Part Django 1 - Awal Perjalanan bocah kecil

Apa yang mereka inginkan dariku?

Apa yang sedang mereka bicarakan? bocah kecil itu melihat sekelilingnya dengan takut, Kenapa aku di sini? orang-orang berkulit pucat duduk di hadapannya dan mereka semua menatapnya. Kenapa mereka semua melihatku?

Bocah kecil itu memilin baju yang dikenakannya—dia takut melihat mereka semua. Tadi pagi, pria gempal bercincin banyak itu, memintanya untuk mandi dan memakai baju tersebut. Kenapa aku disuruh memakai pakaian ini? tanyanya dalam hati.

Kenapa? tanya bocah kecil itu kembali dalam hati, bocah itu tak mengerti kenapa dia berada di sana.

Bocah kecil itu berdiri sendiri di atas sebuah panggung buatan yang lebih tinggi, sehingga orang-orang yang duduk tersebut bisa mengamatinya, pria gempal itu mendorong punggungnya dengan tongkat kayu panjang. Kenapa mereka semua duduk di sana dan menatapku seperti itu? tanyanya dalam hati. Bocah itu memerhatikan mata para pria berkulit pucat itu, pandangan mereka menakutkan. Tatapan mereka membuatnya gemetar, bocah itu berharap dia bisa memeluk ibunya saat ini. Pelukan ibu yang dapat menenangkannya.

Ibu?

Bocah kecil itu tahu, dia sudah tidak memiliki ibu, juga tidak memiliki ayah, dia tidak memiliki siapa pun. Dia selama ini hidup sendiri, ayah dan ibunya sudah meninggal, kelaparan di tempat asalnya—sama seperti yang lain. Bocah itu mengingat, dia juga hampir mati kelaparan saat itu, perutnya berteriak menuntut dia untuk mencari apa pun yang bisa dimakan. Dia mencarinya ke semua tempat hingga ke tempat-tempat pembuangan sampah, mengorek-ngorek tempat itu—tempat yang cukup menghasilkan untuknya.

Bocah itu juga mengingat, saat melihat burung-burung pemakan bangkai memakan teman yang baru dikenalnya selama beberapa jam—teman yang memang sudah bau, tak bergerak dan tak bernapas. Dia bisa saja mengusir burung-burung tersebut, tapi dia tahu bagaimana rasanya kelaparan. Bocah itu membiarkan burung-burung itu mencabik-cabik daging temannya yang sudah tak berdaya, bocah itu memerhatikan gerakan-gerakan burung-burung itu; cabik-cabikannya, cara mereka mengoyak, cara mereka menelan. Bocah itu tak bergerak dari sana dan menunggu—menunggu gilirannya.

Tapi keberuntungan menghampirinya. Keberuntungan? Seorang pria gendut berkulit pucat melihatnya terbaring—tak berdaya—tak bergerak di atas tanah yang panas itu. Burung-burung pemakan bangkai itu sudah siap untuknya. Tapi pria itu mengusir mereka dengan bahasa yang tak dia mengerti, seandainya bisa, bocah itu ingin berteriak memarahi orang tersebut. Jangan ganggu mereka.

Mereka hanya lapar, bocah itu tak tahan dan mulai menutup matanya. Terlalu panas, terlalu lelah, terlalu lemah, terlalu malas, terla—

Aroma manis tersebut masuk ke dalam hidungnya, dan rasanya ada yang menjejalkan sesuatu untuk bisa masuk ke dalam mulutnya, bibirnya merasakan sesuatu yang lembut, kering dan lumer di mulutnya.

lumer?

Bocah itu membuka mata perlahan dan melihat makanan itu, dia tak pernah melihat bentuk makanan yang seperti itu di dalam hidupnya—makanan itu terasa manis dan berwarna putih. Pria itu berhasil memasukan kue busa itu ke dalam tenggorokannya lalu bibirnya terasa basah.

Basah?

Air. Pria itu memberinya air. Dia pun kemudian berusaha duduk dibantu oleh pria gempal itu. Rasa haus akan dahaga, membuat bocah itu menghabiskan air tersebut sekali teguk. Pria itu kembali memberikannya makanan tadi, bocah itu akhirnya merasa sedikit bertenaga. Pria gempal bercincin itu tersenyum dan berbicara padanya. Tapi bocah itu tidak mengerti. Bahasa pria itu tidak pernah didengarnya. Pria gempal berkulit pucat itu mengulurkan tangannya, bocah itu menerimanya.

Bocah itu mengikutinya.

Bocah itu sekarang berada di sebuah pulau kecil, Pulau Gore. Yang artinya dalam bahasa Perancis, 'Pelabuhan Baik.' Tapi pulau itu bukanlah pulau yang baik untuk para budak—pulau itulah yang menyimpan kisah tragis penampungan jutaan manusia Afrika yang diperbudak dari tahun 1444 hingga 1846.

Bocah itu tinggal di pulau tersebut selama tiga bulan. Dia melihat dan memerhatikan banyak orang sepertinya yang datang ke pulau tersebut—diikat. Orang-orang itu sangat sehat saat pertama kali dia melihatnya. Tapi dengan seiringnya waktu, banyak yang meninggal di pulau tersebut. Banyak yang sakit, kelaparan dan tidak tahan siksaan. Bocah itu berusaha bersikap baik agar tidak kena pukul walau dia juga kelaparan. Dia tidak tahu, bahwa pulau itu adalah tempat penampungan sementara para budak sebelum dikirim ke Eropa dan Amerika. Dia tidak tahu, bahwa sebentar lagi, mereka semua tidak akan bisa melihat tanah kelahirannya lagi.

Suatu hari, bocah itu diminta untuk menaiki sebuah kapal kayu besar dan dia melihat semua orang di sana menaiki kapal tersebut. Bocah itu menghitung, ada beberapa orang berkulit pucat di sana—mungkin 8–10 orang. Bocah itu kembali memerhatikan para pria, wanita dan anak-anak yang sepertinya, banyak dari mereka yang dirantai, di kaki, di tangan maupun di leher mereka, berbaris memasuki kapal tersebut—beberapa rantai saling menyambung antara mereka. Bocah itu ingin tahu kenapa mereka semua dirantai seperti itu. Dia pun melihat rantai dengan bola besi di kakinya, bola itu berat sekali, mungkin sekitar 5kg. Tapi tangan dan lehernya tidak terantai seperti mereka. Bocah itu tidak tahu, rantai-rantai itu tidak akan lepas dari tubuh mereka selama tiga-empat bulan dalam pelayaran tersebut.

Bocah itu melihat kapal besar itu lebih dekat—dari batas pelabuhan, kapal itu benar-benar terlihat besar. Ingin pergi ke mana benda ini? bocah itu melihat orang-orang masuk ke dalam kapal berurutan. Apakah benda ini akan membawaku ke tempat yang lebih baik? dia didorong seseorang. Bocah itu menoleh, pria gempal yang memberinya makan, mendorongnya dengan tongkat kayu itu. Sepertinya pria itu menyuruhnya untuk berjalan masuk ke kapal. Baiklah.

Dia tidak tahu, bahwa dia akan mengalami salah satu perjalanan yang mengerikan dalam hidupnya. Perjalanan budak dari Afrika menuju Benua Amerika melewati Samudra Atlantic yang dikenal dengan sebutan Transatlantic.

Bocah itu melangkah dan mengagumi kapal besar yang dinaikinya—dia baru pertama naik kapal itu. Langkahnya terhenti, saat melihat banyak sekali orang di dalam kapal tersebut, semua tempat terisi penuh. Sangat penuh dengan manusia berkulit gelap yang sama sepertinya. Mereka duduk sangat berdempetan, hampir tak ada jalur untuk melangkah.

Banyak sekali orang di sana. Pria-pria dewasa duduk diam, para wanita duduk sambil mengendong anaknya, beberapa anak ada yang menangis. Terdengar suara besar dari kapal tersebut, bocah itu merasa kapal itu mulai bergerak—dia sedikit takut, karena tak pernah naik sesuatu yang sebesar itu. Dia pun duduk di dekat buritan kapal, berpegangan erat pada tali yang berada di samping tempat duduknya—tangannya memucat.

Laut ternyata tak cocok dengannya, bocah itu merasa perutnya dikocok-kocok dan ingin rasanya memuntahkan sesuatu—mengeluarkan sesuatu. Bocah itu tidak ingin muntah, tapi pemandangan di depannya tidak mengizinkannya. Beberapa orang muntah di dek itu karena mereka tak bisa bergerak—tak ada tempat untuk bergerak, mereka muntah di tempat duduk mereka sendiri. Bocah itu tak tahan dan berdiri, dia membelakangi mereka semua dan memegang tepian kapal—bocah itu beruntung karena duduk di sana. Dia memuntahkan isi perutnya ke laut lepas. Semua dimuntahkannya ke sana hingga isi perutnya puas. Bocah itu pun kemudian merasa tenang, lalu dia perhatiannya teralihkan pada jaring-jaring dan jala besar di sekeliling luar sisi kapal tersebut. Untuk apa tali-tali itu?

Bocah itu kemudian duduk lagi dengan tenang. Perjalanan itu adalah perjalanan yang berat untuknya. Dalam beberapa hari cuaca sangat tidak mendukung, hujan dan ombak menerjang mereka. Mereka semua yang berada di atas kapal tidak dapat bergerak untuk melindungi diri dari hujan—karena tidak ada tempat lagi untuk berlindung, semua sudah penuh terisi—terisi penuh lautan manusia.

Perjalanan itu cukup panjang. Selama dalam perjalanan bocah itu selalu dapat melihat sesuatu. Sesuatu yang tidak menyenangkan—sangat tidak menyenangkan.

Semua dilakukan di atas kapal tersebut. Dilakukan di sana—ya, semuanya dilakukan di sana. Mereka diberi makan tapi sedikit sekali, orang-orang pucat itu kadang-kadang melempari mereka makanan kecil dari atas dek. Bocah itu masih lapar tapi setidaknya dia bisa makan hari itu. Untungnya dia bisa menangkap, sebelum makanan itu jatuh ke lantai—lantai yang sangat jorok. Dia melihat seorang pria yang gagal menangkap makanannya, dan makanan itu jatuh ke lantai—jatuh ke dalam bekas muntahannya sendiri yang sudah berhari-hari. Pria itu mengambil makanan itu dan mencoba membersihkannya lalu memakannya. Saat melihat itu, bocah itu kembali ingin muntah tapi tak ada apa pun di dalam isi perutnya.

Bocah itu tidak suka kapal itu. Dia ingin sekali turun dari kapal tersebut. Dia tidak ingin melihat kapal itu lagi. Kapal itu lama-lama menjadi sangat bau. Mereka semua tidak mandi karena tidak ada tempat mandi di sana. Bau badan mereka semakin terasa dan menyebar. Tapi bukan itu yang membuat bocah itu tidak tahan, bukan hanya bau badan mereka ataupun makanan mereka yang sangat minim sehingga membuat perut mereka keroncongan.

Seperti yang dilihatnya, semuanya dilakukan di sana. Mereka semua tidak diperbolehkan terlalu banyak bergerak, karena takut kapal akan kehilangan keseimbangan. Kapal itu bau bukan hanya karena bau badan mereka semua, kapal itu juga bau karena mereka semua buang air—buang air kecil dan besar di atas kapal itu—di tempat duduk mereka, tak ada yang membersihkannya.

Tak ada tempat pembuangan di kapal tersebut, semua dibuat lowong hanya untuk membawa banyak budak, hanya budak dan budak. Berhari-hari di kapal yang bau dan kekurangan gizi membuat beberapa dari mereka tidak bisa bertahan—mereka menghembuskan napas terakhirnya di sana. Dan tubuh mereka dibiarkan begitu saja, sama seperti waktu mereka mulai berhenti bernapas—posisi duduk dan tertidur. Beberapa dari mereka pun menjadi stres dan sengaja tidak makan, agar bisa mati kelaparan. Keadaan tersebut juga membuat yang lain jatuh sakit. Mereka sudah hampir dua bulan berada di dalam kapal. Bocah itu tak ingin seperti mereka, dia berusaha bertahan—bocah itu berusaha lebih kuat.

Ada suara teriakan malam itu. Bocah itu melihat seorang wanita berkulit hitam yang pernah tersenyum padanya—wanita itu sepertinya lebih tua darinya lima tahun. Bocah itu melihat wanita itu ditarik oleh penjaga kapal berkulit pucat tersebut, Kenapa mereka menariknya? Apa yang akan orang itu lakukan pada kakak itu? dia tak mengerti kenapa kulit pucat menarik kakak itu. Lalu penjaga itu juga menarik salah satu anak perempuan kecil berusia 12 tahun yang dipeluk erat oleh ibunya. Anak itu ditarik oleh petugas kapal itu dan ibunya di kedua sisi lengannya—seperti menarik sebuah mainan. Anak perempuan kecil itu menangis kesakitan. Petugas itu menendang ibu tersebut dan berteriak dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti. Ibu anak itu berteriak dan terus berteriak, memohon dan mencengkeram kaki petugas itu, menarik-narik kakinya, meminta pria itu mengembalikan anaknya. Petugas kulit pucat itu menginjak tangan ibu itu tanpa ampun dan menendangnya, anak itu dibawa menyusul kakak perempuan tadi.

Paginya, bocah itu melihat kedua perempuan itu. Kakak perempuan itu dan anak perempuan kecil itu dikembalikan ke dalam dek. Petugas itu mendorong kasar punggung mereka. Kedua pakaian mereka robek dan terdapat goresan-goresan luka di kulit mereka. Ibu itu memeluk anaknya yang sekarang hanya terlihat diam, tidak bersuara sama sekali dan memiliki tatapan kosong. Bocah itu melihat tangisan kering di mata mereka. Apa yang dilakukan petugas itu kepada mereka?

Ibu itu juga bertanya pada anaknya tapi tak mendapatkan jawaban apa pun—hanya mendapatkan jawaban keheningan dari putrinya. Anak perempuan 12 tahun itu sudah tidak sama lagi seperti kemarin. Anak itu hanya diam dan menggosok-gosok badannya seakan-akan ingin membersihkan dirinya. Ibu anak itu menangis melihat anaknya dan memeluknya.

Bocah itu kembali memerhatikan kakak perempuan itu—ada luka lebam di bibirnya. Kakak perempuan itu menatap sedih anak perempuan kecil tersebut. Malam itu kakak perempuan itu kembali diambil—kali ini, hanya dia sendiri. Bocah itu melihat kedua petugas itu menariknya dari tempat duduknya. Kakak itu berusaha memberontak tapi tenaganya kalah jauh dari tenaga dua orang pria. Bocah itu tidak mengerti, kenapa kakak itu selalu dibawa oleh para petugas setiap malam. Tapi kakak itu sepertinya tidak suka dan memohon kepada mereka untuk melepaskannya, bocah itu mengerti ucapan kakak itu, karena mereka memakai bahasa yang sama. Tapi para petugas kapal itu sepertinya tidak tahu, karena mereka tetap membawanya.

Bocah itu ingin sekali membantu kakak itu, tapi apa yang harus dilakukannya? dia tak bisa berbicara bahasa mereka. Kalau dia bisa berbicara bahasa kulit pucat, dia akan mencoba menjelaskannya kepada para petugas tersebut, bahwa kakak itu tak ingin ikut bersama mereka. Bocah itu berharap orang-orang dewasa di dalam dek bisa membantu kakak perempuan tersebut, tapi mereka semua hanya duduk diam—tidak mendengar, seakan mereka tuli.

Bocah itu mengerti, mereka semua takut, karena orang-orang berkulit terang itu menyeramkan—bocah itu juga takut. Waktu itu, ada seorang pria yang berdiri dari tempat duduknya berusaha menghentikan petugas tersebut, memarahi petugas itu untuk menghentikan tindakan mereka ke kakak perempuan itu. Petugas-petugas itu lalu menangkapnya dan merantai pria itu. Kedua tangannya dan kakinya di rantai membentuk huruf X—dia dirantai terbalik di lantai—hingga terlihat punggungnya. Para petugas itu mencambuk pria itu lama sekali membuat punggungnya tidak terbentuk lagi dan terlihat sangat berbeda.

Selama berjam-jam mereka mencambuknya di hadapan semua budak. Semua mata menatap petugas kulit pucat dan pria rantai itu dengan ngeri, para wanita dan anak-anak berusaha tidak melihatnya. Tapi teriakan pria rantai itu terus terdengar setiap kali cambukan itu mengenai kulitnya, para budak kembali menatap tak berdaya ke arah pria rantai tersebut. Pria itu dicambuk hingga tak berdaya, hingga tak bisa melawan lagi, hingga tak bisa berteriak lagi, hingga tak bisa bergerak lagi. Pria rantai itu menghembuskan napas terakhirnya di sana. Pria pucat yang mencambuknya menyadari hal itu, lalu berteriak kesal, kembali mencambuk tubuh tak bernyawa itu selama beberapa kali, dan kemudian meninggalkannya di sana. Pria rantai itu tak pernah dipindahkan, mayatnya masih tergeletak dengan rantai membentuk tanda X. Selama perjalanan, beberapa menatap sedih tubuh pria tersebut, terutama wanita yang berusaha ditolongnya.

Bukan hal itu saja yang membuat mereka takut—membuat bocah itu takut. Bocah itu benar-benar takut, saat melihat petugas pucat itu marah-marah sambil membawa tali panjangnya—bocah itu takut, petugas pucat itu mendatanginya. Bocah itu mendongak ke arah tiang kapal, di atas sana ada seorang pria yang diikat—kaki dan tangannya—kakinya ditekuk ke belakang, dan tangannya terlipat di depan dadanya, pria itu sengaja diikat seperti itu. pria itu tak bisa bergerak sama sekali dari sana, tapi masih bisa melihat segalanya.

Pria itu diikat karena dia selalu bergerak, bergerak ke sana dan ke sini, dia diikat karena hal itu itu—pria itu diikat di tiang kapal yang berada di tengah kapal, semua orang bisa melihatnya kalau mendongak ke atas. Pria itu tidak pernah diturunkan sama sekali. Pasti dia sangat bau—pikir bocah itu—melakukan segalanya di sana. Bocah itu juga merasa beruntung, setidaknya dia tidak duduk di dekat sana, di dekat tiang kapal, di bawah pria yang digantung itu. Bocah itu takut, takut sesuatu dari pria itu akan terjatuh, sesuatu yang hanya bisa dilakukannya di atas sana.

Lalu bocah itu melirik ke kiri, di sebelahnya duduk seorang pria yang juga di rantai, tapi tidak seperti yang lain, lapisan-lapisan besi seperti sangkar burung bulat menghias kepalanya. Kepalanya berada di dalam sangkar besi. Di dalam sangkar itu, terdapat lapisan tipis besi yang menutup seluruh lapisan bibirnya. Mulut pria itu ditutup—dikunci. Bocah itu tahu, kenapa pria itu juga dipakaikan barang seperti itu—dia melihatnya.

Sejak pertama kali masuk kapal, bocah itu sudah duduk bersebelahan dengan pria itu. Pria itu terus berbicara, memaki juga berteriak ke para petugas pucat tersebut. Pria itu meminta petugas pucat menurunkan dirinya, dia tak ingin naik kapal tersebut. Pertama kali, para petugas tidak mengacuhkannya, tapi setelah kapal berlayar, pria itu terus memaki para petugas pucat itu dengan bahasanya. Walau petugas berkulit terang itu tidak tahu artinya, tapi mereka tahu nada-nada makian, lalu mereka memberinya pelajaran. Petugas itu mengunci mulut pria itu agar dia tidak bersuara lagi. Ya, pria itu tidak bisa mengatakan apa pun lagi, bocah itu hanya mendengar geraman-geraman di sebelahnya.

Selama berhari-hari, kakak perempuan itu terus dibawa dan setiap kali dia terus memberontak. Hingga malam itu, saat tengah malam, saat semua sudah tertidur, bocah itu terbangun. Bocah itu melihat kakak itu berjalan mendekatinya—melangkah pelan mencari pinjakkan kosong untuk kakinya—air mata kakak itu sepertinya benar-benar sudah kering. Tatapan mereka bertemu, tak ada lagi senyuman menenangkan yang tersisa dari kakak itu—senyuman seperti saat pertama kali mereka bertemu. Kakak itu terus berjalan, bocah itu tidak melepas tatapan matanya. Kakak itu berjalan dan melewatinya.

Melewatinya?

Bocah itu berbalik dan melihat kakak perempuan itu menaikkan kakinya ke tepi kapal. Dengan cepat bocah itu melihat kakak itu menghilang dari pandangannya—kakak itu melompat dari kapal—bocah itu tidak sempat berteriak, dan langsung berdiri menghampiri tepi kapal tersebut. Bocah itu melihat ke bawah berusaha melihat tubuh yang tertelan ombak. Tapi kakak itu masih ada di sana—duduk—terjerat.

Terjangkut jaring-jaring di samping sisi kapal, yang pernah dilihat bocah itu. Jaring Manusia, bocah itu melihat kakak itu menangis histeris saat menyadari usahanya tidak berhasil. Bocah itu kembali memerhatikan jaring-jaring tersebut, ternyata bukan hanya kakak perempuan itu saja yang berada di sana. Beberapa orang yang pernah dilihat dan hampir dilupakannya ada di sana—duduk diam merenung, pasrah menerima takdir. Para pedagang budak benar-benar mempersiapkan segalanya agar budak-budak itu bisa bertahan hidup, karena kematian budak adalah sebuah kerugian bagi para pedagang. Setelah kakak itu berada di sana, kulit putih itu mengambil anak perempuan dan wanita lainnya setiap malam.

Akhirnya setelah tiga bulan di kapal, bocah itu ikut turun mengikuti yang lain ke tempat yang tidak diketahuinya, tidak dikenalnya—tempat yang membuatnya bertanya-tanya, tempat seperti apa yang dia pijak saat ini. Untuk pertama kalinya, dia sampai di Benua Amerika.

Tapi perubahan tempat yang dikunjunginya begitu cepat, dia selalu mengikuti ke mana pun pria gempal itu pergi—pria yang memberinya makanan saat dia lapar. Dia sudah cukup lama berputar-putar di negara bagian itu. Dan sekarang, pria gempal itu kembali membawanya kembali melewati lautan dan sampai ke sebuah desa di negara lain. Hanya beberapa orang sejenisnya yang dibawa oleh pria tersebut.

Dorongan kuat di punggungnya membuat dia kembali sadar. Dia melihat pria gempal itu, pria itu kembali mendorongnya memakai kayu panjang kecil. Bocah itu bergerak sedikit maju ke depan, melihat kembali keadaan di sekitarnya saat ini. Menatap orang-orang berkulit pucat yang sedang duduk di depannya.

Kenapa mereka mengangkat tongkat kecil bertali itu bergantian? bocah itu tak mengerti. Apa yang sedang mereka bicarakan sekarang? bocah itu benar-benar tidak mengerti apa yang sedang dilakukan para kulit terang tersebut. Kenapa mereka semua terus menatapku?

Bocah itu diam-diam melirik ke samping, ke arah orang-orang yang memiliki susunan struktur seperti wajahnya, berwarna seperti dirinya—tidak pucat seperti mereka yang duduk di depannya. Mereka semua juga memandang ingin tahu ke arah para kulit pucat yang sedang duduk tersebut. Bocah itu mengerti, mereka semua sama sepertinya, tidak tahunya seperti dirinya. Bocah itu benar-benar ingin bertanya kepada seseorang, tapi dia takut—takut menerima pukulan itu lagi—dipukul oleh pria gempal itu, saat dia mencoba mengajaknya bicara—sakit sekali tendangannya. Hal itu membuat bocah itu takut bertanya, bocah itu melihat pria itu selalu memukul, saat salah satu dari mereka saling bicara.

Tapi bocah itu juga melihat, ada satu dari mereka yang tak pernah dipukul. Bocah itu penasaran dan akhirnya mengetahui, orang itu tak dipukul karena berbicara terbata-bata dengan bahasa yang dimiliki kulit pucat tersebut. Bocah itu pun merasa dia harus cepat mempelajarinya, agar dia tidak mendapatkan pukulan itu lagi.

Bocah itu sekarang, diam berdiri mematung, melihat tangan-tangan terangkat ke atas, saat pria gempal itu terus berbicara. Tangan-tangan itu mulai turun dan tidak terlihat, hingga akhirnya bocah itu melihat satu tangan kecil terangkat paling akhir. Bocah itu menajamkan matanya, tangan yang teracung itu milik seorang anak perempuan berkulit pucat. Anak perempuan yang umurnya hampir sama seperti dirinya, 14 tahun.

Anak perempuan itu berbicara sebentar dengan pria dewasa yang duduk di sebelahnya—sepertinya ayahnya. Anak perempuan itu tersenyum padanya dan melambai kecil pada bocah itu. Bocah itu dengan kikuk melambai balik, dan balas tersenyum kaku pada anak perempuan itu. Suara palu terdengar diketuk. Bocah itu masih tidak mengerti apa yang terjadi. Tidak menyadari bahwa dia sudah terjual. Bocah itu tidak menyadari bahwa dia sudah menjadi seorang budak.

Budak pertama yang dibeli Kiana Muda.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top