DSH Part 48

Kiana mengintip dari jendela dibalik kamarnya, tatapannya menuju Django yang sedang mengangkat kayu, dan berbicara dengan Chilali. "Kenapa hidup seperti ini?" tanya Kiana ke Rhonda yang membantu Pelayan Valet membersihkan tempat tidurnya.

"Apa maksud Anda, My Lady?"

"Kenapa?" tanyanya lagi. "Setiap orang memiliki kehidupan yang berbeda?"

"errr—"

"Kenapa aku ...," Kiana menatap telapak tangan halus pucatnya, lalu menatap kedua budak itu. "Dan mereka. Kenapa kami memiliki kehidupan yang sangat jauh berbeda? Kenapa hidup ini rasanya tidak adil?" lanjutnya. "Sangat tidak adil untuk mereka." Kiana melihat kembali Django dan Chilali.

"Ini cobaan Tuhan, My Lady. Dia memberi cobaan untuk mendekatkan kita padanya. Tapi percayalah, My Lady ... Tuhan tak pernah meninggalkan kita dalam kegelapan," jawab Rhonda.

Kiana tahu itu, tapi dia masih tak puas dengan jawaban Rhonda. Mendekatkan diri padaNya? Tapi mereka memiliki Tuhan yang berbeda, Dewa yang berbeda. Apa Dewa mereka, juga memberi mereka cobaan? Cobaan seperti ini? Kiana mengenal Django dengan baik, Django termasuk pribadi yang sangat dekat dengan Tuhannya, Dewa-Dewanya. Para kulit hitam menjadi budak para kulit pucat. Dewa Django dan Tuhan Kiana, apa Mereka berdua berbicara dan mengaturnya seperti ini?—Kiana tidak puas. Tidak puas, saat hanya bisa menerima jawaban, berdasarkan pemikiran tentang apa yang telah, akan, atau yang sedang direncanakan Tuhannya. Kiana menginginkan jawaban lain—Kiana tak ingin mereka-reka tentang Tuhan dari sisi pemikiran manusianya.

Kiana mengingat, dia pun pernah menjawab seperti itu—saat Django muda bertanya padanya—Django muda tersenyum saat mendengarnya. "Mungkin hal ini, tidak ada hubungannya dengan Tuhan Anda dan Dewaku, My Lady." Django muda mencoba menuangkan pemikirannya. "Kalau menurutku ... kaum Anda tak pernah puas, My Lady."

Django memandang langit di atasnya. "Tak pernah puas ... tak pernah puas pada Sang Matahari yang selalu memberikan cahaya kehangatannya. Tak pernah puas pada kesejukkan semilir angin, yang selalu menemani napas tubuh ini. Tak pernah puas pada nada gemercik air, yang selalu mengalir, yang juga merupakan sumber kehidupan. Tak pernah puas, pada apa yang telah Ibu Bumi kita berikan. Kaum Anda tak pernah puas kepada harmoni kehidupan Alam Semesta ini."

Django melanjutkan. "Mungkin karena itu, mereka lupa ... lupa bahwa manusia diciptakan untuk dicintai. Berbeda dengan benda yang diciptakan untuk digunakan. Mungkin semua ini terjadi karena itu." Django kembali berkata. "Mungkin hidup kami seperti ini, karena kaum Anda lebih mencintai benda mati daripada mencintai makhluk hidup lainnya. Buat kaum Anda, kamilah benda yang harus digunakan, dan benda-benda itulah yang harus mereka sayangi." Django sedih saat menyadari hal tersebut.

Django kembali memandang Kiana. "Tapi, My Lady ... tidak semua seperti itu," Django tersenyum ke gadis itu. "Aku bersyukur bisa bertemu dengan Anda."

"Aku tahu, Anda khawatir dengan mereka, My Lady," kata-kata Rhoda membuyarkan lamunan Kiana. "Django dan Chilali." Rhonda kembali berkata. "Dulu, ada seseorang yang mengatakan padaku. Berkata padaku ... 'Aku percaya bahwa hidup adalah sebuah perjalanan, sering kali sulit, dan kadang-kadang sangat kejam. Tapi kita semua dilengkapi dengan baik, untuk menghadapi hal itu. Jika saja kita bisa memanfaatkan bakat dan hadiah yang sudah ada dalam diri kita, dan biarkan mereka berkembang mekar. Percayalah kita bisa menghadapi semua itu.' "

"Siapa yang mengatakannya, Ms. Rhonda?" tanya Kiana.

Rhonda berkata lembut mengenang orang itu. "Seseorang yang sangat keras kepala."

"My Lady, dia juga mengatakan,"—Rhonda tak tahan untuk tidak melanjutkan—" 'hanya di dalam kegelapanlah, Anda bisa melihat sebuah bintang.' "

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top