Bab 9
Aku menutup kaca dan melempar pandangan keluar jendela. Namun dari spion sebelah kiriku terlihat sebuah mobil melaju dengan kecepatan sedang. Aku mengernyit mengingat-ingat mobil serupa yang pernah kulihat.
“Ya Allah itu kan, mobil Kang Hafiz! Kenapa dia mengikutiku?” batinku sambil terus memperhatikan laju mobil yang seolah menyesuaikan dengan kecepatan mobil yang kutumpangi.
Aku masih berusaha untuk tenang karena jalan yang kami lewati belum memiliki percabangan. Berharap nanti di depan dia berbelok dan tidak mengikutiku lagi.
Meski hati berdebar aku masih berusaha bersikap biasa sampai akhirnya dia mengikuti kami masuk toll. Aku masih melirik spion sesekali berharap tangkapan mata ini salah. Namun ternyata memang dia masih mengikuti.
Aku tidak hendak memberitahu Bang Rudi masalah ini. Biarlah kucari caraku sendiri agar terhindar dari penguntit itu. Sebenernya apa, sih maunya?
“Bang setelah keluar toll ka ada mall di perempatan lampu merah. Bisa kita mampir sebentar! Saya ada yang mau dibeli!” ucapku mulai mengatur strategi.
“Baik, Non!” Hanya itu jawaban dari Bang Rudi. Supir yang irit sekali perkataannya.
Sudut mataku masih memperhatikan mobil Kang Hafiz yang mengikutiku. Sebenarnya mau apa dia? Namun percuma juga berdebat dengan orang keras kepala sepertinya. Apapun yang akan di anggap benar adalah hal yang diyakininya.
Tidak lama mobil kami sudah keluar gerbang toll.
Aku segera meminta Bang Rudi untuk masuk ke parkiran Mall. Aku sudah memutuskan untuk membeli kartu sim baru di sini. Kulihat mobil Kang Hafiz ikut menepi tapi diluar mall. Aku yakin dia takut terlihat jika ikut berhenti di dalam.
Aku bergegas keluar dari mobil. Sambil berjalan aku memikirkan cara agar Bang Rudi segera pergi tapi jangan pulang ke rumah. Biar aku terlepas dari si penguntit itu. Ah, ide cemerlang datang. Aku mengirimi Rani pesan, semoga di sedang berbelanja di pasar.
[Ran, kamu di mana?]
[Lagi belanja, Non! Kenapa?]
[Gak usah panggil non kali kalau gak di depan ibu mertuaku sama Mas Ashraf, panggil nama aja!]
[Gak apa-apa, Non! Aku harus terbiasa,] tulisnya.
Baiklah tidak usah membahas yang lain dulu.
[Kamu lagi di pasar gak?]
[Iya, kenapa? Mau ada yang dibeli, Non?]
Lagi-lagi dia memanggilku non. Aku sebetulnya tidak nyaman dengan panggilan itu. Namun sepertinya aku memang harus membiasakan diri.
[Enggak, aku akan menyuruh Bang Rudi jemput kamu, tunggu ya di tempat biasa nanti!] tulisku.
[Eh, bukannya Bang Rudi sedang jemput, Non ya?] tanyanya.
[Udah, aku udah pulang! Jangan menolak, ya!] tulisku.
[Ok baik, Non!]
Setelah dealing dengan Rani. Aku segera menghubungi Bang Rudi untuk meninggalkanku di mall ini. Kumengintip dari balik kaca mall ketika mobil yang dipakai menjemputku meninggalkan halaman parkir. Tepat, kulihat mobil Kang Hafiz juga bergerak dan mengikutii mobil yang dikendarai Bang Rudi.
Aku bergegas membeli kartu SIM baru. Setelah menghubungi suamiku dan mengabarkan jika aku ganti nomor lagi. Aku segera melepas sim card lama tapi masih kusimpan.
“Mulai hari ini, aku tidak akan membiarkanmu menganggu hidupku, lagi penerror!” batinku sambil tersenyum. Aku berjalan sambil memesan mobil online untuk menuju ke rumah utama.
Setelah dipastikan tidak ada yang mengawasi, aku segera masuk ke mobil yang sudah kupesan. Supirnya ternyata seorang wanita paruh baya.
“Eh, kho di aplikasinya Pak Herman, tapi yang nariknya beda?” Aku menatapnya lekat.
“Maaf, Mbak! Herman itu suami saya, dia sedang sakit sekarang! Jadinya saya menggantikannya narik! Kalau tidak berkenan cancel saja, jangan laporkan di aplikasi ya, Mbak!” ucapnya memohon.
“Oh, baik Bu tidak apa-apa!” Aku kemudian duduk di kursi depan di sampingnya.
“Mbak, ke alamat rumah konglomerat Adireja, ya?” tanyanya. Aku hanya mengangguk.
“Wah, enak ya bisa kerja di sana!” ucapnya. Sekilas pun dia sudah bisa menebak jika aku hanyalah seorang pekerja di sana.
“Alhamdulilah, Bu! Rejeki saya!” jawabku.
“Eh, katanya Tuan Muda keluarga Adireja sudah menikah, ya? Namun istrinya belum dimunculkan ke publik. Mbak pernah lihat? Cantik pastinya ya, Mbak?” Rupanya sosok istri dari keluarga Adireja merupakan momok yang ditunggu publik.
“Saya baru sih, Bu! Belum pernah lihat!” jawabku untuk menghindari pancingan pertanyaan berikutnya.
“Pastinya dia masih mau menyembunyikannya, ya! Saya jadi penasaran cantikan mana sama Nona Elisa!” ucapnya sambil terus menyetir.
“Mbak, tahu Nona Elisa?” tanyanya lagi padaku.
Aku menggeleng. Sambil menyandarkan tubuhku di kursi mobil ini.
“Nona Elisa itu kekasih pertama Tuan Muda Ashraf. Cuma memang akhir-akhir ini dikabarkan renggang karena adanya pihak ketiga!” ucapannya akhirnya membuatku menegakkan dudukku kembali. Aku menatapnya penasaran.
“Orang ketiga?” tanyaku.
“Iya, Mbak! Masa kerja di sana tapi gak tahu! Nona Elisa ketahuan selingkuh, karena itulah katanya Tuan Muda Ashraf memutuskan untuk menikah untuk membalas rasa sakit hatinya!” jelas pengemudi mobil online itu.
Mendengar hal itu membuatku menghempaskan kembali punggungku ke sandaran jok mobil. Tubuhku terasa ringan seakan dihempaskan dari ketinggian jatuh meluncur ke dalam jurang.
Jadi benar pradugaku selama ini? Dia menikahiku hanya sebagai pelarian dan pelampiasan sakit hatinya atas sebuah pengkhianatan? Tapi kenapa juga orang sepintar dan sekaya Tuan Muda Ashraf harus berbuat hal bodoh seperti itu? Menikahi pembantunya bukan hal tepat untuk membalaskan sebuah pengkhianatan bukan?
“Identitas istrinya sampai hari ini masih ditutup rapat dari media! Mungkin untuk menjamin keamanannya kali ya, Mbak! Termasuk dari bullyan para wanita yang selama ini mengincarnya!” ucap Bu Herman. Aku sebut saja dia Bu Herman, karena di aplikasi mobil online yang tertulis nama suaminya yaitu Pak Herman.
Aku kembali ingat akan terror-terror yang menggangguku. Mungkinkah itu dari salah satu dari sekian wanita yang selama ini mengejarnya.
Ternyata menjadi istri orang terpandang memiliki keunikannya sendiri. Tidak sebebas seperti menjadi Sinta yang hanya seorang rakyat jelata. Pantas saja Mas Ashraf waktu itu hendak memberiku pengawal. Apakah setelah resepsi pernikahan nanti dan semuanya gamblang, hidupku akan semakin berat atau menjadi menyenangkan, ya?
Beragam pikiran berkeccamuk memenuhi rongga kepala. Hingga aku tak sadar jika Bu Herman ternyata masih mengajakku bicara.
“Mbak! Mbak!” Si Bu Herman pengemudi mobil online itu menepuk pundakku.
“Eh, apa, Bu?” tanyaku menatapnya.
“Eh, ngelamun! Saya tanya Mbaknya udah nikah belum?” katanya sambil terkekeh melihat wajahku yang terlihat kaget.
“S-saya sudah menikah, Bu!” ucapku.
“Ooo ….” Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya. Entah maksudnya apa. Namun pikiranku sudah merasa tidak nyaman mendengar selentingan yang membenarkan pradugaku selama ini.
Acara resepsi pernikahan dan go publik akan di adakan sekitar satu bulan lagi. Apakah itu waktu yang cukup untukku mencari tahu seperti apa sesungguhnya perasaan suamiku? Aku jadi benar-benar takut jika setelah semua terbuka dan dia bosan. Tiba-tiba dia mencamapakanku.
Aku masih bisa menanggung sakit hati untuk diriku sendiri. Namun jika itu benar-benar terjadi aku tidak akan rela melihat kedua orang tuaku yang akan terluka---Ibu dan Bapak.
Mobil yang kutumpangi akhirnya tiba di sebuah komplek perumahan mewah. Setelah melewat gate pemeriksaan di gerbang security mobil akhirnya bisa masuk.
Rumah keluarga Adireja merupakan rumah dua lantai yang berdiri di atas tanah seluas dua ribu meter.
Rani, dan Sindi adalah dua orang kepercayaan yang di izinkan tinggal di rumah utama. Sementara untuk beberapa pekerja harian hanya pulang pergi.
Ada satu pekerja harian yang membantu Rani untuk urusan masak memasak. Dan ada sekitar sembilan pekerja harian yang dibawahi Sindi untuk mengurusi kebersihan rumah. Namun aku jarang sekali bertemu dengan mereka. Hanya sesekali saja.
Aku turun dari mobil online dan memberikan uang cash.
“Mbak, ini kelebihan!” ucapnya.
“Gak apa-apa, Bu! Anggap saja itu rejeki dari Allah untuk berobat suami Ibu,” jawabku sambil tersenyum. Belum aku memijit bell. Dua orang penjaga pintu gerbang dengan sigap membukakan gerbang untukku.
“Selamat datang, Non!”
Ucapnya sambil membungkuk menghormatiku. Aku melirik sekilas ke arah Bu Herman yang masih memegang uang beberapa lembar yang kuberikan. Aku melambaikan tangan padanya.
Kulihat wajah wanita itu merah padam melihat perlakuan para penjaga rumah ini kepadaku. Apakah dia curiga siapa aku sebenarnya, entahlah?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top