1 : Penunggang Kereta Perang

Jakarta, 2012.

Gemuruh laju kereta api membuat semua kendaraan yang hendak menyebrangi rel berhenti di tepi jalan. Seringai bocah nakal itu terpampang jelas, kuat bersama aroma perang yang menyelimuti pasukannya.

Bocah SMA itu berdiri di atas kereta dengan kaki lebar dan tangan menyilang penuh kesombongan di depan dada. Ia dan bala tentaranya terlihat seperti sedang menunggangi kereta jurusan Bogor-Jakarta Kota dengan gagah berani.

Ia menoleh ke belakang, menatap pasukannya yang sedang duduk menunggu komando. "Bentar lagi kita sampe," tuturnya dengan suara berat.

Para pasukan berseragam putih abu itu bersiap turun. Begitu kereta berhenti di stasiun Tebet, gerombolan berandal yang berada di atap kereta itu berhamburan turun dan berlarian keluar Stasiun.

"SERAAANG!"

Para begundal itu berlari menerjang anak berpakaian putih abu dari sekolah lain. Anak-anak sekolah itu tak tahu apa-apa, mereka kembali berlari ke sekolah mereka yang memang tak jauh dari stasiun.

Perkelahian tak dapat dihindari. Bentrok antar pelajar pun terjadi dekat stasiun Tebet. Para penunggang kereta perang membuat lawannya terpojok. Para berandalan dari sekolah tersebut kocar-kacir melarikan diri ke dalam sekolah. Tak jarang yang berhamburan ke pemukiman warga untuk mencari perlindungan.

Bocah pemimpin itu mengangkat tangannya tingg-tinggi. "Kita menang!" Sorak-sorai memeriahi pesta kemenangan atas balas dendam rekannya yang sempat terlibat perkelahian dan hampir tewas beberapa waktu lalu.

Tak lama berselang, pesta dimeriahi oleh suara sirine polisi. Bocah-bocah bandel itu berhamburan dan berpencar, berusaha lari dari kejaran polisi.

***

"Yoga Bagus, Rahmet Putra, Reza Batara, Jundi, Firki Amar, Doni Purnama, Dirga Martawangsa." Seorang guru pria bertubuh gempal menyebut beberapa nama. "Semua yang dipanggil maju ke depan!"

Tak ada yang berani dengan Pak Maman. Semua siswa yang dipanggil itu maju ke depan lapangan ketika upacara baru saja selesai.

Semua anak yang dipanggil kini berjejer rapi. Mereka menatap siswa-siswi lain yang masih berada dalam barisan kelas masing-masing.

Sebuah tamparan pada anak yang berdiri di ujung kiri barisan mengejutkan satu sekolah. Bunyinya sangat nyaring dan terdengar sedap. Tamparan demi tamparan melayang bergantian, hingga memberikan bekas merah di pipi Dirga yang berdiri di ujung kanan barisan.

"Sampai kapan kalian mau bikin malu nama sekolah kita?!" bentak Pak Maman.

Tak ada yang berani menyahuti Pak Maman. Mereka semua diam dan bersikap seperti pengecut. Pak Maman kini menyorot pada pria yang sedang diam-diam menguap ngantuk seolah tak peduli dengan posisinya.

"Dirga!"

Dirga Martawangsa, pemuda itu menoleh dan menatap mata Pak Maman. "Apa?"

Orang bilang Pak Maman adalah Medusa. Tidak ada yang berani menatap mata guru itu, apa lagi saat ia sedang marah. Namun, Dirga bukan hanya menatapnya, tetapi juga membalas ucapannya. Pemuda itu berbeda dengan para pecundang yang terlihat takut. Dirga tak mencerminkan ketakutan.

"Ikut saya kamu! Sisanya jangan ada yang masuk ke dalam kelas sebelum saya suruh!" Begitu Pak Maman pergi, lapangan upacara pun perlahan sepi menyisakan beberapa peserta tawuran Jum'at kemarin yang berdiri di depan. Sementara Dirga mengikuti Pak Maman dari belakang seorang diri. Ia membawa Dirga ke kantor kepala sekolah.

Tok ... tok ...tok

"Masuk."

Pak Maman dan Dirga masuk ke dalam ruangan keramat itu. Seorang pria berkulit gelap dengan rambut keriting berkacamata sedang menatap mereka berdua.

"Ini dalang tawurannya, Pak."

Dirga mengerutkan kening. "Lah, kok saya?"

"Dirga Martawangsa," panggil Kepala Sekolah. "Duduk."

"Bukan saya dalangnya!" balas Dirga.

"Duduk!" bentak Pak Maman. "Anak modelan kamu harus diteriakin dulu biar denger kata gurunya."

"Saya enggak mau duduk, orang saya cuma ikut-ikutan. Saya bukan dalangnya!" balas Dirga tak kalah nyolot.

"Dirga ...."

Mereka semua menoleh ke arah pintu. Seorang dengan wajah mirip Dirga sedang berdiri di pintu.

"Tirta ...." Dirga menunduk tak berani menatapnya.

Orang itu adalah Tirta Martawangsa, kembaran Dirga sekaligus musuhnya. Jika Dirga merupakan siswa yang rebel dan pemberontak, Tirta sebaliknya. Ia merupakan siswa teladan sekaligus ketua OSIS SMA Adinata.

"Duduk dulu, Dir," ucap Tirta lembut.

Pikiran Dirga mendadak kosong. Hal itu terjadi bukan tanpa sebab. Pasalnya, Tirta mampu membaca pikiran manusia lain. Perlahan pemuda garang itu menurut. Dirga duduk berhadapan dengan Kepala Sekolah.

"Contoh kembaran kamu," tutur Pak Maman. "Siswa berprestasi, ketua Osis ...."

"Guru aja enggak saya contoh, Pak. Apa lagi ini orang." Dirga terkekeh.

"Dirga, serius. Lu dalang tawuran di Tebet kemaren?" celetuk Tirta.

Dirga merubah raut ekspresinya. "Bukan gua."

Tirta menghela napas. "Saya mohon izin untuk melakukan investigasi bersama anak Osis terkait masalah ini, Pak. Jika kembaran saya memang dalangnya, silakan dihukum."

Kepala Sekolah percaya pada Tirta. Meskipun itu adalah kembarannya sendiri, Tirta tak segan-segan mengayunkan pedang keadilan miliknya untuk menghukum Dirga.

"Baiklah, saya serahkan masalah ini pada Osis. Jika butuh apa-apa bisa beritahu Pak Maman," ucap pak kepsek.

"Baik, pak. Terimakasih."

Dirga beranjak pergi bersama dengan Tirta. Sepanjang lorong kelas, Tirta menatap Dirga sambil melangkah menuju ruang kelasnya.

"Kenapa sih?" tanya Dirga yang risih ditatap.

"Lu kalo beneran jadi dalang di balik aksi tawuran pelajar kemaren ... abis lu."

"Koi hampir mati. Dalang semua ini ya mereka. Udah sepatutnya mereka dapet balasan yang setimpal," balas Dirga.

Tirta menghentikan langkahnya. "Jadi bener, aksi kemarin itu lu yang komandoin?"

Dirga tak menyaut. Tirta menarik kerah belakang kembarannya dan membanting pria itu ke dinding. "Jawab!"

"Kalo bukan karena kemampuan ini ... Koirudin udah mati! Lu enggak pernah tau, Njing, gimana seremnya visualisasi masa depan ketika menggambarkan hal buruk kayak kematian. Mungkin menurut lu dan semua orang baik, tindakan gua salah, tapi cuma gua yang tau tindakan dan langkah apa yang harus dilakuin selanjutnya."

"Kalo ada apa-apa tuh cerita, kita saudara, kan?"

"Siapa yang mau dengerin omong kosong kalo gua bisa lihat masa depan?! Apa bedanya cerita sama orang yang udah pasti bakal ngelarang gua buat balas dendam? Mereka harus dihajar biar paham, Tir!" Dirga menarik tangan Tirta yang mencengkeram seragamnya dan melepaskannya, lalu berjalan pergi.

Tirta hanya terdiam menatap punggung kembarannya yang perlahan menjauh. Mereka memang kembar, tetapi jalan yang mereka piih selalu bertolak belakang. Mungkin, karena mereka tumbuh tanpa orang tua. Baik Tirta dan Dirga memiliki pandangan yang berbeda terkait apa yang baik dan dan apa yang buruk.

***

Saat ini Dirga sedang duduk melamun di kelas. Ia tak memperhatikan guru yang sedang menerangkan pelajaran pada jam terakhir ini, seolah memang tak peduli.

Di tengah rasa bosan itu, Dirga menatap jam dinding. Ia segera memicingkan mata ketika menatap jam itu menunjukkan pukul empat kurang sepuluh menit. Dirga sontak menatap jam tangannya juga, dan hasilnya sama dengan jam dinding.

"Loh? Kok cepet banget perasaan," gumamnya lirih sambil terheran-heran.

Tiba-tiba dari arah samping sebuah batu memecahkan kaca jendela ruang kelasnya yang berada di lantai tiga. Dirga dan warga kelasnya sontak terkejut. Suara kaca pecah menghiasi SMA Adinata dari satu kelas ke kelas lainnya.

Dirga bangkit dan mengintip keluar, rupanya mereka adalah anak-anak sekolah dengan jaket bertuliskan 'Nope'.

"SMA Batu Arang ...." Dirga menunduk kembali agar tak terkena hujan batu.

Dalam tayangan lambat, Dirga menatap teman-teman sekelasnya. Anak-anak tak bersalah yang bahkan tak tahu apa-apa. Mereka sibuk menangis dan berteriak ketakutan. Ada rasa bersalah jauh di dalam lubuk hatinya. Ini terjadi akibat apa yang ia perbuat kemarin. Benar apa kata pepatah, apa yang kau tanam adalah apa yang akan kau tuai.

"Bangsat! Kan mereka duluan!" ucap Dirga marah.

Namun, tiba-tiba ia tersadar dari lamunannya. Dirga menatap jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah empat. Rupanya kemampuannya aktif tanpa ia sadari.

Dirga diam sejenak dan tiba-tiba memasang wajah emosi. Ia menatap ke arah salah satu anak laki-laki yang duduk tak jauh darinya. "Kray. Kumpulin anak-anak dan semua fraksi. Kita diserang."

"Diserang siapa?" tanya Pikray heran.

"Sekarang," lanjut Dirga dengan sorot mata penuh amarah.

Pikray mengangguk. Ia dan teman-teman berandal lain langsung berdiri dan keluar dari kelas, mengumpulkan masa untuk memenuhi perintah Jendralnya. Hal itu menimbulkan kepanikan di dalam kelas.

"Hey, kalian mau ke mana?" tanya Bu Nana selaku guru Sosiologi yang sedang mengajar di kelas Dirga.

Selamanya perang hanya akan menghasilkan perang. Dendam selalu melahirkan dendam baru. Tali kebencian tak akan pernah lepas jika tak ada yang mau merelakan kekalahan.

Dirga mengambil tas miliknya dan menyusul teman-temannya keluar kelas. Ia menyusuri lorong yang terlihat kacau. Beberapa siswa berhamburan dari kelas karena panik mendengar sekolah diserang. Dirga melewati mereka semua hingga berada di parkiran sekolah. Anak-anak dan para relawan perang telah berkumpul di sana. Tinggal menunggu komando dari Panglima tertinggi.

"Jam empat kurang sepuluh, SMA Batu Arang bakalan nyerang kita. Mereka bakal lemparin batu secara brutal ke kelas-kelas kita," tutur Dirga.

"Dari mana lu tahu?" tanya Pikray.

"Apa selama ini prediksi gua pernah meleset?" tanya Dirga balik. Semua sepakat menggeleng. "Kalo enggak ada yang menentang, berarti semua ikut."

Mereka semua mempersiapkan rencana untuk mematahkan serangan kejutan lawannya. Dirga terlihat memberikan instruksi pada rekan-rekannya.

"Ngerti lu semua?" tanya Dirga.

Semua mengangguk paham.

"Menunggu komando, Jendral," ucap Metkul.

Dirga menatap semua orang yang bersiap untuk melawan balik. Bukan hanya gengnya saja, kini ada beberapa berandal yang bukan bawahannya. "Pertama, teman kita masih terbaring di rumah sakit gara-gara mereka. Kedua, kehormatan kita tercundangi jika hanya berlindung di dalam dinding sekolah ini. Apa yang akan kita lakukan?"

"Melawan!" teriak anak-anak lain.

"Apa yang akan kita lakukan?!"

"Melawan!"

"Rebut kehormatan kita! Bangkit melawan, atau tunduk ditindas!" lanjut Dirga.

"BANGKIT MELAWAN!"

Dirga menatap ke arah gerbang sekolah yang tertutup rapat. Ia berteriak menggemuruhkan genderang perang dengan suaranya yang lantang. Beberapa pasukannya mengambil senjata dari dalam tas dan berjalan mengikuti Dirga.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top