29. Best Brother Ever (1)

Teman mungkin datang dan pergi. Bahkan terkadang sahabat pun bisa mengkhianati. Tapi akan ada satu sosok yang selalu setia di sampingmu. Apapun keadaannya. Your sibling is your best friend. Ever.

"Ini beneran nggak ada yang bisa bantuin kita brainstorming nih?" nada putus asa Athifah terdengar menyesakkan.

Nida menghela napas panjang. Angkatan mereka sedang menghadapi masalah besar sekarang. Tahun ini, pertama kalinya Pentas Seni antara putra dan putri benar-benar dipisah. Jika biasanya konsep awal beserta hal-hal teknis lainnya sudah diatur pihak putra, kali ini mereka harus menyiapkannya sendiri sejak awal. Masalahnya, tak ada satu pun ide segar yang bisa diekstrak dari kepala anak-anak santriwati akhir yang sedang berasap dengan persiapan LPJ juga jam praktikum tambahan tanpa toleransi ini.

"Ustadzah Najmi lagi nggak di pondok, ya?" tanya Riza setelahnya. Bahkan otak eksentrik sekelas Riza saja clueless abis menghadapi masalah mereka ini.

Nida menggeleng, "Beliau lagi ikut pelatihan di Bandung selama weekend ini."

"Ustadzah Afra juga nggak available kan? Kita harus diskusi ginian sama siapa coba?" tanya Via lagi menambah atmosfer frustasi di ruang kelas yang mereka tempati.

"Iya, kita butuh at least satu pembimbing nih. Tahun kemarin pembimbingnya siapa deh?" Ulya bertanya mencoba mencari celah.

"Ustadz Syam. Ketua Pensi tahun kemarin? Ustadzah Najmi sama Ustadz Hilmi."

"Ngontak anak putra boleh nggak sih?" celetuk Riza yang disambut sorakan 'heeiii' bernada larangan dari seisi kelas.

"Bukan ane kali yang ngontak kalo boleh juga. Nida noh, colek Dzaki dikit bisalah yaa."

Nida menghembuskan napas sebal. "Pelit dia. Sejak liburan kemarin nggak ada cerita tentang pensi sama sekali. Bang Hilmi jangan ditanya. Pengabdiannya dimulai sejak abis wisuda. Langsung stand by di markaz tahfidz tiap hari." Keluh Nida lagi. Ia benar-benar merasa powerless saat ini karena sama clueless-nya dengan teman-temannya.

Keheningan kembali menguasai ruangan kelas ini. Para petinggi angkatan Cassieopeia kembali sibuk dengan pikirannya masing-masing.

"Coba, kita list dulu aja ide-ide yang udah ada sebelumnya. Senin nanti kita bisa diskusi lagi sama ustadzah Najmi."

Ulya baru saja akan menuliskan ide-ide yang mereka miliki saat Zahira tiba-tiba masuk ke kelas.

"Nida! Ada Ustadz Hilmi di bawah."

Nida langsung refleks keluar kelas begitu mendengar berita tadi.

"Alhamdulillah," sayup-sayup terdengar koor bernada lega yang dipimpin Riza dari dalam kelas.

Ia bergegas mengejar Bang Hilmi yang tampaknya akan keluar gerbang.

"Bang Mi!"

"Loh, ada apa Dek?" tanya Bang Hilmi dengan alis terangkat, heran. Meski sering bolak-balik antara pondok pusat dan puteri untuk urusan markaz Tahfidz, Nida jarang sekali memanggilnya tiba-tiba seperti ini.

"Abang lagi sibuk nggak?" Nida balik bertanya, was-was. Sejak tahu Bang Hilmi ditugaskan di markaz, ia berusaha untuk tidak mengganggu urusan pekerjaan abangnya itu. Nida hanya akan mengganggu Bang Mi kalau kebetulan abangnya itu datang ke Cikarang saat uang sakunya menipis.

"Sebenernya abang bakal di sini sampe ashar sih."

"Bantuin kita dong, Bang ...." Pinta Nida dengan nada memohon.

"Abang bisa bantu apa?"

*---*---*

"Ide kalian udah lumayan ini sebenarnya. Kenapa malah ragu?" tanya Bang Hilmi setelah mendengar paparan kandidat dua ide terkuat untuk Pentas Seni nanti.

"Tema grand atau bombastis itu bukan keharusan. Yang paling penting, gimana eksekusinya pas penampilan nanti. Siapa pembimbing kalian buat pensi ini?"

"Ustadzah Najmi, ustadz."

"Riza." Tegur Bang Hilmi saat mendengar nada ledekan dari sahutan Riza barusan.

Riza hanya tertawa tanpa suara dengan Nida di bangku mereka.

"Nggak usah panggil ustad lah. Tua banget saya kesannya. Panggil Akhi aja kayak biasa. Anak Granada juga manggil begitu. Asal jangan panggil abang, nanti Nida marah," usul Bang Hilmi ceria.

Nida mendengkus sebal saat mendengat tawa tertahan dari teman-temannya. Apa banget deh Bang Mi ini. Yang gangguin dia barusan kan Riza kenapa jadi aku yang kena balesan, coba.

"Akhi, Granada tema pensinya apa?"

"Sebenernya saya juga pembimbing mereka buat pensi kali ini. Diskusi terakhir itu masih pada ngotot ngangkat kejayaan Islam di Andalusia. Ya, kayak nama angkatan mereka. Great Knight of Alhambra, Granada. Tapi menurut saya, kisah jatuhnya Granada di Januari 1492 itu nggak terlalu impactful sebenernya. Kecuali kalo mereka mengangkat kisahnya utuh sejak awal berdirinya Nasirid Dynasty. Baru, drama mereka bakal bernyawa."

Nida menyadari keheningan takjub di sekelilingnya. Bahkan ia pun tak bisa membantah karisma Bang Hilmi jika sudah beraksi sebagai tutor seperti ini. Yah, Bang Hilmi bahkan bisa membuat seisi pondok puteri heboh hanya dengan eksistensinya. Apalagi sambil memberi penjelasan panjang-lebar seperti ini.

"Kalau tema kita, Akhi? Kira-kira ada tema buat drama seriusnya, nggak?"

Bang Hilmi tampak berpikir sejenak. "Tema mimpi, impian itu luas kan ya. Drama musikal kalian aja cukup sebenernya karena kerangka ceritanya udah rapi banget dibikin Ulya. Tapi kalo mau lebih berpengaruh, ambil sudut pandang mimpi anak-anak Palestina."

"Yaumul Nakba?" Nida merujuk pada hari yang diperingati setiap tanggal 18 Mei setiap tahunnya. Hari di mana penduduk Palestina terusir dari kamppung halamannya.

"Bisa pake referensi Yaumul Nakba. Tapi, jangan ambil sebagai peristiwa utuh. Potret after effect yang disebabkan oleh Yaumul Nakba. Kaitkan dengan mimpi anak-anak Palestina."

Bang Hilmi menambahkan sarannya dengan memutarkan sebuah video tentang anak-anaka Palestina.

"Kaif? Got it?"

Senyum puas terlukis di wajah anak-anak petinggi Cassieopeia.

"Eh, tapi kalian tetap harus diskusi ulang bareng Najmi ya soal ide kita ini. Mau gimana juga, saya kan bukan pembimbing resmi kalian."

"Yaaah ...."

Bang Hilmi tersenyum menyesal. "Anak Granada bakal protes keras kalau tahu saya bantuin kalian."

"Pasti Dzaki tuh yang rese," celetuk Riza tak terima.

"Kenapa, Za? Kangen yah?"

"Ciyeee~"

Riza hanya memasang muka bete saat diledek secara simultan seperti itu. Diskusi panjang kami berakhir saat suara murottal terdengar dari speaker isti'lam. Satu per satu petinggi angkatan meninggalkan kelas, menyisakan Nida, Riza dan Bang Hilmi.

"Bang, makasih banyak ya."

"Ck, kamu ini. Kenapa nggak ngomong dari liburan sih? Memangnya kalian nggak ada obrolan apapun soal pensi selama liburan? Kenapa nggak tanya Dzaki? Kenapa baru nanya abang sekarang?"

Nida memejamkan matanya sejenak. " Dzaki nggak mau bagi informasi. Sejak Nida pulang liburan, Bang Mi sibuk terus bolak-balik markaz. Dan ya, selama liburan Cassie belom ada ide sama sekali soal pensi, Bang. Kita baru tahu juga pensi dipisah awal semester ini."

"Anak Granada pelit, Bang. Sementang Ibnu ketuanya. Athifah aja nggak segitunya. Emang Cassie-Granada ada skandal besar apa sih?" protes Riza.

Tangan Nida refleks menjitak kepala sahabatnya yang cerewet ini. "Dih, nggak nyadar. Yang pake jilbab pelanggaran seminggu siapa woy?!" kesal Nida.

Jelas-jelas salah satu faktor dipisahnya Pentas Seni tahun ini adalah skandal pertemuan Riza-Dzaki tahun lalu. Yah, memang bukan satu-satunya kasus besar sih. Tapi setidaknya skandal pra-MTQ itu yang paling berpengaruh atas sengsaranya Cassie di Pensi tahun ini.

"Angkatan kalian itu unik, tahu." Bang Hilmi menyahut sambil mengikuti langkah mereka keluar kelas.

Nida menghembuskan napas kesal. Sudah tahu benar apa yang akan diungkapkan abang kandungnya itu setelahnya.

"Apa? Mau mempertegas predikat rebel angkatan 8? Makasih ya, Bang. Nggak perlu pengakuan dari seorang Imarah Thullab buat predikat 'prestisius' begitu. Kita sadar diri, kok," balas Nida sewot.

"Tapi rebel-nya kalian itu unik. Bandel-bandel berprestasi. Coba, dengan skandal sebesar itu Riza-Dzaki tetep bisa maju ke MTQ provinsi. Riza malah bareng kamu ke Nasional. Mana ada di angkatan lain yang kayak kalian."

"Yah, tapi tetep aja yang diinget semua orang cuma predikat 'rebel'-nya kita."

"Oh, soalnya predikat berprestasi udah diborong angkatan 7 semua."

Sorakan protes langsung dilayangkan Nida dan Riza kompak. Bang Hilmi hanya tertawa kecil dengan kerlip jahil di matanya.

"Ma'an Najah buat pensi-nya. Kalau luang, mungkin abang bisa liat pensi kalian. Jadi penasaran abis denger konsepnya tadi. To be honest, ide kalian masih lebih fresh dibanding angkatan Dzaki. Yah, kalo eksekusinya all out abang yakin bakal keren sih nanti."

"Bang Mi, makasih banyak." Nida memegang sebelah tangan abangnya saat sudah tiba di lantai bawah.

"Apa sih, Dek. Kayak sama siapa aja. Tadi Najmi juga chat gitu tahu abang lagi di sini. Jadi, diskusi kita barusan bisa dibilang semi-resmi lah ya."

"Jazakumullah Ahsanal Jaza', Ustadz. Serius, ini bukan ngeledek. Kalau nggak ada ustadz Hilmi hari ini, mungkin kita bakal kena sidang Ustadz Rizal besok malem. Atau yang paling buruk, pensi Cassieopeia bakal dibatalin," jelas Riza lagi.

Bang Hilmi mengangguk pelan. "Good luck. Semoga acara kalian lancar sampai hari H. Yang bener persiapannya. Kalian harus bisa kalahin skor anak Granada pas performance nanti."

*---*---*

*penebusan absen dua minggu, bab ini alya bagi dua karena kepanjangan 🙈

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top