26. Scientist Penghafal Al-Quran (1)
Hari-hari yang kita lalui, sangat berarti Allah yang memberi
Setiap kisah suka dan duka sangat berarti dalam hidup ini
- song by Avif Okjilshipia
Nida sedang sibuk memilih foto-foto hasil dokumentasi bersama Rafa di ruang informasi saat seseorang mengetuk pintu dan masuk.
"Kak Nid, tolong panggilin ini ya. Titipan dari Pak Fuad."
Seorang adik kelas meletakkan kertas berisi nama di atas meja. Nida mengangguk sambil berterima kasih dan menyalakan mikrofon pemanggilan.
"Calling to our sister-" panggilan Nida terhenti saat melihat namanya dan Riza tertulis di kertas tersebut. Mata Nida membulat tak percaya saat tahu mereka berdua dipanggil Pak Fuad ke kantor beliau.
"Chairiza Ilmy Fakhrani it hope to come to Academic Advisor office as soon as possible." Nida bergegas mematikan mikrofon lalu memanggil salah satu rekannya untuk menggantikannya. Tak berapa lama terdengar suara langkah kaki menuruni tangga tergesa lalu Riza muncul di ambang pintu ruang informasi.
"Nid? AA office? You must be kidding me," ujar Riza dengan raut tak percaya.
Nida memperlihatkan nota dari Pak Fuad yang baru saja ia terima.
"Menurut kamu, ini apa? Olimpiade Nasional?"
Nida mengangkat bahu. "Entah, aku nggak berani berharap."
Mereka menunggu Zahira, rekan sedivisi Nida untuk menggantikan jadwal piketnya sebentar. Lalu keduanya melangkah menuju kantor Pak Fuad dengan dada berdebar tak karuan.
Sesampainya mereka di sana, Pak Fuad telah menunggu di sofa yang terletak tak jauh dari pintu masuk.
"Masuk, Nid, Za. Eh, Nida lagi piket, ya? Nggak apa-apa nih, bapak panggil?"
"Nggak apa-apa, Pak. Digantiin Zahira sebentar tadi."
Pak Fuad sedikit berbasa-basi menanyakan kabar kami. Lantas beliau mengambil sesuatu dari meja kerja dan kembali dengan dua amplop putih.
"Langsung aja, ya. Tadi pagi surat ini baru sampai ke tangan bapak." Beliau lalu menyerahkan amplop tersebut pada kami.
"Ayo, dibuka."
Nida dan Riza berpandangan sebentar. Dengan tangan gemetar, Nida membuka amplop tersebut. Surat di dalamnya merupakan surat keputusan delegasi provinsi Jawa Barat untuk Olimpiade Sains Nasional yang akan diadakan di Yogyakarta, bulan depan.
Nida memandangi nama lengkapnya yang berada di urutan kelima dari enam delegasi. Ia bisa merasakan matanya mulai memanas. Cepat-cepat Nida menarik napas panjang, sebelum ia benar-benar menangis di ruangan Pak Fuad.
"Nid, Nid!" Panggilan antusias Riza di sebelahnya mengalihkan Nida. Wajah si usil itu tampak senang sekali.
"Ada Fatih!" bisik Riza antusias. Nida refleks memukul Riza dengan amplop kosong. Mencoba mengingatkan temannya itu di mana mereka berada sekarang.
"Oh, Zaidan Fatih? Iya, dari kabupaten tahun kemarin cuma Fatih. Tahun ini kalian bertiga. Siap-siap, ya. Minggu depan udah mulai karantina."
Pak Fuad memberi sedikit penjelasan teknis tentang Olimpiade Nasional serta membekali Nida dan Riza masing-masing dua modul tebal.
"Jangan lupa ke kantor Ustadzah Rachma, kalian diminta menghadap beliau setelah ini."
Nida bisa merasakan tubuh Riza yang tiba-tiba menegang. Hei, mereka sudah mendapat surat delegasi. Nggak mungkin kan, Pengasuhan membatalkan begitu saja?
*---*---*
"al-hamdu lillaahillazii lahuu maa fis-samaawaati wa maa fil-ardhi wa lahul-hamdu fil'aakhiroh, wa huwal-hakiimul-khobiir."
Suara tilawah Riza dengan nadanya yang menenangkan, membuat Nida memejamkan mata. Menikmati angin sore yang berhembus di saung setelah setoran murojaah adalah salah satu nikmat Allah yang tak terelakkan.
"Ih, Nid! Malah merem coba!" protes Riza setelah selesai membaca dua lembar hafalannya.
"Sini, udah lancar berapa?" balas Nida sambil mengambil alih mushaf Riza dari tangannya. Riza manyun sebentar menanggapi balasan Nida lantas mulai membaca dari awal surat Saba'.
Ustadzah Rachma mengizinkan Riza berangkat Olimpiade Nasional dengan satu syarat; menyelesaikan hafalan juz 22-nya sebelum berangkat karantina. Sekarang baru hari ketiga dan sahabatnya itu hampir menyelesaikan setengah juz 22.
Riza menutup bacaannya dengan tashdiq saat Ulya datang menghampiri mereka sambil menenteng plastik.
"Ada yang udah nyampe Saba' nih," goda Ulya membuat Riza memasang tampang sebal.
"Kalo bukan demi OSN, nggak bakal nih si Riza ngebut begini," sahut Nida usil, tak mau ketinggalan mengganggu sahabatnya.
"Ya bagus, dong. Ntar pas dauroh tahfizh udah tinggal persiapan wisuda."
"Arrgh. Nggak, ana nggak siap khataman di pondok. Kayaknya nanti sengaja ana sisain dua atau tiga juz biar khatamannya di dauroh sekalian." Riza menanggapi dengan cepat celetukan Ulya.
"Emang bisa, gitu?" Nida menatap Riza dengan sebelah alis terangkat.
"Kenapa sih Za, anti banget khataman di pondok? Nggak langsung tasmi' 30 juz ini, kok."
Riza mengusap wajahnya jengah, "Emang nggak, tapi pengumuman abis broadcast CID pas kita ada di aula jelas bukan cara bagus buat dapetin tatapan dari orang-orang."
Nida dan Ulya otomatis tertawa mendengar suara sebal Riza.
"Ana nggak siap dan nggak akan pernah siap dapet tatapan atau celetukan kayak; wah, ternyata ukhti Chairiza udah hafizhah." Riza memperagakan kalimat terakhir dengan nada terkejut yang dibuat-buat.
"Ya udah, sih. Kenapa emangnya kalau tanggapan mereka begitu? Kan anti udah nggak se-'pecicilan' dulu," jawab Ulya masih dengan senyum geli di bibirnya.
"Tuh, kan. Ulya aja ngakuin, loh. I was on my way to be a better version of me. Tapi kenapa orang-orang masih aja nganggep ana Riza yang sama? Masih pelanggar peraturan yang bodo amat sama tugas wajib," desah Riza bosan.
Nida mengusap lengan kanan Riza yang berada di jangkauannya.
"Nggak semua orang bisa berhasil di tahfizh dan akademik sampai OSN kayak kalian berdua. Yang berisik mesti mikir dua kali deh, sebelum ngomongin kalian."
Ucapan terakhir Ulya membuat senyum kecil terbit di sudut bibir Riza.
"Yah, sepi dong ditinggal kalian lagi. Dua minggu pula."
Riza refleks menarik Nida dan Ulya dalam pelukan teletubbies miliknya.
"Iya ih, nggak seru nih jalan sama Nida doang. Adanya dia sibuk hunting foto sepanjang jalan. Mana nanti OSN-nya di Jogja pula."
Nida mendengus saat Riza kembali ke mode aslinya. Menyebalkan. Padahal faktanya cewek itu jarang banget ngajak Nida jalan bareng di waktu free Olimpiade. Seringnya justru hangout sama anak-anak lainnya.
"Nggak kebalik? Bukannya anti yang selalu ninggalin ana pas free time?"
"Halah, pura-pura sebel padahal seneng banget punya quality time bareng Fatih. Hayo ngaku? Eh, betewe Fatih udah izin Bang Hilmi belom buat pdkt?"
"Apa sih, Zaaaa."
Dan waktu luang mereka sore itu dihabiskan dengan berdebat tentang Fatih, Jogja dan free time sehabis OSN.
*---*---*
A/N:
Tenang, part 26 kubagi dua karena kepanjangan 😅. Pokoknya bakal puas deh setelah dua bulan ditinggalin Nida dkk 😝.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top