26. Scientist Penghafal Al-Quran (2)

"Sendiri aja, nih?"

Sebuah suara familiar terdengar dari sebelah kanan Nida. Ia refleks menoleh dan menemukan sosok Fatih berdiri di sampingnya.

"Eh, Tih. Tadi bareng Riza, sih. Cuma nggak tahu dia sama anak kontingen lainnya pada ke mana," balas Nida sambil masih berusaha mencari sahabatnya itu di pedestrian Malioboro yang semakin ramai.

"Wah, parah si Riza. Udah tahu anti nggak pegang handphone. Ntar balik ke hotel gimana coba."

"Alhamdulillah, ya. Masih pegang uang cash cukup buat naik becak sampe hotel," sahut Nida yang disambut tawa kecil Fatih.

Mereka berdua menepi ke arah pertokoan untuk menghindari pedestrian yang ramai.

"Mau hunting foto nih, ceritanya?" tanya Fatih lagi saat melihat tas kamera Nida.

"Iya, tapi rame banget. Jadi susah nyari spot."

"Kalau mau foto sore-sore gini mah, jangan di sini Nid. Di sekitar gapura sana, tuh. Background-nya kantor pos. Pasti bagus."

Fatih menunjuk gapura yang terletak tak jauh dari posisi mereka sekarang. Nida menimbang sejenak. Lantas mengiyakan ajakan Fatih menuju spot yang ia rekomendasikan. Mereka bertiga kembali akrab sejak bertemu di karantina OSN Jabar. Nida yang awalnya masih gugup dan merasa nggak percaya diri jadi mulai bisa menyesuaikan ritme serta kembali fokus pada persiapan olimpiade.

Setelah berhasil melalui puluhan soal menegangkan pagi tadi, sore ini semua peserta diberikan waktu bebas hingga malam nanti. Sedangkan pengumuman pemenang akan diadakan besok malam. Seluruh delegasi punya waktu luang yang panjang untuk bersantai sejenak sebelum kembali dag dig dug di malam pengumuman pemenang.

Nida bergegas mengeluarkan kameranya saat mereka tiba di tempat yang dituju. Fatih benar, lanskap dan suasana kota Jogja sangat terasa di posisi mereka saat ini. Berbeda dengan kota Bandung yang ramai, suasana sore di Malioboro Jogja terasa meneduhkan.

Ada banyak orang yang berjalan pelan bersama teman atau pasangannya. Beberapa hanya duduk-duduk di bangku-bangku yang tersedia. Ada pula yang sibuk berfoto dan bercanda ria. Meski lalu lintas lumayan padat, tapi tak mengurangi suasana menenangkan yang tersirat. Rasa-rasanya, Nida akan betah duduk di salah satu bangku taman hingga matahari terbenam. Tanpa melakukan apapun. Hanya menikmati suasana sore kota Jogja yang istimewa.

Nida mulai merekam suasana sekitar dengan kameranya. Setelah puas ber-candid ria, Nida beralih pada Fatih yang tampak sibuk membaca novel bersampul putih di salah satu bangku taman.

Menahan senyum, Nida diam-diam mengambil beberapa potret Fatih yang sedang dalam mode serius. Sosok itu seolah tak terpengaruh suasana ramai di sekitarnya. Nida melihat-lihat hasil jepretannya sambil berjalan mendekat ke tempat duduk Fatih.

"Udahan? Nggak mau foto di sini sendiri?" tawar Fatih saat Nida duduk di sampingnya.

"Boleh, nih?"

"Ya bolehlah."

Kamera Nida segera berpindah tangan. Fatih mengambil beberapa fotonya berlatar senja di Malioboro. Tak ketinggalan sesi bookstagram Fatih dengan tiga buku yang ia bawa.

"Jangan-jangan antum sengaja nyari ana, ya. Biar bisa make kamera?" celetuk Nida usil saat melihat binar antusias Fatih ketika memeriksa hasil jepretannya.

Cowok ber-hoodie cokelat itu tertawa kecil mendengar protes terselubungnya. "Nggaklah, Nid. Pake kamera hape aja cukup sebenernya. Tapi berhubung ada yang bawa kamera profesional, kenapa nggak sekalian, kan?"

"Bisa banget alasannyaa," sahut Nida dengan nada meledek.

Semilir angin berhembus agak kencang membuat Nida merapatkan jaket. Awan mendung ternyata sudah bergelayut di langit. Menghalangi pesona matahari yang semakin condong ke barat. Sepertinya, hari ini akan ditutup dengan rinai hujan di penghujungnya. Benar saja, tak lama tetes gerimis mulai turun. Membuat Nida dan Fatih bergegas menepi ke pelataran toko.

"Abis ini ada rencana kemana, Nid?"

"Hmm? Belum tahu, sih. Ana nggak paham Jogja soalnya."

"Sayang banget waktu free kita cuma sampe malam ini. Eh, besok juga sih. Tapi kan destinasinya ditentuin."

"Antum ada rekomendasi tempat memangnya?"

Fatih mengangguk semangat. "Kalau cuma main ke candi-candi aja mah, biasa. At least, jalan ke Kalibiru atau Hutan Pinus Mangunan. Lanskap-nya MasyaAllah. Yakin deh, anti bakal betah lama-lama hunting foto di sana."

Nida hanya diam mendengarkan sambil mencatat dua tempat tadi dalam benaknya. Yah, barangkali ia bisa membujuk Ayah untuk berlibur di Jogja tahun depan.

Hujan semakin deras hingga masuk ke pelataran yang mereka lalui. Fatih menawarkan Nida untuk berteduh sejenak di sebuah kafe sebelum mereka benar-benar basah kuyup. Tak sedikit para pejalan kaki yang ikut berteduh di sini. Membuat mereka hanya bisa menempati satu meja dekat pintu keluar.

Nida mengamati suasana ramai di kafe dengan dekorasi estetik ini. Ternyata ada beberapa rak dengan buku-buku yang berjejer rapi di tengah ruangan. Nida mengambil salah satu buku dengan sampul familiar dan kembali ke tempat duduknya.

"Tentang Kamu?"

"Iya, antum baca Tere Liye juga?"

"Beberapa, ana cuma baca yang genre action sama yang sentuhan historisnya kental. Kayak buku ini."

"Oh, yang bagian Muso yah. Menurut ana sih, ini salah satu karya masterpiece-nya Tere Liye. Risetnya nggak main-main."

Fatih mengangguk setuju. "Cerita yang ditulis berdasarkan sejarah kayak gini, bikin pembaca tersugesti kalau tokoh Sri Ningsih mungkin pernah ada di suatu masa."

"Menurut antum, ada nggak sih orang dengan kepribadian seperti Sri Ningsih? Jujur aja, ana ngerasa itu 'to good to be true', gitu."

Fatih tampak berpikir sejenak. "Kenapa nggak? Selalu ada orang-orang baik berhati luas seperti Sri Ningsih. Kita aja yang belum pernah ketemu sosok seperti beliau. Makanya ngerasa penokohannya terlalu fiksi."

"Padahal, ada tokoh nyata yang punya keluasan hati mirip Sri Ningsih. Disakiti bertahun-tahun, tapi akhirnya tetap memaafkan tanpa dendam sama sekali."

"Oh ya? Siapa?" tanya Nida penasaran. Selama ini ia selalu berpikir tak mungkin rasanya seorang manusia bisa memaafkan terus menerus tanpa membekas di hatinya.

"Nabi Yusuf alaihis salam."

Nida mengerjap. Kilasan kisah Nabi berparas tampan itu memenuhi benaknya seketika.

"Iya, kan? Coba deh kita telusuri kisah beliau. Di waktu kecil dirundung saudara kandung karena diistimewakan sang ayah, hingga dibuang ke sumur akibat rasa dengki saudaranya. Setelah itu malah jadi budak dan terjebak dengan Zulaikha di situasi berbahaya. Lepas dari itu, malah dijebloskan ke penjara. Tapi akhirnya? Nabi Yusuf menjadi pemegang kunci harta negara."

"Dan hebatnya, saat saudara-saudara beliau meminta maaf. Beliau sudah memaafkan duluan. Tanpa dendam, tanpa kemarahan,"sambung Nida.

Fatih mengangguk takzim mendengar ucapan Nida. "Ujian bertubi-tubi tanpa jeda mungkin terdengar hiperbola. Tapi sejatinya hidup ini adalah ujian, kan? Nabi Yusuf diberikan Allah penjagaan penuh hingga alih-alih mendendam, beliau justru mampu memaafkan dengan ikhlas. Sejatinya, kalau kita menyandarkan segala hal ke Allah. Nggak ada satu pun makhluk di dunia yang bakal bisa nyakitin kita."

Nida mengernyit pada kalimat terakhir Fatih. Rasa-rasanya, ia pernah mendengar hal serupa dari abangnya. "Kalimat terakhir antum itu kutipan buku?"

"Oh, bukan. Itu hasil diskusi ana bareng Bang Hilmi sehabis baca tetralogi Muhammad karya Tasaro G.K." jelas Fatih dengan senyum cerah.

"Ah iya, Nid. Anti harus coba baca hisfict yang satu ini. Beda deh, sensasinya dari baca buku Sirah Nabawiyah biasa. Nggak perlu lengkap, baca jilid 1 aja dulu."

Nida mendesah lelah. "Ngeliat tebel bukunya aja udah bikin capek. Apalagi bacanya."

Kerlip geli dan tawa kecil Fatih membalas celetukan Nida barusan. "Sampe sekarang ana salut banget sama penulis-penulis historical fiction. Mempelajari sejarah dari berbagai sumber aja udah bikin pusing, apalagi ditambah mengolahnya jadi bacaan fiksi berbobot."

Diskusi mereka dijeda oleh kedatangan pelayan yang membawakan pesanan. Nida mengetukkan jarinya di atas buku. Berpikir sejenak, akhirnya ia memutuskan untuk bertanya hal yang paling mengusiknya sejak bertemu kembali dengan Fatih di karantina.

"Tih, gimana sih cara antum mengatur waktu antara akademik, hafalan sama lomba-lomba begini?"

Fatih mengernyit mendengar pertanyaan yang diajukan Nida barusan.

"Kalo buat ana, hafalan itu prioritas. Jadi, di luar setoran wajib ziyadah-murojaah. Ana punya target murojaah mandiri yang harus diselesaikan sebelum ngulang pelajaran atau nyiapin buat lomba. Jadi, mau gak mau harus nyelesain target murojaah mandiri sebelum sibuk sama yang lain-lain."

"Kadang, kalo lagi mumet sama pelajaran. Ana milih buat buka Quran dulu. Nggak ngafal juga, sih. Tilawah aja palingan. Sampe ngerasa lega, baru deh balik ke modul lagi."

"Oh ya? And its work?"

Fatih mengangguk mantap. "Kadang ya, kita suka lupa sumber segala ilmu itu dari mana. Padahal, mau itu fisika, kimia, biologi. Asalnya kan dari Al Quran semua. Kalo kata orang, Quran dulu, nanti yang lain bakal ngikut. Kalo menurut ana bukan begitu. Quran harus selalu jadi prioritas pertama dan utama. Karena segala sumber ilmu pengetahuan ada di sana."

Nida merenungkan penjelasan Fatih barusan. Mungkin ini salah satu faktor kenapa tahfizh-nya seperti jalan di tempat. Ia sering menjadikan kesibukan lain sebagai alasan untuk menghafal sekadarnya. Sekadar lancar untuk setoran saja. Padahal ia tahu benar, jejeran santri berprestasi di bidang akademik kebanyakan punya record hafalan yang tak main-main. Sosok di depannya adalah salah satunya.

Nida berdebas lelah. Ia menyembunyikan wajahnya di balik tas kamera yang ada di atas meja. Entahlah, ia merasa sangat picik telah mengabaikan fakta sejelas itu begitu lama.

"Itu menjelaskan banyak hal. Salah satunya, kenapa antum dan Bang Mi bisa punya prestasi akademik mentereng meski keliatannya effortless."

Senyum kecil dengan binar tulus di mata Fatih sedikit menenangkan Nida.

"Seharusnya ini bukan hal yang spesial, Nid. We've been there before. Ulama dan cendekiawan muslim terdahulu, selalu memulai pendidikan mereka dari Quran dan sunnah. Makanya di zaman keemasan Islam kita nggak akan bisa menemukan seorang ahli astronomi yang nggak hafal Quran. Nggak ada ceritanya ahli fisika yang nggak hafal hadits. Dan bukan Cuma sekadar hafal, interaksi bersama Al-Quran bertahun-tahun membentuk pola pikir dan orientasi mereka."

"Menjadikan akhirat sebagai tujuan, dan meletakkan dunia cukup di genggaman," sambung Nida yang ditanggapi Fatih dengan anggukan mantap. Nida mengalihkan pandangan ke luar jendela kaca. Hujan sudah reda, seiring dengan matahari sore tampak semakin condong ke barat.

"Wah, bahasan kita berat banget ya," celetuk Fatih membuat Nida tertawa kecil. Keduanya kembali berdiskusi ringan tentang kamera. Fatih bahkan mencatat spesifikasi kamera yang direkomendasikan untuk pemula. Tampaknya cowok itu benar-benar ingin serius menekuni hobi fotografinya.

Setelah minuman mereka habis, Fatih mengajak Nida ke sebuah masjid dengan ornamen tionghoa yang kental. Nida bahkan terpaku sesaat ketika sampai di depannya. Berhenti sejenak untuk sholat maghrib di masjid tersebut, Nida kembali merekam suasana malam Malioboro yang menyenangkan lewat lensa kameranya. Petualangan mereka hari itu berakhir di tugu Jogja. Dengan Fatih yang memotret Nida di depan tugu putih beraksen emas tersebut.

Keduanya berpisah di pelataran masjid Gede Kauman untuk bergabung dengan teman-teman mereka lainnya. Nida tersenyum melihat hasil jepretan Fatih di kameranya. Diskusi panjang malam ini sungguh tak terduga. Sepertinya kenangan Jogja di malam hari akan selalu membekas di benaknya.

____________________________________
A/N;
HOHO. Gimana gimanaaa. Udah puas apa masih kurang, hayooo? 😆
Jadi beneran, ya. Kemarin liburan ke Jogja buat riset bab 26 DPC *kabur sebelum kena jitak. Huft, masih ada 5 bab tersisa sebelum 'Dinamika Penjaga Cahaya' resmi selesai di wattpad. Meski udah ada outline, aku masih harus merancang akhir yang pas dan berkesan.

Ngomongin soal kesan, apa sih yang paling kamu inget dari sepanjang cerita Nida dkk di sini? Boleh dong, komennya~

Next update, aku nggak bisa janji. Semester ini bakal padet banget. Tapi aku usahain sebelum start nulis project lain, DPC bakal aku duluin.

See you soon! 🙋

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top