13 : Palsu

"Aduh!" pekik Dirga.

"Gayanya berantem-berantem, tapi diginiin aja teriak-teriak." Chica mengompres pipi Dirga yang lebam dengan es.

Dirga hanya diam. Ia telan segala ledekan yang Chica lemparkan padanya.

"Makanya jangan berantem lagi, oke jagoan?"

Pria itu mengangguk. "Oke."

Selesai mengobati Dirga, Chica merebahkan dirinya di lantai kamar menatap langit-langit. "Kalo kamu berantem, orang tua kamu marah enggak sih? Kan enggak mungkin ngumpetin muka babak belur gitu."

Dirga tersenyum menatap pintu kamar yang terbuka lebar. "Entah."

Chica mengerutkan kening. "Kok entah?" Ia kembali duduk. "Why?"

Pria itu lagi-lagi terdiam ketika Chica menyinggung perihal keluarga. Gadis itu tak tahu apa pun tentang Dirga dan latar belakangnya. Namun, ia harus mengerti, mungkin Dirga hanya butuh waktu untuk bercerita.

"Ayahku itu bisnisman, dia pengusaha," ucap Dirga memecah keheningan. "Hampir setiap hari dia enggak pernah ada di rumah. Entah dia ada di mana pun aku enggak tau dan enggak mau tau." Ekspresinya terlihat gusar ketika menceritakan sekilas tentang ayahnya.

Chica mendekat dan menggenggam tangan kasar Dirga. "Kalo kamu belum siap cerita enggak apa-apa, jangan dipaksa."

Sore ini ekspresi wajah Dirga tak mampu terbaca. Entah dia sedang sedih, atau marah, Chica tak tahu.

"Seenggaknya ada ibu kamu, kan?" Gadis itu berusaha menenangkannya.

Dirga lagi-lagi mengeluarkan senyum tipis penuh getirnya sambil menggeleng pelan. "Ibuku ada di langit."

"Eh, serius? Maaf ...." Chica ikut memasang wajah sendu.

Menyadari raut kesedihan itu singgah di wajah gadisnya, Dirga mengusap punggung tangan Chica yang sedang menggenggam tangannya. "Dia astronom," lanjut Dirga diiringi kekehan.

"Oh, kirain apa," balas Chica. "Eh, tapi astronom betulan?"

"Apa? Kirain apa?" Dirga berusaha mengganti arah obrolan. Ia takut menangis jika berbincang perihal sosok ibu.

Chica menggeleng sambil tersenyum. "Enggak kok."

Yang gadis itu tahu, orang tua Dirga masih ada meskipun sibuk. Hal itu juga yang ingin Dirga percaya sampai saat ini.

"Ibu kamu keren," puji Chica. "Dulu kuliah jurusan Astrofisika, ya?"

"Kayaknya, iya. Aku enggak terlalu ngerti," balas Dirga.

"Berarti kamu tinggal sama Tirta doang selama ini?"

Dirga mengangguk. "Iya, jadi kalo pun kamu ke rumah aku, enggak ada bedanya sama di mana pun. Enggak ada siapa-siapa di sana."

"Oh, oke. Maaf kalo kamu agak gimana gara-gara aku mau main ke rumah kamu mulu."

"Enggak apa-apa, wajar." Dirga tersenyum. "Nanti kalo mereka pulang, aku ajak ketemu."

"Janji? Aku mau tau orang tua mana yang bisa lahirin manusia seganteng kamu. Kayak apa sih mereka? Aku penasaran."

Dirga terkekeh. "Bisa aja." Ia menatap ke luar jendela. "Udah mulai gelap, kayaknya aku harus pulang."

"Makan malem di sini dulu ya? Ibu udah masak."

Tak enak menolak ajakan gadisnya, dan tak enak juga mengkhianati seorang ibu yang sudah memasak demi pacar anaknya. Ya, meskipun ada dan tanpa Dirga pun, wanita itu akan tetap memasak untuk keluarganya, tapi setidaknya porsinya agak berbeda.

"Oke."

Chica dan Dirga berjalan ke meja makan, mereka duduk bertiga dengan sang ibu. Tak lama berselang, ayah Chica pulang. Mereka berempat duduk dan makan bersama di meja makan dibalut obrolan hangat yang membuat Dirga tersenyum. Ya, setidaknya ia mulai paham rasanya berada di tengah keluarga yang harmonis.

Sejak kecil, Dirga hanya mampu melihat meja makan di rumah-rumah lain lewat jendela mereka sepintas. Suasana seperti inilah yang sudah lama ia lupakan.

"Rasanya menyenangkan ...."

Chica yang sedang tertawa, refleks menatap Dirga. "Kamu bilang apa?"

Dirga menggeleng tipis. "Rasanya enak."

"Iya dong. Siapa dulu yang masak," timpal ibunda Chica.

"Beruntung banget nih si om punya istri setara chef," kata Dirga sambil melempar tatap pada ayahanda Chica.

"Ah, bisa aja kamu," balas Ibunda Chica.

"Itu karena om ganteng. Si tante terpikat," celuk Ayahanda Chica.

Perbincangan seperti itu terus berlanjut hingga makan malam selesai. Tak lama setelah itu, Dirga pamit pulang.

Kini ia berjalan kaki menuju Bon Voyage. Di perjalanan, ia melihat sebuah poster lowongan kerja di kaca sebuah kafe.

Langkahnya terhenti. Dirga masih punya utang pada Chica dan ia tak punya uang untuk melunasinya. Pemuda itu tak rela menggunakan uang dari rekening ibunya yang setiap bulan terisi oleh uang Martawangsa Corporation. Ia memutuskan untuk melamar sampingan di kafe tersebut.

"Permisi." Dirga membuka pintu.

Dua orang barista menatap Dirga yang baru saja masuk.

"Silakan." Salah seorang barista berambut keriting memberikan menu.

"Maaf, lowongan yang di depan masih ada?" tanya Dirga.

"Itu lowongan full time," jawab barista yang berdiri di balik bar. Tatapannya tajam dan terkesan datar menatap pengunjungnya.

"Buat part time enggak ada, Bang?"

"Enggak."

Dirga bermuram durja. "Saya lagi butuh uang."

"Minta aja ama orang tua lu," ucap barista ketus itu.

Kekehan miris Dirga menguasai setiap sisi ruangan minimalis tersebut. "Kalo punya mah saya enggak akan juga ngemis kerjaan. Ya udah deh kalo enggak ada, makasih, Bang."

"Bentar."

Langkah Dirga urung melangkah, ia kembali menoleh. Barista itu berjalan menghampirinya.

"Nih, buat lu." Ia memberikan uang pada Dirga

"Saya ngemis kerja, Bang. Bukan ngemis duit. Saya maunya duit itu dari hasil kerja saya, bukan karena belas kasih. Maaf, saya enggak bisa terima. Makasih."

"Ye—bentar duduk dulu sini." Ia menarik bahu Dirga dan membuatnya terduduk di kursi. "Nih, lu mau pesen apaan?"

"Saya enggak punya duit, Bang."

"Udah pesen, gua yang bayar."

"Eh, enggak usah, Bang."

"Mau kerja enggak?" tanyanya.

Dirga terdiam sejenak. "Mau."

"Ya udah, duduk dulu. Pesen."

"Oke deh, air mineral boleh, bang?"

"Cuma air mineral? Gua traktir lu, bebas."

Dirga tersenyum. "Saya cuma haus, bang. Enggak lebih."

Wajah ketus barista itu berubah segar. "Lulus lu. Gua suka attitude lu meskipun tampang sama tampilan lu bajingan. Kapan lu bisa mulai kerja?"

"Eh, serius nih?"

"Iya. Sesuain aja sama jadwal sekolah lu. Sama sabtu minggu fleksibel ya? Satu hari di antara dua hari itu lu full time."

"Oke, bang! Mulai besok bisa. Saya pulang sekolah jam lima."

"Sebelum maghrib udah siap ya, enggak ada tolerasi telat. Disiplin harga mati."

"Oke, oke."

"Siapa nama lu?" tanya barista itu.

"Dirga. Kalo abang siapa?"

"Kenalin, gua Erza, yang itu namanya Farhan." Erza menunjuk rekannya. "Ya udah, mandi sono lu. Besok jangan telat."

"Siap, bang." Dirga bangkit dan berjalan keluar membawa air mineralnya.

"Kalo lu ada PR bawa aja ke sini, kerjain di sini. Kalo hari biasa enggak terlalu rame kok, nyantai," ucap Erza.

Dirga tersenyum. "Makasih banyak, Bang Erza."

"Zul. Panggil aja Erzul."

Kini Dirga benar-benar pergi dari kafe.

"Serius lu, cuy?" tanya Farhan.

Erza menoleh ke arah pria keriting itu. "Serius."

"Dia kayak berandalan yang enggak bertanggung jawab loh."

"Ya, liat aja deh. Kita cuma bisa bertaruh sama takdir," balas Erza. "Dari attitude-nya dia enggak mirip sama berandalan."

"Enggak usah bawa-bawa takdir lu."

Erza tersenyum. "Oke."

***

Di sisi lain Dirga kini berbaring di bangku belakang Bon Voyage.

"Udah makan belom lu?" tanya Tirta.

"Udah, di rumah Chica."

"Enak ya sekarang nebeng mulu," ledek Tirta. "Pengemis asmara."

"Bacot ah."

Tirta duduk di kursi depan Dirga. Mereka tak punya obrolan untuk saling diberikan, hingga Dirga membuka obrolan kembali.

"Udah berapa lama kita enggak pernah duduk di meja makan bareng keluarga?"

Tirta terdiam. Dalam kepalanya, ia menghitung mundur hari-hari yang hilang. Namun, memori itu terlalu usang untuk diingat.

"Lu, gua, ibu, ayah, Frinza, Gemma ...," lirih Tirta. "Kita semua. Kenapa lu? Kangen?"

"Najis," balas Dirga. "Cuma ibu yang gua kangenin."

Berbeda dengan Dirga yang tumbuh bersama dendam yang ia pupuk sejak kecil. Tirta tumbuh menjadi pemuda yang lebih sabar dan memiliki kemampuan berpikir tenang dalam setiap situasi kondisi. Ia lihai mengontrol emosi dalam dirinya dan berusaha menjadi air disaat Dirga berkobar laksana api.

Tirta paham, Dirga tidak salah, mereka berdua hanyalah korban dari tradisi iblis. Namun, di sisi lain, keluarganya pun punya alasan tersendiri atas tragedi yang terjadi. Meskipun ada kebencian dalam dirinya, tapi Tirta lebih memilih bersikap netral.

"Mulai besok enggak perlu nungguin gua buat makan malem," ucap Dirga.

"Nebeng tiap hari?" tanya Tirta.

"Mulai besok gua kerja," jawab Dirga.

"HAH?!"

.

.

.

TBC








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top