9. Disorientasi

Kau butuh lebih dari sekadar kepercayaan diri untuk menjalani labirin kehidupan ini. Sudahkah peta dari Pemilik Semesta kau genggam erat? Jika belum, mungkin karena itulah langkahmu tak kunjung merapat

"Bunda bilang juga apa, Dek. Lebih baik kamu fokus buat Fahmil Qur'an saja. Nggak bakal ketinggalan hafalan sampai seminggu kayak gini. Lagipula, sekali ini nggak ikut olimpiade nggak apa-apa, kan?"

Nida menghela napas pelan. Baru saja senyumnya terbit melihat kedatangan Bunda, saat ini senyumnya telah lenyap tak bersisa. Nida hanya diam, mencoba mengendalikan emosi yang tiba-tiba beriak.

"Tapi, Bun ... adek udah janji sama Pak Fuad sejak semester kemarin," ujar Nida pelan, sedikit membela diri.

Bunda tampak menghela napas gusar, "Iya, tapi kamu di sini buat ngafal, Dek. Bukan ngumpulin medali olimpiade."

Nida hanya bisa menunduk semakin dalam. Ya, memang salahnya yang terlalu asik dengan tumpukan ensiklopedia beserta bundel soal akhir bulan ini. Hingga pencapaian hafalannya kurang dari satu juz. Tapi, bukankah Nida disibukkan dengan berjilid-jilid materi Fahmil Qur'an juga? Bahkan dari sebulan lebih persiapan untuk olimpiade, Nida hanya memaksimalkan sepertiganya.

"Coba, deh. Sekali-kali prestasinya kayak Bang Hilmi, gitu. Yang berhubungan sama Qur'an. Ini udah ada kesempatan juga bukannya dimaksimalin, malah disambi sama olimpiade," lanjut Bunda lagi. Terdengar pelan, tapi entah kenapa seketika membuat dada Nida sesak.

Nida menghela napas bergetar. Tidak, tidak. Dia tidak boleh menangis secepat ini. Ayolah, Nid jangan bersikap seolah ini kali pertamamu 'disandingkan' secara prestasi dengan Bang Hilmi. Bukannya kau tahu pasti reaksi Bunda akan seperti ini?

Iya, tapi mendengarnya langsung jauh lebih sakit, bisik Nida dalam benaknya.

Kalau saja Bunda tahu Nida sudah mati-matian mengutamakan untuk belajar Fahmil Qur'an ketimbang olimpiade Geografi yang ada di depan mata. Kalau saja Bunda tahu, Nida sampai ingin mengundurkan diri dari olimpiade tempo hari.

Kalau saja Bunda tahu, malam sebelum olimpiade Nida bahkan masih sibuk berdiskusi dengan Ulya dan Kak Afra. Kalau saja Bunda tahu, jika mengutamakan Fahmil Qur'an dari olimpiade tahun ini, sama saja mengorbankan kesempatan Nida menuju nasional untuk terakhir kalinya.

Nida baru saja ingin mengatakan sesuatu, saat Bunda kembali berbicara.

"Dek, waktu kamu di sini tinggal satu setengah tahun lagi, loh. Dulu, Bang Hilmi di tahun ketiga kayak kamu ini, udah khatam. Mutqin lagi. Hafalannya lancar, udah ngewakilin pondok di mana-mana lewat MTQ."

Dalam tunduknya, Nida memejamkan mata. Kalimat itu, kalimat paling terakhir yang ingin ia dengar. Sungguh, apalah daya Nida jika sudah dihadapkan dengan prestasi paling hebat dari Bang Hilmi. Pembawa nama besar Raudhatul Huffazh, pondoknya. Penghafal Qur'an pertama dalam keluarga. Sosok yang paling Buya banggakan di antara cucu-cucunya.

"Satu setengah tahun itu nggak lama loh, Dek. Jangan menyibukkan diri dengan urusan yang nggak penting. Utamain Qur'an dulu. Semuanya bakal ngikut nanti," ujar Bunda dengan suara melunak.

Nida mengangguk pelan, seberkas sesal yang sedari tadi terbit di sudut hatinya terasa menghujam semakin dalam. "Iya, Bun. Adek minta maaf karena nggak fokus. InsyaAllah adek bakal usaha lebih keras lagi," sahut Nida akhirnya.

Yah, apalagi yang bisa ia lakukan saat ini? Nida memang tak mengatur waktunya dengan baik. Penurunan capaian hafalan bulan ini mutlak kelalaiannya. Salahnya juga sempat abai pada hafalan dua minggu terakhir.

Nida melemparkan pandangan ke gazebo seberang. Tampak Bang Hilmi sedang menyibukkan diri dengan buku di tangannya. Hari ini memang hari libur. Dan minggu ini khusus penjengukan santri tingkat SMA. Untuk efisiensi waktu, biasanya orang tua mereka bergantian datang ke pondok masing-masing. Terkadang Bang Hilmi yang ikut ke pondok putri, ataupun Nida yang ikut ke pondok putra.

Nida menatap hampa makanan di hadapannya. Masakan Bunda yang sudah ia rindukan sejak satu minggu lalu justru tak lagi terlihat menggiurkan. Bukannya tak menghargai, hanya saja ... entah bagaimana dadanya terasa amat sesak saat ini. Ia butuh pengalihan. Menghela napas, Nida meminta tas kameranya pada Bunda.

Langkah Nida membawanya ke seberang lapangan hijau. Memasuki sepetak taman kecil di sudut pondok. Dengan dua gazebo kayu besar juga pepohonan yang rindang. Nida mengarahkan pandangan pada langit biru yang terbentang luas. Tatapannya beralih pada tas kamera juga taman kecil di samping gazebo. Menghela napas, Nida mulai memotret sekitar. Tak banyak objek yang bisa ia temukan di sini, kebanyakan malah sudah memenuhi galeri foto di laptopnya.

"Siapa ya, yang minggu kemaren melas nelpon minta dijenguk, tapi gitu Bundanya dateng malah dicuekin."

Suara khas itu membuat Nida menghentikan aktivitasnya. Menoleh kesal ke asal suara, tampak Bang Hilmi sudah bersandar di salah satu tiang gazebo sambil bersedekap santai. Nida hanya mengerucutkan bibir menanggapi ucapan abangnya.

Bang Hilmi tertawa kecil melihat ekspresinya. "Dek, kalo ada masalah itu diomongin, jangan dipendam sendirian aja," ujar Bang Hilmi sambil memberi isyarat pada Nida agar mendekat.

Masih mempertahankan wajah bete-nya, Nida berjalan menghampiri abangnya.

"Gimana persiapan MTQ? Udah berapa persen?"

Wajah kesal Nida agak meluntur mendengar pertanyaan Bang Hilmi, "Nggak tahu, Bang. Rasanya, apa yang Nida kerjain nggak ada yang bener sekarang," sahut Nida murung.

Sebuah senyum tipis terbit dari sudut bibir lelaki berkemeja hitam itu. "Terkadang, nggak semua hal berjalan sesuai apa yang kita inginkan, Dek. Tugas kita hanya berusaha dan berdoa. Sesudahnya, serahkan sama Allah, yang Maha Mengetahui apa yang terbaik buat kita."

"Bang Mi pernah nggak sih, ngerasain kayak gini? Rasanya semangat hilang di titik nadir, rasanya apa yang diusahain nggak bakal memperbaiki apa pun ...." Suara Nida hilang sebelum sampai ke ujung kata. Entah, segala kesesakan ini tampaknya semakin menambah beban dalam hatinya.

"Pernah, dan semua orang sepertinya juga pernah mengalami keadaan kayak gini. Kalo udah begini, Dek. Ada baiknya kamu koreksi lagi niat di awal. Tajdidun niyat. Memperbarui niat. Apa yang sebenernya kamu cari dari rentetan lomba ini? Apa yang kamu cari dari capaian hafalan berlembar-lembar itu? Popularitas? Pembuktian? Atau apa?"

Bang Hilmi menghela napas, pandangannya yang sedari tadi menatap langit kini mengarah pada Nida seutuhnya, "Apa pun motivasi kamu ngejalanin semua itu, satu yang harus kamu ingat. Semua airmata dan kelelahan hanya akan jadi sia-sia, jika nggak ada lillah di sana. Coba diniatkan ikut olimpiade, MTQ karena Allah. Agar syiar-Nya semakin tersebar luas. Coba menghafal kembali diluruskan niatnya. Bukan semata biar nggak dihukum Buya atau kena tegur Bunda. Niatkan karena Allah, agar Allah ridho dengan apa pun langkah yang kamu ambil selanjutnya."

Nida mengangguk pelan. Kata-kata abangnya, meski sederhana selalu mampu menenangkan hatinya. Seberkas senyum perlahan muncul dari sudut mulutnya.

"Nah, gitu dong. Jangan muram terus, nanti Cikarang ikutan mendung gara-gara kamu cemberut mulu," celetuk Bang Hilmi jahil.

Nida memukulkan tas kameranya sebal. "Nggak nyambung, ih! Emang Nida Queen Elsa apa, yang suasana hatinya ngaruh ke cuaca!"

Bang Hilmi hanya tertawa kecil melihat reaksi Nida.

"Bang, jadwal MTQ nanti bakal padet nggak ya?" Nida bertanya dengan suara mengawang, tatapannya pada langit biru membuat beberapa rencana menyeruak mucul dalam benaknya.

Bang Hilmi tampak menaikkan sebelah alisnya heran, "Kenapa emangnya?"

Nida mengerjapkan mata semangat. "Temenin hunting foto di Green Lake." Nida menyebutkan sebuah komplek perumahan elit di dekat pondok pusat dengan mata berbinar.

Bang Hilmi mengerutkan kening, mempertimbangkan. "Jadwal sih, nggak padet-padet amat. Cuma abang nggak bisa mastiin, bakal dapet izin bawa kamu ke sana atau nggak."

Nida kembali menekuk muka mendengar jawaban abangnya.

"Dek, jangan kamu kira mentang-mentang abang ketua Imarah Thullab, terus bakal gampang dapet izin special trip kayak gitu. Apalagi ini acara besar Ruha," lanjut Bang Hilmi menjelaskan.

Nida menghela napas mendengar penuturan abangnya. "Iya, tahu. Tapi diusahain gitu loh, Bang. Sekali-kalinya ini."

Bang Hilmi mengangguk pelan, "Iya, iya. Kalo misalnya abang berhasil menuhin permintaan kamu yang ini, kamu harus menuhin satu syarat dari abang."

Nida mengalihkan perhatian sepenuhnya pada sosok ketua Imarah Thullab di sebelahnya. Bang Hilmi tak pernah mengajukan syarat seperti ini saat Nida meminta sesuatu.

"Apa syaratnya, Bang?"

____________________________________

Author's Note :

Assalamualaikum! Alhamdulillah akhirnya bisa update lagi. Terima kasih doa-doanya Sahabat. Terlewati juga minggu 'berat' kemarin meski pake bonus drama meriang seminggu kemudian 😂😂😂

Maapkeun Alya yang hobinya up jam segini, yah. Nggak paham timing emang *dijewer masal 😪 Haha, ini sih lebih karena sempetnya jam segini. Kamis malam, sebelum memulai weekend dengan segudang tugas selanjutnya ... mending diawali ngapel sholehah dulu sama Bang Hilmi dan Nida ya, nggak? 😆

Well, dan AKHIRNYA PROSES REVISI SELESAI JUGA! 😢
Empat bulan untuk 9 chapter, itu sungguh perjuangan, Guys. Maaf juga sempet lupa diri kemarenan pernah nggak update-update hampir sebulan 🙈 Asli, itu kelupaan saiya-nya kalo punya tanggungan di sini *efek terlalu sibuk di antara tumpukan kitab di dunia nyata.

Oh iya. Pengumuman penting, nih. Selanjutnya bakal ada bab-bab yang di-private secara acak. Karena maraknya web mirror juga mencegah plagiarisme. Untuk kenyamanan, bagi yang belum follow silakan follow akun ini dulu ya. Biar chapter-nya nggak ilang-ilang nanti pas bacanya.

Udah follow dan mau difollback?  Leave comment dulu kesan kamu setelah sejauh ini membaca Dinamika Penjaga Cahaya 😏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top