DSH Part 30 - Finch
Dan sekarang aku di sini, berdiri di dalam ruangan ini—benar-benar sendiri. Aku menyeka air mataku dan melihat buliran air bening tersebut di jariku. Akhirnya, setelah sekian lama, aku menangis juga.
Aku memandang ruangan ini. Ruangan ini rasanya sama sepertiku—Kosong—seperti hatiku. Aku memeluk diriku yang gemetar dan menikmati air mataku yang jatuh tak tertahankan. Aku tak bisa mempertahankan kekuatanku. Kelemahanku datang kembali.
Apa salahku?
Apa sebenarnya salahku?
Aku hanya ingin dicintai.
Tak berapa lama, aku mengusap air mataku. Aku harus keluar dari sini. Aku melangkah menuju pintu dan baru saja ingin membuka pintu tersebut tapi dua buah suara percakapan dari baliknya menghentikanku, membuatku berdiri tepat di belakang pintu tersebut. Mereka berdua sedang berbicara dari balik pintu ini. Aku mendengar pembicaraan Marquess dan Marchioness of Salisbury of Salibury tentang diriku—topik utama pembicaraan mereka. Aku mendengar semuanya; saran, provokasi, pertukaran, undang-undang tentang wanita simpanan dari balik pintu ini.
Aku dapat mendengar Marquess of Salisbury berbicara sangat jelas, saat dia menegaskan, "Tapi sepertinya ... sekarang kau harus puas menjadi Marchioness of Salisbury. Karena aku tak berminat untuk menikah lagi." Aku menundukkan kepalaku dan air mataku kembali turun. Kata-katanya membuat cairan-cairan bening itu mengalir turun lagi.
Apakah dia benar-benar tidak memiliki perasaan apa pun kepadaku? Tidak adakah perasaan cinta—walau hanya sedikit—untukku? Setelah berhubungan denganku selama enam bulan ini, apakah tidak ada getaran apa pun di dalam hatinya? Tidak ada sama sekali? Sedikit pun? Perasaanku ternyata hanya bermain sendirian di dalam hubungan ini.
Dan akhirnya aku sadar, aku sudah kalah dalam taruhanku. Hatiku benar-benar terluka.
Untuk ketiga kalinya.
Aku menaikkan daguku, tak ingin terlihat lemah, lalu membuka pintu tersebut dan melangkah keluar. Sudah tak ada satu orang pun di sana, aku melangkah anggun tetap tegap menuju pintu depan. Aku akan pulang. Lalu entah dari mana butler tua itu muncul. "Marchioness of Salisbury sudah menyiapkan kereta untuk mengantarkan Anda pulang. Silakan, Lady Finch," pria itu melayaniku dengan anggun dan semestinya.
Aku menatapnya—dan dia balas menatapku—mencari sesuatu di dalam matanya tapi tak menemukan hal itu. Aku tidak menemukan tatapan yang sedang menilai diriku. Tak ada pandangan merendahkan sama sekali di sana—tatapan yang indah. Dia berjalan di depanku, menuntun jalan. Aku menyukainya. Seandainya semua orang memiliki matanya. Pasti hidup di dunia ini akan lebih baik—setidaknya buat diriku.
Aku menghentikan langkahnya. "Tidak. Tidak perlu. Terima kasih. Aku akan pulang sendiri."
"Tapi ... cuaca sedang tidak mendukung saat ini," jelasnya lagi.
"Tidak apa-apa," Aku menolak dengan sopan. Aku tidak ingin pria ini juga memusuhiku.
"Sudah hujan di luar sana, Anda akan kotor," katanya lagi.
Aku menatap matanya. "Aku sudah kotor." mengatupkan bibirku mengingat semuanya, mengakui kepada pertanyaan yang tak ada hubungannya. "Tidak apa-apa. Terima kasih," tolakku.
Tapi pria tua itu mengerti apa maksudku. "Semua hal yang kotor bisa dibersihkan," katanya memandang wajahku. "Termasuk diri kita sendiri."
Aku tersenyum lemah padanya. "Terima kasih."
Dia tidak memaksaku, mengangguk membalas senyumanku, kemudian mengantarku sampai pintu depan kediaman rumah itu dan meninggalkanku di sana. Seorang pelayan rendah membukakan pintu utama tersebut untukku.
Hujan sangat deras. Aku memandang payung yang diberikan butler tua tadi. Aku meninggalkannya di sana. Kemudian berjalan di tengah hujan. Sama seperti dulu. Hujan selalu tahu suasana hatiku.
***
Hujan hari ini sangat deras, aku meminta Archie menjalankan kereta kuda ini lebih cepat. Aku ingin cepat sampai rumah. Aku baru saja melewati Hertfordshire—sudah lama aku tidak mengunjungi tuan rumah di kediaman tersebut. Tapi aku malas melakukan apa pun sekarang. Aku tidak ingin melakukan apa-apa, terlebih saat ini, saat pasukan air turun dari langit.
"My Lord!" teriak Archie si supir pemegang kelana di depan kemudi.
"Ya?" teriakku membalas. Suara hujan membuat kami harus mengencangkan suara kami.
"Di depan sana! ... ada seorang wanita yang berjalan! Di tengah hujan!" teriaknya tidak mau kalah dari suara derap hujan.
"Biarkan saja!" balasku, aku sedang malas melakukan apa pun termasuk melakukan sesuatu dengan wanita, aku sedang malas dengan makhluk tersebut.
"Baiklah, My Lord!" balas Archie dengan teriakan suara tenornya.
Aku memerhatikan jalanan tersebut—hanya pepohonan di kiri dan kanan. Tempat ini masih seperti hutan. Dan hujan benar-benar deras.
Kereta kudaku melewati perempuan itu, yang sedang berjalan di samping kiri.
Aku melihat sekilas rambut berkepang warna abu-abunya dan aku mengetahui dengan jelas siapa gadis itu. Lady Frances Finch. Apa yang dilakukan wanita itu di tengah hujan deras ini? Di jalanan ini dengan berjalan kaki, seorang diri tanpa seorang pendamping?—wanita muda yang masih lajang harus didampingi oleh seorang pendamping. Tidak boleh hanya berduaan dengan seorang pria, walau yang mereka lakukan hanyalah berbicara, reputasi wanita tersebut bisa hancur dan para pria akan enggan menikahi wanita tersebut.
Tapi mungkin wanita itu sudah tidak peduli, karena banyak sekali rumor-rumor kejam tentang dirinya. Reputasi gadis itu akan semakin hancur, bila gadis itu terlihat berduaan dengan diriku. Tapi hujan ini sangat deras. Dan dia adalah seorang wanita. Sialan. Aku akan memikirkan tata krama berengsek itu nanti.
"Archie!" teriakku.
"Ya, My Lord?"
"Berhenti!"
Archie dengan segera berhenti memacu kudanya. Dia sedikit kesusahan karena kuda-kuda itu kedinginan dan terlihat ingin sampai ke tujuan dengan cepat—ke tempat yang lebih hangat.
Aku melihat wanita itu—wanita itu berjalan sambil menunduk—tidak memandang apa pun, bahkan ke kereta kudaku. Dia melewati kuda-kuda ini begitu saja—Archie yang sepertinya tahu maksud dari tuannya tersebut, menjalankan kudanya menyusul wanita itu, dan berhenti tepat di sebelahnya, sehingga wanita itu sedikit terkejut dan baru sadar ada orang lain selain dirinya di sana.
Aku memerhatikan wajahnya, memang cantik, sama seperti yang dikatakan setiap orang. Tapi wajahnya tidak seangkuh yang diceritakan orang-orang, wajahnya sekarang ... hmm ... aku tidak tahu apa itu—terhalangi oleh air hujan yang turun.
Aku membuka pintu. "Apa Anda butuh tumpangan, Miss?" tanyaku lagi. Aku melihatnya sedikit terkejut dengan diriku—ya kuakui—yang memang sedikit lebih besar dari pria biasanya.
"Ti–tidak ..." dia terlihat kesusahan untuk berbicara. "Te ... te–terima kasih atas tawarannya, tapi ... ti–tidak ...." tolaknya.
Aku melihat dengan jelas, tubuh kecil itu sedikit bergetar, dia akan sakit sebentar lagi kalau tetap dibiarkan berjalan. "Aku memaksamu, Lady Frances Finch. Aku adalah seorang pria yang tak akan meninggalkan seorang wanita kecil tak berdaya, apalagi berjalan di tengah hutan sendirian. Kehormatanku akan dipertanyakan orang-orang bila aku meninggalkanmu di sini," tegasku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top