DSH - Part 7

Pernikahanku terjadi begitu saja. Meriah tapi tak terasa apa pun. Kegembiraan tidak muncul sama sekali ke dalam hatiku. Tapi aku berhasil tersenyum pada hari itu. Aku dibawa ke dalam Rumah Hatfield—Kediaman Keluarga Salisbury di Hertfordshire. Rumah kediaman yang cukup besar.

Sekarang aku resmi menjadi Marchioness of Salisbury. Aku sempat melihat paras suamiku sekilas sewaktu upacara pernikahan. Marquess of Salisbury hanya berbeda enam tahun dariku—suamiku berumur tiga puluh tiga tahun. Dia termasuk pria tegap yang cukup tinggi, wajahnya keras menawan—perawakan lelaki yang sudah matang dan dewasa. Dia tak menatapku sama sekali saat upacara tadi.

Sekarang aku sedikit gelisah, memutar-mutari ruangan tersebut. Ruangan persegi berlapis kuning gading pucat yang hangat pada setiap dindingnya. Ruangan inilah yang membuatku gelisah—benar-benar gelisah. Aku melirik ke tengah ruangan dan melihat ranjang besar di sana.

Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan? Berpikirlah Kiana! Berpikir! Perintahku pada diriku sendiri—yang menginginkan ketenangan datang saat itu juga. Saat ini, aku sudah menjadi seorang istri. Malam harilah yang membuat status itu disahkan—saat suami-istri menyatu.

Pintu kamar terbuka dan laki-laki itu berdiri di sana—suamiku. Kedatangannya membuatku terkejut. Dia menatapku yang berdiri di dekat ranjang, lalu dia berjalan mendekatiku. Makhluk yang menghampiriku itu terlihat begitu rupawan, langkah kakinya kuat dan mantap. Dia memerhatikanku dengan saksama dari jarak di antara kami yang sudah hampir berdekatan. Aku balas memandanginya dan menyadari bola matanya benar-benar berwarna hitam pekat. Kemudian dia berjalan melewatiku.

Melewatiku?

Aku menoleh dan berbalik, melihatnya menuju tempat tidur lalu duduk di sana.

"Lepaskan gaunmu," perintahnya sambil membuka alas kakinya. Aku terdiam seribu bahasa dengan salam perkenalannya itu. Tak bisakah pria itu mengatakan hal lainnya?

Aku tetap tak melakukan apa pun. Masih diam di tempatku. Tetap menatapnya. Pria itu sudah mengendorkan pakaiannya di bagian leher—tanpa memandangku sekali pun. "Lepaskan gaunmu. Aku akan segera menyelesaikan kewajibanku yang satu ini." Suaranya benar-benar terdengar dingin. Untuk kedua kalinya dia kembali berkata, "Buka gaunmu."

"Tidak," jawabku—akhirnya kata-kataku menarik perhatiannya—pria itu sekarang memerhatikanku.

***

"Tidak. Aku tak akan melepasnya," kata Kiana tanpa sadar menutup kedua bahunya—melindungi diri. Kiana melihat suaminya berdiri dari tempat tidur, berjalan menghampirinya. Semakin mendekat, pria itu semakin terlihat tinggi menjulang—berbeda cukup jauh dari dirinya yang sedikit pendek.

Mata hitamnya tepat memandang mata cokelat muda milik Kiana. "Tidak akan melepasnya?" tanyanya. "Apa kau perlu bantuan?"

"Tidak." Kiana membalas menatap mata pekat itu. "Ini salah."

"Salah?"

"Ya. Salah."

"Apa yang salah dari seorang suami yang meminta istrinya melepas pakaian?" Pria itu memandang Kiana yang memeluk bahunya. "Apa perlu kuingatkan statusmu sekarang ini? Kau sudah menjadi seorang istri. Istriku. Karena aku masih mengingat jelas, kita baru saja menikah tadi pagi. Dan kurasa, tak ada yang salah dengan hal tersebut."

"Cara Anda salah, My Lord." Kiana tahu jelas statusnya sekarang, tapi dia tak suka kata-kata pertama pria itu kepada dirinya—kepada istrinya.

Pria itu diam, menunggu penjelasan.

" 'Buka bajumu? Lepaskan gaunmu?' Apa hanya itu yang bisa Anda katakan kepada wanita yang baru pertama kali Anda temui?" tanya Kiana kesal.

"Aku tak perlu mengatakan hal tersebut kepada para wanita yang baru kutemui. Karena tanpa perlu kukatakan, mereka sudah melepasnya," balas pria itu.

Kata-kata itu membuat Kiana terdiam sebentar, membuatnya mengamati wajah suaminya—wajar bila banyak wanita yang tertarik padanya. "Hal itu,"—Kiana hampir kehilangan kata-katanya—"bukanlah hal yang pantas Anda ucapkan kepadaku. Mungkin Anda bisa mengatakannya kepada wanita lain. Tapi jangan katakan hal tersebut kepadaku. Dan sebagai seorang istri, saya keberatan untuk menurutinya bila cara Anda seperti ini, My Lord."

"Menurutinya?" Pria itu mengernyit melihat tingkah istrinya. "Apa dirimu perlu kata-kata pujian atau kata-kata rayuan? Maaf, aku tak bisa memberimu hal seperti itu," tolak suaminya. "Lagi pula, sudah seharusnya seorang istri menuruti suaminya," kata Marquess of Salisbury lagi. "Dan kuingatkan sekali lagi. Sekarang aku adalah suamimu."

"A–aku ... aku tentu akan menurut apabila cara Anda benar," balas Kiana lagi. "Bila permintaan Anda masuk akal, My Lord."

"Permintaan tadi masuk akal." Pria itu melirik cincin yang melingkar di jari manis Kiana.

"Apabila Anda meminta dengan cara yang pantas, aku akan mempertimbangkannya," lanjut Kiana lagi.

"Mempertimbangkannya?"

"Ya. Aku akan mempertimbangkannya," kata Kiana. "Aku tak akan langsung menyetujuinya."

"Seorang istri yang baik menuruti perintah suaminya." Marquess of Salisbury mengingatkannya.

"Kalau begitu maafkan saya, My Lord. Karena Anda tidak beruntung mendapatkan istri sepertiku," ujar Kiana lagi.

"Aku bisa memaksa dan membuatmu menurut." Pria itu terlihat mengintimidasi dengan kata-katanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top