Enam
Terdapat kehebohan di pojok kubikel yang Sakia lewati ketika dia keluar dari pantri. Indra, Neyra, Farida, Kevin, sampai Pak Somad, office boy kantor ikutan membaur di antara kerumunan. Mereka tertawa beramai-ramai sambil mengguncang ponsel masing-masing. Sakia bingung melihat aksi absurd teman-temannya itu. Olahraga tangan kali, ya. Supaya lengan berotot. Tidak hanya kuat buat angkat galon, tapi juga kuat buat angkat beban kehidupan. Soalnya baru jam sembilan pagi juga. Kan masih layak buat olahraga.
Penasaran, Sakia menghampiri kerumunan itu.
"Pada ngapain, sih?"
Neyra, salah satu konsultan senior bidang sistem informasi, wanita yang memilih melajang di usia empat puluh tahun itu menoleh ke arah Sakia. Bibir tebal yang terpoles gincu merah hati itu menipis.
"Lagi goyang Shopiah berjamaah kita, Ki. Nih hari jumat ada sembilan kali goyangan. Lumayan poinnya bisa dipakai buat belanja. Lo nggak mau ikutan? Ntar gue masukin grup WA biar lo update info terbaru tiap ada goyangan. Lo hobi belanja online kan, Ki?"
"Iya, gue juga punya akun di situ cuma jarang dipakai. Kalau belanja baju biasanya gue belanja di tempat lain. Barangnya unyu gitu."
"Pakai aja, Ki. Biar dapat poin banyak. Nih, si Kevin aja ngincer poin biar dapat magicom setengah harga. Kamu ikutan, deh. Lumayan buat beli maskara anti air biar nggak luntur kena keringat kamu," sahut Indra sambil mengoyang ponselnya di udara.
Sakia menggelengkan kepala. Baru tahu ternyata Indra penggemar belanja online juga. Padahal yang Sakia tahu, Indra paling tidak suka belanja hanya bermodal gambar. Menurutnya, wujud antara visualisasi dan kenyataan sering tidak sama. Lebih puas beli barang langsung dari sumbernya ketimbang lihat bentuknya saja lewat gambar.
Namun, melihat Indra semangat menggoyang ponsel demi mengejar poin, Sakia menebak pasti pria itu akan memanfaatkan poinnya untuk Tania. Mengumpulkan poin untuk memenuhi hasrat belanja pacarnya biar tidak kena PHK alias putus hubungan kekasih. Kasihan banget Indra, diperdaya cinta sampai segitunya. Dia bisa tidak sadar kalau selama ini dirinya dimanfaatkan oleh wanita tidak beretika seperti Tania. Prihatin sih iya, tapi Sakia sudah malas menasihati Indra. Sakia sudah angkat tangan, membiarkan Indra sadar dengan sendirinya.
"Gue mana sempat goyang kayak kalian, gaes. Tetek bengeknya Pak Bhaska tuh rempong banget," ujar Sakia menyayangkan dirinya tidak bisa sebebas teman-temannya.
"'Lo loyal banget, sih, Ki. Dasar karyawan teladan. Pantesan Pak Bhaska demen banget sama elo," sahut Farida sedikit terdengar bernada tidak suka.
Semua orang di kantor ini sudah tahu bagaimana lagak Farida bertutur kata. Awalnya, sebagai karyawan baru, Sakia juga kaget dengan cara bicara wanita ini. Beberapa hari bergabung di kantor ini, Sakia beranjak memahami. Rupanya memang seperti itu ciri khas seorang Farida. Jadi, lebih baik Sakia menanggapinya dengan senyuman saja meskipun maksud hati sangat ingin membalas ucapan nyinyirnya.
Sakia bisa merasakan kehadirannya tidak begitu diterima dengan baik oleh beberapa rekan kantornya. Salah satunya adalah Farida. Terlihat jelas melalui sinar mata wanita bertubuh sintal itu, Sakia menangkap ketidaksukaan yang berlebihan setiap dirinya berinteraksi dengan Bhaskara. Ya, mau bagaimana lagi. Bhaskara kan atasan langsung Sakia. Kalau dia terkesan dekat dengan bosnya ya memangnya bermasalah? Memang kerjaannya begitu, kan.
"Gue duluan, ya. Makasih, Mbak Neyra. Gue nggak usah dimasukin grup WA." Sakia tersenyum seraya melambaikan tangan. Dibalas decihan pelan oleh Farida.
Sakia buru-buru ke ruangan Bhaskara. Ia harus menjelaskan jadwal pria itu untuk hari ini serta melaporkan beberapa telepon yang singgah kemarin sore ketika Bhaskara tidak ada di tempat. Perasaannya agak sukar dideskripsikan saat dirinya hendak mengetuk pintu ruangan Bhaskara. Semacam kegelisahan tidak beralasan.
"Hai, Sakia." Bhaskara menyapa dengan raut wajah biasa, tapi suara beratnya membius pendengaran Sakia sesaat.
Mengamati meja bosnya, Sakia tidak menemukan potret wanita di sana. Sepertinya Bhaskara sengaja memindahkan foto mendiang istri dari mejanya. Berusaha mengabaikan hal yang bukan menjadi urusannya, Sakia membacakan jadwal kegiatan Bhaskara hari ini.
"Nanti siang tolong temani saya ke florist, ya. Sekalian ke makam," ucap Bhaskara setelah Sakia menutup buku agendanya.
Rutinitas Bhaskara secara berkala, setiap hari Jumat paling tidak satu bulan sekali pasti harus mengunjungi makam mendiang istrinya. Segitu sayangnya ya, orangnya sudah tiada pun masih rajin menyapa pusaranya. Barangkali ini yang dinamakan level LDR paling tinggi, cinta beda alam.
Bhaskara pernah menyuruh Sakia mengantarkan bunga ke makam dan sejak saat itu Sakia bersumpah dalam hati enggan kembali ke sana. Bayangan wanita berkebaya putih lusuh masih terbayang di benaknya. Sakia merekam sejarah suram yang dialami wanita berkebaya putih itu. Wanita pribumi yang menjadi korban kekejaman masa kolonial sewaktu nama Jakarta masih Batavia. Terlalu miris, membuat Sakia tidak tega.
"Saya di kantor aja, Pak. Kalau ada info-info penting kan bisa saya rangkum buat Bapak. Lagi pula saya harus menindaklanjuti beberapa surat penawaran yang masuk dari klien. Tugas saya memang begitu, kan?" elak Sakia.
"Nanti biar di-handle sama Merlina dulu. Tugas kamu hari ini ikut saya," cetus Bhaskara sembari menekan tombol angka telepon interkomnya. Menghubungi Merlina, staf resepsionis kantor.
Selain keberadaan wanita korban kekejaman kolonial itu, ada alasan lain kenapa Sakia tidak suka mengunjungi makam. Kejadian saat ayahnya dikebumikan, Sakia tidak bisa melupakan. Terlalu berat rasanya melepaskan cinta pertama Sakia meninggalkan dirinya selamanya. Bagi Sakia, melihat makam sama saja mengingat kerinduannya kepada sang ayah.
Usai prosesi pemakaman ayahnya, Sakia mencium aroma bermacam-macam yang membuat perutnya mual. Mulai dari aroma wangi berasal dari taburan bunga di pusara ayahnya hingga aroma keringat orang-orang yang mengantar ke makam. Semua baunya terasa menyengat di hidung Sakia. Belum lagi dadanya sesak, dia kesulitan menarik napas.
Keadaan berangsur membaik ketika Rakai mengusap tengkuknya. Begitu Sakia memutar tumit hendak meninggalkan makam, dia sangat terkejut mendapati banyak makhluk berdiri di belakangnya. Ada lima, termasuk macan kumbang hitam yang kini menetap di teras rumahnya. Sekujur tubuh Sakia bergetar. Mereka adalah makhluk yang menjadi penjaga ayahnya dan sekarang meminta izin untuk meneruskan amanah menjaga trah keluarga Sakia.
"Tapi, saya nunggu di mobil aja ya, Pak. Nggak ikutan turun ke makam," ujar Sakia.
"Kenapa? Justru saya ingin kamu mencari tahu alasan mendiang istri saya masih berkeliaran," sahut Bhaskara sambil meneguk kopi hitam buatan Sakia. Keningnya sedikit mengerut. "Kamu kasih gulanya berapa sendok, Ki? Kok manis banget."
"Dua sendok makan seperti biasa, Pak. Masa kemanisan?"
"Iya, manis banget." Bhaskara meletakkan cangkirnya kembali. Lalu, dia mendongak menatap Sakia yang berdiri bingung di hadapannya. "Mungkin karena saya minumnya sambil ngelihatin kamu makanya jadi terasa manis, ya."
Baru kali ini Sakia pengin banget melempar buku agenda yang dipegangnya ke arah wajah Bhaskara. Menyebalkan.
"Baiklah, nggak apa-apa kalau kamu mau nungguin saya di mobil. Tapi, nggak apa-apa, kan, kalau saya minta tolong kamu 'membaca' keberadaan mendiang istri saya?"
"Nggak apa-apa, tapi sebisanya yang terjangkau saya ya, Pak."
"Oke, kita berangkat setelah makan siang. Nanti saya kabari."
Sakia meninggalkan ruangan Bhaskara dengan memberengut. Entah kenapa dia merasa candaan Bhaskara barusan terdengar kampungan. Bikin kesal, tapi aneh juga kenapa kata-kata receh tidak berkelas macam begitu malah mengganggu konsentrasinya.
"Cuma digituin aja pipimu bisa merah gitu, Ki. Jangan semurahan gitulah," ucap Rakai, menunjuk kedua pipi Sakia yang terlihat bersemu.
"Ini bukan bersemu, tapi kepanasan gegara AC-nya kurang dingin. Kamu paham nggak kalau Jakarta itu panas?" gertak Sakia dalam hati.
Rakai tertawa. Dia terus menggoda Sakia sampai wanita itu benar-benar kesal. Sakia mengabaikan Rakai yang tidak berhenti menertawakan dirinya. Ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan ketimbang menanggapi celetukan Rakai yang sama tidak berkelasnya dengan kata-kata receh Bhaskara.
Sesuai kesepakatan, siang itu Sakia hanya menemani Bhaskara membeli bunga dan menunggu di dalam mobil saat pria itu menengok makam sang mendiang istri. Mengamati situasi dalam mobil, Sakia menangkap sosok seorang wanita berdiri di belakang Bhaskara. Bukan wanita berkebaya putih pucat, melainkan mendiang istri Bhaskara sendiri. Menampakkan diri dalam wujud wanita cantik.
Dari sini, Sakia mencoba menelusuri. Perjalanan seperti ini membutuhkan banyak tenaga dan tentu saja akan menguras energi. Sakia mengembuskan napas panjang. Memejamkan mata, mencoba menyusup ke dalam kehidupan Bhaskara yang telah terlewati.
Oke, ternyata Bhaskara dan istrinya sudah pacaran sejak kuliah. Mereka satu kelas dan sering mengerjakan tugas bersama. Lulus kuliah mereka bekerja di perusahaan berbeda, sempat LDR setahun sebelum menikah. Pernikahan Bhaskara berlangsung bahagia. Tidak ada kendala yang berarti antara kedua keluarga. Sejauh ini segalanya terlihat normal. Namun, ada sosok anak laki-laki tiba-tiba muncul.
"Sakia."
Sebuah tepukan lembut di pundak Sakia membuyarkan penglihatannya. Menggeser pandangan ke kanan, Bhaskara sudah duduk di balik kursi kemudi.
"Kamu ngantuk?" tanya Bhaskara, menyalakan mesin mobil.
"Sedikit, Pak." Sakia merapikan poninya.
"Saya kelamaan, ya?"
Mobil yang dikendarai Bhaskara perlahan meninggalkan kompleks pemakaman.
"Nggak, Pak. Sayanya aja yang dasarnya gampang ngantuk," bohong Sakia. Padahal dia tengah menelisik kehidupan masa lalu pria di sebelahnya.
Bhaskara tersenyum lantas menyalakan pemutar musik. Sakia hampir kelepasan tertawa ketika mendengar irama musiknya mengalun. Tak disangka selera musik Bhaskara ajaib juga. Genre musik yang tidak pernah diperhitungkan oleh Sakia. Dangdut remix.
"Biar kamu nggak ngantuk," cetus Bhaskara, melirik Sakia yang menggembungkan pipi menahan tawa.
Secercah cahaya matahari menerobos kaca mobil, membuat mata Sakia menyipit. Menelengkan wajah ke samping, Sakia memilih mengamati pemandangan jalanan beraspal. Sekalian mencari alibi supaya dia tidak terbahak-bahak.
"Bapak ambil jalan berbeda, ya?" tanya Sakia celingkukan.
Untuk menuju kantor seharusnya sesudah lampu traffic light itu belok ke kiri, bukannya lurus.
"Emang berbeda. Ini kan jalan menuju rumah saya," jawab Bhaskara santai.
"Rumah Bapak?"
"Kita nggak usah balik kantor. Nanggung juga udah jam setengah empat. Kamu nggak keberatan mampir ke rumah saya, kan?"
Sakia keheranan memandang Bhaskara dari samping. Keberatan sih, tidak. Hanya saja mau ngapain mampir ke rumah Bhaskara. Kenapa Bhaskara tidak langsung mengantarnya pulang ke rumah saja?
14.10.2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top