Tujuh

Rumah Bhaskara berada di sebuah kompleks perumahan elit ibu kota. Pekarangannya rimbun dengan bermacam jenis tanaman. Sebagian besar tanamannya berbunga merekah. Menguarkan aroma wangi tak kasat mata yang mencolok di indera penciuman Sakia. Dua pohon mangga tumbuh menjulang di sudut pekarangan, tempat tinggal dua wanita berdaster putih tanpa kepala. Sakia menyadari keberadaan mereka ketika Bhaskara membuka pintu gerbang rumahnya. Kedatangan Sakia tentu menarik perhatian mereka, tapi Sakia tidak mau meladeni.

Seorang wanita berdaster batik membukakan pintu ruang utama. Mengangguk sopan kepada Bhaskara lantas tersenyum ramah kepada Sakia. Bhaskara meminta wanita itu menyediakan minuman dan makanan kecil untuk Sakia.

Mata Sakia minggat ke sembarang arah. Mengamati ornamen yang terpajang di ruang tamu. Ada guci besar seukuran lemari pakaian diletakkan di pojok. Lukisan dua ekor kuda berlari dengan latar langit berwarna abu-abu melekat gagah di dinding ruang tamu berwara cokelat muda itu. Ornamen gerabah tradisional berukuran kecil hingga sedang dengan beragam bentuk mendominasi lemari kaca di samping kanan guci.

"Yang tadi itu namanya Mbok Jah, tetangga kakeknya Janitra dari Salatiga. Mbok Jah sudah membantu saya di rumah ini sejak saya menikah dengan Janitra. Saya nggak tega nyuruh Mbok Jah pulang kampung. Suaminya sudah meninggal. Dia masih punya tanggungan tiga anaknya yang masih sekolah. Kadang kalau liburan sekolah, anaknya Mbok Jah yang masih SMP sering nginep di sini. Yah, nggak apa-apa. Itung-itung Mbok Jah bantuin saya jagain dan bersihin rumah. Saya kan sering ke luar kota. Kadang, saya juga pulangnya ke rumah orang tua saya di Depok," ucap Bhaskara menyandarkan punggungnya di sofa beludru. Pandangannya sedikit mengawang.

"Janitra?" tanya Sakia.

"Istri saya namanya Janitra," sahut Bhaskara sembari mengendurkan dua kancing bagian atas kemejanya.

Memalingkan muka sejenak, Sakia mempersiapkan diri sebelum pandangannya ternoda oleh sebagian kecil aurat Bhaskara yang sengaja diperlihatkan. Walaupun di balik kemeja itu Bhaskara mengenakan singlet tipis, tetap saja Sakia tidak nyaman berbicara sementara di depan matanya terumbar pemandangan otot dada yang menyembul malu-malu. Justru biasanya yang malu-malu itu mengundang rasa penasaran pengin tahu. Ya ampun, imajinasi Sakia malah mengangkasa.

"Oh, Janitra." Sakia menggumam.

"Kamu tahu nggak, apa yang saya pikirkan di makam tadi?"

Bhaskara membuka sebuah kancing kemejanya lagi membuat mata Sakia setengah melotot. Cuaca memang panas, tapi kan pengatur suhu di ruangan ini bekerja secara maksimal. Pas banget di badan tidak terasa panas atau dingin. Bhaskara mau buka baju di depannya atau gimana, nih? Gimana kalau bajunya disobek sekalian saja, ya? Kan nanggung banget. Soalnya bukain kancingnya kelamaan gitu.

Namun, Sakia segera menguasai situasi. Membentuk gestur tubuh dibuat seprofesional mungkin. Mengabaikan panorama semi vulgar tepat di depan wajahnya. Buat apa Sakia merasa gelisah sedangkan Bhaskara bisa bersikap santai tanpa risih ketika membiarkan separuh kancing kemejanya terbuka.

"Nggak tahu, Pak. Saya bukan paranormal."

Alis Bhaskara terangkat. "Saya kira kamu juga berbakat membaca pikiran orang, Ki?"

"Kan nggak semuanya mesti dibaca. Tetap saja ada batasannya. Eum, sering banget saya ngerasa banyak pikiran orang-orang di sekitar saya tiba-tiba masuk gitu. Percampuran pikiran-pikiran itu bikin saya pusing. Tapi, lama-lama saya bisa mengendalikan supaya pikiran-pikiran itu nggak seenaknya masuk ke dalam benak saya," cetus Sakia sebal saat orang menganggap kemampuannya ini disamakan dengan cenayang.

Apa-apa maunya diterawang. Memangnya duit lima ribuan, dilihat, diraba, diterawang. Biar bagaimanapun syarat dan ketentuan tetap berlaku. Tidak bisa sembarangan menggunakan.

"Oh, gitu."

Mbok Jah datang membawa nampan berisi setoples keripik pisang dan dua gelas es sirup. Meletakkan hati-hati di atas meja marmer, Mbok Jah tersenyum kepada Sakia mempersilakan menyicipi kudapan seadanya.

"AC-nya tolong dikecilin, Mbok. Saya kepanasan," pinta Bhaskara menunjuk pendingin ruangan yang terpasang di sebelah jam dinding.

Sakia menghela napas lega. Oh, ternyata Bhaskara serius kepanasan. Sakia sudah berpikiran negatif, mengira Bhaskara sengaja pamer otot dadanya yang kencang. Mbok Jah langsung melipir dari ruang tamu sesudah mengatur ulang pengatur suhu ruangan.

"Siapa yang kasih tahu Bapak kalau saya punya 'gift'?" Sakia tidak bisa lagi menahan rasa penasarannya.

Mentang-mentang ini hunian pribadi, Bhaskara langsung melepas kemejanya lantas menyampirkan di sofa. Bola mata Sakia berputar. Dia harus pasrah matanya dicemari oleh pemandangan pria dewasa kepanasan di dalam rumahnya sendiri. Dasar tidak tahu malu. Setidaknya Bhaskara harus memuliakan tamunya dengan bersikap sopan. Lagi pula Sakia belum yakin apa tujuan Bhaskara mengajak menyambangi rumahnya. Tidak mungkin pria itu cuma sengaja ingin memperlihatkan kepadatan otot tubuhnya yang selama ini ia sembunyikan di balik setelan kerjanya.

"Saya pernah lihat kamu ngomong sendiri," ujar Bhaskara, mengambil segenggam keripik pisang dari dalam toples.

"Saya sering ngomong sendiri, ngedumel sendiri, tapi bukan berarti saya punya 'gift'. Siapa yang kasih tahu Bapak?" Sakia bertanya lebih tegas.

"Nggak ada yang kasih tahu saya. Saya pernah lihat kamu ngomong sendiri. Menyebutkan nama Mang Dadang saat hari sudah gelap. Saya memang nggak pernah tahu bentukannya Mang Dadang itu seperti apa, tapi saya udah diceritain teman saya yang indigo itu kalau di kantor ini ada penunggunya. Namanya Mang Dadang. Nggak semua orang di kantor atau yang pernah mampir ke kantor kita mengenal Mang Dadang."

Sakia memutar memori. Dia memang tidak pernah absen menyapa Mang Dadang jika kebetulan lembur di kantor. Ternyata tindakan kecilnya itu selama ini diperhatikan oleh Bhaskara. Jangan-jangan gerak-geriknya yang diam-diam ngupil juga tak luput dari pengawasan Bhaskara. Astaga, Sakia mesti siap-siap menebalkan muka.

"Tolong jangan bilang sama siapa pun ya, Pak. Cukup Bapak aja yang tahu, yang lain jangan," ujar Sakia lirih.

"Saya bukan tipe orang penyebar berita dengan tujuan memecah belah atau memprovokasi umat, Sakia." Bhaskara memajukan tubuhnya. Menatap tajam objek bening di hadapannya. "Asalkan kamu bisa mengatasi kerumitan masalah saya, saya nggak akan cerita sama siapa-siapa."

Suasana rumah Bhaskara dirasakan Sakia memiliki hawa berbeda. Adanya wanita tanpa kepala di pekarangan, berlanjut masuk ke dalam rumah menyisakan nuansa berbeda akibat pengaruh Janitra yang sangat kental. Sakia merasakan ada kemarahan yang tertinggal.

"Hidup saya nggak tenang, Kia. Nggak cuma Janitra, bahkan saya sering ditemuin penampakan wanita tanpa kepala," ungkap Bhaskara berdecak frustasi.

"Janitra sudah sampai di akhirat, Pak. Dia sudah tidak punya urusan sama dunia. Selama ini yang menggentayangi Bapak itu adalah jin khorin milik Janitra. Dia bukan Janitra. Mungkin dia sering muncul karena ada urusan yang belum tuntas. Makanya si khorin mengambilalih. Bapak nggak usah takut. Banyakin doa, Pak."

Bhaskara mengangkat bahu. Beranjak, dia berjalan mendekati Sakia. Menyadari tidak punya ruang untuk bergerak, Sakia menggeser duduk hingga pojokkan sofa. Dalam hati dia menyebut nama Rakai agar segera menghampirinya. Gerik-gerik Bhaskara terlalu mencurigakan.

"Yang saya pikirkan di makam tadi." Bhaskara menepuk punggung tangan Sakia. "Saya nggak mau ambil pusing lagi dengan kehadiran Janitra. Saya udah minta maaf sama dia dan saya berharap dia mau memaafkan saya. Saya sudah ikhlas sepenuhnya."

"Syukurlah. Memang itu kuncinya, Pak. Ikhlas, menerima, mendekatkan diri dengan Tuhan biar hati tenang."

Ponsel Sakia dari tadi terus berbunyi. Tangannya terasa gatal ingin menjangkau benda pipih itu. Namun, keadaan Bhaskara yang mirip orang depresi mencegah Sakia menahan keinginannya. Mungkin saja telepon dari Indra, menanyakan keberadaannya di mana. Tadi pagi mereka kan sudah mulai berangkat barengan lagi.

"Akhir-akhir ini saya suntuk banget, Ki. Saya pengin liburan," keluh Bhaskara.

Mungkin Bapak lebih butuh psikiater atau butuh rukyah ketimbang liburan.

"Bapak mau liburan ke mana? Besok saya siapkan tiket dan akomodasinya. Kalau belum punya referensi biar saya carikan. Penginnya liburan yang kayak gimana? Luar negeri atau domestik? Sekalian besok saya ajukan izin cuti Bapak ke HRD," tawar Sakia antusias.

Dia sangat mendukung keinginan Bhaskara mengistirahatkan diri dari kantor. Kalau di kantor tidak ada bos kan enak, tuh. Kerlingan mata Bhaskara kepada Sakia mengindikasikan tanda-tanda patut dicurigai. Ada maksud terselubung yang pasti tidak main-main dengan kilatan mata Bhaskara. Perasaan Sakia tidak enak banget. Jantungnya berguncang membunyikan irama aneh.

"Sepertinya saya perlu partner liburan, Kia. Kadang, liburan sendirian itu nggak menyenangkan. Nggak ada yang bisa diajak bercanda," ujar Bhaskara terdengar resah.

Benar kata Rakai. Bhaskara ini sudah dikasih hati minta jantung. Diberi sedikit simpati malah minta lebih. Ngelunjak. Kalimat Bhaskara berbau kode. Tentu saja Sakia bakal menolak mentah-mentah. Rakai yang entah sejak kapan sudah berdiri di sebelah Sakia menatap Bhaskara tajam.

"Enak sendirian, Pak. Quality time dengan diri sendiri lebih memuaskan. Bebas menentukan tujuan jalan-jalan tanpa debat sama rekan seperjalanan. Mau ke mana aja terserah." Sakia melancarkan kemampuannya memprovokasi.

"Kenapa kedengarannya egois, ya? Seperti nggak mau dengar pendapat orang." Bhaskara menggumam, lalu dia kembali menjatuhkan tatapan innocent kepada Sakia. "Kamu mau liburan sama saya, Ki?"

"Nggak, Pak," jawab Sakia.

"Nggak apa? Nggak mau apa nggak nolak?" goda Bhaskara tersenyum kecil.

"Nggak mau," sahut Sakia ketus.

Langit petang bergradasi menyisakan sentuhan terakhir menjadi warna paling tua. Gelap. Matahari pamit pulang. Sakia sudah gerah kelamaan berdekatan sama Bhaskara. Bagaimana tidak gerah, ketika kulit Bhaskara memroduksi keringat yang aromanya justru memunculkan bayangan-bayangan aneh di pikiran Sakia.

Setiap kali Bhaskara bergerak, embusan angin pendingin ruangan membawa aroma tubuhnya menyinggahi ujung hidung Sakia. Bukan wangi kecut-kecut busuk ala keringat akibat beraktivitas seharian, tapi aroma khas tubuh pria itu yang pada dasarnya sudah terasa familiar di penciuman Sakia.

"Kamu mau makan apa, Ki? Biar dimasakkin sama Mbok Jah. Saya yakin kamu bakal ketagihan sama masakannya," ujar Bhaskara sembari beranjak, menyambar kemejanya dan segera memakainya kembali.

Tanpa menunggu jawaban Sakia, Bhaskara sudah melenggang pergi mencari Mbok Jah. Sakia mendengkus keras.

Ponsel Sakia berdenting lagi. Ada banyak panggilan tak terjawab dari Indra dan Mama. Biasanya kalau kedua orang itu menghubunginya dalam waktu bersamaan berarti telah terjadi sesuatu. Sakia menatap Rakai yang kini duduk di sebelahnya.

"Pulang sekarang, ya," gumam Rakai yang dibalas anggukan kecil oleh Sakia.








17.10.2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top