16 : Kandang Anjing
Di tengah arena, dua sosok berdiri saling berhadapan, siap untuk bertarung. Cahaya lampu remang mendramatisir suasana yang tegang ini diiringi instrumen riuh sorak-sorai para penjudi.
Jabran namanya, pria bertubuh kekar dengan tato di kedua lengan itu memiliki tatapan mata seolah merendahkan lawan di hadapannya. Ia lebih diunggulkan karena perawakan fisiknya yang besar. Wajar, pria kedua yang berdiri di arena adalah Dirga yang jauh lebih ramping. Berbeda dari Jabran, tatapan Dirga tajam seolah siap membunuh.
Jabran melangkah maju dengan tangan-tangan yang menggantung di sisinya sambil memandang tajam ke arah Dirga. "Ayo, Dek, maju."
Ekspresi Dirga cair. Ia tersenyum singkat dan mengangkat kedua tinjunya siap tempur. "Jangan nangis ya, Bang."
Merasa diremehkan anak-anak, dengan gerakan yang cepat Jabran melontarkan pukulan pertama. Namun, dengan refleks yang tajam Dirga menghindar, lalu menyerang balik dengan tinjunya hingga bermuara di pinggang Jabran.
"Ooops," ledek Dirga. "Sorry."
"Bangsat!" pekik Jabran.
Pertarungan pun dimulai. Kedua pria itu saling bertarung tanpa senjata, mengandalkan hanya kekuatan fisik dan teknik bertarung mereka.
Jabran dan Dirga saling bertukar serangan. Kekuatan Jabran memang hebat, tetapi kecepatan Dirga terlihat begitu impresif saat pemuda itu menghindari setiap serangan Jabran. Setiap serangan balik yang Dirga lepaskan bergema hingga ke seluruh penjuru ruangan, memberi kesan betapa kuatnya pemuda yang diremehkan semua orang di Kandang Anjing tersebut.
Perkelahian berlanjut dengan berat sebelah. Mendadak para penjudi terdiam menyaksikan kelahiran si anak ajaib. Jabran berusaha memukul dengan segala kemampuan yang ia miliki, mencoba untuk mengalahkan lawannya dengan setiap serangan. Wajahnya pekat menggambarkan sikap pantang menyerah, tetapi itu hanyalah upaya untuk mempertahankan kepercayaan dirinya.
Satu pukulan Dirga lagi-lagi bersarang di wajah pria itu. "Bangsat!" umpat Jabran.
Setelah beberapa saat, keduanya mundur sejenak dengan napas terengah-engah. Mata mereka saling memandang dengan tajam, tahu bahwa pertarungan ini akan mencapai klimaksnya.
Jabran menghentakkan kaki ke tanah dan menyerang dengan gerakan cepat. Sementara Dirga dengan kecepatan yang jauh lebih baik, menghindari serangan itu dan menjawab dengan serangan balik yang tajam.
Jabran hampir kehilangan sadar karena serangan Dirga, tapi ia masih berdiri.
"Cuma segini?" ledek Dirga.
Jabran tak membalasnya, matanya hanya fokus menatap rahang Dirga. Dengan hembusan napas terakhir yang menggema di udara, Jabran menerjang, melepaskan serangan terkuatnya mengarah pada satu titik.
Dirga memang terlihat mendominasi, tapi dari segi stamina pun ia merasa letih. Terang saja, ia terus menghindar dan menyerang dalam satu waktu. Pada satu titik, ia kehilangan kesembangan akibat terpeleset keringatnya sendiri. Namun, Dirga berusaha untuk menjaga porosnya dengan sekuat tenaga.
Sejenak, waktu terasa berhenti ketika keduanya ngotot dengan segala sisa tenaga yang mereka miliki.
"Mati lu, bangsat!" Jabran akhirnya merasakan angin segar ketika Dirga tiba-tiba saja terpeleset.
Namun, pada akhirnya Dirga tak melawan kehendak kakinya, dan malah sengaja terpeleset untuk menghindar.
Jabran terbelalak. Bukan hanya Jabran, tapi seluruh penonton pun sama terkejutnya. Baru saja mereka menyaksikan momen di mana seseorang menjadikan batu kerikil sebagai senjata.
Dengan cepat, Dirga memutar tubuhnya dan menghantam rahang Jabran dengan keras. Pukulan tersebut menjadi akhir dari pertarungan antara ia dan lawannya.
Pria kekar itu tumbang dan kehilangan sadar. Ia terkapar di lantai arena, di tengah keheningan malam.
Keheningan itu perlahan berubah menjadi sebuah badai yang riuh. 99% penjudi kalah, tapi mereka menikmati pertarungan yang Dirga suguhkan. Pemuda itu benar-benar menjadi kuda hitam di Kandang Anjing.
Dirga menatap kepalan tangannya. Sudah lama sekali rasanya ia tidak menghajar orang lain. Senyum itu muncul menghiasi wajahnya. Ia tidak pernah berubah, masih menjadi seorang penggila perang. Ia angkat kepalan tangan itu tinggi-tinggi diikuti sorak-sorai para penggila kekerasan.
***
Kini Dirga dan Donay sedang duduk di bar. Lelaki yang mengajak Dirga ke Kandang Anjing itu baru saja menang banyak. Ia menghitung uang, lalu memberikan sebagain pada Dirga.
"Nih jatah lu." Donay memberikan 30% hasil judinya. "Tenang, nanti lu dapet juga kok jadi pengurus."
Dirga mengambil uang itu sambil tersenyum. "Gokil."
"Gimana?" tanya Donay.
"Cepet kaya kita ini mah!"
"Belum," balas Donay. "Gua punya rencana."
"Apa?"
"Gua lagi nyari petarung yang mau kerjasama buat dapetin duit."
"Caranya?" tanya Dirga.
Donay menyeringai. "Pengaturan skor. Kalo gua suruh menang, ya harus menang. Kalo gua suruh kalah, ya harus buang harga dirinya."
Dirga memicingkan mata. Ia tiba-tiba menyadari sesuatu. "Bentar. Jangan-jangan, pertemuan kita ini bukan kebetulan?"
Donay terkekeh sambil meneguk botol Jägermeister. "Ya—siapa yang tau, Dir. Ini takdir."
Dirga terdiam. Ia berusaha memikirkan Chica. Bagaimana jika gadis itu tahu bahwa Dirga berkelahi? Ah, bukan itu. Dirga merasa bajingan karena sudah melanggar janji, tapi ia pun punya harga diri sebagai laki-laki. Ia ingin membahagiakan Chica seperti laki-laki lain di luar sana yang mampu berbuat banyak. Dirga sadar, selain tak memiliki harta, ia pun banyak bodohnya. Belajar butuh waktu, tapi dari Kandang Anjing, ia mampu mendapatkan sesuatu.
"Jadi gimana? Mau join?" tanya Donay.
"Tapi gua kerja, Nay. Gua juga udah berubah sekarang, gua butuh waktu belajar. Nanti abis lulus, gua mau ke UGM."
"Gua bantu atur jadwal lu deh," balas Donay. "Tapi kalo ada pertandingan yang penting, ya—sesekali bolos kerja sama belajar enggak apa-apa kali."
"Gua menghargai sih, tapi ...."
"Kalo lu dilirik scouting UFC atau tinju gimana? Peluang tuh. Lu bisa dapetin duit secara legal cuma modal mukulin orang."
Dirga terdiam. Ia kembali berpikir ulang hingga pada satu titik matanya menatap Donay.
"Ya udah, deal."
"Nah, gitu dong."
Dirga telah sepakat menjadi petarung di Kandang Anjing demi mendapatkan uang. Ketika ia sudah mendapatkan titik balik hidupnya, kini ia justru terdiam dan kembali melangkah mundur.
***
Di sisi lain, malam ini Chica sedang duduk di kasur sambil memainkan tali. Ya, dengan tali itu ia sedang membuat sebuah gelang berwarna hitam. Ia tak tahu warna kesukaan Dirga, tapi menurutnya hitam adalah warna yang elegan dan terkesan misterius, cocok untuk pria itu.
Memang, Chica membuatnya dengan sederhana, tetapi butuh waktu dalam proses pembuatannya. Untuk sentuhan akhir, ia menambahkan lonceng kecil sebagai pemanis.
"Udah deh, semoga Dirga suka," ucapnya sambil tersenyum.
***
Hari berganti. Pagi ini, tepat sebelum upacara, Chica berjalan menyusuri lorong sekolah untuk menemukan Dirga. Menurut penuturan teman-teman kelasnya, Dirga sudah datang, tetapi keluar lagi setelah menaruh tas, pergi entah ke mana.
"Ke mana itu orang?" Chica berjalan sambil celingak-celinguk mencari pria itu.
Pada satu titik, Chica berhenti. Ia mencoba berpikir berbeda dari pola pikir yang seharusnya. Ia merasa saat ini cara menemukan Dirga adalah dengan berpikir bukan dengan pikiran normal. Ia memutar arah dan berjalan ke arah toilet para berandal.
"Ya udah, lu atur aja dah."
Chica kenal suara itu. Itu adalah suara Dirga. Ia semakin mendekat meskipun aroma asap rokok semakin kental hingga membuatnya batuk.
Begitu Chica muncul, Dirga dan seorang yang tak ia kenali sedang berdiri menatapnya dengan wajah panik. Tatapan Chica berpindah pada tangan Dirga, ia menyembunyikan sesuatu di tangannya.
"Kamu ngerokok?"
"Enggak kok," jawab Diga.
Chica segera mendekat dan menarik tangan Dirga, tetapi memang tak ada rokok di tangan pria itu.
"Awas ya kalo ngerokok," ancam gadis itu.
"Ini pacar lu?" tanya Donay. Ia menatap Chica dari ujung kaki, berhenti sejenak pada bagian dada, lalu lanjut hingga ujung kepala. "Manis juga."
Chica menatap lelaki itu agak tak suka dengan tatapannya yang nakal dan tampangnya yang tengil. Ia menarik tangan Dirga dan membawanya pergi.
"Kamu kenapa sih?" tanya Dirga. "Pagi-pagi udah butek gitu?"
Gadis itu tak berbicara. Ia hanya menarik Dirga hingga ke belakang sekolah. "Aku enggak suka kamu main sama orang begitu."
Dirga mengerutkan kening. "Lah? Emang kenapa?"
"Firasatku enggak enak aja."
Mendengar jawaban Chica, Dirga terdiam sejenak. "Jadi cuma gara-gara firasat, kamu marah?"
"Kamu jujur sekarang. Kamu ngerokok enggak tadi?" Nada gadis itu agak meninggi, tapi belum terkesan marah.
"Enggak. Kamu enggak percaya sama aku? Aku udah berhenti ngerokok, tapi enggak berhenti temenan sama perokok. Kalo lagi main sama mereka dan ada bau rokok yang nempel dikit-dikit ya mau gimana?"
"Dari semua kebusukan, aku paling benci dibohongin. Aku harap kamu enggak bohongin aku," kata Chica.
"Iya, enggak kok."
"Mana tangan kamu yang suka mukulin orang?"
"Hah?" Dirga makin tak mengerti.
"Mana tangannya yang jahat? Sini."
Dirga memberikan tangan terkuatnya, yaitu tangan kanan. Chica merogoh kantong dan memasangkan gelang yang ia buat semalam di lengan kanan Dirga.
"Kamu ngapain?" tanya Dirga.
"Itu gelang buat kamu," ucap Chica.
"Aku enggak suka pake gini-ginian, kelihatan kayak cewek," balas Dirga.
Chica terdiam menatap pria itu dengan mata berkantung. Terbesit senyum getir di bibirnya. "Semaleman aku buat itu biar kamu pake, tapi kalo kamu enggak suka ya udah, enggak apa-apa. Jangan dipaksain."
"Kamu buat sendiri?" tanya Dirga.
Chica mengangguk tanpa kata.
"Kalo gitu aku pake."
"Kamu enggak suka pake gelang, kan?"
"Kalo dari kamu, aku suka. Gimana dong?" tanya Dirga balik. "Enggak terpaksa loh, ya. Emang aku suka semua yang ada di kamu, termasuk apa yang kamu buat."
Chica tersenyum. "Ya udah, kalo gitu pake dan jangan dilepas kecuali mandi aja."
"Kok gitu?"
"Gelang itu aku buat pake cinta, biar dia bisa jagain kamu dari kejahatan diri kamu sendiri. Aku harap dia mampu ngeredam semua amarah kamu yang meluap. Ketika kamu mau mukul orang, coba kamu liat gelang itu. Aku harap kamu enggak jadi mukul."
Dirga terlihat murung. Bagaimana jika Chica tau bahwa ia berkelahi kemarin? Dan seterusnya akan banyak perkelahian lainnya?
"Masih janji, kan?"
"Apa?" tanya Dirga.
"Enggak berantem lagi," jawab Chica.
Dirga berusaha tersenyum meski harus membohongi diri sendiri dan semua orang ke depannya. "Iya, janji."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top