24. Step by Step

"Setiap orang di dunia ini, apapun pekerjaannya, memainkan peran penting dalam sejarah dunia. Dan biasanya orang itu sendiri tidak menyadarinya."

Paulo Coelho, The Alchemist

Ulya terbangun setengah jam setelah Bang Hilmi pamit kembali ke asrama. Malam itu Riza dan Nida berjaga menemani Ulya hingga lewat tengah malam. Keesokan harinya setelah subuh rombongan delegasi putri kembali ke pondok. Sedangkan Riza, Nida dan Ustadzah Rahma menunggui Ulya hingga dijemput oleh abang tertuanya.

Ulya izin pulang selama satu minggu. Ia juga sempat dirawat di rumah sakit karena infeksi saluran pernapasannya semakin parah. Salah satu efek samping dari penyakit systhemic lupus erythematorus yang ia derita. Nida ingin sekali menjenguk sahabatnya itu selama dirawat, tapi ia harus segera bersiap menghadapi rangkaian ujian yang menghadang.

Sepulangnya dari MTQ Provinsi, Nida merasa hari-harinya berjalan amat cepat. Mungkin pengaruh dari kesibukannya mengejar hafalan dan pelajaran yang tertinggal selama MTQ. Mungkin juga pengaruh dari autopilot miliknya yang bekerja dengan sangat baik.

Nida masih merasa seperti mati rasa. Tapi setidaknya sekarang ia punya koridor yang jelas untuk ditapaki. Ia punya tujuan untuk dicapai. Meski hingga saat ia menginjakkan kaki kembali ke rumah untuk liburan, Nida sama sekali tak punya ide harus bagaimana jika kelak ia berhadapan dengan Buya dan Bundanya.

Hingga pagi ini, sudah hari ketiga ia liburan di rumah. Ingin rasanya Nida meet up dengan sahabat-sahabatnya. Tapi Riza lagi di Bandung selama liburan ini. Ning Ulya juga pulang ke Jogja karena harus istirahat total. Dan Nida sedang tak berminat ikut kumpul dengan teman-teman seangkatannya di Bekasi.

Jadilah pagi ini ia hanya men-scroll timeline Instagram-nya dengan bosan. Nida melirik pada jam beker yang terletak di atas meja belajar. Baru jam 8 pagi. Masih ada waktu satu jam sampai jadwal Dhuha dan setoran hafalan dimulai. Meski sudah di rumah, Bunda tetap menerapkan jadwal hafalan yang ketat untuknya dan Bang Hilmi. Ya, meski jelas nggak se-strick waktu di pondok tapi setidaknya cukup membantu menyelesaikan PR hafalan selama liburan.

Setelah jenuh me-refresh timeline IG-nya terus-menerus, Nida beralih ke tab explore. Mencari foto-foto keren atau update terbaru tentang fotografi. Ia ingin istirahat sejenak sebelum waktu Dhuha. Toh, setelah subuh tadi ia sudah mempersiapkan hafalannya. Tinggal setor ke Bunda saja nanti. Tak berapa lama tangan kanannya yang sedari tadi tegak memegang gawai, mulai rebah. Ikut pulas bersama matanya yang terpejam juga deru nafasnya yang teratur.

*---*---*

"Rofiatun Nida Haytsami!"

Nida mengerjapkan mata. Ia agak memicing karena sinar matahari masuk begitu tajam dari jendela kamarnya yang menghadap langsung ke taman belakang. Nida merasakan tepukan berulang di pahanya.

"Nida! Ayo Dhuha! Udah jam berapa ini?!" seru Bunda dengan suara tinggi.

Refleks Nida duduk lalu melihat jam di meja belajarnya. Apa? Jam 10 lewat? Nida masih shock melihat jam dan Bundanya yang berkacak pinggang di samping tempat tidur hingga Bunda mencubit pipinya gemas.

"Malah bengong. Ayo buruan wudu. Bunda tunggu di mushola. Lima menit lagi nggak datang, hape kamu Bunda sita," ancam Bunda dengan suara angker lalu keluar dari kamar Nida.

Panik, Nida bergegas wudu lalu menyambar mukenanya. Ia lantas berlari kecil menuruni tangga untuk sampai ke lantai satu, di mana mushola rumah mereka berada. Sesampainya Nida di mushola, ia melihat Bang Mi sedang sholat. Hmm, apa abang usilnya itu ikut telat juga pagi ini?

Tak sempat melanjutkan sorak-sorainya dalam benak, Nida lalu memilih pojok kanan mushola untuk sholat Dhuha. Setelah rampung melaksanakan Dhuha 12 rakaat, Nida dan Bang Mi berdiri menghadap Bunda yang bersedekap gemas di ambang pintu mushola.

"Kenapa bisa telat pagi ini? Ngapain aja dari abis subuh?"

Nida menunduk dalam-dalam. Tampaknya Bang Mi yang berdiri di sampingnya juga menunjukkan gestur yang sama.

"Bukannya mandi, sarapan, siap-siap buat apa gitu. Malah santai-santai di kamar. Bunda mungkin maklum Nida ketiduran, tapi Abang? Sibuk nge-game sampe Bunda pulang dari pasar aja nggak tahu. Kalo nggak dijemput ke kamar nggak tahu deh bakal Dhuha atau nggak."

Nida dan Bang Mi masih sama-sama menunduk. Bunda lalu menyuruh kami ke taman belakang untuk mempersiapkan hafalan di sana. Sedangkan Bunda menunggu kami di teras Paviliun untuk menerima setoran.

Nida masih bergelut dengan halaman ketiga juz 20-nya saat Bang Hilmi sudah beranjak dari sampingnya. Nida mendengus kesal. Walau abangnya itu sibuk main game hingga subuh sekalipun, ia hanya perlu waktu 15 menit untuk merekonstruksi murojaah 5 halaman. Menyebalkan sekali. Terasa agak tidak adil, kan? Padahal, rasa-rasanya Nida berusaha lebih keras dari abang usilnya satu itu.

Mengabaikan rasa sebalnya barusan, Nida kembali berkonsentrasi menghafalkan ziyadahnya. Ia tak mau terpanggang lebih lama di taman belakang ini. Duapuluh menit setelahnya, Nida akhirnya berhasil menyetorkan hafalan ziyadahnya dengan lancar. Tanpa koreksi satu pun! Yeiy! Yah, terkadang Bunda lebih strict dari Ustadzah Rahma kalau lagi nerima setoran. Hafalan berapa banyak pun, mau sehalaman atau satu juz nggak boleh ada salahnya pas setoran. Misal ada salah, di jadwal hafalan sore pasti harus diulang lagi.

"Buruan sarapan. Pasti belum pada makan kan. Abis Zuhur Bunda mau rapat ke Depok. Pulangnya mungkin maghrib. Jangan pada sibuk nge-hape di kamar loh, yah. Bunda nyalain CCTV nih nanti," titah Bunda memberikan instruksi sambil melangkah masuk ke ruang makan.

Nida menghela napas panjang saat mendengar peringatan dari Bunda.

"Tuh, Nid. Jangan bobo mulu di kamar," ledek Bang Mi dengan nada yang minta dijitak. Nida hanya memutar matanya sebal. Huh apa itu tadi? Bang Mi bertingkah seakan dirinya tidak ikut dihukum barusan. Menyebalkan. Nida menghentak-hentakkan kakinya sebal lalu berjalan menuju ruang makan yang terletak tak jauh dari paviliun.

*---*---*

Nida membuka jendela kamarnya yang menghadap taman belakang. Ia bosan. Setelah sholat Zuhur dan makan siang tadi, Nida langsung melarikan diri ke kamarnya. Rasa kantuknya tak tertahankan. Hmm, sepertinya akhir-akhir ini dia mudah sekali mengantuk dan tertidur.

Nida mengalihkan pandangannya ke arah paviliun. Hari ini percetakan Bunda sedang libur. Tidak ada kesibukan seperti hari biasanya di rumah. Yang artinya ia benar-benar hanya berdua dengan Bang Mi di rumah. Fyuh, liburan apalagi yang lebih membosankan dari terjebak di rumah dengan abang yang menyebalkan?

Gerutuan Nida dalam benaknya tersela oleh suara petikan gitar yang terdengar dari lantai bawah. Tunggu, gitar? Ia memperhatikan lebih cermat ke teras paviliun perpustakaan kayu mereka. Terlihat Bang Mi sedang duduk di anak tangganya sambil membawa sebuah gitar di pangkuan.

Nida mengucek matanya pelan. Ini aku nggak mimpi, kan? Atau kesadaranku belum penuh sejak bangun sepuluh menit yang lalu? Dahi Nida berlipat saat menganalisa keadaan di sekitarnya. Ia lantas berjalan cepat keluar kamar dan menuruni tangga untuk menghampiri Bang Mi.

Benar saja, abangnya itu sedang sibuk mempelajari chord lagu lewat youtube di ponselnya. Senyum Nida merekah. Rasanya sudah begitu lama sejak terakhir kali abangnya bereksperimen dengan gitar kesayangannya.

"Eh, Tuan Putri. Udah bangun?" celetuk Bang Mi usil sambil lalu.

Nida mengabaikan sindiran halus abangnya barusan. Ia memilih ikut duduk di teras paviliun.

"Tumben nge-gitar, Bang. Lagi ngulik lagu baru, ya?"

"Hmm? Bukan lagu baru, sih. Lagi pengen akustikan aja."

Nida menggoyangkan kakinya seirama nada-nada yang dipetik Bang Mi. Semakin lama, semakin lancar. Dan lagu ini sepertinya familiar sekali untuknya.

"Mahakarya. Tulus?" tebak Nida. Bang Mi menoleh dan mengangguk. Intro lagu itu terdengar sekali lagi, lalu tanpa Nida sangka suara jernih Bang Mi menyusul setelahnya.

Bapak pernah berkata,
Saat jiwa terpisah dari raga
Ia kan terbang menghinggapi karya terbaik kita

Ibu pernah berkata,
Jangan bergantung pada peruntungan
Senang dan tidak senang hidupmu tergantung kerja kerasmu

Beri hati pada setiap kerja kerasmu, karya-karyamu

Nida ikut bernyanyi mengiringi Bang Mi. Hingga sampai di akhir lagu, ia bertepuk tangan antusias. Senyum sumringah merekah di wajahnya. Bang Mi di sampingnya justru menyeringai dengan sorot mata geli.

"Ih, nyebelin!" ujar Nida sambil memukul lengan abangnya.

"Apaan sih. Main pukul-pukul aja," balas Bang Mi tak kalah sewot.

Nida mendengus sebal. Bang Mi kembali asik memainkan beberapa nada sambil menggumamkan sebuah lagu.

"Bang, request 'Lagu untuk Matahari', dong."

"Berani bayar fee abang berapa?"

"Dih, pelit. Sama adek sendiri perhitungan."

"Haha. Oke. Satu lagu aja tapinya, yah."

Nida mengangguk semangat. Nada-nada yang dipetikkan Bang Mi mulai terdengar familiar.

Mereka tak sempurna
Sama juga halnya denganmu
Jangan risaukan celamu

Mungkin mereka bulan
Tapi ingat kau matahari
Cahaya mereka darimu

Nida menyambut lagu favoritnya dengan antusias. Lirik-lirik dengan makna dalam itu semakin memiliki arti dengan keadaan dan benaknya yang agak sepi akhir-akhir ini.

Ia masih menggumamkan lagu kesukaannya meski petikan gitar Bang Hilmi sudah berhenti.

"Kok akhir-akhir ini kamu pendiem sih, Dek? Biasanya cerita nggak abis-abis kayak gerbong kereta," tegur Bang Mi lembut.

"Hmm? Nggak tahu. Emang lagi nggak punya cerita." Nida menyahut sekenanya. Ia memalingkan pandangan ke arah langit. Entahlah, benaknya tak kalah ribut dari biasanya. Lebih ramai malah. Ada begitu banyak keresahan dan kekhawatiran yang memenuhinya. Tapi ia tak bisa membaginya dengan leluasa.

"Udah coba setting goal lagi? Udah ada persiapan buat Olimpiade belom?"

Nida menunduk, lantas menggeleng. Nida bisa mendengar Bang Mi meletakkan gitarnya ke lantai teras.

"Kalo ada sesuatu yang pengen diomongin, cerita aja. Abang siap dengerin, kok."

"Nida takut, Bang."

Sosok yang baru saja mengucapkan kalimat di atas semakin menundukkan kepalanya. Nida merasa matanya mulai memanas.

"Nida takut nggak bisa nyelesain hafalan tepat waktu, takut nilai semester ini jelek, takut harapan Nida buat ke Nasional ternyata cuma sekadar harapan."

"Nida nggak tahu harus gimana. Nida merasa terlalu takut meski hanya menyusun planning dan tujuan ke depannya. Nida takut bakal ngecewain diri sendiri."

Setetes air mata jatuh membasahi pipinya.

"Nida, It's okay. Nggak masalah kalau apa yang kamu capai nggak sesuai target. Asalkan usaha dan ikhtiar yang kamu lakukan tetap maksimal. Allah nggak menilai hasil, Dek. Tapi proses."

Nida mengangkat wajah. Ia melihat abangnya yang kini tersenyum lembut dengan sorot mata teduh miliknya.

"Allah sejatinya menciptakan manusia itu senang berkeluh kesah. Innal insana khuliqo halu'a. Jadi sebenernya, rasa takut, khawatir, insecure itu wajar. Hanya saja, balik lagi kita menyandarkan rasa takut tadi ke siapa? Kita lari ke mana buat ngedapetin rasa aman?"

"Mungkin kita belum sampai di titik keimanan di mana kita bisa seratus persen tawakkal sama ketetapan Allah tanpa bertanya. Mungkin kita termasuk tipikal orang yang perlu mengais hikmah di balik suatu kejadian baru bisa total menerima. Nggak masalah, itu semua proses. Selama kita tetap menjadikan Allah sebagai sandaran, nggak ada satu pun makhluk di dunia yang bisa nyakitin kita," sambung Bang Mi lembut.

Nida memejamkan mata. Ia dapat merasakan bulir air mata kembali menyelinap jatuh.

"So, set your goals. Susun target dan tujuan kamu. Kalo masih bingung, coba gini. Allah kan menciptakan kita untuk beribadah pada-Nya. Sekarang coba kamu lihat lagi. Langkah dan misi yang bakal kamu tempuh itu makin ngedeketin kamu ke Allah atau nggak?"

"Dan lagi, Dek. Hafalan itu bukan soal kecerdasan, tapi pertolongan Allah. Coba, kapan terakhir kali nangis pas doa sholat Hifzil Quran? Kapan terakhir kali bawa hafalan pas tahajjud? Bukannya abang meragukan kamu, tapi barangkali memang masih kurang doanya," lanjut Bang Mi lagi.

Nida menatap abangnya yang masih memandang dirinya dengan tatapan meneduhkan. Bola mata cokelat pekat yang berada di balik kacamata itu berbinar lembut. Tampak optimisme dan kepercayaan terpancar dari sana.

"Bantuin Nida nyusun planning, Bang. Tapi jangan diketawain, yah?" pinta Nida dengan nada memelas.

Seulas senyum geli muncul di wajah abang kandungnya. Membuat Nida kembali memukul lengan atas Bang Hilmi keras.

"Aw! Sakit tau, Dek. Biru-biru nih tangan Abang kamu bikin."

"Biarin! Kirain udah nggak kumat lagi usilnya abis tausyiah panjang-lebar. Tahunya masih ngece juga."

Nida bergegas bangkit sambil menghentakkan kakinya sebal. Bang Hilmi cepat menarik tangannya.

"Eh, nggak. Abang nggak bercanda. Beneran ini. Gih, ambil agenda buruan. Kita susun planning semester depan bareng-bareng."

Demi melihat kesungguhan pada sorot mata dalam di hadapannya, Nida bergegas naik ke kamarnya. Mengambil buku agenda kembar yang dibuat khusus oleh Bang Hilmi untuk mereka berdua.

KL, 29 Oktober 2019

A/N:

Whoa, hampir 2000 kata. Nggak nyangka ternyata aku sekangen itu sama Bang Mi dan Nida :"
Maaf menghilang tanpa kabar dua bulan terakhir. Semester ini padat sekali buatku 🙈. Belum lagi ada banyak project yang juga harus rampung akhir tahun ini.

Doakan DPC bisa selesai sebelum Januari, ya. Sebenernya kemarinan aku galau antara masukin 3 bab tambahan ke wattpad atau disimpen aja buat versi cetak. Hmm, kayaknya bakal aku save buat bonus versi cetak aja, deh.

Jadi setelah part ini mengudara, tersisa 7 part lagi yang akan aku publish di sini. Doakan lancar, ya 🙏

Oh iya, aku upload work baru buat RAWS Festival. Judulnya 'Lakuna' buat yang suka baca 'Coretan Adzkya' mungkin bakal cocok menjelajah di sana. See you there! 🙋

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top