28. Santriwati Kelas Akhir

Setelah hari pelantikan menjadi pengurus Imarah Thalibah, ada satu hari lagi yang amat dinanti sekaligus menjadi hari yang paling mendebarkan bagi seluruh santriwati Raudhatul Huffazh. Hari yang tidak hanya mengubah status mereka menjadi angkatan paling disegani di pondok, namun juga hari penentuan nasib perjuangan mereka selama empat hingga enam tahun bersekolah.

Hanya orang-orang bermental baja dengan daya tahan teruji yang bisa menghadapi hari ini. Hari di mana seluruh mata para pengajar akan semakin terfokus pada mereka, beserta rangkaian tugas berat yang harus diemban setelahnya. Hari penentuan itu akhirnya tiba. Yudisium Day angkatan 8 puteri Raudhatul Huffazh, angkatan Cassieopeia.

Nida tak bisa mencegah rasa antisipasi sekaligus was-was yang menderanya sejak tadi malam. Menurut isu dari kakak-kakak tingkat sebelumnya, Yudisium Day bisa menjadi 'hari pembantaian' tanpa ampun dari Pengasuhan. Yah, nilai saja tak cukup untuk menjamin kelanjutan studi santriwati hingga kelas akhir. Kandidat santriwati dengan catatan buruk di pengasuhan bisa dipertimbangkan untuk tidak naik kelas. Atau hukuman lebih 'ringan' yang tetap saja menyakiti pride angkatan. Larangan berpartisipasi dalam kegiatan Pentas Seni, misalnya.

Tapi Nida mau tak mau harus melupakan seluruh kekhawatirannya sejenak. Malam tadi kelompoknya mendapat giliran tadarus dan piket malam. Oh, ini sudah hari kedelapan Ramadhan. Dan mereka sudah menetap lima hari lebih lama dari anak-anak santri lainnya karena harus mengikuti beberapa kegiatan khusus untuk calon santri akhir.

Nida memastikan ulang pada Zahira bahwa semua perlengkapan acara sudah siap. Ia mendapat amanah menjadi ketua divisi penerangan dan informasi kali ini. Berhubung Via ditarik ke bagian keamanan serta Kak Medina yang dialihtugaskan ke bagian pengajaran selama kabinet sementara berlangsung.

"Raf, bangunin kalo udah pada mau siap-siap, ya," pesan Nida pada Rafa sebelum terlelap menghabiskan waktu istirahat tambahannya sebelum yudisium dimulai.

*---*---*

"Nid! Dipanggil Ustadzah Abidah buat masang speaker di ruang yudisium!" ketukan dan seruan dari luar pintu kamar mandi membuat Nida tersentak kaget.

Apa? Bukannya tadi Zahira bilang semuanya udah beres? Alih-alih menyuarakan protes, Nida bergegas keluar kamar mandi dan melesat ke bangunan kelas di seberang asrama. Untung saja ia sudah menggunakan jilbab lumayan rapi saat bersiap sebelum mandi tadi.

Bergegas membawa speaker kecil dan mikrofon, Nida memasang sound system yang dibutuhkan di ruangan yudisium. Ruangan ini sebenarnya hanyalah kelas biasa yang terletak paling ujung di lantai dua. Hanya saja saat ini seluruh tirai jendela ditutup rapat dengan bangku yang disusun sedemikian rupa. Mengetes fungsi mikrofon dan speaker, Nida bergegas kembali ke ruang informasi.

Nida tak tahu berapa lama waktu yang ia habiskan untuk memasang sound system di ruang yudisium. Tahu-tahu, anak angkatannya sudah duduk rapi di bangku yang tersedia di lapangan. Membuat Nida dengan gugup bergegas duduk di salah satu bangku terdekat.

Atmosfer ketegangan begitu terasa saat Nida mengedarkan pandangan. Ustadzah Abidah tampaknya sudah selesai dengan pembukaan pidatonya. Nida masih merasa disorientasi saat tiba-tiba nama lengkapnya disebut begitu saja.

"Rofiatun Nida Haytsami!"

Isyarat dari Ustadzah Rachma membuatnya refleks berdiri, lalu berjalan menuju ruangan yudisium di ujung bangunan. Nama Ulya disebut setelahnya dan tiba-tiba saja sahabatnya itu menariknya berlari dengan gegas.

"Apa sih, Ya? Capek tahu," protes Nida saat mereka sudah sampai di lantai dua.

"Harus lari tahu, Nid. Kamu sih, datengnya telat."

Nida baru akan melayangkan protes lagi saat namanya kembali dipanggil untuk memasuki ruangan. Tak berapa lama diikuti Ulya yang ikut duduk dengan kikuk di sampingnya. Nida meletakkan amplop yang diberikan Ustadz Rizal saat masuk tadi ke pinggir meja. Amplop putih itu menambah atmosfer tegang di ruang yudisium yang ia masuki.

"Rofiatun Nida Haytsami. Himmatul Ulya Luqman."

Nida mengangkat pandangannya. Kini ia terfokus pada Ustadz Rizal yang duduk di meja guru.

"Sudah berapa lama kalian di Raudhatul Huffazh?"

"Tiga tahun, Ustadz," jawab keduanya. Setiap santri yang akan melanjutkan pendidikan jenjang SMA di Ruha memang harus mengalami satu tahun kelas intensif sebelum mengikuti pembelajaran sebagaimana santri lain pada umumnya.

"Apa kalian merasa usaha kalian selama ini udah maksimal? Baik tahfizh maupun akademik?"

Pertanyaan tadi membuat Nida terdiam. Ia teringat kekacauan yang baru saja ia buat semester lalu. Memperjuangkan lomba fahmil Quran hingga berdarah-darah, tapi hanya membawa pulang hati dengan luka menganga. Bahkan pencapaian akademiknya di tingkat nasional dua bulan lalu tak mampu membuat Nida merasa lebih baik.

"InsyaAllah, Ustadz." Suara jernih Ulya menyadarkan Nida dari lamunan.

"Nida?"

Nida menggeleng pelan, "Semester lalu capaian tahfizh Nida menurun, Ustadz. Di akademik, semuanya hanya berjalan beyond expectation. Padahal Nida nggak merasa sudah berusaha sekeras itu."

"Menurut evaluasi pribadi kalian, apa kalian pantas menjadi santriwati kelas akhir Raudhatul Huffazh?"

Tak ada jawaban. Baik Nida maupun Ulya tak memiliki ekspektasi apapun pada isi amplop yang ada di hadapan mereka. Nida menghela napas gugup. Menurut cerita kakak tingkatnya terdahulu, pemanggilan nama ke ruang yudisium biasanya tak menggunakan aturan baku. Bisa saja yang dipanggil bersama memiliki hasil berbeda. Dengan catatan hitam Nida atas keterlibatannya pada skandal Riza-Dzaki semester lalu, apapun bisa terjadi hari ini.

"Baca basmalah. Kalian boleh buka amplop di depan kalian."

Nida menarik napas panjang sebelum membuka amplop putih itu dengan tangan gemetar. Sungguh, rasanya jauh lebih mencekam dari saat ia menerima SK Olimpiade Nasional yang lalu. Nida cepat membaca isi surat tersebut menemukan namanya lalu font bercetak tebal yang menjelaskan statusnya.

"Kalian boleh ke kelas sebelah untuk ganti jilbab seragam."

Nida merasakan tangannya digenggam erat Ulya hingga keluar kelas. Sahabatnya itu langsung menerjangnya dalam pelukan begitu mereka sudah sampai di luar.

"Kita Mumtaz, Nid! Mumtaz!"

Nida memejamkan mata menahan airmata yang hendak keluar. Mengeratkan pelukan dengan Ulya, Nida mengucap syukur dalam hati karena berhasil naik ke kelas 12 dengan predikat nilai tertinggi.

*---*---*

Setelah berganti jilbab biru tosca sebagai penanda selesainya Yudisium, Nida dan Ulya menuju aula besar untuk sholat dhuha. Keduanya menunggu dengan tegang saat teman-teman mereka yang lain dipanggil satu per satu ke ruang yudisium. Sejauh ini belum ada jatuh korban. Dari 70 orang anggota Cassieopeia, lebih dari setengahnya telah memasuki aula dengan wajah ceria. Tak sedikit yang diwarnai airmata, tentu saja. Tapi jelas itu airmata kebahagiaan karena bisa menyandang status Santri Akhir dengan mulus.

Nida melirik gugup 10 orang terakhir yang masih berada di lapangan. Riza masih di sana, bersama beberapa anak angkatannya yang memiliki catatan tak terelakkan di akademik, tahfizh maupun pengasuhan. Kedua mata mereka bertatapan sejenak, Riza hanya tersenyum tipis saat melihat sorot mata khawatir dari Nida dan Ulya.

"Chairiza Ilmy Fakhrani. Sevilla Ariesta."

Nida menggenggam erat tangan Ulya yang ada di depannya. Mereka sedari tadi bersandar pada salah satu tiang aula yang menghadap lapangan. Keduanya memperhatikan Riza dan Via yang berlari menuju ruang yudisium.

Ya Allah, tolong berikan hasil terbaik buat Riza dan Via. Nida diam-diam berharap semoga Riza mendapatkan kesempatan kedua. Ia tak akan bisa memaafkan dirinya sendiri jika Riza tak berhasil lolos di hari Yudisium ini. Dan Via, ia tak bisa membayangkan akan jadi apa divisi penerangan dan informasi tanpa kontribusi ketua divisi eksentriknya itu.

"Riza!" suara ramai anak angkatan memanggil nama Riza dari pinggir aula membuat Nida bergegas berdiri. Riza dan Via memasuki aula dengan muka sembab.

Nida dan Ulya menyibak kerumunan lalu menarik Riza dalam pelukan panjang.

Beberapa detik mereka hanya berpelukan sambil menangis. Ketiganya kini sudah menggunakan jilbab dengan warna khas angkatan mereka.

"Nid, Ya. Maafin ana," suara serak Riza menjeda pelukan teletubies mereka.

Nida menggeleng pelan. Ulya tersenyum tipis dengan wajah sembabnya. Apa pun yang sudah terjadi sebelumnya, rasa-rasanya semua itu tak penting lagi sekarang. Yang paling penting, kini mereka bertiga sudah berhasil lulus dan menyandang predikat santri akhir.

"Vi!" Nida menghampiri ketua divisinya yang sudah dikelilingi anggota lengkap CID. Setelah berhasil membebaskan diri dari pelukan meremukkan tulang milik Kak Medina, Via membalas sorot khawatir Nida dengan nada ceria khasnya.

"Tenang aja, Nid. Anti nggak perlu permanen jadi ketua CID kok habis ini."

Nida memukul lengan ketua divisinya itu pelan. Via selalu bisa menghadapi situasi apapun dengan ceria. Walau kini wajahnya sudah sembab karena airmata.

Dua orang terakhir yang dipanggil ke ruang yudisium sudah kembali ke aula dengan jilbab seragam resmi mereka. Nida menyapukan pandangan pada seisi aula yang sekarang penuh dengan lautan jilbab biru tosca. Setelah semua masalah yang mereka alami sebagai satu angkatan, prestasi dan piala yang berderet, masalah dan skandal yang tak kalah banyaknya juga. Akhirnya, mereka berhasil melewati hari penentuan ini. Dengan anggota lengkap, tanpa ada satu pun yang tertinggal.

Ustadzah Abidah masuk ke aula dan memberikan petuah penutup.

"Kaifa halukun? Gimana kabar kalian sekarang?" tanya Ustadzah Abidah sebelum memulai pidatonya.

"Alhamdulillah, Ustadzah. Masih deg-degan abis disidang Ustadz Rizal di ruang yudisium tadi," sahut Via dengan nada usil membuat senyum di wajah beliau mengembang.

"Kalian adalah angkatan kedua setelah Unitera yang berhasil naik ke kelas 12 dengan anggota lengkap. Sejujurnya, ada banyak perdebatan di pengasuhan tentang kelulusan kalian. Meninjau kembali prestasi yang kalian miliki, Ustadzah pikir kalian layak mendapatkan kelulusan ini."

Nida tak bisa mencegah senyum bangga yang terbit di bibirnya. Angkatan 7 di atas mereka, Unitera memang memiliki track record tak tercela. Tak pernah terlibat hubungan dengan Putra kecuali lewat jalur formal juga tanpa skandal dan masalah besar yang menghadang. Jangan lupakan sederet prestasi dan piala yang diraih angkatan 7 sepanjang mereka bersekolah di Ruha. Language Master, Queen of Crown dan entah predikat apalagi yang menunjukkan superioritas angkatan di atas mereka. Wajar saja, jika angkatan Kak Afra cs itu bisa menjadi santriwati akhir dengan mulus tanpa hambatan.

"Congratulations, Cassieopeia. Selamat menjadi panutan seisi Raudhatul Huffazh. Selamat sudah berhasil menyandang predikat akhirussanah dengan amanah di pundak kalian."

Kalimat terakhir Ustadzah Abidah membuat seisi aula tersadar. Hari ini bukanlah akhir, hari yudisium ini justru merupakan awal dari tugas-tugas dan amanah yang harus mereka emban sebagai santriwati kelas akhir.

____________________________________
A/N;
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa teman-teman 🙋
Yang seneng Nida update lagi mana suaranya~ 😆. Aku pengen ngerasain sensasi rajin update tiap minggu gitu 🙈. Tapi nggak mau DPC cepet-cepet selesai juga *dijitak masal.

Ya udah deh ya, InsyaAllah DPC bakal update reguler tiap Jum'at buat nemenin kalian ngabuburit 😋. Doakan nulisnya lancar terus biar nggak kena php author lagi *kabuur 👻

Sebelumnya, makasih banyak buat yang masih setia baca dan nungguin cerita ini 💙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top