21. Jurang yang Membentang
Mati rasa. Apalagi yang kau harapkan dari sebuah hati yang kehilangan asa dan harapan yang selama ini dipupuk sebegitu dalam? Nida nyaris melakukan apapun setelah lomba Fahmil tanpa berpikir. Tanpa perasaan. Sepertinya fungsi autopilot-nya berjalan sangat baik hingga membuatnya seperti ini.
Riza dan Ulya memastikan keadaannya hampir tiap jam. Bertanya perasaannya, menawarinya makanan, buku, bahkan jalan-jalan keliling Utsman bin Affan. Sayangnya, Nida tak berminat pada apapun. Ia lebih berminat menekuni ayat-ayat di juz 17 juga buku ' Rahasia Nikmatnya Menghafal Al-Qur'an' yang sengaja ia bawa.
Begitu juga sore ini. Meski sedikit teralihkan dengan penampilan memikat dari para santri, Nida kembali menatap hampa pada panggung megah yang berdiri di bagian depan auditorium. Sebenarnya ia tak ingin merasa seperti ini. Rasanya tak pantas merasa 'kosong' saat semua orang di kontingennya bergembira dengan pencapaian mereka.
Jadilah Nida berusaha menyapa dan tersenyum seperlunya. Hanya agar tak lebih banyak orang tahu bahwa dirinya sedang sekacau ini. Beberapa kali ia bahkan menangkap tatapan khawatir Fatih yang ditujukan padanya. Sejak pertemuan di pasar malam, Fatih tak lagi mencoba mengajaknya bicara. Ah, lagipula Nida sedang tak ingin berbicara apapun pada siapapun. Termasuk pada Bang Mi dan Dzaki.
Ia sudah menolak bicara pada abangnya tiga kali. Sedangkan Dzaki tak lagi mencoba saat Nida sepenuhnya mengabaikannya setelah kunjungan Buya kemarin. Yah, mungkin ia benar-benar perlu waktu sendiri. Nida tersadar dari lamunan saat nama Bang Mi disebut sebagai juara kedua di kategori lombanya. Tepuk tangan meriah bersahut-sahutan menyambutnya.
Nida menatap nanar pada sosok gagah yang menaiki panggung. Berbagai pikiran berkecamuk di benaknya sejak babak penyisihan MFQ. Berbagai perasaan juga terasa campur aduk tiap kali ia menatap abang kandungnya itu. Entahlah, yang Nida tahu pasti benci tak ada di antaranya.
*---*---*
Nida baru saja akan menaiki bus saat sosok Fatih mendekatinya.
"Hmm, Nid?" panggilan bernada tanya itu membuat Nida mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Fatih.
"Udah mau pulang, ya?"
"Iya, nih. Satu jam lagi berangkat. Ada apa, Tih?" Sedikit senyum Nida sunggingkan agar sorot khawatir pada sepasang mata di hadapannya sedikit berkurang.
"Nggak, cuma mau ngasih ini." Fatih mengangsurkan sebuah agenda kecil dengan sampul khas MTQ Provinsi. Nida mengambilnya sambil tersenyum kecil.
"Udah, ini aja?" Melihat gelagat Fatih yang ingin mengatakan sesuatu membuat Nida bertanya memastikan.
Nida dapat melihat sekilas ragu di sorot mata Fatih. Namun sosok itu mengangguk pelan kemudian lantas mengulum sebuah senyuman tulus di bibirnya.
"Semoga kita bisa ketemu lagi di OSN, Nid. Assalamualaikum."
Begitu saja. Sosok ber-hoodie hitam itu lalu pamit masih dengan senyuman hangat miliknya. Tak urung senyum tulus tadi membuat Nida ikut tersenyum.
"Apa katanya tadi? Ketemu lagi di OSN? Ya dia mah udah pasti masuk Nasional. Lah kita?" celetukan Riza membuat Nida menyadari kehadiran sahabatnya itu.
Mengangkat bahu, Nida menaiki bus menuju tempat duduknya diikuti Riza.
"Fatih ngasih apa, Nid?" tanya Ulya penasaran.
Nida menunjukkan agenda kecil yang Fatih berikan. "Ini aja. Kayaknya dia mau ngomongin sesuatu gitu, tadi. Tapi akhirnya nggak jadi."
"Mungkin nunggu OSN nanti, kali. Nah, Nid. Anti kudu doa yang kenceng biar bisa masuk nasional," sahut Riza usil.
Nida hanya memutar matanya sebal mendengar celetukan Riza. Entahlah, rasa-rasanya Nida tak berminat mengikuti lomba atau kompetisi manapun lagi setelah ini. Energi dan semangatnya seperti terkuras habis.
"Nida?"
Suara familiar milik abangnya membuat Nida refleks menutup mata. Riza dan Ulya sibuk membujuknya dalam bisikan dan isyarat agar ia mau menanggapi panggilan Bang Mi. Entah sudah keberapa kalinya Bang Hilmi berusaha mengajaknya bicara. Tak hanya enggan, Nida juga tidak siap. Apalagi di tengah kerumunan kontingen Ruha yang tengah bersiap pulang.
"Nid, turun gih. Nggak kasian apa sama Bang Hilmi dari kemarin cemas banget gitu mukanya."
Riza benar, meski suasana hati dan pikirannya belum juga membaik ia tak seharusnya membuat Bang Hilmi khawatir seperti ini. Setelah berhasil membujuk dirinya agar tetap kuat, Nida memutuskan untuk turun dan menemui abangnya yang sedari tadi menunggu di pintu belakang bus.
"Kamu nggak apa-apa? Kamu baik-baik aja?" Nada khawatir terdengar jelas dari suara lembut Bang Hilmi di hadapannya. Nida hanya sanggup melihat sekilas raut wajah abang kandungnya itu. Bukannya kebanggaan, rasa sedih dan cemas justru mendominasi wajah peraih piala MTQ provinsi itu.
Selintas rasa bersalah membuat Nida menundukkan wajah. Ia tak ingin apalagi bermaksud membuat abangnya merasa seperti ini.
Suara debasan sebal terdengar. "Nid, masa Fatih kamu tanggepin tapi abang malah kamu cuekin sih?"
Sekarang nada cemburu dan sebal yang terdengar membuat Nida tersenyum kecil. Mengangkat wajah, Nida menguatkan diri menatap mata Bang Hilmi.
"Bang, Nida belum siap bicara apapun sama abang. Maaf."
Merasakan pelupuk matanya memanas karena air mata, Nida segera beranjak masuk kembali ke dalam bus. Memejamkan mata, sebulir bening mengalir membasahi pipinya.
*---*---*
Mereka baru sampai ke pondok pusat saat malam mendekati pertengahannya. Nida hanya sempat tidur sebentar dan kembali terjaga dengan berbagai pikiran di benaknya. Malam ini kontingen putri akan menginap di gedung Al-Mulk, lalu besok pagi kembali ke Cikarang.
Segumpal sesak masih terasa membebani dadanya. Ia tahu takkan sanggup melangsungkan 'perang dingin' ini dengan Bang Hilmi lebih lama lagi. Karena jujur saja, saat ini ia lebih membutuhkan sandaran dan teman bicara daripada mendiamkan abang kandungnya itu lebih lama. Ia melangkah turun dari bus dan langsung disambut sosok Bang Hilmi yang menunggu di belakang bus.
"Nida. Bisa ikut abang sebentar?"
Menatap mata penuh kelembutan itu, Nida mengangguk pelan. Mengikuti langkah abangnya menuju deretan saung kayu yang terletak di beranda samping gedung Al-Mulk. Bang Hilmi mengisyaratkannya untuk duduk di salah satu saung yang berada di tengah.
Keheningan turun di antara mereka membuat semilir angin yang berhembus semakin terasa dingin. Nida merapatkan jaket yang ia kenakan.
"Diam nggak akan menyelesaikan masalah. Dan abang bukan cenayang, Nid. Yang bisa tahu isi hati dan pikiran kamu tanpa kamu ngomong sedikit pun."
Menghela napas, Nida berusaha menghalau rasa sesak yang terasa semakin nyata di dadanya.
"Abang nggak pernah tahu apa yang Nida rasakan."
Suara lirih dan serak miliknya lolos begitu saja bersama dengan bulir airmata yang jatuh membasahi pipi.
"Abang nggak ngerti apa yang Nida rasain selama ini, kan?"
Pertanyaan dengan nada penuh sesak itu akhirnya keluar dari mulutnya. Nida menangis dalam diam. Berharap tangisnya mampu menghilangkan segala rasa sesak dan bersalah yang bertubi-tubi menghantuinya.
____________________________________
A/N: Next chapter will updated soon. Saran Alya, siapin tisu, deh *susut ingus
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top