DSH Part 33
Perjalanan mereka tidak terlalu jauh. Kiana sekarang sedang menatap ladang itu. Semua terlihat berwarna kuning keemasan. Warna matahari hangat seakan-akan menutupi seluruh ladang tersebut. Kiana turun dari kereta dibantu oleh Bem. "Indah sekali," kata Bem menikmati pemandangan tersebut. Kiana setuju, pemandangan tersebut memang indah di matanya. Mereka berjalan dan memerhatikan tanaman barley itu lebih dekat. Kiana tak pernah melihat tanaman barley, keluarganya hanya memiliki peternakan domba. Kiana melihat tanaman itu sudah menguning dan siap dipanen. Melihat pemandangan berwarna keemasan itu, membuat hatinya terasa tenang dan hangat.
BRRAAKKKKK!
Kiana dan Bem terkejut saat mendengar suara itu. "Suara apa itu?" tanya Kiana.
"Seperti suara benda berat yang jatuh, My Lady ... dan sepertinya berasal dari arah sana." Bem berjalan menuju arah sumber suara—Kiana mengikutinya.
whaapsshhh
Suara lain terdengar. Dan kali ini, Kiana merasa suara itu adalah salah-satu jenis suara yang tak disukainya. Tanpa sadar dia langsung mempercepat langkahnya melewati Bem—perasaannya tak enak.
wuh-PSSSH!
Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih keras, diiringi suara kasar seorang pria.
Pemandangan itu sekarang terlihat jelas, tepat di depan matanya. Seorang pria besar berkulit putih dihiasi janggut sedang melecut seseorang yang terbaring di atas tanah. Kiana dapat melihat jelas siapa yang dicambuk orang itu—seorang budak.
Pria itu masih terus mencambuk. "DASAR BODOH! TAK BERGUNA! DASAR SAMPAH! MANUSIA TOLOL!"
Budak kecil itu melindungi diri dengan kedua tangannya. Cambuk itu melecut semakin keras dan bertenaga, sehingga membuat kulit-kulit di punggung dan bahu budak itu terkelupas—memunculkan daging semerah darah di sana. Tapi tangan pria besar tidak berhenti, cambuk itu terus menari dan menari. Robekan kulit di tubuh budak itu semakin menganga lebar. Daging merah tipis yang sudah tak terlapisi oleh kulit itu pun, tak luput dari tarian cambukan tersebut.
Di sekitar mereka berdua—pencambuk dan yang dicambuk—terdapat banyak budak lain di sana, tapi tak ada satu pun yang membantu budak tersebut. Budak-budak itu tak melakukan apa pun. Budak-budak tersebut hanya melakukan pekerjaan mereka seperti biasa, tidak melihat, bahkan tidak melirik sama sekali ke arah budak kecil dan pria tersebut. Mereka tidak mengacuhkannya, tak memedulikan pemandangan itu.
"Hentikan!" teriak Kiana yang tak pernah melihat pemandangan seperti itu seumurnya hidupnya
Tapi pria itu tidak mendengar dan tak berhenti. Wajahnya terlihat sangat menikmati apa yang sedang dilakukannya. "DASAR TIDAK BERGUNA! MAKHLUK BARBAR! TAK BERGUNA! DASAR SAMPAH!"
Budak itu tetap meringkuk, melindungi dirinya yang tak berdaya.
"BERHENTI!" teriak Kiana sekali lagi.
Akhirnya, pria itu mendengar suara teriakan tersebut. Lalu dia melihat Kiana yang berdiri tak jauh di dekatnya. Pria itu mengamati Kiana, dia dapat melihat wanita tersebut adalah wanita yang terhormat, dan menyadari wanita tersebut adalah seorang bangsawan. Wanita itu yang tadi berteriak dan menyuruhnya berhenti. Berhenti? dia mendengus.
Urusannya dengan budak ini, bukanlah urusan wanita bangsawan itu. Karena budak ini adalah miliknya. Lagi pula yang berteriak dan menyuruhnya berhenti adalah seorang wanita. Walaupun wanita itu adalah seorang bangsawan, tapi seorang wanita tetaplah seorang wanita. Tak ada pria yang menuruti wanita, wanitalah yang menuruti para pria. Pria kasar itu kembali menatap budaknya dan langsung melanjutkan cambukkannya. Entah apa yang dipikirkan Kiana, dalam sekejap dia melemparkan dirinya di depan budak tersebut.
Craazzhhh!!
Perih. Terasa nyeri. Itu yang dirasakannya di bagian punggung.
Bem terkejut dengan tindakan tiba-tiba majikannya, dia dapat melihat punggung Marchioness yang terbuka lebar karena lecutan cambuk tersebut. Pakaiannya terkoyak, kulit putih bersih itu sekarang ditandai oleh garis berwarna merah. Bem naik pitam—marah—lalu menerjang pria besar itu hingga terjungkal. "BERANI-BERANINYA KAU!"
Bem meninju pria besar itu beberapa kali. Pria itu berusaha menghindar, tapi beberapa kali tinju Bem mengenai wajahnya walau tenaganya lemah. Pria kecil itu, sekarang sedang berusaha melumpuhkan pria besar di bawahnya, tapi kemudian pria besar itu melihat celah, dia membalas tinju Bem, hingga Bem pun terjungkal. Pria itu akhirnya berhasil melepaskan diri. "Sial! Siapa kau bajingan tengik?" dia meludahkan darah dalam mulutnya ke tanah.
Pria itu berdiri sedikit sempoyongan lalu membersihkan pakaiannya dari debu dan tanah yang menempel. "Sial," katanya lagi. Saat injakannya sudah mantap, pandangannya jatuh, menatap lurus ke arah budak itu. Di sana terduduk wanita bangsawan tadi, sedang duduk membelakanginya. Pria besar itu baru menyadari bahwa cambuknya mengenai wanita tersebut.
Bem mengikuti tatapan pria besar itu dan berbalik menatap punggung majikannya yang terlihat sangat jelas. Dia berdiri, langsung berlari menutupi punggung wanita itu dengan jubahnya. "My Lady, apa kau tidak apa-apa?" tanyanya khawatir melihat wanita itu duduk diam dengan kaku.
Kiana masih menutup matanya—rasa itu masih terasa. Perih. Perih sekali. Cambuk itu sepertinya sudah dilumuri garam. Kiana membuka matanya dan dapat melihat budak di hadapannya dengan jelas, karena jarak mereka sekarang begitu dekat. Pemandangan itu cukup mengilukan tubuhnya. Seluruh tubuh budak itu, penuh dengan bekas cambukan yang bisa terlihat sangat. Permukaan kulit budak itu banyak yang mengelupas—kulit tangan, kulit kaki, kulit punggung—kecuali wajahnya. Budak itu terlihat sangat lemah.
Tak pernah sekali pun Kiana pernah melihat budak disiksa sekejam itu, terutama di negara mereka. Dia pernah mendengar siksaan-siksaan budak di daerah koloni tapi tak pernah mendengar siksaan budak di negaranya sendiri. Baru kali ini dia melihatnya dengan mata kepalanya sendiri.
Budak itu menarik perhatian Kiana, karena sedikit berbeda dari budak biasanya. Warnanya—warna kulitnya berbeda. Dia tidak mempunyai kulit gelap yang dimiliki budak lainnya, warna kulitnya lebih terang, tapi tidak seterang kulit Kiana.
Seorang Mulatto.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top