Part Django 3 - Kehidupan Django
"Aku selalu berusaha kabur, My Lady," Django mengikat kedua jari-jarinya dalam genggaman. "Hingga aku bertemu dengannya," kenang Django. "Margaret Garner, dia wanita yang lembut. Aku jatuh cinta. Sama seperti Anda, My Lady. Aku telah menikah."
Kiana senang mendengarnya. "Benarkah?"
"Ya," aku Django. "Istriku sangat cantik, kecantikannya seperti Dewi Oshun," puji Django.
"Dewi Oshun?"
"Dewi di tempat asalku, dewi yang sangat cantik. Dewi cinta dan pernikahan," jelas Django yang tahu rasa penasaran nona mudanya. "Kami bertemu delapan tahun yang lalu, saat aku masih seorang budak di sebuah perkebunan anggur."
Django teringat pertama kali melihat gadis itu, dia tak bisa bersuara dan merasa gugup. Django berdiri kaku saat gadis itu melewatinya. Gadis itu seorang budak milik tuan tanah di samping rumah—mereka bertetangga. "Aku jatuh cinta." Django mengingat perasaan hangat yang selalu menyirami tubuhnya, setiap kali melihat gadis itu.
"Kami jatuh cinta, saat yang paling indah dalam hidupku, My Lady." Django tersenyum melihat Kiana, "Semua tidak mudah ... kedua tuan kami, tidak menyukai hubungan kami. Mereka berusaha memisahkan kami, tapi," Django melanjutkan, "wanita itu adalah wanita yang pantas kuperjuangkan."
"Aku selalu berusaha bertemu dengannya." Suara cambukan-cambukan itu terdengar lagi saat Django menutup matanya. "Tapi aku bahagia. Aku bahagia bersamanya."
"Lalu tuanku sudah mulai berumur dan mulai lemah, keadaan itu membuatnya menyerah dan membiarkanku menemui Margaret." Cambukan-cambukan yang diterima Django saat itu mulai berkurang. "Dia mengizinkanku menemui Margaret dengan syarat aku harus bekerja lebih keras." Django melanjutkan, "Aku bekerja lebih keras, tuanku tak pernah mengeluh dan kami menikah."
"Aku juga mempunyai anak, My Lady." Django tersenyum saat berbicara hal tersebut.
"Oh ... benarkah?" Kiana benar-benar senang mendengarnya. "Pasti anakmu lucu sekali."
"Iya, mereka sangat lucu." Django mengakuinya. "Mereka membuatku bahagia, membuatku puas, dan membuatku bisa bersyukur dalam hidup ini ... menurutku, keluargaku sangat penting, lebih penting dari impianku. Aku tak mengharapkan apa pun lagi waktu itu, kehadiran mereka sudah cukup."
"Chinara ... dia anak gadisku yang pintar, dan penuh rasa ingin tahu, umurnya baru enam tahun." Django mengingat anak itu berlari memeluknya setiap kali mereka bermain. "Dan bayi lelakiku, Chike. Dia seperti malaikat, belum genap satu tahun."
"Aku ingin sekali melihat mereka, Django. Aku ingin bertemu mereka, bawa aku melihat mereka, Django," kata Kiana bersemangat.
Genggaman tangan Django mengeras. "Aku tak bisa ...,"
Kiana melihat Django menutup matanya.
"Mereka sudah meninggal," ucap Django.
"Semua salahku ...," suara Django bergetar pelan.
Django mengenang masa lalunya, saat tuannya memainkan cambuknya waktu tak suka kelakuan Django. Tapi Django tidak mengetahui apa pun tentang tuan Margaret. Margaret bercerita kalau tuannya tak pernah menggunakan cambuk, tuannya hanya memaki dengan kata-kata kasar. Tuan Margaret menganggap semua budak adalah makhluk kotor, sama seperti sampah. Tuannya selalu membuang barang, saat melihat salah satu budak tak sengaja menyentuh barang tersebut—dia langsung membuang barang itu tanpa pikir panjang.
Tuannya selalu menyuruh mereka semua untuk mandi dan buang kotoran di tempat yang jauh—tidak boleh di dekat rumah. Buatnya semua budak itu kotor kecuali Margaret—Margaret termasuk wanita yang sangat menjaga kebersihan walaupun dia seorang budak, dia selalu terlihat rapi dan sempurna—hanya Margaret yang diizinkan berada di dalam rumah.
Setiap bertemu Django, Margaret bercerita tentang kehidupannya sebagai budak di rumah itu, dan Django pun bercerita tentang masa lalunya—tentang impiannya. Impian itu pun lama-lama masuk ke dalam diri wanita itu, Margaret bermimpi, suatu hari nanti, dia dan suaminya beserta anak-anak bisa hidup bahagia, memiliki rumah kecil, perkebunan atau peternakan kecil mereka sendiri, tanpa status budak dalam diri mereka—menjadi keluarga yang bebas dan bahagia.
Hidup mereka sangat tenang di tempat itu, tenang sebagai budak di kediaman tuannya masing-masing. Hingga suatu hari, Margaret merasa takut kepada tuannya, dia menceritakan kegelisahan tersebut pada Django. Tuannya terlihat aneh belakangan ini, tuannya sangat baik kepada dirinya dan putri kecil mereka—terlalu baik. Tuan Margaret memujinya, karena selalu terlihat bersih, berbeda dengan budak lainnya yang kotor, dan memujinya sebagai seorang ibu yang sangat rapi dalam merawat anaknya, tak terlihat satu pun kotoran di tubuh mereka.
Margaret melihat tuannya yang mengelus rambut Chinara, mencubit pipinya, dan mengelus lengannya. Tuannya selalu tersenyum pada Chinara dan mengendongnya setiap kali bertemu. "Kau akan menjadi gadis yang cantik," sambil membelai pipi Chinara. Tuannya terlalu memanjakan putri mereka, Margaret mengatakan semua itu kepada Django, tentang perasaannya yang tidak enak, setiap kali melihat pemandangan itu.
"Bukankah itu bagus, Maggie? Tuanmu menyayangi Chinara seperti anaknya sendiri," Django mengingat saat tuan Margaret mengendong Chinara di bahunya, mengacak-acak rambut ikal Chinara, yang seperti Django lakukan. Django tersenyum saat melihat tuan Margaret dan Chinara asyik bermain.
Tapi Margaret tidak berpikir seperti itu.
Instingnya sebagai wanita tidak merasa seperti itu. Instingnya sebagai seorang ibu tidak merasa seperti itu. Margaret merasakan bahaya, dan dia harus menjauhkan Chinara dari tuannya. Secepatnya.
Siang itu, Django sedang memetik buah anggur yang sudah matang. Margaret berlari menghampirinya, berteriak histeris lalu memukulnya. Django tak pernah melihat sisi Margaret yang seperti itu.
"KENAPA?" teriaknya. "KENAPA KITA MENIKAH?"
"KENAPA?" suaranya makin melengking, "KENAPA KITA MEMILIKI ANAK?"
Margaret memukul tubuh Django dengan lengannya. "KENAPA?" teriaknya histeris. "KENAPA KAU MEMBERIKU ANAK PEREMPUAN?"
"KENAPA?" Margaret terus memukul Django. "KENAPA?" air matanya mengalir.
Django memeluknya berusaha menenangkan istrinya. "Kenapa?" katanya terisak-isak. "Kenapa, Django?" suara Margaret semakin melemah.
"Tuan menatap Chinara dengan aneh, Django. Dia menatap putri kita dengan aneh. Dia aneh ...," Margaret memeluk erat Django. "Aku takut."
"Aku takut, Django," aku Margaret dengan suara tercekat.
Margaret bercerita, tuannya sangat memanjakan putri kecil mereka, memberinya permen, kue dan baju-baju indah. Margaret melihat tuannya selalu menyentuh putri mereka, mengelus setiap bagian tubuh Chinara. Lalu Margaret mendapati tatapan penuh nafsu itu, tatapan hasrat tuannya ke Chinara—anak perempuannya. Mereka harus pergi. Margaret mengajak Django untuk kabur sebelum hal yang dikhawatirkannya terjadi.
Django berusaha menenangkan istrinya yang ketakutan.
Margaret memaksa Django, mereka harus kabur saat itu juga. Kabur demi Chinara, demi putri mereka. Margaret mengingatkan Django akan cita-cita keluarga kecil mereka—menjadi keluarga kecil bahagia yang hidup bebas. Django menyetujuinya tapi dia berpikir, mereka perlu rencana yang lebih matang. Mereka akan menunggu tiga hari lagi.
Buku-buku jari Django semakin memutih dalam genggamannya. "Tapi aku tak pernah menyangka semua akan berakhir seperti itu, My Lady."
Sebuah air mata jatuh di pipinya. "Aku tak tahu,"—suara Django tercekat, terdengar penyesalan yang sangat dalam dari sana—"tak pernah menyangka hal seperti itu akan terjadi."
"Apa yang terjadi Django?"
Django berusaha melanjutkan. Gambaran masa lalunya kembali datang. "Malam kedua, Margaret datang ke tempatku saat tengah malam. Saat itu aku sedang tidur ...."
Django bangun walau tidak dibangunkan—alam bawah sadarnya meminta untuk bangun—karena merasakan sebuah tatapan dalam tidurnya. Django membuka mata dan Margaret berdiri kaku menatapnya. "Maggie ... kenapa?"
Django langsung berdiri memastikan keadaan istrinya. Kenapa Margaret datang malam-malam ke tempatnya—walau mereka sudah menikah, mereka tinggal di rumah tuan mereka masing-masing.
Tatapan Margaret terlihat kosong dan Django menyadari sesuatu, istrinya membawa sebuah pisau dapur ditangannya—tertutupi cairan berwarna gelap. Darah segar. Penampilan istrinya malam itu benar-benar tak bisa dilupakannya. "Maggie?" panggilnya lagi.
Margaret masih diam.
Django mengambil pisau itu perlahan dari tangan istrinya. "Maggie, apa yang terjadi?" tanyanya pelan. Margaret memberikan pisau itu tanpa perlawanan. Django memerhatikan saksama cairan berwarna merah tersebut—darah yang masih baru.
"Dia tahu ...," kata Margaret akhirnya.
Django diam.
"Dia tahu rencana kita," lanjut Margaret.
Siapa yang memberitahu tuan Margaret? Tak ada yang tahu rencana mereka. Django tak mengerti.
"Gara-gara aku ...," terang Margaret. "Dia memerhatikanku, melihat gerak-gerikku. Aku selalu melihat Chinara dan pintu. Dia mengetahuinya."
Django mendengarkan.
"Dia bilang, percuma. Percuma melarikan diri ... karena kita akan tertangkap. Dia akan meminta semua petugas mengejar kita." Margaret terus berbicara. "Dia tak akan membiarkan kita kabur, Django. Dia bilang, aku dan Chinara adalah miliknya. Dia tak akan pernah melepaskan kami berdua." Margaret mengulang kembali kata-kata tuannya. "Tidak akan. Karena kami miliknya, dan akan tetap jadi miliknya. Dia bilang, dia akan memisahkannya dari kita. Memisahkan Chinara dariku ...."
Django kembali melihat darah di pisau itu, Margaret mengikuti tatapannya dan kembali merasa kosong.
"Aku membunuhnya," aku Margaret.
"Membu—" Django tak dapat melanjutkan kata-katanya.
"Ya ... aku menusuknya." Django memandang istrinya. "Berkali-kali."
Django memeluk Margaret. "Apa yang dilakukannya?" wanita itu berdiri kaku dan terlihat rapuh. "Apa yang dilakukan bajingan itu padamu, Maggie?"
"Dia tak melakukan apa pun," jawab Maggie pelan. Alis Django sedikit berkerut. "Ya," lanjut Margaret. "Dia tak melakukan apa pun," ulangnya dengan suara hampir berbisik.
"Lalu, kenapa kau melakukannya? Kenapa kau menusuknya?" Margaret diam tak menjawab, diam seperti patung. Django tak tenang melihat istrinya seperti itu. "Tenang, Maggie ... kita akan mengatasinya, tak akan terjadi apa pun terhadap dirimu. Aku janji, aku akan melindungimu." Django kembali berkata padanya. "Kita keluar dari tempat ini, kita akan pergi dari sini. Kau harus kembali dan bawa anak-anak, Maggie." Django memeluknya erat, lalu dengan secepat kilat Django berusaha mengumpulkan barang-barang yang dibutuhkannya. "Tunggu aku di belakang pohon oak besar itu. Kita harus harus segera pergi dari sini."
Margaret tetap tak bergerak.
"Bawa anak-anak," perintahnya. "Bawa Chinara dan Chike, Kita akan pergi dari sini. Secepatnya."
"Aku menusuknya ...," kata Margaret lagi—yang tak bergerak sama sekali.
Django menghampiri dan memegang kedua lengan istrinya, "Kita harus segera pergi, Maggie."
"Berkali-kali ...," Margaret mengulang kalimatnya.
"Waktu kita sedikit, Maggie." Django tahu istrinya masih terguncang tapi mereka harus segera pergi dari sana.
"Dia tak melakukan apa pun, Django," bisik Margaret lagi.
"Kita harus pergi, Maggie." Django meremas lengan Margaret.
"Dia tak melakukan apa pun saat aku menusuknya, Django ...."
Django mengguncang tubuh Margaret. "Ayolah, Maggie. Bawa anak-anak, kita harus pergi sekarang!"
"Matanya, menatapku ... melihatku ... saat aku melakukannya ...."
"Cepat, Maggie," bisik Django tak sabar, lalu kembali mengumpulkan barang-barang. "Kita harus keluar dari tempat ini secepatnya."
"Dia menatapku seperti biasa,"
"Kau bisa ceritakan itu nanti, Sayang. Kita harus pergi sekarang."
"Dia ...."
Django kembali menggenggam erat lengan Margaret. "Kita akan pergi ke utara, Maggie. Kita akan tinggal di sana. Kita akan bebas di sana." Tapi Margaret tetap diam terpaku, tak bergerak. Django yang tidak sabar, mengguncang tubuh Margaret. "Ayolah, Maggie. Kita harus segera pergi dari sini, sebelum orang-orang melihat tubuh tuanmu yang tak berdaya itu. Kita harus segera keluar dari tempat ini."
"Tuanku, dia masih di dalam kamarnya," jawab Margaret kosong.
Django mengernyit. "Kau menusuknya di sana?"
Margaret menggeleng pelan, tatapan matanya menatap lurus pada mata Django yang membuatnya terdiam, bibirnya sedikit bergetar saat berkata, "Aku ... menusuknya di tempat tidurku."
"Apa dia melakukan sesuatu yang tidak pantas padamu, Maggie?" Django tidak ingin mendengar itu, tapi dia harus bertanya dan memastikan. "Apa yang keparat itu lakukan terhadapmu?" darah dalam diri Django mendidih.
"Dia tak melakukan apa pun."
"Kenapa dia bisa berada di atas tempat tidurmu? Dan kenapa kau menusuknya kalau dia tak melakukan apa pun?" tanya Django tak percaya penuh selidik.
"Supaya dia tak bisa memisahkan kami," suara Margaret semakin mengecil. "Dan karena tempatnya memang di sana, Django."
Django mulai tidak mengerti.
"Dia tidur seperti biasa, meringkuk seperti udang," Margaret memeluk dirinya sendiri dan meneruskan. "Aku menikamnya saat dia masih tidur." Margaret menutup matanya mengingat kembali kejadian itu. "Dia lemah dan tak berdaya ...," Margaret melihat kembali pisau itu di tangan suaminya. "Aku menikamnya berkali-kali dengan benda itu," lanjut Margaret. "Aku membunuhnya, Django."
"Dia menatapku ...," Margaret mengingat jelas tatapan mata itu. "Menatapku tak mengerti, kenapa aku melakukannya," Margaret mengingat kembali suara rintihan itu.
"Dia bilang ...," Margaret juga mengingat suara kesakitan itu, "Sakit ... sakit sekali ... dia sangat kesakitan ...."
"Dia terus memanggilku," Margaret terus mendengar suara rintihan itu di dalam kepalanya. "Dia terus menangis,"
Django tak ingin mendengarnya lagi. Dia ingin Margaret berhenti bicara.
"Mama, sakit sekali ... itu katanya," kata Margaret. "Chinara, anak perempuan kita." lanjut suara bergetar wanita di hadapannya. "Aku telah membunuhnya."
Django langsung berlari secepat kilat ke sebelah rumah, menuju kamar Margaret—ke rumah tuannya. Django membuka pintu dan melihat malaikat kecilnya di sana. Chinara menutup matanya seperti sedang tertidur. Anaknya hanya sedang tertidur—itu yang diinginkan Django. Tapi Django juga melihat cairan berwarna semerah darah menghiasi baju tidur putihnya.
Django perlahan mendekati anak gadisnya. "Chi ...," panggilnya, tapi anak itu tak mendengarnya, 'Anakku hanya sedang tidur.' kata Django dalam hatinya, langkah pelannya semakin mendekati Chinara. Django dapat melihat wajah kecil yang pucat itu. Anak gadisnya tak bergerak sama sekali. Django terus menatap wajah putrinya, wajah anak gadisnya yang sedang tertidur, dia menatap mata putrinya yang terpejam, "Bangun, Chinara ...," katanya lembut sambil memerhatikan bulu mata lentik anak perempuannya—dia tahu, mata itu tak akan terbuka lagi, mata itu tak bisa melihatnya lagi.
Django kemudian melihat hidung yang sering dicubitnya, lalu menatap bibir mungil itu—bibir mungil yang tak bisa memanggilnya ayah lagi. Django sudah berada tepat di samping tubuh kecil itu. Kemudian duduk menatap wajah putri kecilnya lebih dekat. Django mengelus rambut halus berkeriting ikal tersebut, mengelus wajah itu dan menggenggam tangan kecil yang sudah dingin tersebut, "Chinara ...."
Django tak dapat bergerak dari sana. Menangis.
Keesokan hari, tuan Margaret menyadari apa yang terjadi, dia mendapati Django berada di dalam kamar Margaret—tidak bergerak, terus memandang putrinya di tempat tidur. Lalu pria itu meminta anak buahnya menangkap Margaret. Wanita itu ditemukan di dalam kamar Django, tak bergerak dari tempatnya—tempat di mana Django berlari meninggalkannya semalam.
Margaret tak memberontak saat ditangkap, dan ditarik ke arah rumah tuannya. Django keluar dari rumah itu sambil menggendong tubuh putrinya yang sudah dingin. Mereka berpapasan. Django dan Margaret tidak saling menatap—Django tak ingin melihatnya. Margaret dan kedua penangkap itu berjalan melewati Django. Django tak melakukan apa pun, tak sedikit pun berusaha menolong Margaret—membiarkan istrinya begitu saja. Tapi Django mendengar gumaman lemah itu. "Aku hanya membantunya ke tempat lebih baik." Django tak ingin mendengarnya dan berjalan menjauh.
Django kemudian memakamkan putrinya tidak jauh dari pohon oak besar.
Kemudian tuan Margaret memutuskan akan mengirim Margaret dan bayinya ke tempat penampungan para budak. Django ingin Chike bersamanya, tapi tidak bisa, dia memohon kepada tuan Margaret dan pria itu tak peduli. Django tak ingin Chike dibawa oleh Margaret, tidak ingin anaknya dibawa oleh wanita itu, dibawa oleh istrinya—oleh ibu anaknya. Saat Margaret akan dibawa pergi oleh para petugas, tanpa berkata apa pun Django langsung mengambil Chike dari gendongan Margaret—Django benar-benar tak ingin berbicara dengan istrinya.
Tapi Margaret menangis menjerit, meminta bayinya kembali—saat Django mengambil bayi itu dari tangannya. Para petugas kemudian memukul Django, Margaret berteriak, meminta mereka berhenti memukul suaminya. Margaret kemudian memohon, dan berjanji pada Django bahwa dia akan menjaga Chike dengan baik. Air matanya terus turun, dan terus memohon, agar Django tidak memisahkannya dengan Chike—anak mereka satu-satunya. Django akhirnya berusaha memercayai janji Margaret—istri yang masih dicintainya. Django masih mencintai istrinya. Cintanya masih sama. Tapi untuk sekarang, dia tak mampu menatap wajah istrinya.
Pembunuh anaknya.
Beberapa hari kemudian, sebuah kabar buruk kembali mendatangi Django. Chike meninggal. Bayinya tenggelam saat naik kapal menyeberangi sungai, kapal itu bocor di tengah sungai. Chike terlambat diselamatkan. Budak yang membawa kabar, menceritakannya pada Django. "Margaret dan Chike, orang terakhir yang diselamatkan," kata budak itu lagi. "Sebenarnya kami berhasil menyelamatkan keduanya. Tapi Chike terlepas dari gendongan Margaret."
Django terjatuh lemas.
Budak itu berhenti berbicara. "Tapi ...," lanjutnya. Django menatap budak itu dengan tatapan mata kosong. "Ada yang aneh dengan Margaret ...," budak itu berusaha mencari kata-kata yang sesuai. "Dia sedikit aneh, Django."
Lidah budak itu terasa kelu saat menyampaikan informasi tersebut, "Margaret, dia ... dia tersenyum saat melihat Chike tenggelam." Budak itu melanjutkan. "Besok paginya, kami menarik tubuh Margaret dari dalam sumur, tidak jauh dari tempat kami menginap." Django menunduk benar-benar lemas. Margaret bunuh diri. Ingatan masa lalunya berputar, masa lalu indah bersama istri dan anaknya. Dia menyesal dan menyalahkan dirinya karena tidak mendengarkan Margaret—tidak langsung pergi saat istrinya memintanya. Maka hal-hal mengerikan itu terjadi dalam hidupnya. Semua salahnya.
Django akhirnya menyadari maksud perkataan istrinya, tentang akan mengurus Chike dengan baik—akan membantu Chike, agar tidak menjadi seorang budak, seperti mereka. Margaret menjanjikan hal itu kepada Django—dan wanita itu menepati janjinya dengan cara yang tak diharapkan Django.
Django berharap dia bisa mengulang waktu—tapi dia sadar, dia tak bisa—Django berteriak menumpahkan segalanya.
Kiana menangis mendengar itu.
"Hidupku hancur," isak Django tertahan. "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan," Django mengingat kehilangannya yang terbesar. "Aku tak ingin hidup dan memutuskan untuk bunuh diri."
Kiana terkesiap.
"Ya ... bunuh diri, My Lady. Hanya itu yang ada di dalam pikiranku saat itu." Django berkata lemah dan mengingat malam itu. Dia membawa tali dan mengikatnya di pohon oak besar itu. Lalu dia menaiki kursi kayu kecil, menaruh lehernya di tali gantungan dan menendang kursi kayu itu. Dia sudah tidak tahu, untuk apa dia hidup. Dia merasakan tali itu menjerat lehernya, tali itu membuatnya tidak bisa bernapas. Sebentar lagi, dia akan menyusul keluarganya, napasnya terasa sudah hampir habis.
Tapi tali itu putus. Django tetap hidup. Dia berteriak. Mengucapkan sumpah serapah. Berteriak menyalahkan talinya. Berteriak menyalahkan Dewanya. Berteriak menyalahkan Tuhan yang dipercaya istrinya. Django berteriak menyalahkan dirinya. Berteriak menyalahkan dunia.
Django kemudian membuang tali itu dengan kasar, dan melihat kalungnya jatuh di tanah. Dia mengambilnya. Kalung itu seperti tempat penyimpanan kecil. Django melihat kalung itu sedikit terbuka, lalu melihat sebuah kertas mencuat, yang sudah lama dilupakannya—kertas berwarna cokelat kekuningan. Django membuka kertas itu dan membaca tulisan Kiana, nona mudanya;
Aku berdoa untuk kebahagiaanmu.
Berdoa, kau mendapatkan apa yang kau kejar.
Aku berdoa, kau berhasil menemukan apa yang kau cari.
Berdoa kepada Tuhanku, untuk melancarkan segalanya bagimu.
Aku berdoa yang terbaik untukmu, temanku.
Tapi, bila semua tidak berjalan dengan baik. Bila semua tidak berjalan dengan mudah. Bila semua tidak berjalan seperti keinginanmu.
Kumohon, ingatlah ini, Django, temanku.
Betapapun menyedihkan dan memilukan kehidupan yang kau jalani,
Jangan menyerah,
Jangan putus asa,
Bertahanlah,
Sebisa mungkin bertahanlah.
Dengan sisa-sisa tenagamu, dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Bertahanlah.
Demi semua orang yang menyayangimu, dan atas nama Sang Pemilik Kehidupan, bertahanlah.
Bertahanlah, Django, temanku.
Salam rindu untukmu,
Kiana Brennan.
Django membaca kembali kertas tersebut. Django menatap gundukan tanah di dekatnya—makam putrinya di dekat pohon itu. Django menangis. "Maafkan aku."
Django berusaha bangkit lagi. Dia berjanji di atas makam putrinya. Dia akan hidup—akan berjuang untuk hidup. Dia akan berjuang untuk kebebasannya, yang juga dicita-citakan oleh istrinya. Django kemudian kabur dari perkebunan itu dan menjadi budak pelarian.
Selama menjadi budak pelarian, Django bertemu budak-budak pelarian lainnya.
Di musim dingin yang beku, dia melihat seorang budak wanita dari sisi seberang sungai, sedang berlari kencang. Budak wanita itu sedang dikejar. Lolongan anjing terdengar—anjing-anjing penangkap budak yang terlatih.
Django melihat adegan itu.
Budak wanita itu berlari sambil mengendong bayinya. Budak itu terus berlari dan terhenti, saat melihat tepian sungai di depannya. Air sungai di hadapannya membeku—es tersebut terlihat licin, tipis dan masih baru. Budak wanita itu sedikit terdiam di sana. Suara anjing kembali menggonggong, membuatnya berkeringat memandang ke belakang. Lolongan anjing terdengar semakin mendekat, tapi para pengejar belum terlihat olehnya. Tapi budak wanita itu tahu, para pengejar akan segera menangkapnya, bila dia masih diam di sana.
Tanpa ragu-ragu, budak wanita itu melangkahkan kakinya di atas es tersebut, dan berusaha berjalan sangat pelan—agar es itu dapat menahan bobot tubuhnya.
Crackk.
Retakan-retakan es muncul di bawah kakinya, mulai bergerak, memisahkan diri dan dalam sekejap pecah berkeping-keping. Tanpa pikir panjang, wanita itu melompat, berusaha tidak jatuh ke dalam air yang sangat dingin itu—musuhnya yang berbahaya di musim dingin. Musuh untuk bayinya yang masih kecil, jiwa mungil itu akan langsung lepas dari tubuhnya bila mereka jatuh ke dalam air.
Suara lolongan anjing makin keras di belakangnya dan budak wanita itu sudah berada di tengah sungai. Semua es yang berada di depannya sudah retak, membelah satu–persatu. Semua pijakan di hadapan wanita itu adalah pijakan yang berbahaya—es licin tipis yang tak dapat menopang benda terlalu berat. Salah selangkah saja, wanita dan bayi itu akan akan tenggelam.
Budak wanita itu berhenti cukup lama di sana—di tengah sungai. Bila wanita itu terus melompat maju, risikonya sangat tinggi—Ibu dan anak itu bisa meninggal. Bila budak wanita itu masih ingin hidup, dia harus kembali, ke tempat para penangkap budak yang sudah menunggu di tepi sungai belakangnya, bersama anjing-anjing mereka. Sebenarnya, itu keputusan yang paling baik untuk wanita itu, karena langkah di depannya sangatlah sulit, jalan di hadapannya sangat sulit untuk dilewati, kemungkinan gagal sangat besar.
Tapi budak wanita itu mengejutkan mereka semua.
Budak wanita itu membuka lipatan kain di pinggangnya, menaruh bayinya di punggung dan mengikatnya dengan kencang. Dengan segenap kekuatannya, wanita itu melangkah ke depan, melompat tanpa henti pada setiap balok es di hadapannya. Dia terus maju, tak berhenti sedetik pun. Balok-balok itu hanya dijadikan pijakan sementara—balok-belok es itu tak akan dapat menahan berat tubuhnya bila dia berhenti—dia melompat dan terus melompat.
Para penangkap budak dan anjing-anjing mereka, menatap budak wanita itu. Menatap keberanian budak wanita itu yang melompat untuk hidupnya. Melompat untuk bayinya. Melompat untuk mereka berdua. Melompat untuk kebebasan mereka.
Lompatan terakhir hampir membuat budak wanita itu gagal.
Tapi tangan Django berhasil meraihnya. Wanita itu berhasil. Dia duduk lemas saat menyadari bahaya yang dihadapinya telah lewat. Budak wanita itu menatap seberang sungai, melihat penangkap budak dan anjing-anjing mereka. Para penangkap budak menghargai keberanian budak tersebut, oleh karena itu mereka berbalik mundur dan tidak mengejarnya lagi pada hari itu. Keberanian mempertaruhkan segalanya bahkan nyawanya sendiri, untuk hidupnya. Eliza Harris, Django tidak akan melupakan nama wanita tersebut.
Budak pelarian lain, yang tak bisa Django lupakan adalah Henry Brown. Budak itu berteman dengan Django, di tempat penebangan kayu milik Mr. Smith Rose. Django masih sangat muda saat menjadi budak di sana, sementara Henry sedikit lebih tua darinya. Henry memiliki sebuah mimpi yang sama seperti Django—mimpi akan kebebasannya.
Henry sangat ingin bebas, dia sangat ingin lepas dari status budak. Tapi dia merasa, dia membutuhkan sebuah cara—cara lain yang bisa membantunya, selain berlari. Hingga suatu hari, sebuah ide terlintas di dalam benaknya. Ide yang konyol, tapi dia yakin bahwa ide itu akan berhasil. Henry pun meminta bantuan Django.
Pertama kali mendengar ide itu, Django langsung menolaknya. Tapi Henry terus memohon pada Django untuk membantunya. Sebelum dewa kematian menjemputnya, dia ingin menjadi manusia yang bebas, hanya itu cita-citanya dalam hidup ini. Django akhirnya menyetujui dan membantunya.
Henry meminta Django yang terampil untuk membuat sebuah kotak kecil dengan ukuran 80 x 80 cm. Henry Brown kemudian memasukan dirinya ke dalam kotak tersebut. Ya, dia melipat dirinya sendiri hingga muat dalam kotak itu.
Dia meminta Django mengirim kotak itu ke Philadelphia. Selain sebagai tukang kayu, Django juga sering diminta untuk mengirimkan barang oleh tuannya ke tempat pengiriman barang. Django diam-diam menulis 'Barang Kering' di atas kotak, agar Henry, temannya dalam kotak diperlakukan dengan baik.
Henry Brown mengirim dirinya sendiri untuk mendapatkan sebuah kebebasan.
"Aku tertangkap lagi, My Lady," kata Django. "Lucunya yang menangkapku adalah pria itu, pria yang membawaku ke sini, ke tanah ini." Django memegang pipinya, luka dalam di pipinya. "Ini hasil perbuatannya."
Django mengingat, saat dirinya dikejar di dalam hutan. Pria itu dan dua orang suruhannya mengelilingi Django. Django berusaha kabur dan berhasil melumpuhkan salah satunya dari mereka, tapi pesuruh lainnya berhasil memukul kepala Django dengan kayu saat dia lengah. Lalu saat Django jatuh, tanpa ampun pria gempal itu menusuknya, dan tanpa sengaja tusukan itu jatuh ke dalam wajahnya. Django kehilangan banyak darah selama perkelahian sehingga tak sadarkan diri.
Django kembali dalam sel dan dikirim kembali melintasi lautan.
Setiap malam, Django selalu melawan dan berontak. Setiap kali pelelangan budak, Django selalu mengamuk dan menghancurkannya. Akhirnya, penjual budak itu kesal, dan tanpa ampun mencambuknya setiap malam, membuat luka-luka baru di setiap inci tubuhnya.
Penjual budak itu kemudian menyewa lebih banyak penjaga, khusus menjaga Django. Django dicambuk setiap hari, dipukul setiap hari, kadang-kadang juga tak diberi makan. Akhirnya, Django memutuskan untuk menggunakan cara lain. Django tak bisa kabur dari tempat itu, karena itu dia akan menunggu, dia akan diam dan tak akan melawan saat transaksi pelelangan budak berlangsung. Dia akan kabur setelah dia dibeli oleh tuannya yang baru.
Dan untuk kedua kalinya Kiana membelinya.
|Part Django|Tamat|
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top