Tiga
Secarik kertas berisi alamat florist sudah tertempel di layar komputer begitu Sakia tiba di kubikelnya pagi-pagi. Melongok ke arah ruangan Bhaskara, tertutup rapat, dan lampu ruangan tidak menyala. Hari ini Bhaskara memang tidak singgah di kantor. Setelah mengisi materi pelatihan di PT Energi Matahari, pria itu langsung berangkat meeting ke luar kota. Memasuki akhir pekan, masih sempat saja Bhaskara melayani perkara pekerjaan.
Menyampirkan jaket di kursi, Sakia duduk bengong menatap alamat penjual bunga langganan Bhaskara. Angannya mengudara, menimbang ulang keputusannya menerima penawaran Indra bekerja di perusahaan konsultan manajemen ini.
Sakia kira tugas seorang sekretaris hanya sebatas mengurus surat-surat, menyiapkan keperluan bos beserta jadwalnya, dan menangani segala administrasi perusahaan. Nyatanya, tidak sesimpel itu. Poin tambahan berkarier menjadi sekretaris adalah harus siap mendengarkan apapun yang diutarakan bos dan memberi tanggapan jika diminta. Senang tidak senang, sekretaris dipaksa mendengarkan. Intinya, harus bersedia dijadikan tempat penampungan curahan hati bos. Dicurhatin perkara pekerjaan sebenarnya tidak masalah, tapi kalau curhatnya tentang perkara pribadi yah, mau mengelak juga susah.
"Mau ke mana, Ki?" tanya Indra ketika mereka berdua berpapasan di lift.
"Mau ke toko bunga," jawab Sakia lemah, letih, lesu, dan mata berkunang-kunang. "Beli bunga buat istrinya Pak Bhaska."
"Tumben. Biasanya dia nggak pernah nyuruh karyawannya beli bunga kecuali Pak Eko."
Bahu Sakia mengedik. Ada dua kemungkinan kenapa Bhaskara tidak segan meminta dirinya membeli bunga sekaligus menaruhnya di makam. Pertama, Sakia adalah asisten Bhaskara sehingga gampang saja buat pria itu menyuruh sesuai keinginannya. Kedua, Bhaskara sudah mengantungi kartu rahasia milik Sakia yang jarang diketahui semua orang. Membuat Bhaskara leluasa menggunakan kewenangannya sebagai seorang atasan di balik topeng rahasia individu. Simpelnya, memanfaatkan situasi mungkin? Namun, Sakia membuang pemikiran negatif itu. Semuanya dia lakukan semata-mata atas niat pekerjaan.
"Bosan nyuruh Pak Eko, mungkin?" cetus Sakia langsung berjalan lurus meninggalkan Indra tanpa menoleh.
Indra melongo. Enggan menyimpan rasa penasaran, pria berkacamata itu berlari kecil menyusul Sakia.
"Kamu sama Pak Bhaska makin aneh aja, Ki. Aku ketinggalan sesuatu, ya?" Indra menarik lengan Sakia.
"Aneh gimana? Biasa aja, kok. Lagian aku belinya sama Pak Eko," sahut Sakia sambil menyingkirkan tangan Indra yang membelit lengannya.
Mengangkat kedua tangan di udara, Indra menarik diri dari pembicaraan. Memilih melanjutkan bukanlah keputusan yang tepat. Sakia memang tidak mudah membuka diri dengan semua orang. Dia hanya mau berbagi dengan orang-orang yang sudah dianggap bisa dipercaya. Tahu kan, menjadi berbeda membuat Sakia lebih berhati-hati dalam pergaulan.
Berhubung Indra sudah mengenal wanita itu sejak belia, Sakia tidak ragu berbagi cerita kepadanya. Makanya Indra heran, Sakia bisa semudah itu dekat dengan Bhaskara padahal dia tipe orang yang agak membatasi pergaulan. Indra yakin ada faktor lain di luar hubungan pekerjaan yang membuat Sakia begitu peduli dengan Bhaskara.
"Oke, aku nggak akan ikut campur urusan kalian berdua."
"Aku pergi dulu, Ndra. Tenang aja, ntar aku balik kantor lagi."
Indra melambaikan tangan. Mengawasi Sakia hingga masuk ke dalam mobil operasional perusahaan yang dikemudikan Pak Eko.
Sementara di dalam mobil, pikiran Sakia terus bermain. Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Dari mana Bhaskara tahu tentang bagian lain dari dirinya adalah salah satu di antaranya. Mengapa pula dia jadi sangat mudah luluh dengan pria itu. Tidak mungkin Bhaskara juga memiliki kemampuan sama seperti dirinya. Sakia tidak merasakan energi dan keterikatan batin apapun terhadap pria itu.
"Sudah sampai, Mbak," ujar Pak Eko membuat Sakia tersentak.
"Tunggu bentar, ya, Pak."
Sesuai permintaan sang bos, Sakia membeli bunga krisan dan mawar merah. Perpaduan warna dan jenis bunga berbeda yang pasti mempunyai makna tertentu. Apa pun itu, Sakia tidak mau tahu. Pak Eko juga tidak menyinggung apa pun sepanjang perjalanan tadi. Termasuk alasan pengambilalihan tugas membeli bunga yang dilimpahkan kepada Sakia.
"Pak Bhaska emang rutin kirim bunga begini, ya, Pak?" Akhirnya Sakia bertanya kepada Pak Eko ketika mereka melanjutkan perjalanan menuju makam.
"Iya, Mbak. Nggak pernah absen beliau ke makam sebulan sekali. Kalau Pak Bhaska ke luar kota atau ada acara barulah saya yang disuruh naruh bunga di makam."
Sakia manggut-manggut. Namun, ada satu hal yang masih belum dia pahami.
"Sebenarnya status Pak Bhaska ini sudah cerai atau gimana, sih, Pak? Soalnya Pak Bhaska bilangnya mantan istri gitu."
"Cerai mati, Mbak."
Berarti Bhaskara dan istrinya dipisahkan oleh kematian. Pantas saja dia terlihat kesulitan bangkit dari keterpurukan. Mungkin pas lagi sayang-sayangnya, pas lagi indah-indahnya masa pernikahan mereka, Tuhan memberikan ujian kehidupan kepada Bhaskara. Kalau sudah kehendak Yang Maha Kuasa, manusia bisa apa?
Pak Eko menghentikan mobil di seberang jalan pemakaman umum. Turun dari mobil, Sakia menatap sekeliling. Perasaannya tidak enak. Seharusnya ini hanya pemakaman umum biasa, tapi Sakia merasakan ada sesuatu yang menarik dirinya untuk memusatkan perhatian pada semak-semak yang berada di ujung makam. Energi di sana frekuensinya cukup kuat. Sakia belum bisa membaca makhluk apa yang bersembunyi di baliknya dan maksud makhluk itu menunjukkan keberadaannya. Dia hanya mengikuti Pak Eko yang melangkah di depannya sebagai penunjuk tempat istri Bhaskara dikebumikan.
Pas banget saat ini Sakia sedang tidak bersama Rakai. Jika Rakai berada di sisinya, pasti akan mempermudah proses netralisasi terhadap lingkungan makhluk asing yang mengancam. Tadi Rakai minta izin padanya untuk mengunjungi seseorang yang tidak dikenal. Dia memang sering bepergian dan menemui orang-orang yang dianggap memerlukan bantuan. Tentu saja Rakai pergi menemui orang-orang tersebut atas izin Sakia.
Pernah suatu kali Rakai hadir dalam mimpi seseorang tanpa diketahui Sakia dan orang tersebut mengajukan protes. Sejak saat itu Rakai tidak boleh sembarangan mengunjungi orang-orang tanpa seizinnya. Biasanya yang didatangi Rakai dalam mimpi adalah orang baru yang bakal mengetahui kemampuan Sakia. Sehingga Rakai berkunjung di mimpinya sebagai simbol perkenalan. Tunggu, kalau begitu berarti Rakai pernah mendatangi mimpi Bhaskara, dong? Kan, Bhaskara juga tahu kemampuan Sakia.
"Yang ini, Mbak," tunjuk Pak Eko.
Menyingkirkan bunga sebelumnya yang sudah layu, Sakia meletakkan bunga dalam genggamannya di atas pusara itu. Dia membersihkan tanaman liar yang merambat di atas pusara. Dibandingkan dengan lainnya, pusara mendiang istri Bhaskara lebih bersih dan terawat. Sakia membayangkan bosnya menyambangi makam mendiang istrinya lantas meratapi nasibnya. Sebenarnya kasihan juga melihat nasib Bhaskara kayak gitu. Pria seperti Bhaskara masih punya masa depan cemerlang. Seharusnya dia memanfaatkan kesempatan itu, bukan malah jalan di tempat meratapi masa lalu.
Jongkok di samping pusara, Sakia berdoa sejenak. Saking khusyuknya, dia tidak menyadari ada seorang wanita jongkok di sebelahnya. Berbusana kebaya putih pucat, wajah wanita itu tidak terlihat karena tertutup rambut panjangnya. Lama-lama Sakia tidak nyaman. Merasakan ada elemen lain yang bersinggungan dengan dirinya, otomatis Sakia menoleh.
"Astaga," gumamnya.
Segera menyudahi ziarahnya, Sakia beranjak lantas berjalan cepat menuju mobil. Rupanya frekuensi kuat yang berada di balik semak-semak itu berasal dari energi wanita ini. Sakia sedang enggan terlibat jauh makanya dia menolak membalas sapaan wanita berbusana kebaya putih pucat itu. Entahlah, hari ini dia merasa lelah saja.
JJJ
"Enak nggak, Ndra?" Sakia menyipitkan mata ketika Indra pertama kali menggigit kue bronis buatannya.
Indra mengerjapkan mata. Mengerutkan kening saat menelannya. Biasanya kalau akhir pekan tidak pergi ke mana-mana, Sakia mengisi hari dengan bereksperimen di dapur. Memasak apapun yang dia ingin meskipun pada akhirnya tidak berhasil dan tidak dapat dimakan, setidaknya dia sudah puas melampiaskan.
Sejak sekolah dasar Sakia sudah belajar memasak. Biasanya sang ayahlah yang bersedia pertama kali menyicipi masakannya. Semenjak ayahnya meninggal, Sakia sering meminta Indra untuk menjadi objek percobaan masakannya. Selesai memasak, dia tinggal berjalan beberapa langkah untuk menyambangi rumah Indra yang hanya berjarak tidak sampai dua ratus meter dari rumahnya.
"Enak, sih. Manisnya udah pas. Cuma agak keras," sahut Indra meletakkan separuh irisan di atas piring lantas buru-buru meneguk segelas air putih.
Ucapan Indra diragukan kebenarannya. Sepertinya pria itu sangat tersiksa ketika menelan seiris bronis hasil kreasi Sakia.
"Masa, sih? Takarannya udah sesuai resep, kok," ujar Sakia sambil menggigit sisa irisan bronis yang tidak dihabiskan Indra.
Sontak bola matanya membesar. Nyatanya memang keras banget untuk ukuran kue bronis. Pantesan muka Indra merah padam begitu.
Sakia refleks memuntahkan kunyahannya. "Kok, rasanya aneh gini, sih. Bisa keras banget, ya?"
"Kamu bikinnya pakai semen paling. Nggak pakai tepung."
"Yah, mubazir, dong. Sayang banget udah bikin banyak, tapi nggak kemakan."
"Sebenarnya enak kok, Ki. Adonannya cuma kurang lembut aja. Lagian kalau judulnya bronis kayaknya kurang cocok karena teksturnya kayak roti biasa. Yah, lumayanlah. Tenang, Ki. Entar aku habisin, deh. Kalau laper kan apa aja dianggap enak."
Sakia mendengkus. Perasaan setiap dia bikin kue-kue begitu jarang berhasil, deh. Kalau masakan sejenis rendang, gudeg, dan sop ikan pasti hasilnya tidak mengecewakan. Tapi, kalau sudah masuk area kue dan sebangsanya hasilnya selalu jauh dari ekspektasi. Bisa begitu, ya?
"Udahlah, Ki. Nggak usah dipikirin. Kuenya nggak usah kamu bawa pulang lagi. Entar beneran aku habisin," tukas Indra menepuk-nepuk bahu sahabatnya. "Apa kita modifikasi sekarang aja ya, biar kuenya jadi layak makan? Dicampurin es krim atau apa gitu."
Bola mata Sakia menyorot sendu. Dia bergumam lirih. "Berarti yang ini nggak layak makan, ya?"
Alis Sakia menyatu di tengah. Dia menatap prihatin ke arah Indra yang nampak terpaksa mengunyah makanannya. Kalau memang tidak layak makan seharusnya Indra tidak perlu memaksakan. Melihatnya seperti itu malah bikin kasihan.
"Kamu hanya harus lebih semangat, Ki," bisik Rakai. "Kamu harus pulang sebelum sore, Ki. Nggak usah ikutin tawaran Indra soal modifikasi. Aku nggak ingin kamu terlibat masalah kalau kamu terus-terusan di rumah Indra. Untuk hari ini suasananya sedang nggak bagus."
"Masalah apa? Aku nggak ngapa-ngapain, kok." Sakia berkata dalam hati.
"Memang. Hanya saja suasana hati seseorang kadang menimbulkan persepsi berbeda dari sebenarnya. Mendingan kamu pulang sekarang. Mama lebih membutuhkan kamu di rumah. Toh, kalian jarang ketemu juga," lanjut Rakai membuat Sakia semakin heran.
Maksudnya Rakai masalah yang kayak gimana lagi? Rakai kurang detail menjabarkannya. Tentu saja Sakia bingung. Dari tadi dia baik-baik saja bersama Indra. Tidak ada tanda-tanda keanehan di antara mereka berdua. Lalu, apa yang mesti dicemaskan?
"Kok tiba-tiba aku ngerasa nggak enak ya, Ki. Kamu nggak apa-apa, kan?" Indra mengelus dada.
"Aku baik-baik aja, kok," sahut Sakia heran.
Mengerlingkan mata, Sakia baru sadar ternyata Rakai telah mengirimkan sedikit energinya kepada Indra. Menjadikan pria itu lebih peka terhadap sekitarnya dalam waktu sekejap. Bukan apa-apa, Rakai melakukannya untuk menegaskan bahwa ada sesuatu yang tengah mengancam keberadaan Sakia. Jika peringatan darinya tidak direspon oleh Sakia, maka peringatan dari orang terdekatlah yang berbicara. Karena dalam keadaan tertentu, kadang-kadang Sakia kurang sensitif merespon situasi. Bukan, kali ini tidak ada hubungannya sama dunia lain, tapi ...
"Ada sisa kue di bibir kamu, Ki," ucap Indra seraya menjejeri Sakia lebih dekat.
Gerakan tangan Sakia yang kurang tangkas rupanya cepat didahului oleh Indra. Pria itu segera menyapukan ibu jarinya di bibir Sakia guna menghilangkan jejak kue yang tertinggal.
"Indra ..."
Pada saat yang bersamaan, seruan seorang wanita menyeruak memenuhi rongga udara ruang tamu. Bertepatan dengan adegan Indra tengah menyentuh bibir Sakia membuat wanita itu membelalakkan mata.
"Indra! Kamu ngapain?"
Mungkin ini yang dimaksud masalah oleh Rakai tadi.
06.09.2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top