7. Amanah yang Digenggam

Masalahnya bukan seberapa banyak tanggung jawabmu, tapi seberapa mampu kamu mengatasi amanah-amanah itu

Menelan ludah yang terasa kelat, Nida mencoba menenangkan debaran jantungnya. Tenang, tenang, tenang. Duh, kenapa sih ini badan lebay amat reaksinya. Gerutu Nida sebal dalam hati.

"Kotak apaan tuh, Nid?"

Nida segera sigap meraih kotak yang terjatuh di dekatnya dan bergegas memasukkan kembali ke loker. "Ngg ... cuma kotak bros, kok. Hasil malak Bang Mi liburan kemarin."

Kening Riza tampak berkerut sejenak mendengar jawaban Nida. Baru saja sosok di hadapannya ini terlihat ingin mengatakan sesuatu, sebuah suara memotong pembicaraan mereka.

"Ini ngapain pada bengong di sini? Lupa kalo lagi dapet hukuman?!"

Suara dingin itu membuat bulu kuduk Nida meremang seketika. Meski diucapkan tanpa nada tinggi tak juga mengurangi aura intimidasi yang mengikuti. Sebelum Kak Afra sempat berkomentar lagi, Nida bergegas menyeret Riza untuk segera meninggalkan tempat mereka.

*---*---*

Nida akhirnya menemukan tempat yang cukup tenang untuk menghafal. Setelah semua keriuhan yang terjadi satu hari ini, ia merasa perlu menyendiri.

Yah, ada banyak hal besar yang terjadi dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam. Keliling pondok demi mencari si Usil, disidang langsung oleh ketua 'Imarah Thalibah, hingga terpilihnya Nida mewakili pondok dalam lomba MTQ Kabupaten di pondok pusat beberapa bulan lagi.

Nida menghela napas pelan. Meluruskan kaki sambil menyandarkan punggung ke salah satu tiang aula. Entahlah, ada begitu banyak yang terlintas di benaknya. Tak hanya kejadian hari ini, tapi juga beberapa janji lama yang sepertinya kelak akan membuatnya agak terbebani.

"Katanya aja mau ngafal, nyampe sini malah ngelamun."

Tersentak, Nida refleks menoleh ke arah Riza yang sudah berdiri di depannya sambil berkacak pinggang. Beberapa langkah di belakang Riza, tampak Ulya berjalan memasuki aula. Nida hanya bisa meringis pelan mendengar nada sindiran dari Riza.

Memperlihatkan ekspresi mencibir sesaat, Riza kemudian mengambil tempat duduk tak jauh darinya. Nida menghembuskan napas lega. Untung saja Riza tak membahas soal 'drama' kotak kecil tadi. Bisa mati kutu Nida kalau virus keponya si ratu usil kumat lagi.

Dan juga, Nida tak mau usahanya menjaga kotak itu lima minggu belakangan berakhir sia-sia. Lagipula ia belum merasa ini waktu yang tepat. Apa harusnya Nida mendiskusikan hal ini langsung ke Bang Hilmi?

Membenarkan posisi duduk, sekelebat resah semakin memperkeruh benaknya. Olimpiade tiga minggu lagi. Sedangkan tiga minggu selanjutnya lomba MTQ sudah menanti. Nida memang terlebih dahulu mengiyakan usulan Pak Fuad untuk ikut olimpiade. Tentu saja tanpa tahu jika ia akan dipilih juga mewakili pondok putri dalam lomba MTQ. Entahlah, mungkin para guru memang mempercayainya sedemikian rupa hingga mengamanahkan dua perlombaan besar ini untuknya.

Tapi, aku harus fokus ke mana? batin Nida resah

Bagi Nida, olimpiade sudah merupakan salah satu target tahunan yang harus dicapai. Tapi MTQ? Ini pertama kalinya ia dipercaya mengikuti lomba bergengsi ini. Dan untuk itu, ia tak ingin mengecewakan siapapun yang sudah memberinya kesempatan emas.

Sebuah tepukan pelan di paha Nida membuyarkan keruwetan pikirannya. "Tolong tasmi' dong, Nid. Dua halaman ya," pesan Ulya yang sudah menyerahkan Qur'an untuk disimak hafalannya oleh Nida.

Nida hanya bisa mengangguk pelan, lantas segera 'menyadarkan diri' agar bisa fokus menyimak. Dengan suara lembut khas miliknya, Ulya berhasil melafalkan dua halaman hafalan baru tanpa kesalahan yang berarti. Padahal kata-kata di juz 26 ini termasuk cukup sulit menurut Nida.

Ulya menutup bacaannya dengan bacaan tashdiq*  bertepatan dengan bel pembacaan surah Al-Mulk. Nida menelan ludah gugup. Waktu menghafalnya malam ini hampir habis, dan ia belum bisa melafalkan meski setengah halaman dengan lancar.

Ulya yang tampaknya tak menangkap kejerian dirinya, justru malah menawarkan bantuan. "Mau gantian nggak, Nid? Sekarang surah Thaha halaman berapa?"

Nida menggeleng pelan. Sepertinya ia terlalu sibuk dengan pikirannya hingga tak merasa waktu berjalan lebih cepat dari kecepatan cahaya.

*---*---*

Nida keluar dari ruang guru dengan bahu lemas. Inilah salah satu yang ia cemaskan sedari awal. Menghela napas pelan, ia mendekap buku di tangannya. Mencoba memunculkan sekelumit optimis dalam hati. Bukan, dia bukan baru saja disidang atau semacamnya. Ia hanya merasa sedikit terbebani dengan dua amanah yang baru saja ia genggam.

Setelah hampir satu minggu penuh tidak bisa fokus, akhirnya Nida berhasil menemui kedua pembimbingnya. Dan respon keduanya membuat Nida menganggukkan kepala tanda setuju.

Ketika suatu amanah dipercayakan ke kita, itu artinya orang yang memberikan amanah yakin kalau kita bisa, kalau kita sanggup menjalani amanah tadi. Dan lebih dari itu ... Allah memberikan amanah karena kita memang sanggup melakukannya. La yukallifullohu nafsan illa wus'aha.

Perkataan Ustadzah Rachma masih membayang di pikiran Nida. Sungguh, kesempatan ini amat dinanti Nida sebenarnya. Tak bisa ia pungkiri, sekelumit rasa iri selalu saja menyelinap saat Bang Hilmi mengikuti lomba-lomba bidang tahfizh di luar pondok. Belum lagi jika perpulangan tiba, satu-dua piala atau medali milik abangnya selalu saja mampu membuat suasana rumah menjadi Bang Hilmi-sentris. Ya, semua perhatian dan pujian hanya tertuju untuk abangnya semata. Sedangkan Nida? Disadari kehadirannya saja sudah syukur.

"Udah, Nid. Jangan belum apa-apa udah overthinking gitu. Optimis aja. Kalo kejadiannya kayak begini, berarti kan pondok percaya ngutus anti," ujar Ulya menenangkan.

"Iya, Nid. Nggak boleh pesimis gitu, ih. Everything gonna be ok," sahut Riza dengan nada lagu Bondan Prakoso.

Nida tersenyum tipis mendengar celetukan teman-temannya.

"Nah gitu dong, senyum. Kan nggak butek lihatnya," celetuk Riza usil yang disambut timpukan buku dari Nida.

Menit-menit berlalu, Nida kembali tersesat dalam labirin pikirannya sendiri. Ragu. Rasanya sudah lama sekali Nida tak merasakan keraguan dalam langkah yang ia ambil. Apa benar ia bisa menjalani kedua lomba bergengsi ini dengan baik? Atau jangan-jangan Nida justru hanya mengacaukan saja nantinya? Bagaimana jika ia tak bisa memenuhi ekspektasi orang-orang yang mempercayakan amanah ini padanya?

"Nida," Panggilan dengan nada lembut itu membuyarkan lamunan Nida.

"Iya? Eh, afwan, afwan. Lagi nggak fokus," sahut Nida buru-buru menjelaskan.

Ulya memandang Nida dengan sorot mata penuh simpati. "Coba telepon ke rumah, gih. Siapa tahu bisa bikin lega."

Nida hanya mengangguk pelan. Sepertinya ia benar-benar butuh saran orang tuanya saat ini.

*---*---*

Kelopak mata Nida mengerjap semangat saat suara di seberang sana menjawab teleponnya.

"Bundaaa ...."

"Waalaikumussalam, Dek,"tegur Bunda halus

"Eh iya, assalamualaikum, Bunda," jawab Nida, nyengir.

Ia pun terlarut dalam obrolan dengan sosok yang melahirkannya itu. Nida dengan semangat bercerita kisahnya di pondok. Antusiasnya ikut naik saat Bunda menyebut-nyebut soal MTQ pusat.

"Bunda ... Adek mau minta doa," tutur Nida pelan.

"Nggak perlu diminta udah bunda doain kok, Dek."

Nida terdiam sebentar, seberkas haru menyeruak dalam hatinya.

"Adek jadi ikut olimpiade tingkat kabupaten tiga minggu lagi," sambung Nida.

Terdengar suara helaan napas di seberang sana, "Ikut lomba terus, Dek. Hafalannya gimana?"

Pertanyaan Bunda sukses membuat Nida terdiam. Ia menghela napas berat. Ah, ya ... ia hampir terlupa. Ada satu amanah besar yang harus ia perjuangkan lebih dari amanah-amanah lainnya.

——————————————
Catatan :
*Tashdiq adalah lafal 'Shodaqallahul 'Adzim'
————————————————
Author's Note :
Huhu, maafkan baru sempat update 😭😭😭
Iya, ini lagi hectic banget sama tugas kuliah. Maaf ya, lapak ini jadi terbengkalai 😢

Well, masih ada dua bab lagi yang harus di-rewrite. Dan aku berniat memprivate random chapter buat keamanan. Part-part khusus pov Bang Hilmi, mungkin?

Oh iya, sejauh ini gimana sih pendapat kamu tentang cerita ini? Terus, siapa sih tokoh yang kamu tunggu-tunggu kemunculannya?

Buat voter yang diem-diem vote tanpa komen, leave comment-nya doong ... 😆
Buat silent reader yang cuma numpang baca, boleh kali vote sama komennya 😅
Nah, khususnya buat para reader yang cuma bisa ngintip cerita ini via browser dan gak bisa vote atau komen karena nggak punya akun, buruan bikin akun, gih. Nggak bakal rugi, kok! 😂😂😂

Salam Sayang,
@adzkyaa_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top