15 : Hasrat
Angin sore memanjakan semua yang menghabiskan waktu di pinggir danau, Dirga dan Chica salah satunya. Mereka duduk di hamparan rumput sambil bertukar tawa.
"Rasanya enggak mau pergi," ucap Dirga. "Mumpung libur, enggak mau jauh dari kamu dengan segala rutinitasku."
Chicha hanya diam dengan senyum senada dengan Dirga.
Tangan lelaki itu mengelus manja punggung tangan Chica. "Makasih ya," lanjut Dirga.
"Buat?" tanya Chica.
"Segalanya." Dirga tersenyum memandang danau. "Makasih udah sudi terlibat di dalam kehidupan aku."
Gadis itu ikut tersenyum. "Sama-sama."
"Hari-hari yang aku lewati bareng kamu itu adalah hari-hari terindah sih."
"Ah masa?" ledek Chica.
Dirga mengangguk. "Beneran."
"Percaya kok," balas gadis itu.
Sejenak tak ada kata yang terucap di antara mereka. Kedua manusia itu sibuk menikmati sinema alam di senja hari.
"Kamu mau enggak?" ucap seorang pria yang berada tak jauh di belakang Dirga.
Dirga menoleh, ditatapnya seorang pria dan wanita yang berdiri di depan penjual es krim sepeda.
"Mau," jawab wanita itu.
Menyadari Dirga yang menatap ke arah tukang es krim tersebut, Chica terkekeh. "Mau es krim, jagoan?"
Dirga tersenyum, lalu menggeleng. "Enggak kok. Kamu mau?"
Jauh di dasar hatinya, Dirga ingin berada di posisi pria tersebut. Seorang pria yang sanggup memberikan gadisnya es krim. Saat ini ia tak memiliki kapasitas itu, gajinya belum turun. Jangankan membelikan sesuatu, perihal jaket dan sepatu saja Dirga belum membayarnya sepeser pun.
"Yakin? Kalo mau bilang aja, aku traktir," ucap Chica.
Dirga beranjak dari duduknya. "Aku maunya jalan-jalan sebelum pulang, mau ikut?" Ia menyodorkan tangannya pada Chica.
Gadis itu menyambutnya dan bangkit, lalu berjalan bersama Dirga mengelilingi pinggiran danau.
***
Kencan hari ini berakhir saat Dirga mengantarkan Chica sampai ke rumahnya.
"Mau makan dulu enggak?" tanya Chica.
"Enggak usah. Aku lagi mau makan bareng Dirga."
Chica mengerutkan kening. "Kamu kan Dirga!"
Pria itu terkekeh. "Salah. Aku Tirta!"
"Mana ada!"
"Ya udah masuk sana. Hari ini aku mau nemenin Tirta, see you."
"See you, Dirga," balas Chica.
Dirga berbohong. Hari ini Tirta tak bermalam di Bon Voyage. Ada rasa malu dalam dirinya ketika ia tak mampu bersikap seperti lelaki lain dan malah terkesan membebani. Sebenaranya ia mau ikut makan malam bersama Chica dan keluarganya karena suka dengan suasana di meja makan yang hangat, tapi hasratnya sendirilah yang membuatnya malu. Dengan berat hati, Dirga melangkah pulang.
Ketika sampai pada persimpangan tiga, Dirga hendak mengambil jalan ke kiri, tapi dari arah kanan ia melihat seorang yang ia kenali sedang berjalan ke arahnya. Orang itu pun menyadari kehadiran Dirga, ia tersenyum dan berjalan semakin mendekat.
"Yo," sapa Dirga.
"Yo," balasnya.
"Udah lama gua enggak ngeliat lu. Ke mana aja lu, Nay?"
Donay. Lelaki itu adalah salah satu komplotan warung depan sekolah, tapi sudah beberapa bulan terakhir ia tak pernah ikut nimbrung bersama anak-anak basis.
"Biasa, sibuk," balasnya ramah. "Eh, gua mau makan nih. Lu udah makan belom, Dir?"
"Beloman sih, ya udah lanjut dah lu."
"Ikut yuk, tenang gua bayarin," ajak Donay.
Dirga yang melarat tentunya senang dengan ajakan tersebut dan menyambutnya baik. "Oke, mau makan di mana?"
"Udah lu ikut aja." Donay kembali melangkah dan Dirga mengikutinya kembali ke jalan yang sempat ia lalui.
Langkah mereka berhenti di sebuah restoran jepang. Melihat tempat makan itu Dirga meneguk ludah. "Yakin lu makan di sini?"
"Iya, udah lu santai aja." Donay berjalan masuk.
Para pelayan menyambut mereka. Donay dan Dirga duduk di meja pinggir jendela. Ketika salah satu pelayan menyodorkan menu, Dirga hanya diam menatap menu tersebut.
"Udah, lu pesen apa aja yang lu mau," ucap Donay.
"Lu gila, Nay?!" bisik Dirga. "Emang lu punya duit makan di sini bayarin gua? Segala nyuruh pesen apa aja?"
Raut wajah Donay berubah, kini ia terlihat agak serius. "Lu enggak percaya sama gua?"
"Bukan gitu, Nay ...."
"Udah, lu pesen aja apa yang lu mau. Gua selama ini sibuk kerja kok, gua punya duit," potong lelaki itu.
Dirga menghela napas, ia kembali menatap menu dan memesan satu menu yang tidak terlalu mahal.
Singkat cerita, makanan pun datang. Meja makan dipenuhi banyak makanan, terutama side dish seperti ebi furai, egg roll, ebi katsu shrimb, dan lain-lain.
"Makan aja, Dir, ini sampingannya," ucap Donay.
Dirga ragu, tapi ia mengikuti alur yang dibuat Donay. Sengaja ia makan tidak terlalu banyak agar ketika nanti berlari, perutnya tidak terlalu kenyang. Dirga pikir, mereka akan kabur setelah makan. Wajar, Donay merupakan anak yang paling gila dan paling santai di tongkrongan. Sifat gilanya itu yang membuat Dirga agak waspada.
Namun, semua prasangka negatifnya itu ternyata salah. Selesai makan, Donay berjalan ke kasir dan membayar makanan dengan uang sungguhan dari dalam dompetnya. Dirga berusaha mencerna apa yang terjadi sambil berjalan keluar restoran.
Selesai membayar, Donay menyusul ke depan. "Mau rokok enggak lu?" Donay menawarkan sebatang rokok pada Dirga.
Dirga menatap rokok mahal yang disodorkan Donay. "Nay, lu sekarang jadi copet?"
Donay mengerutkan kening. "Hah? Lu gila ya?"
"Duit lu banyak banget di dalem dompet, tadi gua sempet liat. Masa iya?"
Ia hanya tertawa mendengar ucapan Dirga. "Mana ada begitu. Ya ini hasil jerih payah gua selama inilah."
"Lu kerja apaan?" tanya Dirga. "Gua juga kerja, tapi kalau pun gajian, duit gua enggak akan sebanyak itu dah."
Senyum itu hadir di wajah Donay. "Kebetulan gua mau kerja, lu mau ikut?"
"Emang boleh?" tanya Dirga.
"Boleh. Lu cukup perhatiin aja, kalo minat baru next-nya lu bisa coba."
"Oke."
Donay kembali berjalan dan Dirga mengikutinya tanpa perbincangan. Sekitar 15 menit berjalan, akhirnya mereka sampai di sebuah gang yang cukup kecil. Di depan gang itu banyak lelaki yang sedang duduk-duduk sambil tertawa. Mereka lanjut memasuki gang itu dan berjalan lurus mengikuti jalan. Di samping dinding-dinding banyak gembel yang sedang duduk, bahkan beberapa tidur.
"Tempat apaan sih ini, Nay?"
"Udah, ikutin aja. Nanti juga lu tau sendiri."
Mereka terus mengikuti jalan hingga menemui sebuah bangunan yang memiliki tangga turun. Dirga turun mengikuti Donay, kini ia tak bisa mundur begitu saja karena sudah terlanjur memasuki dunia bawah.
"Lu enggak pesugihan, kan?" tanya Dirga.
"Dongo, siapa juga yang percaya sama begituan?"
"Ya, soalnya ada. Lu enggak bakal jadiin gua tumbal, kan?"
Donay menghentikan langkah, lalu menoleh. "Lu ngomong apaan sih dari tadi?"
Melihat ekspresi Donay, Dirga merinding. Ia gemetar karena trauma masa lalunya. Pikiran-pikiran berbau mistis dalam sekejap mengerubutinya.
"Kalo lu enggak mau ikut, lu bisa pulang, tapi kalo lu mau tau ya ikutin aja dan jangan banyak ngomong."
Donay kembali menghadap depan dan terus turun hingga menyentuh lantai dasar. Di ruangan itu mereka tidak hanya berdua. Dirga malah terkejut ketika di bawah sana lebih riuh dari yang ia bayangkan.
Terdengar sorak-sorai dan teriakan orang tertawa, tapi sesekali nada mereka terdengar emosi. Dirga tak bisa menebak apa yang ada di depan, tetapi begitu cahaya semakin dekat. Ia pun menyadari tempat apa ini. Donay menyeringai dan memutar arah menatap Dirga.
"Selamat datang di kandang anjing" ucapnya.
Dirga terdiam menatap sebuah arena tarung yang tertutup jeruji seperti penjara. Di luar jeruji banyak orang-orang yang meneriaki para petarung.
"Lu ... kerja apaan, Nay?" tanya Dirga.
Donay tersenyum. "Pengamat."
Dirga menatapnya. "Pengamat?"
"Iya, gua menganalisa para petarung dan ikut taruhan," jawab Donay. "Ya, istilah umumnya judi."
"Wah, gua enggak bisa kalo judi mah. Gua enggak mau nentuin nasib gua sama takdir doang."
Salah seorang petarung tumbang dan tak sadarkan diri. Ia dibawa keluar sambil disoraki oleh para penjudi. Beberapa orang memakinya dengan raut wajah kesal. Sepertinya mereka baru saja kehilangan uang akibat salah pasang taruhan.
"Pertandingan penutup hari ini berakhir!" teriak pembawa acara. "Tapi jika ada penantang baru, silakan buktikan diri kalian sekarang!"
Dirga terbelalak ketika Donay mengangkat tangan Dirga ke atas. Sontak semua mata menatap ke arah Dirga.
"Woy!" Dirga memasang wajah marah karena sikap gila Donay.
Donay menyeringai. "Lu bilang enggak mau nyerahin diri lu ke takdir, kan? Kalo gitu buktiin. Buktiin kalo lu bisa dapet duit dengan cara melawan takdir!"
Dirga meneguk ludah. Harga dirinya tinggi. Melihat semua orang sedang menatapnya, ia tak ingin mundur dan dicap sebagai pecundang. Ia sadar ada janji yang sedang ia jaga, tetapi lagi-lagi hasratnya terlalu tinggi untuk diredam.
"Oke." Ia melepaskan tangannya dari Donay dan melepaskan jaket jeans birunya. "Gua titip, jangan sampe ilang atau rusak. Gua bunuh lu."
"Tenang," balas Donay. "Good luck, Komandan tempur."
Dirga berjalan masuk ke kandang anjing dan berdiri menatap seorang pria bertubuh besar dengan tato-tato di lengannya.
"Pulang, Dek! Dicariin mama!" teriak salah satu penjudi.
Lelaki berkaos hitam lengan buntung itu disoraki karena perawakannya yang kecil, di tambah—ia masih SMA. Semua orang memandang remeh dan menertawakan Dirga.
Pembawa acara pun ragu, ia menghampiri Dirga. "Lu bisa mati kalo ikut tempur di sini. Mending pasang taruhan aja, Dek."
"Dak, dek, dak, dek, BERISIK LU SEMUA ANJING!" bentak Dirga. Ia menatap tajam ke arah pembawa acara. "Cepet mulai, tangan gua udah laper."
"Kasih," ucap petarung yang satunya. Ia terkekeh melihat tekad Dirga. "Kasih dia main di sini."
"Kandang anjing ini sifatnya taruhan. Kalo enggak ada yang milih, pertandingan enggak bisa dimulai," jelas si pembawa acara.
"ALL IN!" teriak Donay.
Semua mata kini menatap ke arahnya yang menyeringai menunjuk ke arah Dirga. Orang gila mana yang mau bertaruh untuk pria muda itu? Ya, Donay orangnya.
"Gua all in ke pendatang baru!"
Malam itu semua orang memasang taruhan pada hal yang pasti, tapi Donay melakukan hal yang melawan arus. Ia mempertaruhkan segalanya pada Dirga.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top