Delapan
"Kamu dari mana sih, Ki? Telepon nggak diangkat, jam segini baru pulang."
Indra berkacak pinggang saat Sakia membuka pintu gerbang rumahnya. Dan, bola mata Indra membola begitu melihat Bhaskara yang sudah mengganti setelan formalnya dengan busana santai, muncul di belakang Sakia.
"Baru jam tujum juga, Ndra. Tadi nemenin Pak Bhaska," bisik Sakia, mengistirahatkan langkah ketika dirinya melewati Indra.
Melirik bosnya sepintas, Indra membenarkan dugaannya selama ini. Antara Sakia dengan Bhaskara tercium adanya hubungan istimewa. Sebab, Sakia bukan tipe wanita yang mudah dekat dengan lawan jenis. Sakia cenderung tertutup untuk urusan hati. Dia membatasi diri dalam arti selektif karena tidak semua pria bisa menerima keistimewaan yang dimilikinya.
Banyak sih pria yang mendekati Sakia, tapi rata-rata mereka mundur teratur karena Sakia cuma mengabaikan. Hingga usianya mecapai angka dua puluh tujuh, Sakia cuma pernah satu kali pacaran. Praska adalah satu-satunya pria yang pernah menyandang status sebagai pacar Sakia. Pria yang terpaut usia sepuluh tahun di atas Sakia itu adalah sepupu Indra. Pertemuan mereka pun terjadi tanpa sengaja. Sakia datang ke rumah Indra ketika Praska sedang bercengkerama dengan sahabatnya di teras rumah.
"Mama kamu khawatir banget kamu nggak angkat teleponnya. Dikiranya aku lagi barengan sama kamu. Makanya aku langsung nelepon kamu," balas Indra, meneliti penampilan Sakia seluruhnya. Barangkali ia menemukan kejanggalan di tubuh Sakia.
Awas saja seandainya Bhaskara ketahuan berulah. Kalau sampai ada yang aneh dengan penampilan Sakia, sungguh Indra tidak akan memaafkan Bhaskara. Sekalipun Bhaskara adalah bosnya, Indra tidak peduli.
"Ada masalah apa?" tanya Sakia lirih.
"Nggak tahu." Indra mengedikkan bahu.
"Ya udah, kamu masuk duluan aja, Ndra. Temenin Mama bentar. Entar aku nyusul."
Indra mengangguk, sedangkan matanya menatap aneh ke arah Bhaskara. Berbalik badan, Sakia menghampiri Bhaskara yang bengong di pelataran rumahnya.
"Bapak mau ikut masuk?" tawar Sakia, menyembunyikan tangannya di balik pinggang sambil menatap wajah Bhaskara. Pria itu terlihat ingin menyanggupi undangan Sakia, tapi di sisi lain ada keraguan yang menahan.
"Kayaknya saya mau langsung pulang. Saya mampirnya lain kali saja. Boleh, kan?"
Sakia tertawa. Tentu saja ia memperbolehkan siapa pun bertamu ke rumahnya.
"Boleh."
Kaki Bhaskara maju selangkah. Mempersempit celah keduanya. Terus terang saat ini yang terjadi di balik rongga dada Sakia adalah dentuman menggelinjang yang tidak bisa ia deskripsikan. Sejak awal berkenalan dengan Bhaskara, sebetulnya Sakia sudah menyalakan alarm siaga. Entah firasatnya bakal kejadian atau tidak, yang jelas menurutnya Bhaskara adalah salah satu pria yang berpotensi menyandang status waspada. Kalem, tapi berbahaya. Ya, berbahaya bagi hatinya.
"Selamat malam," ucap Bhaskara, sedikit membungkukkan badan.
Sakia melongo. Tidak ada prediksi di benak dirinya akan disuguhi adegan barusan. Simpel, tapi apa ya. Entahlah. Pusaran udara di dada semakin bergulung menyentak pertahanan. Baru sekarang Sakia merasa sereceh ini gara-gara sikap seorang pria.
Tapi, Sakia segera menghapus anggapan yang melambungkan angan-angannya. Ia tidak mau melibatkan perasaan terlalu jauh. Apa lagi waktu Bhaskara bilang dia tidak akan membocorkan rahasia perihal kemampuannya asalkan Sakia mau mengatasi kerumitan masalah pria itu. Ya, Sakia menganggap kedekatan mereka ini tak lebih dari perkara kontrak kerja tambahan. Saling melindungi, sama-sama saling menguntungkan.
"Makasih udah mengantar saya pulang, Pak." Sakia berseru ketika langkah Bhaskara mencapai pintu gerbang.
Bhaskara melambaikan tangan. Menarik tuas pintu mobilnya lantas melesat pergi menyisakan kecamuk pengharapan di pikiran Sakia. Ya ampun, Sakia jadi baper. Menghalau segala pemikirannya, Sakia bergegas masuk ke dalam rumah. Ada hal mendesak yang harus ia urus.
"Kenapa, Ma?"
Sakia menjejeri mamanya yang duduk bercakap dengan Indra di ruang tamu. Indra masih menatap Sakia dengan cara tidak biasa. Ini aneh, biasanya Indra tidak protes. Tapi kali ini, kedatangannya bersama Bhaskara seolah merupakan dosa besar tak termaafkan di mata Indra.
"Pakdhemu sakit, Ki. Besok Mama mau ke Solo, kamu mau ikut nggak?"
"Sakit apa?"
"Katanya sekujur tubuhnya muncul benjol-benjol kecil gitu. Kayak cacar. Sudah diobatin nggak sembuh-sembuh. Sudah sebulanan lebih katanya. Kan keluarga jadi pada mikir yang nggak-nggak. Dikiranya Pakdhe itu kena santet."
Begitulah zaman sekarang, kalau orang sakit tidak kunjung sembuh, orang kaya tiba-tiba jatuh miskin, pasti dikaitkan dengan karma kehidupan. Pengaruh sihir, durhaka, dan sebagainya. Memang ada benarnya hal seperti itu terjadi di sekitar, tapi tidak lantas semua peristiwa dihubungkan dengan hal-hal semacam itu. Ini akibatnya kebanyakan nonton sinetron bertema azab yang judulnya lebih pantas disebut sinopsis karena terlalu panjang. Paling benjol-benjol di tubuh pakdhe itu bukan perkara kena santet, tapi kena tomcat.
"Ya ampun, terus Mama diminta ke Solo buat nyembuhin Pakdhe gitu?" tebak Sakia, memilin rambutnya yang sengaja digerai.
"Iya, Ki. Tadi Budhemu telepon heboh gitu. Mama ikutan khawatir, tahu," cetus Mama.
Di lingkungan keluarga, mama memang dikenal paling terampil soal obat-obatan tradisional. Seolah kemampuan itu otomatis turun-temurun dari leluhur. Selain keluarga dekat, para tetangga juga tidak sungkan minta tolong sama mama. Sakia masih ingat dulu dirinya juga pernah mengalami hal serupa. Benjolan kecil-kecil memerah merata di seluruh tubuh. Tidak tahu itu penyakit cacar air atau apa. Semakin digaruk semakin gatal. Yang jelas, dia tidak dibawa ke dokter. Dengan sigap mama bertindak telaten merawatnya.
Memang terbukti apa yang dilakukan mama menuai hasil. Esoknya, benjolan di tubuh Sakia mengecil kemudian mengering. Cuma, ya itu. Menurut Sakia proses pengobatannya agak aneh. Bahan utamanya kelapa muda dan gula merah. Kedua bahan itu dikunyah mama sampai halus, lalu disemburkan langsung dari mulut mama di bagian kulit yang mau diobati. Berasa kayak mbah dukun. Mungkin, mama akan memakai cara itu juga untuk mengobati Pakdhe.
"Salam buat semuanya aja, Ma. Sakia nggak bisa ikut. Nggak bisa ngajuin cuti mendadak. Tapi, kalau diizinin Pak Bhaska, Sakia nyusul Mama, deh. Emang Mama di sana berapa hari?"
Indra menyahut, nadanya sinis. "Pak Bhaska pasti ngizinin kamu kali, Ki. Malahan bisa jadi dia bakalan ikut kamu."
"Apaan sih, Ndra?"
Mendadak Indra berubah sensi banget setiap nama Bhaskara disebut. Masa iya Indra cemburu?
"Eh, jangan berantem." Mama berseru, memecah situasi menegangkan. "Udah bertahun-tahun Mama nggak pernah lihat kalian sinis-sinisan kayak tadi, lho. Sudah gede juga. Nggak usah diperpanjang, ya."
Mama mengusap lembut punggung Sakia.
"Nggak apa-apa kalau kamu nggak ikut Mama ke Solo, Ki. Indra, Mama nitip Sakia sama kamu, ya."
"Iya, Ma."
Sudah menjadi kebiasaan sejak berteman dekat, ketika Sakia ditinggal pergi oleh Mama dan Papa, pasti Indra selalu mendapat amanat untuk menemani Sakia. Mulai dari keduanya sama-sama masih mengenakan seragam putih biru sampai sama-sama sudah jadi karyawan kantoran, Mama tetap memercayakan putri tunggalnya kepada Indra.
"Kamu kok nggak angkat telepon Mama sih, Ki?" Mama mengalihkan topik perbincangan.
"Nggak dengar, Ma. Tadi lagi ngobrol sama Pak Bhaska," ucap Sakia kikuk.
Mama mengamati Sakia dan Indra bergantian. Merasa kedua muda-mudi itu membutuhkan privasi berbicara empat mata, mama memilih menyingkir.
"Malam ini Mama nggak masak, Ki. Kalau mau makan kamu bikin telur ceplok aja atau minta tolong Indra anterin beli makan. Mama mau packing dulu. Mama tinggal dulu ya, Ndra. Makasih lho udah bantu mama hubungi Sakia."
Indra tersenyum.
"Kamu kenapa sih, Ndra?" Sakia langsung melontarkan kekesalannya sesudah mama meninggalkan mereka berdua.
Tidak nyaman duduk berseberangan, Indra beranjak menjejeri Sakia. Sakia mencium gelagat aneh. Berulang kali meremas jari tangan, Indra tampak kesulitan mengungkapkan kata-kata. Bila diperhatikan secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, ada bau-bau kegalauan yang terpancar dari sorot mata Indra. Ada titik-titik keringat mengembun di keningnya. Indra malah terlihat gugup seperti orang pengin menyatakan cinta.
"Aku udah putus sama Tania," ucap Indra, terselip sendu dalam nada suaranya.
"Putus?" Sakia memekik.
Dalam hati Sakia bersyukur akhirnya Indra mendapat hidayah juga. Akhirnya sadar juga selama ini ia cuma dijadikan sapi perahnya Tania. Butuh waktu tidak sebentar membuat Indra menyadari penyiksaan batin yang diam-diam ia alami. Syukurlah hidayah Tuhan datang lebih cepat sebelum Indra terkena azab.
"Tunggakan kartu kreditku ngeri banget, Ki. Tania marah-marah waktu kuminta dia balikin kartu kreditku. Aku belum sempat ngomong apa-apa, dia langsung mutusin gitu aja," keluh Indra, memegangi pelipisnya.
"Ya udahlah, Ndra. Aku juga heran kamu kok betah banget sama dia. Diporotin separah itu kamu masih bisa aja ngaku sayang. Harusnya kamu bersyukur Tania mutusin kamu, Indra. Masih banyak kok wanita di luar sana yang ngantre kamu putus sama Tania," sahut Sakia merangkum pundak Indra penuh suka cita.
Indra balas merangkul pundak Sakia dengan sebelah tangannya. "Ki, kamu beneran serius sama Pak Bhaska?"
Seketika canggung, Sakia menurunkan tangannya dari bahu Indra. Terdengar irama putus asa mengalun dari kalimat Indra barusan. Sepertinya dia patah hati banget. Seharusnya Indra lega bisa terlepas dari jeratan wanita penguras harta kekayaan pria. Bukannya malah memasang wajah suram kayak gitu. Wanita seperti Tania tidak pantas diajak menjalin hubungan. Apalagi sampai berkomitmen. Duh, sama saja ketiban sial seumur hidup.
"Serius gimana?" tanya Sakia pura-pura lemot.
"Kalian udah tambah dekat gitu. Bentar lagi pasti pacaran, deh. Terus aku sendirian nggak ada teman," cetus Indra sedih.
"Astaga. Dua tahun kamu asyik pacaran sama Tania, aku sendirian juga nggak punya pacar, aku enjoy-enjoy aja kali, Ndra. Kalau kamu pikir aku lagi dekat sama orang lain, asyik sama orang lain terus ngelupain kamu itu mustahil banget. Ya ampun, kita udah barengan sejak SD lho, Ndra."
"Jadi beneran kamu lagi pedekate sama Pak Bhaska?" cecar Indra, mendongak memandang mata Sakia. Mencari pembenaran dari sana. Semua juga tahu mata tidak bisa berbohong.
Sakia nyengir. Gimana, ya. Dia dekat dengan Bhaskara dalam artian dekat antara bos dan karyawan. Perihal di luar pekerjaan mereka sering pergi bersama, itu pun karena Bhaskara memiliki alasan. Bhaskara membutuhkan Sakia untuk mengatasi kegelisahannya yang berhubungan dengan dimensi lain. Kebetulan Sakia memiliki kapasitas menjangkau area itu. Seiring berjalannya waktu, misalnya di antara keduanya timbul percikan rasa tidak biasa, ya itu urusan belakangan.
"Aku tanya apa kamu serius sama Pak Bhaska, soalnya Mas Praska nanyain kamu, Ki. Mas Praska udah balik ke Indonesia. Katanya minggu depan mau ke Jakarta."
Mendengar nama Praska disebut, seketika bahu Sakia merosot turun.
21.10.2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top