DSH Part 42
"Chilali ...," ujar Kiana yang tak tahu apa yang harus dilakukannya.
"Dia hanya kelelahan, My Lady. Dia ... dia perlu istirahat." Rhonda menatap bayi dalam gendongannya dan mengelap air matanya, hatinya perih melihat Chilali tadi. "Bayi kecil ini juga butuh istirahat. Aku akan menjaganya, My Lady." Rhonda dapat melihat wajah Kiana yang sedikit pucat. "Sepertinya, Anda juga butuh istirahat. Istirahatlah, My Lady," sarannya ke Kiana. Pernyataan Chilali tadi membuat mereka bertiga terpukul. Curahan hati budak itu membekas di hati mereka masing-masing. Sisi dari seorang budak yang tak pernah mereka tahu. Bem pun merasa sangat bersimpati dengan budak tersebut. Dia memandang lama budak itu dalam diam.
Lalu Bem dengan tak sengaja melihat wajah Marchionessnya, dia menatap khawatir majikan perempuannya, karena menurutnya wajah wanita itu sedikit pucat. "Baiklah. Tolong jaga mereka berdua, aku akan kembali ke kamarku." kata Kiana menurut. "Apabila Chilali sudah bangun ...," Kiana terdiam sebentar. "Katakan padanya ... aku tak akan pernah, memisahkannya dengan bayinya, tak akan pernah. Itu janjiku," kata Kiana dengan nada yang dalam.
"Baik, My Lady," jawab Rhonda tak kuat menahan tangisnya.
Mr. Richard kemudian masuk ke dalam ruangan tersebut, melihat mereka semua di dalam ruangan, dan tak ada reaksi apa pun darinya. Dia berjalan mendekati Marchioness. "My Lady ... His Lordship memanggil Anda ke ruang kerjanya sekarang," pesannya ke Kiana.
"Baik, Mr. Richard. Aku akan ke sana sebentar lagi." Kiana menghapus pelan jejak air matanya.
"Baik, My Lady ... Lord Salisbury akan menunggu Anda. Aku permisi." Mr. Richard pun pergi dari ruangan tersebut—tidak memedulikan apa yang terjadi di dalam.
Kiana berdiri di depan pintu ruang kerja marquees. Mr. Richard mempersilakannya masuk. Marquess of Salisbury sudah menyadari kehadiran istrinya dan dia masih memandang kertas di tangannya—masih duduk mempelajari pekerjaannya.
"Bayinya sudah lahir, seorang anak lelaki." Kiana mengabarkan hal tersebut. Marquess of Salisbury masih menatap kertas-kertas tersebut, tidak memberi respons apa pun. "Bayi dan ibunya terlalu lemah, mereka membutuhkan perawatan dan ist—"
Marquess of Salisbury langsung memotong perkataannya, "Aku tidak ingin membicarakan hal itu," ungkapnya singkat.
Kiana lalu terdiam dan mengerti. "Lalu kenapa Anda memanggilku, My Lord?"
"Kita mendapatkan undangan makan malam dari Lord Mansfield malam ini. Bersiap-siaplah."
"Malam ini? Mendadak sekali," ujar Kiana.
"Kita harus pergi, karena makan malam ini penting untukku," Marquess of Salisbury menggoreskan tintanya pada lembaran kertas itu.
"Tapi—"
"Richard akan mengurus segalanya di sini. Rhonda akan membantunya." Kiana menyadari apa maksud perkataan suaminya—kedua orang itu akan mengurus rumah ini selama mereka pergi, termasuk mengurus budak itu.
"Kalau kau sudah tak urusan dan pertanyaan lagi. Kau sudah boleh keluar," kata Marquess of Salisbury kepadanya. Pria itu sama sekali tak mendongak menatapnya.
"Baiklah. Aku permisi, My Lord." Kiana lalu meninggalkan ruang tersebut.
Kiana baru saja akan menaiki tangga saat Bem memanggilnya.
"My Lady," dia terlihat khawatir. "Bagaimana luka di punggung Anda?" tanyanya. Wajah anak itu dipenuhi rasa cemas.
"Aku tidak apa-apa, Bem. Aku baik-baik saja. Sakitnya sudah terasa berkurang." Kiana berusaha menenangkan pelayan kecil itu yang masih cemas dengan keadaan punggungnya.
"Ta–tapi ...,"
"Aku benar-benar sudah tidak apa-apa." Kiana berusaha meyakinkannya.
Tapi Bem tetap tak yakin dan dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Anda harus segera mengobati luka Anda, My Lady. Pakai salep ini. Anda harus memakai ini, My Lady. Olesi luka Anda dengan salep ini." Bem mengulurkan salep di tangannya.
Kiana menerimanya. "Apakah ini manjur?"
"Tentu saja manjur, My Lady." Bem meyakinkannya. "Setiap generasi Salisbury selalu memakai salep itu bila mereka terluka."
Kiana tersenyum pada pelayan kecil itu. "Terima kasih, Bem."
Bem membalas senyumannya. "Ingat, Anda harus mengoleskannya, My Lady."
Kiana mengangguk dan membawa salep itu pergi ke kamarnya. Kiana mencoba mengolesi obat itu ke punggungnya, dia melihat punggungnya dari balik cermin. Dia bersyukur, kulit punggungnya tidak robek—hanya sebuah garis merah muda tipis yang tercetak di sana. Dia bersusah payah mengoleskannya.
Mereka sekarang berada di dalam rumah kediaman Earl of Mansfield—Kentwood House di Hampstead. Makan malam sudah disediakan di dalam ruang makan tersebut, makan malam yang terasa sangat formal. Tuan rumah hanya menjamu mereka berdua—Marquees dan Marchioness of Salisbury.
Hanya terdapat lima orang di dalam ruangan tersebut. Earl of Mansfield, Countess of Mansfield dan Lady Elizabeth murray—keponakan yang sudah diasuh oleh pasangan suami–istri itu sejak kecil. Wanita itu lebih muda sedikit darinya, berambut pirang, bermata biru dan memiliki senyum ramah.
Lady Elizabeth Murray adalah gadis yang menyenangkan. Dia menceritakan gosip-gosip terbaru yang tak pernah didengar Kiana. Suasana di ruang makan tersebut berjalan dengan tenang dan elegan. Satu–dua buah lelucon dilontarkan Earl of Mansfield yang membuat mereka tersenyum.
"Bagaimana makanan malam ini, Madam?" Lady Elizabeth Murray bertanya sopan pada dirinya.
"Makanan ini sangat lezat, Lady Murray," puji Kiana.
Tuan rumah tersenyum mendengar pujian itu. Earl of Mansfield menyeka mulutnya dengan serbet lalu berdiri. "Setelah ini ... mari kita ke ruang tamu, keponakanku akan menghibur kita semua dengan nyanyian dan alunan pianonya."
"Aku tak sabar mendengarnya," kata Marquess of Salisbury.
Setelah makanan dirapikan, Earl of Mansfield membawa mereka ke ruang tamu. Di sana berdiri seorang wanita yang menunggu mereka semua dengan anggun—dia hampir seumuran dengan Lady Elizabeth Murray. Dia tetap berdiri anggun, menatap mereka semua yang sekarang sedang memandang dirinya. Dia tersenyum kecil.
"Perkenalkan," Earl of Mansfield mendekati gadis tersebut, "Lady Dido Elizabeth Belle, keponakanku satu lagi."
Gadis itu dengan anggun memberi salam kecilnya kepada mereka. "Senang bisa bertemu dengan kalian, Marquess dan Marchioness of Salisbury. Hal ini adalah suatu kehormatan untuk diriku, bisa berjumpa dengan kalian berdua," kata-katanya terdengar sangat sopan dan tertata dengan halus. Wanita yang sekarang berdiri di hadapan mereka terlihat sangat lembut dan terpelajar. Seorang wanita bangsawan yang membuat Kiana kehilangan kata-katanya.
Seorang Mulatto.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top