25. Amanah Tak Pernah Salah Pundak

"Gimana, Ya?" tanya Nida spontan saat melihat Ulya memasuki kamar.

"Yah, lusa kampanye. Ahad pemilihan."

"Ketua Imarah Thalibah?!" tebak Riza setelahnya yang disambut anggukan lemah dari Ulya.

Nida mengerjap mendengar fakta yang baru saja ia dengar. Ah, tentu saja. Ini sudah awal semester dua. Saatnya pergantian pengurus Imarah Thalibah. Ia harusnya tak heran saat mendengar nama Ulya dipanggil ke pengasuhan. Dengan semua kemampuan yang dimiliki sahabatnya, tak heran Ulya berada di antara 5 kandidat teratas yang dipertimbangkan menjadi calon ketua baru Imarah Thalibah.

Namun tampaknya, fakta terpilihnya Ulya dari hampir seratus santriwati di angkatan kami tidak membuatnya antusias. Lihat saja wajah letihnya juga helaan nafas panjang yang dalam dua menit terakhir sudah ditarik berkali-kali.

Nida tersenyum maklum. Ia bergegas mengusap pundak Ulya menenangkan.

"Ana nggak siap buat semua ini, Nid."

"Yah, kalo nunggu siap. Kita nggak pernah bisa melangkah ke mana pun, Ya."

Ulya menghela napas lelah.
"Apa ini yang dirasakan Akhi Hilmi setahun lalu?"

Nida mengangkat alisnya sebelah. "Mungkin. Tapi kalo sekarang, kayaknya abang favorit se-Ruha itu sedang bersiap-siap menyambut 'kebebasan'-nya," sahut Nida sarkas.

Kerlip geli dan senyum kecil dari Ulya membalas celetukannya barusan.

"Yah, ana bisa paham kenapa. Jadi pemimpin nggak pernah mudah. Apalagi dengan reputasi sempurna kayak beliau."

Nida baru akan mengatakan sesuatu saat Riza tau-tau sudah duduk di antara mereka.

"Kalau kalian udah dilantik jadi pengurus Imarah Thalibah nanti, jangan sombong-sombong ya!"

"Ngomong apa sih, Za?" sahutku tidak suka.

"Bukan apa-apa. Cuma mengutarakan fakta aja," jawab Riza santai.

Nida memejamkan mata sejenak. Inilah yang selalu ia khawatirkan. Bukannya gila jabatan atau semacamnya, tapi menjadi pengurus di Imarah Thalibah adalah salah satu fase yang harus dijalani seoramg santriwati, bukan? Satu pintu yang akan membuka kesempatan-kesempatan besar lainnya. Dan sayangnya, sepupu dan sahabat tersayangnya itu telah membuat pintu tadi tertutup rapat karena kecerobohan mereka tiga bulan yang lalu. Oh, ingatkan Nida untuk menjitak kepala bocah sok tahu itu minggu depan.

"Ayolah, Nid. Dunia nggak akan kiamat meski ane nggak dapat posisi apapun di Imarah Thalibah. Yah, seolah ana pantas aja."

Nida mengalihkan pandangannya ke mana pun selain ke arah dua sahabatnya.

*---*---*

"Bagian penerangan dan informasi. Rofi'atun Nida Haytsami."

Nida naik ke atas panggung saat namanya disebut. Ia menangkap sorot mata penuh optimis yang memandangnya dari samping panggung. Ia tersenyum tipis.

"Sekretaris dua. Himmatul Ulya Luqman."

Seketika seisi aula terdiam saat mendengar nama itu disebut. Nida mengerjap tak percaya. Apa? Ulya di posisi sekre 2? Pertanyaannya seolah terjawab dengan sosok Ulya yang menaiki panggung dengan langkah mantap. Suara-suara tak setuju mulai riuh terdengar. Kak Najmi sampai harus menaikkan suara untuk menenangkan anak-anak.

Pembacaan formasi kepengurusan baru Imarah Thalibah dilanjutkan. Sampai nama Athifah Rafaila disebut sebagai ketua 1 kepengurusan Imarah Thalibah tahun ini.

Nida menarik napas panjang. Suara bergetar Athifah mengucapkan syahadat berikut sumpah pelantikan tak urung ikut membuat detak jantung Nida ikut menggila.

Ini waktunya. Kesempatan dan tantangan baru telah menunggunya.

*---*---*

Nida baru saja selesai berdiskusi singkat dengan anggota divisinya mengenai jadwal piket sementara satu minggu ke depan. Ia sedari tadi melirik sosok sahabatnya yang tampak tenang dan tak terpengaruh seluruh kehebohan yang baru saja ia sebabkan. Oh ya, jelas Ulya tahu. Tapi Nida masih saja penasaran apa yang membuat Ulya tiba-tiba 'turun jabatan' dari posisi ketua 2 menjadi sekretaris 2? Ada apa ini sebenarnya.

"Ulya!" panggilan bernada penting itu terdengar juga dari sampingnya. Raut wajah Riza terlihat tak bersahabat. Segala macam kemungkinan bisa saja terjadinya atas keputusan besar malam ini.

Ulya mencoba tersenyum kecil melihat Nida dan Riza yang mencoba mengintimidasinya lewat tatapan.

"I'll explain later. Mau ke belakang aula?" tawar Ulya, tahu bahwa tempat mereka berkumpul sekarang terlalu ramai untuk membahas hal ini.

Mereka bertiga bergegas menuju tempat yang diusulkan Ulya.

"Jadi?"

"Ya, maaf-"

Suara Nida dan Riza terdengar bersamaan. Suara desahan lelah Ulya memotong perkataan mereka berdua.

"Kemarin ana dipanggil ke pengasuhan. Ada special request dari Mas Hanif, biar ana nggak masuk ke kepengurusan Imarah Thalibah tahun ini."
Nida mengerjap mengerti saat mendengar nama abang tertua Ulya itu.

"Tapi ya, seperti yang kalian tahu, Ustadzah Rachma tetep ngajuin ana masuk ke kandidat calon ketua. Dan beliau memberi ana pilihan untuk tetap maju di posisi awal dengan semua tanggung jawab, mundur dari kepengurusan atau pindah ke bagian lain yang nggak terlalu padat."

"Semester ini, jadwal terapi ana ditambah jadi sebulan dua kali. Kalau ana tetap di posisi awal, takutnya malah menghambat Athifah selama bertugas,"

Nida dan Riza menghambur memeluk Ulya erat.

"Nid, Ya. Ana janji nggak bakal ngerepotin kalian selama jadi pengurus. Yah, walau jelas nggak lurus-lurus amatlah. Ntar tau-tau ditarik jadi bagian keamanan pas reshuffle kan repot," celetuk Riza dengan nada usilnya.

Nida memutar mata sebal saat Ulya hanya tersenyum lebar menanggapi sahutan iseng Riza barusan. Meski begitu, Nida bisa melihat ketulusan di sorot mata sahabatnya. Yah, semoga saja.

*---*---*

Hilmi menarik napas panjang setelah prosesi serah terima jabatan selesai dilaksanakan. Wajah-wajah tegang terlihat dari barisan pengurus baru yang sedang kembali ke tempat duduk semula. Ia menangkap sekilas raut wajah Dzaki yang tampak lelah.

Lamunan Hilmi terhenti saat suara pembawa acara membacakan acara selanjutnya. Pergantian tempat antara pengurus lama yang ada di atas panggung dengan pengurus baru. Ia berdiri bersama pengurus lainnya lalu satu persatu pengurus lama turun dari panggung. Digantikan oleh formasi kepengurusan yang baru.

Setelah seluruh anggota pengurus baru menaiki panggung, pembawa acara mempersilakan mereka untuk kembali duduk. Kecuali para anggota bagian keamanan yang langsung menyebar untuk menjaga di sekeliling aula.

Hilmi melihat Dzaki yang tampak seperti membuang napas lelah, kemudian langsung memasang ekspresi dingin tak tersentuh. Ya, sepupu tengilnya yang satu itu diberi amanah menjadi bagian keamanan di kepengurusan kali ini. Mungkin pengasuhan mempertimbangkan hal ini agar Dzaki tidak lagi melanggar peraturan.

Acara pelantikan dan serah terima jabatan malam ini berjalan cukup lancar. Dikomandoi oleh Ibnu Athaillah, formasi kepengurusan kali ini cukup kompeten dan efisien. Hilmi lega bisa menyelesaikan amanah ini dengan paripurna. Meski mungkin masih banyak yang kurang selama ia memimpin, setidaknya ia sudah berusaha semaksimal yang ia bisa.

Setelah sesi foto yang entah keberapa kalinya, rombongan pengurus lama membubarkan diri. Hilmi berjalan keluar aula dengan perasaan lapang.

"Bang Hilmi." Panggilan dengan nada pelan itu terdengar dekat dari posisinya.

Hilmi menemukan sosok Dzaki dengan wajah lelah yang tak ia tutupi.

"Kenapa, Ki? Baru dilantik kok udah kusut gitu mukanya?" tanya Hilmi dengan nada ringan.

"Bisa nggak, kita ngomong di gazebo aja, Bang?" pinta Dzaki. Mereka berdua pun menepi dari keramaian aula dan anak-anak yang masih berkeliaran di luar asrama.

"Ada apa?" tanya Hilmi saat mereka sampai di tempat tujuan.

"Rasanya ana nggak akan sanggup, Bang. Ngejalanin tanggung jawab ini satu tahun ke depan."

Hilmi menepuk pundak sepupunya pelan. "Ustadz Ahmad kan ngasih antum kesempatan tiga bulan ke depan. Kalau ngerasa limit, antum bisa mundur. Tapi jangan jadiin ini alasan biar bisa lepas dari kepengurusan ya, Ki."

Hilmi bisa melihat sepupunya itu kembali menarik napas panjang.

"Antum mungkin ngerasa nggak pantas, nggak sanggup. Tapi ingat, amanah nggak pernah salah pundak. Terpilihnya antum untuk jadi salah satu pengurus itu artinya Allah memberikan antum kesempatan buat jadi lebih baik lagi. Punya koneksi lebih luas, belajar lebih banyak. Manfaatkan itu. Nggak usah peduliin kata orang. Lah, emangnya selama ini seorang Dzaki Auzan Ar-Razi pernah peduli sama pendapat orang-orang?"

Kalimat terakhir Hilmi membuat senyuman kecil terbit di sudut bibir Dzaki.

"Ada masalah apapun di kepengurusan, abang siap bantu. Tanya soal apa aja. InsyaAllah bakal abang usahain buat bantu kalian."

Hilmi merangkul bahu Dzaki erat sebagai tanda dukungan. Sekilas kelegaan terbit di sorot mata sepupunya itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top