3. Di Balik Sorotan Kagum
Cukuplah seseorang dianggap buruk bila jari-jari diarahkan padanya mengenai urusan agama dan dunia, kecuali orang yang dijaga Allah
(H.R Tirmidzi)
Hilmi menghela napas pelan. Pandangan matanya masih menyusuri deretan rumah yang kini berganti dengan beberapa sawah di sepanjang jalan. Ada seberkas resah yang kembali menyusupi hatinya. Semakin sering ia abaikan, celakanya semakin keras pula kenyataan itu menghantam kesadarannya. Tatapan-tatapan itu, suara-suara obrolan itu, binar-binar kekaguman itu ....
Ia menutup matanya sejenak. Tiga tahun lalu, saat memutuskan untuk melangkahkan kaki memasuki gerbang Raudhatul Huffazh, tak pernah terbetik sedikit pun di benak Hilmi ia akan sampai pada titik ini. Yang ia tahu saat itu, ia hanya ingin menyiapkan jubah dan mahkota terbaik untuk kedua orang tuanya. Tak lebih, tak kurang. Apalagi berharap menjadi salah satu Hafizh andalan Ruha seperti saat ini.
Gumpalan sesak tanpa ampun menerjang dadanya lagi. Seperti beban berkilo-kilo beratnya ditimpakan di atasnya dalam sekejap. Rabbi ... apa yang sebenarnya sudah hamba lakukan hingga mendapat ujian seberat ini? bisiknya merana dalam hati. Bukan, bukannya tak bersyukur atas apa yang telah ia peroleh hingga saat ini. Hanya saja, Hilmi mulai merasa segalanya sudah terlalu berlebihan. Meski ia berusaha menulikan telinga dan mengabaikan pandangan, tetap saja tatapan dan bisik kekaguman itu tertangkap oleh indranya.
Ya, katakan saja ia bodoh. Mungkin orang lain akan mencibir keresahan hatinya karena popularitasnya. Tapi, cobalah kalian berdiri di sini. Tepat di bawah sorotan kagum orang-orang yang mengenal kalian di manapun. Popularitas bukan hanya tentang ketenaran. Percayalah, ada banyak hal yang jauh lebih berat dibanding pujian juga tatapan kagum orang-orang.
Ia hanya lelah. Sungguh-sungguh lelah. Jika tidak teringat amanah yang masih harus ia emban enam bulan ke depan, Hilmi mungkin sudah lama menyeret koper meninggalkan pondoknya. Mungkin melanjutkan belajarnya di suatu tempat yang asing. Di mana tak seorang pun tahu dan kenal siapa dirinya.
Lamunan Hilmi teralihkan oleh suara dengkusan Dzaki yang terdengar terlalu keras. Wajah sebal sepupunya membuat senyum geli terselip di ujung bibir Hilmi.
"Udah sih, Ki. Ente nggak bakal sekarat kok, nggak megang tab di detik-detik terakhir ke pondok," ujar Hilmi usil. Selalu menyenangkan melihat wajah sebal Dzaki jika sedang tidak berada di ruang sidang. Lain cerita jika raut ogah-ogahan itu ia lihat saat sidang hukuman berlangsung. Hilmi selalu ingin menyeret Dzaki ke hadapan Buya saat itu juga.
Dzaki mendengkus kesal. "Nggak adil, Bang! Belum tentu juga titipan tadi diserahin Nida, kan? Kalo ternyata nggak ada kasus apa-apa nantinya, Abang udah zholim ke ana loh, ya."
Hilmi menaikkan sebelah alisnya heran. Respon Dzaki agak sedikit aneh menurutnya.
Sosok di sebelahnya menyipitkan mata. "Jangan abang kira ana nggak tahu apa-apa soal bisik-bisik kalian kemarin malam." Membuang muka, Dzaki mengalihkaan pandangan ke jendela mobil.
Hilmi menghela napas. Selalu seperti ini. Dzaki dengan emosinya yang meledak-ledak selalu bersikeras menyebut dirinya berada di sisi yang benar. Tanpa mau tahu resiko apa yang kelak akan ia dan orang-orang sekitarnya tanggung.
"Ma aradna illa ishlah. Nggak ada sejarahnya seorang saudara pengen saudaranya yang lain kejebak dalam kesalahan. Kita cuma pengen kamu jauh-jauh dari masalah, Ki. Berhenti jadi trouble maker. Udah saatnya kamu berubah lebih serius menjalani sisa studi di Ruha," tutur Himi melembut. Tak lagi terselip nada menggoda dalam suaranya. Ia bahkan menghilangkan formalitas dalam panggilannya. Kini ia berbicara sebagai seorang sepupu, bukan ketua Imarah Thullab yang sedang menyidang seseorang.
Masih memalingkan wajah, Dzaki menyahut sebal, "I've told you before. Nggak usah didesak-desak, nggak perlu didorong-dorong. Aku bakal nyampe ke titik itu. tapi biarin aku ke sana dengan caraku!"
"Terserah. Tapi yang jelas, kamu nggak bakal nemuin Bang Mi di sidang mana pun semester ini," sahut Hilmi dengan nada menyerah.
Dzaki menoleh, sorot terkejut dan heran tergambar jelas dari matanya. Mengangkat bahu, Hilmi mulai menjelaskan maksud perkataannya sebelumnya. "Abang kena SP satu dari pengasuhan kemarin, sebelum liburan."
Terkesiap, Dzaki berseru dengan penuh keheranan dalam suaranya, "Loh? Kasus yang mana, Bang?"
"Semua kasus kamu selama satu tahun kemarin. Sejak abang jadi kader keamanan."
Dzaki mendengkus gusar. Hilmi merangkul pundak sepupunya erat. "Udah, yang penting sekarang. Kamu jauh-jauh dari ruang sidang. Abang nggak tahu apa yang disiapin Alvi cs kalo sampe kamu kena pelanggaran berat lagi. Blacklist dari MTQ, may be?"
Mencebikkan bibir, Dzaki kembali melempar pandangan ke luar jendela. Hilmi menyerahkan tab putih yang tadi ia ambil ke pangkuan Dzaki. "Terakhir. Sampe gerbang pondok, serahin ke abang lagi."
Hilmi kembali mengarahkan pandangannya pada pemandangan di tepi jalan. Kilasan memori berkelebat dalam benaknya tanpa bisa ia cegah. Satu tahun yang lalu, dengan napas tersengal Hilmi terburu-buru menuju kantor pengasuhan. Sejak saat itulah, berbagai amanah susul-menyusul membebani pundaknya. Mulai dari dipercaya mewakili Ruha dalam lomba-lomba hingga tingkat provinsi, dipilih menjadi kader keamanan saat belum ada teman angkatannya yang dipercaya ikut dalam kepengurusan. Hingga amanah berat yang ia terima setengah tahun yang lalu.
Dan sampai saat ini, segumpal resah itu masih saja betah menempati sudut hati. Takut, ia amat takut. Takut jika amanah yang diberikan padanya tak terlaksana dengan baik. Takut jika kebijakan yang ia buat membuat hati seseorang sakit. Takut jika ketenaran dirinya kelak akan menutup matanya dan membuat rasa bangga diri mendominasi relungnya.
Hilmi memejamkan mata yang terasa perih. Cukuplah seseorang dianggap buruk, sabda Rasulullah. Jika jari-jari diarahkan padanya tentang urusan dunia dan akhirat, kecuali orang yang dijaga Allah. Bagaimana pula ia tak resah? Sedangkan ia bukanlah siapa-siapa. Amanah bisa saja membuatnya semena-mena, popularitas bisa saja membuatnya lupa diri, kepercayaan para asatidz bisa saja ia salah gunakan.
Ia jelas tak pantas disandingkan dengan Nabi Yusuf alaihissalam. Tapi Hilmi sangat berharap perlindungan Allah pada dirinya serupa apa yang telah dianugerahkan pada nabi cerdas dan rupawan itu. Bahkan, baru satu saja cobaan serupa cobaan Nabi Yusuf menerpa dirinya, Hilmi sudah menggigil resah. Membisikkan sebuah doa, Hilmi meminta perlindungan dari segala bentuk khianat yang mungkin muncul di hatinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top