DSH Part 39

"Tolong bantu aku ... di mana Ms. Rhonda?" tanya Kiana kepada pelayan wanita muda lainnya, sambil mengikuti Bem yang masih mengendong budak tersebut. Pelayan itu langsung berlari mencari Rhonda. Tak berapa lama Rhonda langsung datang dengan cepat menghampiri mereka.

"Ada apa, My Lady?" tanyanya tak tenang mendengar kecemasan di nada suara Kiana. Perhatiannya kemudian jatuh kepada seorang wanita berkulit cokelat yang sudah tergeletak lemah di ruang tamu. Rhonda dapat melihat daging merah dengan kulit terbuka mengerut. "Astaga ... ada apa ini? Apa yang terjadi, My Lady? Kenapa dia?" tanyanya cemas.

"Bantu aku, dia sakit. Kita harus segera mengobatinya," kata Kiana cepat. "Dia butuh perawatan." Rhonda masih menatap bingung nyonyanya, Bem dan budak itu. Dia tidak siap menerima kejutan tersebut, sehingga dia masih diam terpaku. "Tolong bantu aku, Ma'am!" kata kiana lagi.

Kata-kata Kiana membuat Rhonda tersadar. "Ya ... ya ... My Lady ... kita harus taruh dia ke tempat yang lebih nyaman, bangku itu terlalu keras. Kita harus pindahkan dia." Rhonda menatap sofa merah panjang tidak jauh dari sana. "Bem pindahkan dia ke sana," pintanya. Bem kemudian mengangkat lagi budak tersebut, "Demi nama—" pekik Rhonda saat melihat perut budak tersebut. "Dia hamil."

"Ya, Bibi ... dia hamil," ucap Bem menenangkan Rhonda.

Budak itu membuka matanya perlahan, sedikit tersadar. "Akkhh ...," erangnya pelan.

"Maaf," ujar Bem, merasa kalau gerakannya melukai budak tersebut.

"Si–siapa?" tanyanya tak jelas, "Di–di mana?" lalu dia berteriak keras memegang perutnya. "ARGGGHHH ... perutku ...," tangannya menekan perut itu. "Perutku ...."

"Maaf," kata Bem lagi, terlihat khawatir melakukan kesalahan. "Maaf, aku ... aku tak sengaja."

Kiana mendekati Bem dan budak tersebut. "Tenanglah, kau akan baik-baik saja, kami akan merawat lukamu."

Tapi budak perempuan itu masih berteriak. "Perutku ... akhh ... perutku sakit sekali." Bem menaruh tubuh budak itu di sofa secara perlahan.

"Kau akan baik-baik saja," Kiana berusaha menenangkan budak itu yang terlihat kesakitan. "Semua akan baik-baik saja. Tenanglah, kami akan membantumu."

Rhonda yang sudah berumur, menyadari apa yang akan terjadi. "Bem, segera panggil dokter. Dia akan segera melahirkan." Kiana dan Bem terkejut. "Sekarang! Lari! Panggil dokter!" teriak Rhonda lagi. Bem tanpa mengulur waktu segera berlari kilat.

Budak itu menatap Kiana di dekatnya. "To–tolong a–aku, Nyonya ... tolong anakku, tolong ...," katanya terpatah-patah sambil menjulurkan tangannya ingin menggapai Kiana.

Kiana mendekati dan memegang tangannya. "Tenanglah, kau akan baik-baik saja. Anakmu juga akan baik-baik saja. Dokter akan segera datang, bertahanlah. Kau akan baik-baik saja."

"Sa ... sakit sekali ...," katanya kesakitan. Wajah dan tangannya yang kotor kini penuh dengan keringat.

"Si–siapa namamu?" tanya Kiana yang juga panik—tidak tahu harus berbuat apa—karena dia tak pernah membantu proses kehamilan sebelumnya.

"Pis ... pissy," jawabnya kesusahan. "Bu–bukan. Chilali, namaku Chilali. Pissy bukan namaku." Budak itu mulai mengigau. "Namaku bukan Pissy. Penjual budak itu yang memberikanku nama itu, namaku Chilali," gumamnya tak jelas. "Seekor burung salju."

"Nama yang cantik," bisik Kiana. "Chilali."

"Ibuku memberiku nama Chilali, karena kulitku lebih putih darinya ... dia ingin aku seperti seekor burung, yang bisa terbang menjadi orang yang bebas," ricaunya.

"Tenanglah, kau akan baik-baik saja," kata Kiana lagi.

"Tapi ... aku tak pernah bebas. Sama seperti dirinya." Budak itu mengeluarkan air mata, tidak sadar menangis dalam igau-nya. "Aku seekor burung putih yang tak pernah keluar dari sangkar."

"Dia mengigau. Apa yang harus kulakukan?" tanya Kiana cemas ke Rhonda.

"Kita tidak bisa berbuat apa-apa, My Lady. Kita hanya bisa menunggu dokter," terang Rhonda yang sudah lebih berpengalaman. "Tapi kita bisa membasuh dan membersihkan luka-lukanya dengan air hangat."

Rhonda langsung meminta house maid lainnya untuk menyiapkan air hangat, lalu dia mendekati budak tersebut, menyeka kulit dan tubuh itu secara hati-hati, hatinya miris melihat tubuh budak itu. "Aku ingin membantumu." Kiana berdiri di belakang Rhonda yang duduk di sebelah sofa tersebut. Kiana daritadi hanya memerhatikan wanita itu mengurus budak tersebut—rasanya dia juga ingin melakukan sesuatu.

"Anda sudah cukup membantu, My Lady. Yang bisa Anda lakukan sekarang, hanya menunggu." Rhonda dengan pelan-pelan membersihkan luka tersebut.

"Tapi aku ingin membantumu, apa saja. Apa aku bisa membantu membersihkan luka-lukanya?" tanya Kiana yang tidak tahu harus berbuat apa—dia tidak ingin diam saja.

"Jangan, My Lady ... aku saja. Kulitnya sangat tipis, kalau tidak hati-hati akan membuat lukanya semakin melebar. Biar aku saja, My Lady." Rhonda dengan teliti membersihkan luka budak itu lagi.

Kiana melihat budak lemah itu, lalu berjalan ke arah jendela—hanya bisa menunggu Bem dan dokter. Hanya itu yang bisa dilakukannya selama 30 menit. Dokter dan Bem akhirnya datang. Dokter keluarga yang sudah tua itu mengernyit saat melihat pasiennya, tapi dia tetap menjalankan tugasnya dengan baik. Kiana dan Bem berada di balik pintu, sementara Dokter dan Rhonda berada di dalam kamar tersebut. Tidak lama kemudian, terdengar tangisan suara bayi yang lemah dari dalam ruangan. Kiana dan Bem tersenyum, akhirnya dipersilakan masuk.

Kiana melihat bayi kecil tersebut, dia mendekatinya. Bayi itu sangat kecil dan mungil. Budak wanita berusaha melihat bayi di sampingnya. Senyum pertama budak itu merekah. "Bayiku," panggilnya lembut ke arah bayinya.

"Bayinya lelaki, My Lady." Rhonda memberitahu Kiana, saat nyonyanya menatap ibu–anak itu.

"Bayi dan ibunya baik-baik saja, tapi mereka butuh banyak istirahat," jelas dokter itu kepada mereka semua. "Ibunya sangat lemah dan butuh banyak gizi untuk memberikan asi kepada bayinya ... dia harus makan makanan yang sehat penuh gizi, sayur, buah dan daging."

"Baik, dokter," jawab Rhonda.

"Kalau tidak ada urusan lainnya ... aku akan pergi, karena aku memiliki urusan lain," kata dokter keluarga tersebut sambil merapikan seluruh peralatannya.

"Terima kasih banyak, Dok," kata Rhonda.

"Terima kasih," kata Kiana kepada dokter tersebut. "Maaf, sudah merepotkan Anda, memanggil Anda mendadak seperti ini."

"Tidak apa-apa," jawab dokter tersebut lalu dia menatap Kiana. "Apa kau yang memanggilku ke sini? Demi budak itu?" Kiana mengangguk. Dokter itu tersenyum padanya. "Aku senang, ternyata masih banyak orang baik di dunia ini. Orang yang tidak memandang status, tidak memandang kepercayaan, tidak memandang apakah aku berkulit putih, apakah dia berkulit hitam, untuk menolong orang lain. Aku yakin, selama kita semua masih menginjak tanah dan berteduh di bawah langit yang sama, kita semua adalah umat manusia yang sama, yang hidup di bumi yang sama ... aku senang bisa bertemu dengan dirimu." Dokter itu kembali tersenyum pada kiana. "Aku permisi." Kemudian dia pergi dari sana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top