14 : Berubah

Man Robusta, itulah nama kafe tempat Dirga bekerja. Sebuah kafe kecil di tengah hiruk-pikuk Jakarta.

Malam ini agak sepi, Dirga belum secara harfiah bekerja. Hari ini ia lebih banyak melihat cara kerja Farhan dan Erza dalam meracik kopi. Farhan juga mengajari Dirga tentang product knowledge menu di toko kopi mereka secara mendalam. Untuk hari ini Dirga lebih banyak mendengarkan teori ketimbang prakteknya.

Seorang gadis masuk ke dalam kafe. Ia mengenakan baju putih di balut kemeja jeans dan bawahan celana hitam panjang. Dirga tersenyum menyambut kedatangannya. Malam ini ia mengenakan kacamata bundar dengan frame putih. Tak banyak yang tahu, bahwa Chica memiliki rabun senja.

"Mau pesen apa?" tanya Farhan ramah.

"Aku liat dulu ya." Chica fokus membaca menu. "Mau citrus coffee, sama onion ring."

"Oke, ditunggu."

Pandangan Chica dan Dirga bertemu. "Semangat kerjanya," ucap Chica.

"Temen lu?" tanya Erza pada Dirga.

"Pacar, Bang. Nanti sekalian mau numpang ngerjain PR."

"Sampe sini ada pertanyaan enggak seputar menu-menu dan signature kita?"

"Belum sih, tapi nanti kalo ada, saya tanya," balas Dirga.

"Ya udah, sekarang lu ambil tiga shot espresso, terus bikin tiga gelas kopi classic buat gua, Farhan, sama satu buat lu. Abis itu lu belajar aja dulu, hari ini lu enggak gua kasih pelanggan. Besok baru mulai coba gua lepas."

"Oke, bang." Dirga segera membuat kopi pertamanya.

Pertama, Dirga memastikan mesin espresso dalam kondisi yang baik, lalu ia isi wadah air dengan air dan mengecek suhu mesin. Setelah dirasa aman, ia grind biji kopi menjadi bubuk. Setelah mendapatkan bubuk, Dirga memasukkan bubuk kopi tersebut ke dalam portafilter mesin espresso. Ia ratakan permukaannya hingga rata, lalu memadatkannya.

Sampai sejauh ini masih aman. Kini Dirga memasukkan portafilter kembali ke mesin espresso dan memastikannya terpasang dengan kuat. Setelah itu ia ambil cangkir espresso dan meletakkannya sejajar dengan tempat keluar air. Berkisar 30 detik, espresso pun siap.

Setelah espresso sudah siap, ia menuangkan gula cair, susu, dan espresso menjadi satu kesatuan. "Oke." Dirga mengambil dua gelas dan memberikannya pada Erza dan Farhan, lalu berdiri seolah menunggu respons dari mereka berdua.

Erza mengambil gelas yang Dirga berikan dan menatapnya, kemudian meminumnya. Farhan pun sama.

"Ya, okelah. Udah paham, kan lu?" tanya Erza.

"Udah, Bang. Tinggal sesuain takaran aja. Kalo komposisi udah ada di menu, tinggal kalo ada pembeli, dibuatin sesuai pesenan."

Erza tersenyum. "Oke. Ya udah, sekarang lu belajar gih."

"Siap." Dirga mengambil tas dan minumannya, lalu berjalan ke meja yang sama dengan Chica.

"Kamu bawa buku enggak?" tanya Chica.

"Bawa kok di dalem tas." Dirga mengeluarkan buku paket yang ia pinjam dari teman kelasnya dan satu buku tulis serba ada.

Melihat wujud buku itu, Chica berdecak kesal. "Kamu belum beli buku tulis lagi? Masih pake buku campur-campur?"

Dirga terkekeh. "Besok deh, besok."

"Beneran? Pokoknya pertemuan selanjutnya kalo belum ada awas, ya? Aku pukul!"

"Weh, serem," balas Dirga.

"Ya udah, sekarang lanjut. Berarti udah masuk matriks, kan?" tanya Chica.

"Iya, baru masuk itu." Dirga membuka buku paketnya hingga berhenti pada satu halaman. "Ini nih PR nya."

Chica menatap buku paket Dirga. "Ya udah, coba kerjain."

Dirga menggaruk kepala. Melihat angka-angka itu membuatnya pusing, tapi jika menyerah sekarang, ia tak akan bisa bertemu Chica seandainya gadis itu benar-benar pergi ke UGM.

"Oke."

Malam ini pelanggan tak banyak yang datang. Dirga bisa leluasa fokus mengerjakan tugas sekolahnya yang sama sekali tak bisa ia selesaikan seorang diri. Untungnya, Chica sabar mengajarkan pria itu dari nol.

 ***

Hari berganti. Seperti belakangan ini, ketika Babay, Metkul, Agoy, Pikray dan Vivi mengajaknya nongkrong, Dirga menolak. Ia memiliki sebuah ambisi dan tanggung jawab sekarang. Tak ada waktu bermain-main, sebab ia merasa tertinggal sangat jauh dari segi pelajaran.

Saat ini Dirga berjalan bersama Tirta, Uchul, Tama, Andis, Ajay, dan Sarah. Ia mendapatkan sebuah ide untuk membantu Erza dan Farhan dalam segi promosi kafe.

"Tam, Sar, kalian kan jago main musik. Mau enggak manggung di kafe? Tapi enggak tau ada uangnya apa enggak," ucap Dirga. "Itung-itung jam terbang aja sih. Mungkin kedepannya bakal dibayar."

Tama dan Sarah saling bertatapan. "Gimana? Kalo kamu mau, aku mau," ucap Sarah. Di balas anggukan oleh Tama. Kini gadis itu berpindah tatap ke arah Dirga. "Ya udah. Kapan? Di mana?"

Dirga tersenyum. "Hari ini bisa? Di arah ke rumah sakit tempat si Koi dirawat. Nanti ada kafe dipinggir jalan, namanya Man Robusta."

"Oke," balas Sarah.

Satu per satu mereka berpisah ke rumah masing-masing. Dirga dan Tirta pun berpisah. Sejak Dirga mulai sibuk dengan kehidupan asmaranya, Tirta lebih sering menghabiskan waktu di rumah pamannya ketimbang di Bon Voyage.

"Ya udah, sampe ketemu besok," ucap Tirta.

"Oke." Dirga menunduk menatap sepatunya. "Eh, Tir."

"Apa?"

Sejenak ia menghela napas, lalu mengangkat kepala menatap Tirta. "Salam buat si om."

Tirta tersenyum. "Oke, nanti gua salamin."

"Makasih." Dirga berjalan ke arah tanah merah.

Sementara itu Tirta masih berdiri menatap punggung Dirga yang menjauh. Kini hanya tersisa dirinya, Uchul, dan Andis.

"Tumben dia nitip salam buat om lu," ucap Andis.

Tirta tersenyum. "Sekarang gua percaya, kalo semua orang pasti berubah. Semua cuma permainan waktu aja."

"Jangan terlalu naif." Uchul kembali melangkah. "Sejatinya manusia tidak pernah berubah."

Andis dan Tirta berjalan tanpa kata menatap punggung Uchul yang berada beberapa langkah di depan mereka. Jarang-jarang pria berpenutup mata satu itu menimpali obrolan mereka, apa lagi dengan sebuah kata-kata yang terdengar seperti quotes.

Namun, Tirta tak sepakat dengan perkataan Uchul. "Manusia bisa berubah."

"Manusia hanya bisa belajar dan melangkah maju," lanjut Uchul. "Mereka tetap sama. Hanya berkembang menjadi versi yang lebih baik dari diri mereka yang dulu."

"Ya itu namanya berubah, goblok!" Andis menempeleng kepala Uchul.

"Ya bedalah, dongo!" Uchul membalik tubuhnya dan menampar Andis. "Adonan berkembang jadi roti, bukan berubah jadi roti. Berubah sama berkembang itu beda sifatnya."

"Kok lu namparnya kenceng sih? Gua kan mukul pala lu pake pukulan manja." Protes Andis.

Uchul memicing. "Hah?"

"Udah, udah." Tirta memisahkan mereka berdua. "Nanti malem ngumpul di Man Robusta, enggak? Sekalian nonton panggung pertama Tama sama Sarah kalo mereka beneran manggung."

Uchul menghela napas. "Sampe ketemu nanti. Lagi pula Dirga masih ada pelajaran Akuntansi sih kekeke."

"Makasih, Chul udah mau bantuin Dirga."

"Santai." Uchul melirik ke arah Andis. "Lu sekalian enggak? Lu kan idiot juga."

"Bangsat!" balas Andis kesal. "Ya udah dah."

"Gitu dong kekeke."

Mereka bertiga melanjutkan langkah menuju rumah masing-masing.

***

Sebelum waktu isya, tujuh kawla muda masuk ke dalam kafe tempat Dirga bekerja. Mereka adalah Tirta, Andis, Ajay, Uchul, Tama, Sarah, dan Chica.

"Selamat datang, silakan mau pesen apa?" sapa Dirga ramah.

Erza dan Farhan saling bertatapan. "Gile, jadi rame anak SMA, Zul."

Erza tersenyum. "Takdir enggak salah, kan?"

Farhan mengangkat bahu. "Who knows?"

"Bang, gua punya temen jago main musik. Gimana kalo mereka main di sini?" tanya Dirga.

"Gua enggak butuh kayaknya. Nambah cost lagi," balas Erza.

Satu sudut bibir Dirga terangkat naik. "Mereka sih cuma butuh panggung aja, enggak butuh uang, tapi kalo mau tau dampaknya, boleh dipertimbangkan. Ini tuh sejenis mantra penglaris, Bang. Bisa narik pelanggan."

"Kalo enggak bisa?" Tantang Erza.

"Potong setengah uang gaji saya aja gimana?"

"Oke, deal."

"Oke." Dirga menoleh ke arah Tama dan Sarah, memberikan kode pada mereka untuk menarik gas.

Kedua orang itu keluar kafe. Langkah mereka membuat Erza dan Farhan saling mengerutkan kening. "Lah, pada ke mana? Katanya mau main?"

"Liat aja, sebentar lagi ombak besar datang," balas Dirga.

Tama dan Sarah memainkan gitar dan bernyanyi di depan kafe. Perlahan orang berbondong-bondong datang. Begitu suasana ramai, Dirga ikut keluar. Namun, sebelum keluar, ia menatap promo hari ini di papan kapur depan bar.

"Promo hari ini!" teriak Dirga. "Beli dua kopi ukuran medium, gratis satu kentang goreng!" 

Beberapa dari penikmat mini konser Tama dan Sarah melipir masuk ke kafe, di antara pelanggan itu memboyong promo hari ini.

"Gila! Bener-bener kalah ludah pocong, Han!"

Farhan terkekeh. "Parah!"

"Kerja, kerja, kerja." Erza mengenakan apron hitam dan bersiap untuk menghabisi pesanan para pelanggan itu. "Dir, catet pesenan, Dir."

"Oke, Bang." Dirga pun masuk kembali dan berlari mengambil catatan kecil dan daftar menu, lalu menghampiri satu per satu pelanggan dimulai dari anak-anak Mantra dan Chica.

Tirta tersenyum melihat kembarannya yang bersemangat dan memancarkan ekspresi cerah. Menyadari itu, Chica ikut tersenyum.

"Dia jarang senyum, ya?"

Tirta menoleh ke arah Chica. "Ya, gitu deh."

"Aku ikut seneng liatnya. Daripada dia berantem enggak jelas, tempat ini bener-bener nyelamatin dia."

"Iya, tempat ini ngerubah Dirga, tapi jangan lupa kalo penyebab utama yang bikin dia berubah itu ...." Tirta diam dan urung melanjutkan kalimatnya.

"Apa?" tanya Chica penasaran.

"Kamu, Kak."

Gadis itu tersenyum tanpa kata. Kini ia sibuk memandang Dirga yang terliihat lebih segar meskipun bercucuran keringat karena pekerjaan barunya.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top