Ramadhan Side #2: Ahlul Qur'an

Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta'ala memiliki keluarga dari kalangan manusia; mereka adalah para Ahlullah, Ahlul Qur'an dan orang-orang yang diistimewakan-Nya
(H.R Ahmad)

Hilmi menutup mushafnya setelah menyelesaikan target muroja'ah harian hari ini. Menghela napas panjang, ia mengedarkan pandangan pada suasana menenangkan di sekitarnya. Malam ramadhan ke-21, dan Hilmi memutuskan untuk I'tikaf di salah satu masjid basis Huffazh tak jauh dari Ruha untuk mengikuti dauroh mutqin yang diadakan Indonesia Muroja'ah.

Ia sendiri sudah hampir seminggu bermalam di kamar khusus para Imam Muda. Roadshow Imam Muda yang diadakan pondok kembali menunjuknya untuk berpartisipasi tahun ini. Program Imam Muda bisa dibilang merupakan persiapan anak-anak santri Ruha untuk terjun langsung ke masyarakat. Program ini menyiapkan beberapa kader terpilih untuk bergantian mengisi kultum hingga menjadi Imam Tarawih di masjid dan majelis ta'lim yang mengundang.

Tahun ini Hilmi memilih shift kedua untuk bertugas karena tak ingin melewatkan puasa pertama di rumah. Sekalian mengambil rehat sejenak dari kepadatan wisuda dan segala pernak-pernik kelulusan yang baru saja ia lewati. Apalagi ia juga harus langsung menjalankan tugas pengabdiannya di Markaz Tahfiz. Membantu merapikan administrasi santri yang sedang mengambil sanad, juga beberapa kali mendampingi asatidz dalam beberapa acara.

Sayangnya, keputusannya itu membuat Hilmi tak bisa mengikuti dauroh mutqin yang diadakan Indonesia Muroja'ah pada 10 hari terakhir ramadhan. Untung saja ia kenal baik dengan ketua panitia acara, jadi meski tak resmi menjadi peserta Hilmi bisa menyempil sejenak mengikuti program sejak pembukaan sore tadi.

"Mau begadang, Bang?" sapa Fatih yang segera mengambil tempat duduk di sampingnya.

"Nggak deh kayaknya. Besok jadwal ana full. Paling nunggu jam 12 baru tidur sebentar."

Fatih hanya mengangguk pelan menanggapi. Suasana di sekitar mereka masih lumayan ramai dengan suara lantunan tilawah-muroja'ah.

"Ternyata jadi Hafizh itu berat ya, Bang."

Perkataan Fatih barusan membuat Hilmi mengangkat alis. "Kenapa gitu?"

"Hmm, Fatih baru nyadar aja. Kalau isu-isu di pondok itu ternyata nggak seberapa dibanding ekspektasi masyarakat ke para penghafal kayak kita. Apalagi yang udah khatam."

Ah ya, Fatih baru saja menyelesaikan setorannya di hari ke-7 ramadhan kemarin. Hilmi sempat hadir di pembacaan doa khotmilnya. Sosok juniornya itu tampak menghela napas panjang, lalu melanjutkan. "Baru tahun ini ngerasain jadi imam di luar pondok, beban tanggung jawabnya berasa beraaat banget. Apalagi sambil bawa nama almamater. Harus hati-hati banget bersikap dan bertindak."

"Ya, udah risiko sih itu. Kita jadi santri aja pandangan orang-orang udah beda. Apalagi ditambah 'santri penghafal Qur'an' beban amanahnya nambah juga. Tapi ya, Tih kalo dipikir-pikir, semua omongan, sindiran atau apalah itu sebenernya jadi pengingat kita juga buat lebih berhati-hati dalam bersikap."

Hilmi meletakkan mushafnya di salah satu meja terdekat. "Ada yang bilang, Penghafal Qur'an itu memang Qur'an udah ter-copy di otaknya. Tapi belum tentu terinstal di hatinya. Reminder buat kita sih, untuk terus memperbaiki diri dan akhlak. Jangan sampai, ayat-ayat cahaya ini cuma terasa di lidah aja. Nggak berbekas ke hati."

"Kayak Akhi Basyir yah, Bang. Atau Ustadz FJH?"

"Yah, beliau berdua mah emang MasyaAllah Tih. Betewe, antum di sini gantiin Akhi Basyir kan?"

Fatih mengangguk menanggapi. "Iya, beliau dipanggil lagi ke Australia buat jadi imam Ramadhan tahun ini. Ngasih tahunya juga ngedadak kemarinan. Alhamdulillah deh, bisa I'tikaf dengan tenang ikut dauroh ini." cengir Fatih dengan senyum polosnya.

"Gimana rasanya ya, jadi imam full selama ramadhan? Mesti hafalan udah mutqin banget itu sekali puter juga."

Hilmi selalu salut pada senior-seniornya yang bisa menjadi imam penuh selama Ramadhan. Ia belum sanggup menjalani tugas seperti itu. Selain hafalannya yang memang belum begitu lancar, Hilmi merasa lebih butuh menyendiri selama ramadhan di rumah. Apalagi tahun lalu ia hanya bertugas di 10 hari pertama ramadhan.

"Muroja'ah 11 bulan diuji langsung selama sebulan. Berat sih itu, Bang. Apalagi ujiannya langsung di tempat imam. Tapi yang lebih berat, lebaran nggak bareng keluarga. Udah 11 bulannya di pondok, gitu libur ramadhan masih harus jadi imam di negara orang. Duh, Fatih nggak siap deh kayaknya," tutur Fatih jenaka.

Hilmi ikut tertawa kecil mendengar nada usil dari kalimat Fatih barusan.

"Sebenernya, akhir-akhir ini ana lagi kepikiran sesuatu. Abis nugas Imam Muda dua hari kemarin, tiba-tiba ana keingetan hadits Rasulullah tentang tiga golongan yang pertama masuk neraka tanpa hisab. Salah satunya penghafal Qur'an yang niatnya nggak lurus. Dia menghafal karena ingin dipanggil Hafizh, dipuji orang-orang."

Hilmi menghela napas berat. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim itu sungguh membekas di benak Hilmi. Betapa sanjungan, pujian dan popularitas bisa membelokkan niat seseorang dengan mudah. Di titik ini, ia tersadar. Jika semua lelah, takkan berarti jika tanpa Lillah di dalamnya. Alih-alih mendapat kedudukan tinggi sebagaimana ia membaca Al-Qur'an di dunia, jangan-jangan ia justru dilemparkan ke neraka.

"Makanya ana bilang barusan, Bang. Jadi Hafizh Qur'an itu berat. Buat Fatih, doa pas khotmil itu yang paling membekas. Gimana kita merayu Allah untuk mengizinkan kita nggak hanya menyelesaikan bacaan Qur'an di dunia, tapi juga bersama Qur'an sampai ke surga."

Hilmi memejamkan matanya yang mendadak terasa berair. Ya Allah, jadikanlah Al Quran teman bagi kami di dunia. Dan pendamping untuk kami kala di liang kubur. Juga penolong kami saat hari kiamat. Dan cahaya bagi kami ketika di atas sirath. Serta sahabat kami untuk menuju surga. Dan penghalang bagi kami dari api neraka. Bait doa yang selalu berhasil membuatnya menangis tanpa aba-aba.

"Itulah Ahlul Qur'an yang sebenarnya kan, Tih? Nggak penting seberapa lama kita menghafal Al-Qur'an, yang paling penting seberapa lama kita bisa bersama hafalan Qur'an itu selama sisa hidup kita," ujar Hilmi melanjutkan.

"Duh, malem-malem gini obrolan kita berat banget sih, Bang."

Tawa spontan Hilmi pecah mendengar celetukan Fatih. "Siapa coba, yang mulai tadi?"

Fatih hanya menampilkan cengiran tak berdosanya.

"Mi, antum jadi imam tahajjud ya? Bacanya bebas deh ngacak juga nggak apa-apa."

Tiba-tiba saja Kang Hamid sudah ada di hadapan mereka dengan tangan penuh kertas.

"Eh? Hilmi ke sini mau rehat loh, Kang. Besok jadwal udah full lagi di Tangerang," sahut Hilmi dengan nada memelas. Kang Hamid menaikkan sebelah alisnya saat mendengar alasan Hilmi barusan.

"Semua aja pake alasan yang sama tiap ditunjuk jadi badal. Fatih juga nih sama aja. Pokoknya antum imam tahajud besok ya, Tih. Nggak pake tapi."

Kang Hamid menetapkan tanpa menerima argumen apapun.

"Bacanya bebas kan, Kang? Siap kalo itu mah."

Hilmi dan Fatih berbincang ringan sebentar lantas menepi untuk tidur sejenak. Sayup-sayup ia bisa mendengar suara Fatih membaca surat Yusuf ayat 108. Seketika, Hilmi teringat sebuah kutipan dari Syekh Nashiruddin Al-Albani yang dikutip ulang oleh Ustadz Salim A Fillah dalam bukunya.

"Jalan Allah ini sangat panjang, untunglah kita tidak diwajibkan untuk sampai ke ujungnya. Hanyasanya, kita diperintahkan untuk mati di atasnya."
_________________________________
A/N;
Yang kangen deep talk Bang Mi-Fatih angkat tangan hayooo 🙋😌
Sorry for late update, Guys. Yah, persis bahasan part ini nulisnya juga berat :" Semoga suka ya 😇

Selamat datang buat para pembaca baru semoga nggak kapok ngikutin DPC yang meski bntar lagi tamat, update-nya masih sesuai mood author *ditimpuk 😂. Haha, maafkan alya duhai para Readers DPC yang setia ngikutin dari awal. Bau-bau mellow mau ending nih. Kubelum rela pisah sama Fatih :" *eh

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top