5. Galau Positif
Bagi Penghafal Qur'an, hafalan yang macet jauh lebih menyesakkan daripada putus cinta
Dengan napas putus-putus Nida berhasil sampai ke depan kamar. Meski agak terlambat karena Riza sudah melesat menuju lemarinya di pojok ruangan.
"Ulya! Jangan kasih tas ana ke Riza!" Nida masih sempat berteriak agar Ulya, sahabatnya menyelamatkan tas kesayangannya dari raihan Riza.
Riza yang sudah mengendap-endap menuju lemari Nida berseru sebal. "Yah Ulya ..." sahut Riza putus asa saat Ulya sudah menyembunyikan ransel Nida di balik punggungnya.
Nida menghampiri dua sahabatnya dengan tawa geli yang ia tahan. Jujur saja, baru kali ini Nida bertindak impulsif seperti ini. Mungkin terbawa pengaruh keluhan Bang Hilmi tadi malam. Entahlah, sudut hati Nida merasa ia harus sedikit tegas tentang hubungan sahabat dan sepupunya ini.
"Emang anti tahu apaan yang ana cari di situ?" tanya Riza sebal sambil bersedekap.
Ulya menggeleng pelan, seringai tipis mulai muncul di bibirnya. "Nggak, ana emang nggak tahu ada apa di tas ini. Tapi yang jelas, kalo sampe Nida lari-lari nyegah anti ngambil ini, bisa dipastikan ini sesuatu yang lain dari seseorang."
Masih menahan tawa, Nida menarik tangan Riza agar ikut duduk. "Udah sih, Za. Nggak usah diambil kadonya. Nggak bakal ana buka juga kali. Ntar kalo dijenguk ana balikin lagi ke Dzaki," ujar Nida usil.
"Ih, kalian kok tega, sih ... sama temen sendiri. Kepo berat, nih!" sahut Riza dengan bibir manyunnya.
Nida mengangkat bahu jengah. Riza dalam mode kepo masih lebih mudah dihadapi ketimbang Riza yang sedang dalam mode kasmaran. Serius, linguaholic satu itu akan kehilangan fokusnya selama beberapa hari jika sudah dilayangkan kata-kata dari surat nggak pentingnya si Dzaki. Kalau sudah begitu, Nida dan Ulya harus berjuang keras 'mengembalikan' Riza pada koridor yang benar.
"Masih mending lihat anti kepo berat, Za ... daripada ntar galau gara-gara surat si Biang Kerok itu," Nida mendengkus sebal. "lagian nih, ya. Hari gini masih galau gara-gara cowok? Duh, nggak banget deh."
Ulya ikut tersenyum geli melihat ekspresi Riza. "Galau yang bener itu ... kalo hafalan nggak nambah-nambah terus muraja'ah ikutan kacau. Nah, itu baru boleh galau beneran," tambahnya.
"Iya dah iya ... para malaikatku tersayang." Riza berkata pasrah masih tak rela.
"Kita cuma nggak mau anti dapet hukuman lebih banyak tahun ini, Za," ujar Nida sambil merangkul bahu Riza.
"Kalo kita emang nggak sayang, kita bakal nggak peduli mau berapa kali pun anti diseret Kak Afra ke ruang sidang." Ulya menyahut sambil meraih tangan Riza.
Riza menghela napas pelan. Raut wajahnya yang sedari tadi sebal mulai berangsur normal. Tanpa kata, Riza merangkul dua sahabatnya erat.
*---*---*
Nida menghela napas panjang. Udara dingin pagi yang seharusnya mampu menjernihkan pikiran, kali ini tak bekerja dengan baik untuk Nida. Sejak awal masuk halaqoh ia sudah menempatkan diri di ujung ruangan. Antara berusaha konsentrasi dan menghindar dari jarak pandang Ustadzah. Entahlah, yang jelas Nida butuh lebih banyak ketenangan saat ini.
Ia kembali memusatkan pikiran pada dua halaman terakhir surat Maryam. Sudah berkali-kali Nida berusaha merekam huruf demi huruf dalam benaknya, tapi tetap saja ayat-ayat itu tak terbayang jelas. Nida menghela napas bergetar. Ya Allah, sedemikian banyakkah dosa hamba hingga terasa amat sulit melafalkan ayat-ayat-Mu, kesah Nida dalam hati.
Bagi penghafal Qur'an, tak perlu cowok sekeren Muzammil Hasballah untuk benar-benar mematahkan hati mereka. Hafalan baru yang entah bagaimana terasa sulit terbenak dan dilafalkan jauh lebih bisa membuat hati retak dan sesak. Nida kembali menghela napas juga memandang ke langit-langit ruangan, mencegah bulir-bulir yang berebut menetes. Bagaimana ini? Apa yang harus ia setorkan pada ustadzah nanti?
"Nida!" Suara lembut milik Ustadzah Rachma membuyarkan lamunan Nida. Ia bergegas maju setelah menyadari hanya tinggal dirinya lah yang belum menyetorkan hafalan.
"Bismillahirrohmanirrahiim."
Perlahan dan penuh pasrah, Nida memulai. Ayat-ayat awal terasa ringan di lisannya. Setelah melewati setengah halaman pertama, Nida mulai tersendat. Ia menghela napas, mencoba mencegah airmata yang hendak tumpah. Saat Nida memulai kembali, bulir bening yang tertahan meluncur membasahi pipinya. Gadis berparas manis itu tersedu di ujung ayat. Ayat selanjutnya tak lagi terbetik di benak. Gelombang sesak luar biasa memenuhi dadanya. Rabbi ... kesahnya perlahan dalam hati.
Ustadzah Rachma mengusap pundak Nida yang mulai bergetar. Lantas menghapus bulir-bulir bening yang menjejak di pipi putih Nida.
"Jangan dipaksain, Nid. Ustadzah tahu kok, anti udah berusaha maksimal. Barangkali, surat Maryam-nya masih pengen diulang lagi," sahut Ustadzah Rachma lembut.
Nida hanya mengangguk. Itu artinya ia harus sudah lancar saat menyetorkan hafalan sore nanti. Sambil menghapus air matanya, Nida kembali ke tempat duduk semula.
Ulya sudah menyambutnya dengan senyum simpati."Surat Maryam-nya belum mau anti pindah ke lain hati kali, Nid. Masih kangen dianya."
"Nah, iya. Surah Maryam-nya belum mau diduain sama Thaha yang nggak kalah rumit," sambung Riza iseng.
Ulya terlihat melayangkan pandangan sebal pada Riza. Si usil itu hanya nyengir sok polos. Ujung bibir Nida refleks terangkat. Interaksi dua sahabatnya berhasil memperbaiki sedikit suasana hatinya.
Tangan Ulya mengusap lutut Nida lembut, "Inget nggak, Nid? Ustadzah Rachma pernah bilang, kalo hafalan kita macet, itu artinya sebentar lagi lancar. Asal kita nggak nyerah aja terus ngelancarinnya."
Nida mengangguk pelan. Kedua sahabatnya benar. Al-Qur'an itu pencemburu, ia takkan mau diduakan dengan yang lain. Sedangkan kelancaran hafalan bukan hanya terletak pada kecerdasan, tapi juga hati yang tulus. Laksana batu keras yang terus-menerus ditetesi air, suatu saat hafalan yang macet tadi akan lancar. Asal tak mudah menyerah memperjuangkannya.
Hafizh Al-Qur'an itu mulia, bukan saja karena terbawa oleh kemuliaan Al-Qur'an. Tapi lebih pada kesungguhan, cita-cita dan niat tulus yang teruji. Jika baru sampai setengah perjalanan Nida sudah menyerah, bagaimana mungkin Allah mengamanahkan seluruh Al-Qur'an ke dalam hatinya?
*---*---*
Langit biru tampak memesona sejauh mata memandang. Semilir angin sore menerpa wajah Nida perlahan. Gadis berparas manis itu melayangkan pandangannya pada arakan awan yang bergerak amat perlahan. Ia menghela napas, mengayunkan kakinya yang berada di pinggir gazebo. Perhatiannya kembali pada mushaf coklat di pangkuan. Sudah satu minggu berlalu sejak awal semester dimulai. Dan Nida masih berkutat dengan tujuh halaman istimewa milik Surat Maryam.
Tak terlalu sulit sebenarnya, hanya saja ayat-ayat yang cukup pendek serta kata-kata yang agak asing membuat Nida harus berusaha ekstra. Nida kembali menghela napas, berkonsentrasi mengulang dari awal surat.
"Tilkal jannatullati nuritsu min 'ibadina man kana taqiyya." Suara Nida terhenti. Bukan, bukan karena ia tak ingat apa lanjutan ayat ke-63 itu. Hanya saja, selintas kesadaran entah bagaimana terbenak dalam pikirannya. Itulah surga yang kami wariskan kepada hamba-hamba kami yang selalu bertakwa. Nida tertegun, ayat tadi sungguh menyentil sudut hatinya. Nida tak tahu, kelak akan termasuk golongan tersebut atau bukan. Atau justru termasuk golongan yang berlutut di neraka karena kezhalimannya.
Nida kembali menghela napas, mencoba mengusir sesak yang hinggap di dada. Entahlah, Nida merasa sudah terlampau zhalim pada dirinya sendiri. Mulai dari hafalannya yang kacau balau, mood yang hilang saat hendak menambah hafalan. Belum lagi dirinya yang saat liburan gampang menyerah ketika menghafal Surah Maryam dan memilih untuk melakukan aktivitas lain.
Dengan suara bergetar, Nida melanjutkan hingga akhir halaman.
"Shodaqollahul 'azhim." Nida baru saja hendak menutup mushaf kesayangannya saat sebuah suara terdengar protes.
"Eh? Kok udahan sih, Nid? Nanggung juga, dua halaman lagi." Itu jelas suara Riza, dengan intonasi kecewa khas miliknya. Rupanya Riza sudah sedari tadi menyimak bacaan Nida dan duduk di sebelahnya.
Nida hanya mengangkat bahu pelan. Seringai tipis ikut menghiasi bibirnya.
"Dua halaman terakhir belum lancar. Masih rada ngadat," sahut Nida sekenanya.
Riza hanya membalas dengan memanyunkan bibirnya, sebal. "Lagian yah, Nid. Surat Maryam mah, nggak ada sepertiganya Al Furqon, Al Qosos, Al Anbiya'. Perasaan, ana lebih pusing ngafalin yang tiga itu ketimbang Maryam."
Nida hanya mengangkat bahu menanggapi ucapan Riza. Jelas, kesulitan dalam manghafal bagi setiap orang berbeda-beda.
"Ya jangan disama-samain, Za," sahut Ulya dari tempat duduknya di sudut gazebo.
"Masing-masing penghafal punya kesulitan sendiri-sendiri. Mungkin menurut anti Maryam itu mudah, tapi bagi Nida nggak. Menurut ana Al Qosos itu seru, bagi anti--" Belum lagi Ulya genap menyelesaikan kata-katanya sebuah buku sudah melayang ke arahnya.
"Ulya!" ujar Riza dengan wajah merah.
Kening Ulya tampak berkerut heran, sedang ujung bibirnya tampak menyembunyikan senyum. "Apa?"
Nida tertawa kecil. Ia masih ingat betul. Dua bulan sebelum ujian semester yang lalu, Riza mendadak rajin. Tahajjud paling awal lantas terus muroja'ah hingga subuh. Padahal malamnya Riza juga sudah pulang larut. Di sela-sela jam pelajaran Riza tak berisik seperti biasanya, namun justru terus sibuk dengan mushaf di tangan. Nida dan Ulya tak bertanya kenapa Riza mendadak 'aneh'. Dan semuanya terjawab saat Riza tersedu seusai sholat Hifzil Qur'an.
"Ana nggak ada maksud apa-apa, Za. Cuma ngumpamain aja," sahut Ulya kalem. Hilang sudah ekspresi jahilnya tadi.
Riza hanya mengerucutkan bibirnya sebal."Kayaknya surat-surat yang bercerita tentang kisah-kisah cenderung susah, ya?"celetuk Riza mengalihkan topik.
"Nggak juga, buat ana Yusuf nggak susah," sahut Nida sambil nyengir lebar.
Riza terlihat memutar mata, "Yaiyalah ... itu kan juga gara-gara anti nyimak hafalan Bang Hilmi sebulanan," ledek Riza sebal.
"Hmm, sebenernya nggak bisa dipukul rata kayak gitu sih, Za," sahut Ulya.
"Ada surat-surat yang bercerita tentang kisah, tapi kata-katanya familiar. Ada juga yang kata-katanya khusus cuma ada di surat itu. Kayak di Yusuf, Al Qosos. Mungkin, karena kita jarang ngebaca ayat itu sebelum ngafal. Bagi kita, kata-kata tadi agak asing. Belum ada bayangan sama sekali di benak. Jadilah rasanya susah," lanjut Ulya.
Riza mengerucutkan bibir, "Iya, sih ... semakin familiar suatu ayat, kadang tanpa melalui proses menghafal, ayat-ayat tadi sudah ada di benak kita. Kayak Al Fatihah misalnya, atau halaman pertama Al Baqoroh. Bahkan, orang-orang yang nggak pernah sengaja ngafalin, bisa hafal. Karena otak kita cenderung lebih mudah mengingat sesuatu yang sering didengar, juga diulang."
"Eh, tapi itu kan soal ziyadah, nambah hafalan. Kalo ngulang tuh, kadang udah dipantengin lama-lama, belom lancar juga," sambung Nida heran.
Ulya membenahi duduknya. "Nah, itu bisa jadi karena kita ngulangnya udah campur jengkel, sebel karena nggak lancar-lancar. Umpamanya, nih, kalo kita lagi sensi, lagi bete, sebel. Orang aja males deket-deket sama kita. Apalagi Qur'an."
"Lagi-lagi soal hati ya, Ya," sahut Riza.
Ulya mengangguk takzim. "Inget gak kata Ustadzah Rachma, ngafal bukan cuma soal kecerdasan. Tapi juga hati. Gimana caranya kita jadiin hati kita terus kangen sama Qur'an, kalo nggak ketemu sehari rasanya ada yang kurang."
"Kayak galaunya Riza waktu nggak dapet surat dari Dzaki, tuh," ledek Nida usil.
Riza mencubit hidung Nida gemas, "Ish, apa sih?!"
Nida dan Ulya tertawa kecil melihat ekspresi Riza.
"Kalo buat anti, Ya. Surat apa yang paling bikin geregetan waktu ngafal?"tanya Riza mengalihkan topik.
Ulya tampak berpikir sejenak, "Umm ... kalo ana sih juz 25 ke atas. Selain karena ayatnya pendek-pendek, ada banyak kata yang kurang familiar juga."
"Ulya mah, susah di 25, tapi juz-juz depan lancar, mutqin. Kan, Ulya udah start ngafal dari SMP," sahut Nida.
"Aamiin, beneran mutqin. Walaupun ya, kelancaran hafalan kita itu nggak bergantung sama berapa lamanya kita ngafal. Tapi, seberapa sering kita berinteraksi sama Qur'an," jelas Ulya.
Nida sadar, ranah yang ia tapaki ini tidak pernah mengenal senioritas. Selama apapun seseorang menghafal, bertahun-tahun, atau selesai hanya dalam hitungan bulan, tak ada yang bisa menjamin hafalannya terjaga dengan utuh. Tidak sama sekali. Siapa saja yang senang berlama-lama dengan qur'annya, dialah yang lebih kuat hafalannya. Seperti apapun perjuangan seseorang dalam menghafal, takkan ada artinya jika ia tak berjuang untuk menjaganya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top