem, dia jadi nyari pelarian ke tempat itu ...," gumamnya lirih. Ia merasa bersalah.
'Seandainya aku enggak larang dia, seenggaknya berantemnya masih bisa dikontrol, kalo sekarang gimana?'
Melihat Chica yang murung dan membaca isi pikirannya, Tirta mengepal kedua tangan, berusaha bersabar agar amarahnya tak meluap dan hanya jadi sebatas luka di telapak tangan.
"Kak Chica enggak salah, Dirga yang salah," ucap Tirta. "Sesekali dia harus dikasih pelajaran. Tenang, Kak, biar aku urus dia."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top