4. Hadiah Terlarang
Jatuh hati bukanlah suatu kesalahan, hanya saja langkah yang kita ambil setelahnya seringkali menjebak kita dalam kesalahan
Tubuh Nida menegang. Sebuah suara familiar memanggilnya saat mobil yang ditumpangi Dzaki dan Bang Hilmi baru saja keluar gerbang.
"Nida!"
Suara langkah kaki terdengar mendekat. Meski berat hati, Nida bergegas membalikkan badannya pada sosok yang kini tengah berjalan menghampirinya.
"Kenapa, Za?"
Dengan wajah cemberut, Riza menyahut, "Tomaten auf den Augen haben."
"Ha?" Nida mengernyitkan kening. Asli bingung bahasa apa yang barusan keluar dari celetukan sahabatnya ini. "Itu bahasa planet mana, Za?"
Riza refleks tertawa gemas mendengar tanggapan Nida. Gantian Nida yang mencebikkan bibir sebal.
"Jerman. One of awesome language yang baru ana pelajarin liburan kemaren." Nada suara Riza terdengar bangga.
Ah iya, Nida lupa. Si linguaholic satu ini sudah cerita dari jauh-jauh hari tentang bahasa yang selanjutnya ingin ia pelajari. Sudah bukan hal aneh, jika tiba-tiba Riza menyapanya dengan bahasa yang baru dipelajari.
Dahi Nida berkerut menanggapi awal kalimat Riza. "Eh, tunggu. Anti belajar berapa bahasa liburan ini?"
"Dua. Jerman sama Prancis. Tadinya mau barengan Rusia juga. Tapi rada susah cari link-nya." Riza hanya menanggapi ringan pertanyaan heran dari Nida.
Nida hanya memandang Riza dengan tatapan takjub. Sampai sekarang ia masih tak habis pikir. Bagaimana sahabatnya satu ini mempelajari bahasa baru dalam waktu singkat? Bahkan Riza hanya butuh waktu setengah semester untuk mempelajari bahasa Arab beserta kaidah-kaidahnya.
"Jadi, apa artinya tadi itu?"
"Coba aja cari di google translate." Usil Riza sambil nyengir lebar tanpa rasa bersalah.
Nida memutar matanya kesal. Riza memang sengaja sekali membuatnya penasaran.
Riza hanya cekikikan geli. "Ah, anti nggak asik banget sih, Nid. Masa baru begitu aja udah nyerah. Oke, oke. Yang tadi itu idiom. Artinya kira-kira: untung ana sayang Nida. Jadi walaupun sebel karena nggak info-info kalo Dzaki mau ke sini, ana tetep sayang," ujar Riza sambil memeluk sebelah lengan Nida.
Nida menahan tawa mendengar ucapan Riza. Ia jelas tak ingin sesuatu terjadi jika sahabatnya itu tahu Dzaki dan Bang Hilmi kali ini mengantarnya ke pondok. Setiap kali perpulangan sehabis liburan seperti ini, biasanya mereka memang singgah dulu ke pondok pusat. Karena memang jarak pondok pusat dengan rumah Nida lebih dekat. Berhubung kemarin mereka bertiga menginap di rumah Buya, otomatis rute pengantaran berubah.
"Liayyi syai'? Buat apa? Biar kalian bisa mojok gitu, mumpung ini hari sibuk dan pengurus Imarah Thalibah nggak patroli?" sahut Nida setelahnya.
"Ya ... kesempatan jarang dateng dua kali, Nid. Selagi bisa ketemu pa-- hmmp." Kata-kata Riza yang blak-blakan dan tidak pandang tempat itu terhenti saat Nida membekap mulutnya tanpa aba-aba. Riza mendelik sebal, Nida mengisyaratkan pada dua sosok yang berjarak tak sampai sepuluh langkah dari tempat mereka berdiri saat ini.
"Nida, Riza. Kaifa halukuma? Gimana kabarnya nih, pada abis liburan?" Kak Afra, sosok yang membuat Nida refleks membekap mulut Riza tadi kini menyapa mereka berdua.
"Khoir, Kak. Tapi masih kurang liburnya," sahut Riza basa-basi. Ini masih awal semester, ia tak ada minat berurusan dengan sosok paling penting dalam puncak kepengurusan Imarah Thalibah ini.
Tatapan tajam Kak Afra terarah sempurna pada Nida. Membuat suasana di sekitar mereka terasa lebih dingin. "Oh iya, Nid. Kalo mau ngajak abang, bisa kali nggak harus hari perpulangan gini. Bukan apa-apa, nggak enak aja ngeliat anak putra berkeliaran di pondok putri. Lagipula, bukannya anti terbiasa balik dari perpulangan ke pondok sendiri, ya? Harus banget gitu bawa anak putra?" ujar Kak Afra bernada satir dengan tatapan dingin miliknya.
Nida menelan ludah gugup. "I--iya, Kak. Tadi kebetulan lewat pondok putri dulu, jadi nganter Nida duluan."
Kak Afra hanya mengangguk singkat, berbasa-basi pamit lantas berjalan meninggalkan Nida dan Riza yang sudah mulai keringat dingin.
Nida menghela napas lega. Ketua Imarah Thalibah yang satu itu selalu mampu membuat siapa saja bergidik ngeri hanya dengan melihat sosoknya. Nada bicaranya yang tak jauh-jauh dari satir dan sarkas juga tatapan matanya yang membekukan sudah lebih dari cukup membuat para pelanggar berkeringat dingin bahkan sebelum ia bicara. Apapun yang terlihat salah di matanya, akan langsung ia koreksi tanpa basa-basi. Meski Nida selalu yakin apapun yang ditetapkan peraturan pasti ada hikmahnya, tapi kali ini Nida jelas-jelas tak bisa menahan kesalnya.
Bang Hilmi bahkan baru pertama kali menginjakkan kaki di pondok putri dan Kak Afra sudah bertindak seakan hal itu bisa menghancurkan pondok ini dalam sekejap.
"Ya Allah, kapan si Penyihir Putih itu turun jabatan. Udah nggak kuat ngadepin sikapnya yang strict tingkat langit," kesah Riza terang-terangan sambil menyamakan sosok yang tak lagi berada dalam jarak pandang mereka dengan tokoh jahat di film Narnia.
"Itu baru soal Bang Hilmi, Za. Gimana kalo tadi beliau denger soal anti yang nyebut Dzaki pacar? Atau bahkan ketemuan beneran?" Nida menggelengkan kepalanya. "Ini masih terlalu pagi buat dapet detensi."
Riza mengangguk setuju. "Ngomong-ngomong soal Bang Hilmi, ada sesuatu yang pengen ana sampein nih, Nid."
"Apaan?" tanya Nida agak penasaran, ia dan Riza sudah sedari tadi bergegas meninggalkan titik angker tempat mereka berdiritadi.
Riza menghela napas sebentar. Seolah hendak mengatakan suatu hal yang serius. "Bilangin ke Bang Hilmi, jadi cowok jangan terlalu perfect. Kasian kita-kita yang cuma bisa jadi penggemar rahasianya. Takut patah hati kalo beliau punya pasangan halal nanti," celetuk Riza sambil nyengir lebar.
"Lebay ...." sahut Nida sambil membuat corong dengan kedua telapak tangannya.
"Bukan ana doang kali yang lebay. Masa sih, anti nggak denger kasak-kusuk anak-anak tadi waktu Bang Hilmi di sini?"
Nida memiringkan kepalanya sejenak."Iya, tahu. Sampe pengang nih kuping denger obrolan kepo mereka."
"Makanya ... kalo punya abang tuh jangan perfect-nya kebangetan kayak Mas Gagah. Pusing sendiri kan, jadinya," ledek Riza usil.
Nida tertawa kecil mendengar perumpamaan yang Riza ujarkan. Siapa tadi yang Riza bilang? Mas Gagah? Nida membandingkan karakter kece di film 'Ketika Mas Gagah Pergi' itu dengan Bang Hilmi dalam pikirannya. Ganteng, jelas. Cerdas? Nggak perlu diragukan lagi, Bang Mi sudah tiga kali berturut-turut menempati peringkat teratas di angkatannya. Keren? Jangan ditanya, seisi pondok tak akan heboh sampai membuat Kak Afra mendesis sadis kalau abangnya yang tersatu-satunya itu tak terlihat keren. Ah, ya ... tambahkan juga karisma dan pesona senyum tipis Bang Hilmi yang akan selalu diributkan anak-anak tiap kali Bang Hilmi terlihat di sekitaran pondok putri. Jangan lupa pula dengan suara menenangkan Bang Mi saat mengaji, juga sederet prestasinya di ranah MTQ.
Bagi Nida, Bang Hilmi bahkan lebih hebat dari Mas Gagah – sosok yang disebut-sebut sebagai abang terbaik yang bisa diminta seorang adik perempuan – dan juga jelas lebih keren dari Hamas Syahid Izzuddin, aktor yang memerankannya. Karena bagi Nida, meski Bang Hilmi tak sekeren dan seterkenal sekarang ... Bang Mi tetaplah abang terbaik. Detik ini, ataupun bertahun-tahun nanti.
Sebersit tanya terlintas di benak Nida. "Bentar deh, Za. Ana tuh suka bingung tahu sama anti. Pacaran sama Dzaki, tapi yang dipuji-puji dari tadi Bang Hilmi."
"Yah, mau gimana lagi, Nid? Pengennya sih jadi gebetannya Bang Hilmi. Tapi karena kayaknya gak mungkin ... yang ada ajalah," sahut Riza masih dengan cengiran yang sama.
Tawa Nida kembali lepas mendengar penuturan Riza. Mereka kini sudah menaiki tangga menuju kamar.
"Eh iya, Nid. Si Dzaki ada titip kado, nggak?"
Nida menggeleng pelan. Memang sepupunya itu tidak menitipkan apapun, kan? Dzaki saja yang sembarangan meletakkan entah apa di ransel miliknya. Riza hanya memanyunkan bibirnya sebal. Sambil bergumam entah apa dengan bahasa yang tak bisa dideteksi Nida.
"Lagian nih, Za. Buat apa sih, anti pacaran? Sama Dzaki, lagi. Terus pake acara surat-suratan pula di pondok."
Mata Riza mengerjap. Dengan semangat ia menyahut,"Awalnya ana penasaran aja, sama vokalis acapella yang sok cool itu. Berhubung si Dzaki nembak, ya udah ana terima. Tapi sekarang ... " ucapan Riza terhenti. Ia tampak seperti memikirkan sesuatu.
"Apa?" Tawa geli Nida tak bisa lagi ia tahan. "anti mau ngomongin soal hati dan perasaan lagi?"
"Za, jatuh hati nggak pernah salah. Kita juga nggak bisa nyetel kapan dan sama siapa kita jatuh hati. Tapi ... kita selalu punya pilihan. Langkah apa yang kita ambil setelah kita jatuh hati. Apakah langkah itu akan membawa kita pada kesalahan atau kebaikan," lanjut Nida dengan senyuman tipisnya.
"Ya, ya, ya. Fiks, Malaikat ana nambah satu tahun ini," sahut Riza sambil menghela napas malas.
"Jadi, Nid ... di mana ransel abu-abu kesayangan anti itu? Karena tadi sebelum hp ana dikumpulin, Dzaki sempet WhatsApp kalo kadonya ada di ransel anti," lanjut Riza sambil nyengir kuda dan segera mengambil langkah seribu ke kamar.
"RIZA!"
Nida berusaha mengejar Riza menuju kamar. Jangan sampai hadiah terlarang itu diambil Riza. Nida belum sanggup menghadapi tatapan maut Kak Afra di ruang sidang jika ada mata-mata yang melaporkan hal ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top