10 : Kencan Sendu
Weekend pertama bagi dua pasangan baru, cihuy!
Bagi kawla muda, sabtu dan minggu memanglah hari yang dinanti-nanti. Wajar, karena hanya di hari itu kebanyakan orang-orang bisa bersantai, atau menghabiskan waktu bersama orang-orang terkasih mereka.
Dirga duduk di ruang tamu rumah Chica. Ia ditemani seorang pria berkumis tipis berpakaian singlet putih. Pria itu adalah ayah dari Chica Ramalia.
"Mau ke mana?" tanyanya sambil menatap tajam mata Dirga.
Adrenalin Dirga terpacu, tapi berusaha untuk tidak terlihat kikuk di depannya. "Ke Mall, om."
"Ngapain?"
"Nonton bioskop sama makan siang paling," jawab Dirga.
"Naik apa?"
"Angkot, Om. Biar irit ongkos."
"Enggak ada motor?" tanyanya.
"Enggak, Om."
"Bisa bawa motor?"
"Bi-bisa, Om."
Pria itu bangkit sambil menggulung sarungnya naik. Ia berjalan ke bufet dan mengambil kunci motor. "Serius bisa?"
"Ka-kayaknya sih bisa."
Ia memicing. "Kayaknya?"
Chica datang dari dalam dan merebut kunci motor itu dari tangan ayahnya. "Jangan dibikin takut dong Dirganya, nanti dia enggak mau main ke sini lagi."
Pria itu tiba-tiba tertawa dan berjalan ke arah Dirga, menepuk pundaknya. "Bercanda. Enggak usah tegang. Kalo belum bisa enggak apa-apa, nanti belajar ya."
"Iya, Om. Nanti Dirga belajar biar bisa boncengin Chica."
"Ya udah, yuk jalan," sambung Chica.
Dirga mematung memandang gadisnya. Hari ini Chica mengenakan topi baret berwarna merah, kemeja putih, rompi hitam bermotif ketupat, dan straight pants bermotif kotak-kotak berwarna gelap serasi dengan rompinya.
"Cantik."
Satu kata yang mampu membuat Chica luluh. Ia terlihat malu ketika dipuji Dirga di depan orang tuanya. Sepertinya Dirga pun tak sadar berucap seperti itu.
Ayah Chica menyenggol pemuda itu dengan senyuman. "Cantik, ya?"
Dirga mengangguk.
"Ayah!" Chica berjalan melewati kedua pria itu menuju motor vario putihnya.
"Dir, jaga Chica ya. Kalo sampe dia terluka, saya buat kamu punya luka yang sama," ucap Ayah Chica dengan tampang serius.
Dirga pun mengeluarkan raut wajah tak kalah serius. "Siap, Om. Saya jaga Chica pake nyawa saya sendiri."
Pria berkumis tipis itu tersenyum. "Hati-hati dan selamat berkencan."
Dirga mengulurkan tangan dan mencium tangan pria itu selayaknya orang tuanya sendiri. Senyum tipis terukir di wajahnya. "Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Dirga berjalan keluar menghampiri Chica. Ia duduk di jok belakang karena belum bisa mengendarai motor. Hari ini mereka berniat jalan-jalan santai ke Mall untuk menonton film Perahu Kertas yang diperankan oleh Maudy Ayunda dan Adipati Dolken.
Chica menaikkan standar motor dan menarik gasnya pelan. Perlahan mereka melaju meninggalkan rumah minimalis dengan kedua orang tua yang berdiri di depan pintu menatap anaknya yang diajak berkencan oleh pacar barunya.
"Kamu malu enggak dibonceng cewek?"
"Enggak tuh," jawab Dirga.
"Kok enggak? Kamu kan harga dirinya tinggi."
"Kecuali kamu bawanya enggak bener, aku baru malu. Kalo kamu bawanya bener sih ya aku biasa aja. Enggak ada yang salah sama cewek bawa motor dan cowok dibonceng cewek, kan?"
Chica tersenyum. "Tapi mau belajar motor?"
"Maulah. Bukan karena malu atau alasan konyol lain sih. Aku mau dipeluk kamu dari belakang aja."
"Emangnya aku mau peluk?"
"Enggak tau," jawab Dirga. "Bercanda. Aku mau bisa bawa biar kamu bisa santai di belakang. Biar aku yang bawa, karena aku udah janji sama ayah kamu buat jaga keselamatan kamu dari jemput sampe nganterin pulang lagi."
"Ya udah, nanti sore kita belajar ya."
"Oke."
Jarak dari rumah Chica ke Mall tidak terlalu jauh. Yaaa kira-kira setengah jam jarak tempuh. Sepanjang jalan Chica menceritakan sedikit spoiler film yang akan mereka tonton nanti. Gadis itu sudah baca novelnya terlebih dahulu. Namun, Dirga tak peduli. Ia tidak minat dengan film tersebut sebenarnya. Dirga hanya ingin menghabiskan waktu bersama Chica.
***
Singkat cerita, mereka sudah berada di depan Cinema 21 dan kehabisan tiket.
"Yah." Wajah Chica terlihat kecewa.
"Udah, udah, masih ada besok." Dirga berusaha menenangkan.
"Besok aku ada acara keluarga. Sebel deh."
"Jalan-jalan aja yuk. Liat-liat apa kek gitu," ajak Dirga. "Daripada diem di sini doang liatin calon penonton Perahu Kertas."
"Yuk deh." Chica beranjak dari kursi dan berjalan lurus keluar dari Cinema 21.
Dirga mengikutinya dari belakang sambil menggelengkan kepala. Ia pikir siswi berprestasi tak bisa mutung, tapi nyatanya Chica memanglah gadis biasa yang bisa bad mood seperti gadis normal di luar sana.
Perlahan tapi pasti, wajah itu riang kembali. Chica berjalan ke sana ke sini, berpindah dari satu toko pakaian ke toko pakaian lain. Kini Dirga menyesal. Seharusnya mereka duduk saja sampai sore. Pemuda itu tampak kelelahan mengikuti Chica yang hiperaktif.
"Dirga! Sini, sini."
Dirga menghela napas berat dan berjalan lemas menghampiri Chica yang sedang berdiri memegang sebuah jaket jeans berwarna biru. Begitu jarak mereka sudah dekat, Chica memasangkan jaket itu ke tubuh Dirga.
"Coba pake deh."
Dirga melepas jaket hitam lusuhnya, menyisakan kaos hitam lengan buntung yang menampilkan otot lengannya. Chica terdiam melihat lengan pria itu. Sekilas, Dirga terlihat kurus, tapi rupanya ia menyembunyikan otot yang gagah meskipun tidak terlihat besar. Pantas saja lawan-lawannya selama ini kalah. Dengan wajah datar, Dirga mencoba jaket itu.
"Hey. Chica."
Pecah sudah lamunan Chica. Ia menatap Dirga yang memanggilnya. "Ya?"
"Kok diem? Ini udah aku coba. Terus apa?"
Chica melihat penampilan yang berbeda dari seorang Dirga Martawangsa. Terbesit senyum di wajahnya. "Kamu cocok pake ini tau. Aku suka."
Wajah Dirga memerah. "Oke, kapan-kapan aku beli."
"Sekarang aja," balas Chica. "Sekalian langsung kamu pake mumpung ukurannya pas."
"Hah? Aku enggak bawa uang."
"Pake uang aku."
Dirga tersenyum. "Enggak. Kapan-kapan aja, ya."
Wajah Chica terlihat kecewa, persis seperti di bioskop tadi. Dirga tak mampu melihat raut wajah Chica yang seperti itu. Ia menghela napas dan berpasrah diri, meskipun di dalam dadanya, ia agak keberatan. Pertama karena modelnya kurang garang, kedua Dirga tak memiliki uang untuk mengganti uang Chica.
'Ya, bisalah nanti diusahain bayar.' Batin pria itu.
Mereka berjalan ke kasir dan membayar jaket itu. Dirga langsung mengenakannya, sementara jaket hitam lusuhnya berada di tas belanja.
Dari toko pakaian, mereka melipir ke toko sepatu.
"Dirga! Coba deh yang ini."
Dirga mengehla napas berat kembali. Ia mecoba sebelah sepatu kulit berwarna hitam yang Chica ambil. Kali ini sepatu keluaran Brodo, model Ventura pure black.
"Wajib beli!" ucap Chica. "Makin keren aja."
Dirga memicing. "Lah?"
"Kamu cocok banget!" Wajah Chica tampak girang. Matanya berbinar ketika mendandani Dirga yang memang biasanya terlihat urakan.
Namun, kali ini Dirga tak bisa menerimanya. Ia melepaskan sepatu itu dan menggantinya dengan sepatu miliknya sendiri. "Udah, cukup." Nadanya agak meninggi. "Enggak perlu beli-beli. Nanti kalo udah merasa harus ganti baru diganti baru."
"Maaf ...." Nada bicara gadis itu mendadak lirih, selaras dengan kepalanya yang tertunduk.
Ada setumpuk sesal di wajah Dirga, ia menyesal karena sudah meninggikan suaranya. "Hey." Pria itu mengusap kepala gadisnya. "Aku yang minta maaf karena udah bentak kamu. Aku enggak maksud gitu. Jangan sedih, kamu enggak salah."
"Aku yang minta maaf. Ini kencan pertana kita dan aku udah ngatur-ngatur kamu ...," lirih Chica. "Padahal aku enggak tau selera apa yang kamu suka. Maaf udah egois."
"Hey, aku yang salah, maaf. Toh, kalo kamu suka aku juga suka. Aku enggak masalah pake apa aja kok, tapi aku enggak punya cukup uang buat bayar jaket sama sepatu yang kamu beliin. Kamu pasti punya alasan, kan? Kenapa mau aku pake sesuatu yang kamu pilih. Aku cuma merasa belum butuh yang baru."
"Jujur, aku ngeliat kamu itu kayak enggak ke urus. Seragam putih kamu udah terlalu kusam, celana abu-abu kamu juga udah cungkring. Di luar sekolah pun kamu juga kayak enggak pernah ganti model outfit. Aku cuma mau kamu ...."
"Ya udah. Kalo kamu suka, aku ambil sepatunya, tapi nanti aku ganti ya? Aku enggak mau kamu keluar uang buat barang mahal gini," ucap Dirga. "Terutama buat orang lain kayak aku."
"Tapi kamu suka enggak modelnya?"
Dirga tersenyum. "Suka kok. Klasik-klasik vintage gitu."
Perkara selesai. Dirga langsung mengenakan jaket dan sepatu barunya. Sekarang di dalam kepalanya hanya ada tentang bagaimana caranya ia membayar utang barang-barang yang Chica berikan. Dua barang tersebut memiliki harga di luar nalar Dirga yang gembel.
Saat ini mereka berdua duduk di food court, menunggu makan siang mereka datang. Chica memesan masakan Jepang, sementara Dirga bakmi.
"Dirga, kamu lagi mikirin apa sih?" tanya Chica yang mendapati pacarnya banyak melamun.
"Kalo dipikir-pikir, kita itu belum saling kenal," jawab Dirga. "Kamu suka apa sih? Selain aku. Aku mau lebih kenal sama kamu."
Chica tersenyum. "Banyak, tapi bukan orang."
"Kayak apa?"
"Kalo kita ngomogin musik, aku tuh suka Westlife, The Beatles, sama Oasis. Dari outfit, aku suka model retro. Ya, intinya yang berbau klasik gitu."
"Kenapa retro?" tanya Dirga.
"Anti-klise," jawab Chica. "Liat kamu pake jaket jeans sama sepatu kulit tuh aku lumer tau. Kamu keren dan gagah."
Dirga terkekeh. "Ya, ya, ya. Outfit kamu emang udah keliatan retro banget sih. Aku pikir kamu tuh yang modelan pure feminim gitu tau."
"Why?" tanya Chica.
"Kamu anak pinter," jawab Dirga.
"Jawaban aneh." Mereka tertawa bersama. "Kalo kamu? Suka apa? Selain aku sama telor ceplok mama kamu."
Dirga terkekeh. Ia menahan getir ketika terucap kata 'mama' dari mulut Chica. Gadis itu tak tahu kenyataan pahit yang Dirga genggam erat-erat.
"Aliran musik ku tuh yang metal-metal deh, atau enggak punk gitu. Kalo outfit ya—urakan aja. Pokoknya pake yang ada. Intinya, selama yang lama masih bisa dipake, gas terus. Kalo rusak baru ganti."
Chica tersenyum. "Hemat apa pelit sama diri sendiri tuh?"
Dirga menaikan satu alisnya sambil melirik ke arah kanan atas. "Ya ... siapa yang tau."
"Kamu berapa bersaudara?" tanya Chica.
Mata Dirga berkedut. Ia benci topik seputar keluarga, tapi tak ingin menunjukannya di depan orang lain, terutama Chica.
"Dua," jawab Dirga. "Cuma ada aku sama Tirta."
"Ahh—iya si Ketua Osis." Ia mengangguk pelan. "Kalian tuh beda banget ya? Yang satu banyak prestasi, yang satunya lagi banyak masalah."
Dirga menggaruk kepala meskipun ia tidak merasa gatal. "Ya gitu deh. Kita punya pandangan hidup yang beda. Kadang kala, yang orang lain liat itu aku emang pembuat masalah, tapi dari sudut pandangku, aku enggak akan memulai masalah kalo enggak ada yang bawa masalah."
Chica mulai paham bagaimana cara pandang Dirga dalam menyikapi sesuatu. Pria itu tipikal yang keras kepala dengan pendiriannya. Seorang pria dengan idealis sebagai harga mati.
"Kalo kamu? Aku belum pernah liat kakak atau adik kamu?"
Chica menatap sepasang mata Dirga. "Kalo aku tuh anak tunggal. Kadang pengen gitu punya saudara biar bisa sharing ini itu kayak kamu," ungkap Chica. "Kadang aku iri sama orang yang punya saudara kandung kayak kamu."
"Emangnya ...." Dirga menghentikan ucapannya sejenak sambil menatap langit-langit. "Kurang ya punya ayah ibu?"
Chica memicing. "Pertanyaan apa sih itu?"
Dirga memasang senyum sambil membuang muka. Ia tak ingin getirnya terbaca. Pria itu tak mampu menjawab pertanyaan Chica.
Sayangnya, gadis itu bukan gadis bodoh. Ia mengendus aroma nestapa dari prianya. Tangan halus dan mungil itu meraih tangan Dirga.
"Kamu kenapa?"
Dirga memberanikan diri menatap balik. Ia tak boleh terlihat bersembunyi. "Kenapa apanya?"
"Kamu bisa ngumpet dari semua orang, tapi enggak dari aku. Kalo belum bisa cerita enggak apa-apa, tapi kalo butuh aku—bilang aja ya."
"Oke deh. Kalo aku sedih aku cerita, tapi serius aku enggak kenapa-napa deh."
"Bakminya, Kak." Seorang pegawai resto datang dan meletakkan makanan Dirga di atas meja. Orang tersebut melepaskan Dirga dari suasana hati yang sendu.
"Makasih, Mas," ucap Dirga.
Chica tak ingin memaksa Dirga untuk bercerita. Ia pun paham, nanti ada waktunya pria itu akan bercerita banyak hal. "Makan duluan gih."
Namun, Dirga tak mau. Ia menunggu makanan Chica yang datang lima menit setelah makanannya datang. Habis itu barulah mereka makan bersama.
***
Kencan hari pertama berakhir. Dirga lebih banyak diam setelah makan siang. Ia terlihat seperti menyembunyikan sesuatu yang pedih, dan Chica mampu membacanya meskipun gadis itu tak tahu perihal apa.
"Kamu sakit?" tanya Chica yang sedang mengemudi dan melirik kaca spion kanan yang ia setting ke wajah Dirga di belakangnya.
"Enggak kok," jawab Dirga lemas tanpa semangat.
"Belajar motornya besok-besok aja deh. Aku anter pulang aja ya sekarang?"
Pecah sudah lamunan Dirga dan segala pemikiran sedihnya. "Hah?!"
"Aku anter pulang, ya? Kok kayak kaget gitu?"
"Enggak usah. Aku jalan sendiri aja nanti dari rumah kamu."
"Kalo dipikir-pikir aku belum pernah ke rumah kamu. Belum pernah ketemu orang tua kamu," balas Chica.
"Ah itu ... nanti aku ceritain deh, tapi enggak bisa sekarang soalnya ceritanya panjang. Ada alasan kenapa aku belum bisa ajak kamu ke rumah aku."
Chica berusaha tersenyum. "Oke, aku tunggu waktunya nanti." Gadis itu mengalah. Sebab hari ini Dirga sudah banyak mengalah untuknya, ia hanya tak mau egois.
Dirga tak mampu bercerita tentang fakta yang ia sembunyikan. Bahwa ia sudah tak memiliki ibu dan ia kabur dari rumah karena pria yang ia panggil ayah ingin membunuhnya. Selain itu, Dirga juga menutupi bahwa ia memiliki dua orang kakak laki-laki. Sungguh hubungan keluarga yang rumit.
"Maaf ya karena belum bisa cerita banyak hal tentang aku," ucap Dirga.
"Enggak apa-apa. Nanti ada waktunya."
"Tapi kalo boleh jujur, hari ini adalah hari terindah selama aku hidup. Makasih ya udah nerima aku ke dalam hidup kamu! Makasih juga udah boncengin aku!"
"Lebay!" balas Chica sambil tertawa. "Oke, sama-sama. Lain kali aku bonceng sampe rumah kamu, ya!"
Perlahan senyum di wajah Dirga tertekuk ke bawah. "Iya."
'Enggak usah anterin aku. Karena aku pun enggak tau, ke mana aku harus pulang. Aku enggak punya tempat seindah itu. Bagiku, yang namanya keluarga dan rumah itu cuma sebuah dongeng lama.'
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top