12 : Pasukan Anjing Liar
Tercetak tawa di wajah Dirga sore ini. Ia dan basisnya sedang duduk di warung tercinta.
"Itu karena lu goblok," ucap Dirga pada seorang pemuda berkulit gelap dengan hidung mancung.
Pikray dan Agoy menertawakan pemuda itu, sebut saja ia Junbau. Bukan nama aslinya. Sebenarnya nama aslinya Jundi, tapi ia dipanggil Junbau karena aromanya yang tidak ramah lingkungan. Ya—begitulah di sini, selalu ada nama samaran yang melekat di basis tongkrongan.
Agoy memiliki nama asli Yoga, hanya memindahlan huruf a dari belakang ke depan. Pikray memiliki nama asli Fikri. Memet kuli alias Metkul. Dari semua anak tongkrongan warung depan sekolah, hanya Dirga yang tak memiliki nama samaran seperti mereka.
Tak lama berselang, Babay dan Metkul datang mengendarai motor Satria F tahun 2012. Raut wajah mereka terlihat panik.
"Kenapa muka lu pada?" tanya Agoy. "Kayak abis ngeliat setan."
"Lebih parah daripada setan," balas Metkul. "Di jembatan arah ke halte,anak sekolah kita enggak bisa lewat."
"Kenapa enggak bisa lewat?" tanya Pikray.
"Belkur," celetuk Dirga.
Semua serempak menatapnya.
"Udah gua duga anjing-anjing itu pasti ngegigit lama-lama," ucap Babay. "Lu biarin aja, Dir?"
Dirga terdiam tanpa jawaban. Namun, meskipun ia diam, sebenarnya Dirga sedang mencari sebuah solusi di kepalanya.
"Dir," lanjut Babay. "Perintah lu?"
Sang Komandan bangkit dari duduknya. "Lu semua tunggu sini."
"Lu mau ke mana, Dir? Jangan bilang ...."
Dirga memotong ucapan Babay. "Udah, lu semua tenang aja. Enggak akan terjadi apa-apa selama lu ngikutin apa kata gua. Gua bilang tunggu, ya tunggu. Ngerti lu?"
Babay dan yang lain terdiam sambil mengangguk pelan. Dirga tersenyum. Ia melewati Babay, menepuk pundaknya, lalu pergi begitu saja meninggalkan tas hitam selempangnya di warung.
"Ada sebab, ada akibat. Ini semua gara-gara keputusan nyerang Abet waktu itu. Semua bajingan dateng buat buktiin rumor tentang seorang Dirga Martawangsa," gumam Dirga.
Sejenak ia menoleh ke belakang, memastikan Chica tak menangkap kehadirannya.
"Sekali doang enggak apa-apalah ya. Buat jadi pelajaran aja." Dirga kembali melanjutkan langkahnya menuju jembatan di Barat, arah halte.
Semakin ia berjalan, banyak anak-anak berseragam Adinata yang diam memandang ke arah jembatan. Mereka takut pada gerombolan anjing berseragam abu-abu yang menyebar di jembatan.
Dirga menggaruk kepala sambil menghela napas berat. "Ya udahlah ya, warga juga enggak bisa diharapin." Ia berjalan menuju jembatan seorang diri.
Dari kejauhan, para gerombolan anjing liar dari Barat menatap seorang pria yang berjalan ke arah jembatan.
Pemuda tinggi berambut cepak berjalan ke arah seorang pria berjaket hitam yang lebih pendek darinya. "Kil."
"Yang ini kenalan gua," ucap Kilog pada bawahannya. "Biar gua yang urus."
Di sisi lain seorang pemuda berseragam Adinata menarik Dirga ketika langkahnya semakin dekat dengan jembatan. "Jangan! Nanti aja tunggu warga dateng ngusir mereka. Sabar dulu aja kalo mau lewat."
"Hah? Siapa yang mau lewat?" Dirga menatap pemuda itu, lalu menunjuk gerombolan anak Belkur. "Gua ada urusan sama mereka. Sorry ya ganggu waktunya. Tunggu sebentar. Sebentar lagi kalian bisa lewat." Ia kembali berjalan memasuki area jembatan. Anak itu terdiam ketika membaca nama di bagian dada seragam Dirga.
"Cukup gua aja yang maju." Kilog berjalan maju seorang diri. Ia menarik hisapan rokok, lalu membuang asapnya. "Yo," sapanya pada Dirga.
"Yo," balas Dirga. "Apa kabar?"
"Baik. Lu apa kabar?"
"Baik juga," jawab Dirga.
"Langsung aja. Mana si Dirga?" tanya Kilog.
Dirga tersenyum. "Orangnya ada di sini."
Komandan Dog Boy itu mengerutkan kening. "Hah?" Ia mencari pasukan lawan, tetapi tak menemukan apa pun selain anak-anak culun yang ketakutan dan seorang pemuda pemberani. Suasana mendadak hening, menyisakan deru angin yang berhembus melintasi jembatan.
"Arga," ucap Dirga di tengah keheningan. "Akulah si Dirga," lanjutnya.
Namun, rupanya jokes itu tak membuat siapa pun tertawa, "hehe." Menyisakan kekehan paksa seorang Dirga Martawangsa.
"Pffftt ...." Ternyata bukannya tidak lucu. Hanya saja butuh waktu untuk mencerna lawakan Dirga. Pasukan Dog Boy terbahak-bahak mendengar guyonan tersebut. "Hahahaha." Tentu saja, kecuali seorang Jonathan Noel Kusuma.
"Jangan ada yang ketawa, berengsek," ucapnya dengan nada rendah.
Mendadak suasana kembali hening. Gonggongan tawa pasukannya sirna dilumat satu mandat Sang Komandan.
Kilog menatap lurus dan tajam ke arah Dirga sambil meneruskan langkahnya yang sempat terhenti. Ia menyentil rokok dari tangannya hingga terlempar keluar jembatan.
Kini ia kembali menghentikan langkahnya tak jauh dari hadapan Dirga. "Gede juga nyali lu dateng sendirian ke sini."
"Adinata bukan musuh lu," ucap Dirga. "Kalo lu cuma mau tau kebenaran soal Dirga Martawangsa yang bisa bikin seorang Abet jatoh, sekarang lu bisa cari tau sendiri."
Satu sudut bibir Kilog terangkat naik. "Lu terlalu percaya diri kayaknya. Kalo gua cuma mau tau soal rumor itu, gua bisa dateng sendirian, tapi ...." Ia mengangkat satu tangannya dan menunjuk pasukan di belakangnya dengan jempol. "Kalo gua bawa pasukan, artinya gua mau yang lebih."
Tatapan Dirga berubah. Wajahnya yang terlihat baik itu mendadak ganas dengan sorot mata yang tajam. "Berani maju lewatin setengah jembatan, gua bunuh," ucap Dirga dengan nada mengancam.
Kilog terkekeh. Ia melanjutkan kembali langkahnya. "Bunuh? Jangan ngomongin bunuh-bunuhan sama anak belakang kuburan." Tiba-tiba ia berlari ke arah Dirga.
Dirga tak mengharapkan pertempuran ini, tapi ia tak punya pilihan lain. Ia memasang kuda-kuda bertarung, mode bertahan.
Begitu lawannya masuk ke dalam jangkauan serang, Kilog langsung melayangkan kaki kanannya ke wajah Dirga. Namun, dengan tenang Dirga mampu menepisnya.
Dengan cepat Kilog menarik kakinya, lalu mundur satu langkah, kemudian maju sambil memutar tubuh ke belakang dan mengayunkan kakinya kembali untuk mengantarkan tumitnya ke rahang kiri Dirga.
Kali ini Dirga menghindari kaki pria itu dengan menunduk. Sejujurnya, meskipun tubuh Kilog agak kecil, tetapi tendangannya terasa berat. Kaki pria itu seperti besi.
Menunduk memang metode pertahanan untuk menghindar, tapi Dirga tak sepenuhnya bertahan. Ia menggunakan kaki terkuatnya untuk mendorong tubuh ke atas mengirimkan tinju ke rahang bagian bawah Kilog.
Sayangnya, tinju itu belum mampu menyentuh targetnya karena terhalang satu telapak tangan. Kilog menarik tangan Dirga ke samping hingga membuat tubuh pria itu terdorong maju dengan cepat ke kiri. Sebuah sepakan lutut menyambut wajah Dirga yang datang.
Tak bisa bertahan dan menghindar, first blood di dapatkan oleh Kilog. Dirga terpental dan mengeluarkan darah dari hidungnya.
"Bangsat." Namun, Dirga masih sanggup berdiri.
Kilog bersiul ketika menatap lawannya bangkit. "Orang biasa pasti udah enggak bisa berkutik waktu idungnya patah, tapi lu masih bisa bangun. Oke, sekarang gua percaya kalo lu Dirga Martawangsa."
Lutupan amarahnya tak mampu lagi terbendung. Kali ini Dirga akan lebih agresif untuk membalas tendangan lutut barusan, ia tak suka berutang. Dirga mengepal tangannya keras dan hendak maju.
"Dirga!"
Suara lembut itu mampu meredam kebencian. Tubuh Dirga gemetar kehilangan nyali. Ia menoleh ke belakang. Matanya terbelalak ketika melihat Chica berdiri di ujung jembatan dengan napas terengah-engah.
"Chica ...," lirih Dirga.
"Jangan berpaling dari musuh lu, bangsat!" Kilog menendang punggung Dirga yang free tanpa pertahanan hingga membuat pria itu tersungkur. "Apa lagi lawan lu salah satu dari lima Raja!" Kilog menerjang Dirga yang terjatuh dan menghujaninya dengan pukulan bertubi-tubi. Ia terlihat seperti anjing gila yang sedang mengoyak-ngoyak mangsanya dengan brutal.
"Dirga!" Chica hendak mendekat menghentikan kebrutalan Kilog, tapi seseorang berlari dari belakangnya melewati gadis itu dan terus berlari kencang hingga membuat topi beanie yang ia kenakan terjatuh di tanah.
"JANGAN SENTUH, DIRGA!" teriak Andis yang datang dan langsung menendang Kilog hingga terpental ke belakang.
Tentu saja, melihat pertarungannya diganggu oleh salah satu anak SMA Adinata, para anjing liar tak senang dan mulai menggonggong.
"HAJAR!" teriak si cepak yang sepertinya merupakan wakil Komandan Dog Boy. Para anjing liar itu berlari ke arah Kilog dan dua lawannya.
"Lu ngapain, bego?!" bentak Dirga. "Sekarang jadi konflik sekolah kalo lu ikut campur, Dis!"
"Kalo gua enggak turun tangan, Chica yang maju! Lu gila kali kalo biarin dia yang maju! Anak-anak Dog Boy itu gila, Dir! Mereka enggak peduli cewek apa cowok," balas Andis. "Kalo dia kena hajar gimana?!"
Kini dua sejoli itu hanya bisa menatap kawanan anak-anak Belkur yang berlari ke arah mereka dengan wajah pasrah.
"Mampuslah kita," ucap Andis.
"Ngiung ... ngiung ... ngiung ... ngiung."
Suara sirine polisi dari sisi sebrang jembatan arah SMA Adinata, membuat langkah para pasukan anjing liar itu terhenti. "Polisi! Mundur!"
Kilog bangkit dan ikut berlari terpontang-panting mundur dari jembatan. Mereka berhamburan ke jalan dan menghilang dari pandangan Dirga begitu saja.
"Ngiung ... ngiung ... ngiung ... ngiung."
Sebuah benda kecil menyentuh tangan Dirga yang sedang menyanggah tubuhnya, membuat Sang Komandan menoleh. Ditatapnya sebuah mainan mobil-mobilan polisi remote control yang membawa sebuah sirine.
"Minggir, goblok. Jangan di tengah jalan," ucap seorang pria berseragam Adinata.
Dirga mendongak. Ia terkekeh menatap seringai di wajah Uchul.
"Minggir, minggir. Mobil gua jadi enggak bisa jalan ini woy!"
Dirga berusaha bangkit di bantu Andis. Andis menopang tubuh Dirga, membantunya berjalan. Sementara Uchul berjalan ke arah yang berlainan. Ia berjalan sambil memegang remote control, mengendalikan mainan itu ke sisi lain jembatan.
"Tangkap para bajingan ituuuuu kekeke."
"Ngiung ... ngiung ... ngiung ... ngiung."
Pada satu titik, Andis berhenti ketika sosok Chica berdiri di hadapan mereka dengan mata berkaca-kaca. Dirga tak berani menatap wajah gadis itu. Ia kecewa pada dirinya sendiri karena tak bisa memegang janji.
"Maaf ...," lirih Dirga. Namun, ucapan yang belum usai itu mendadak berhenti. Kini mata pria itu membulat utuh ketika Chica memeluk tubuhnya sambil menangis. Perlahan Andis melepaskan rangkulannya dan pergi berjalan meninggalkan Dirga bersama gadisnya.
"Aku enggak suka liat kamu luka ...," gumam Chica lirih. "Aku enggak suka, Dirga."
Dirga mendekap gadis itu. "Iya, maaf. Aku cuma enggak mau ini jadi besar dan jadi perkelahian antar sekolah. Aku cuma mikirin gimana caranya urusan ini beres tanpa ngelibatin siapa pun. Oke, aku luka, tapi seenggaknya enggak ada orang lain yang luka."
Chica memukul dada pria itu. "Aku yang luka. Aku."
Dirga terdiam seribu bahasa. Ia kehilangan alasan untuk dikatakan dengan mulutnya.
"Setiap kamu luka, aku juga luka. Aku enggak mau liat kamu berantem lagi, Dirga."
"Aku akan berusaha buat itu, tapi aku enggak bisa berubah begitu aja karena ada sisi gelapku yang kamu suka. Pemikiran aku yang naif tentang melindungi orang-orang di sekitar aku," balas Dirga. "Perkelahian yang buat kita deket, waktu dulu jagain kamu dari berandalan kayak anak-anak tadi. Aku janji buat enggak berantem, tapi aku enggak janji buat diem ketika orang lain terinjak-injak. Aku janji enggak akan nyerang, tapi aku enggak bisa janji buat enggak bertahan."
Kini giliran Chica yang terdiam dalam dekap pria itu.
"Aku janji akan selalu ngelindungin kamu," ucap Dirga. "Tinju ini tercipta buat melindungi."
Chica melepaskan dekapannya. Ia menatap wajah Dirga yang babak belur. "Ayo ke rumah, aku obatin muka kamu dulu biar ganteng lagi."
Dirga tersenyum. "Oke."
Chica merangkul Dirga, membantu pria itu untuk berjalan.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top