20. Penghancur Hati

Meski tak pernah meminta, saat kau dilahirkan menjadi yang tertua
Tugasmu adalah menjaga hati seluruh keluarga

"Iqro' awwali suroh Al Anfal."

Suara jernih Ustadz Hisyam memberikan soal terakhir dalam sesi latihan malam ini. Hilmi mengambil napas panjang, lalu mulai membaca awal surah Al Anfal. Pada akhir ayat keempat, tanda ketukan dari Ustadz Hisyam mengisyaratkannya untuk berhenti. Membaca tashdiq, Hilmi mengangkat wajahnya yang sedari tadi ditundukkan.

"Udah bagus, Mi. Konsentrasinya dikontrol lagi biar nggak buyar. Antum ini udah berkali-kali ikut MTQ Provinsi, loh. Kok masih aja nervous?" Pertanyaan bernada heran dari Ustadz Hisyam membuat Hilmi meringis pelan.

Sebenarnya Hilmi tak pernah terbiasa dengan perhatian berlebih yang selalu ia dapatkan saat berada di panggung. Bahkan hingga tahun keempatnya di Ruha, ia baru bisa mengontrol diri saat harus tampil dalam acara-acara resmi sebagai ketua Imarah Thullab. Selebihnya? Ia masih harus berjuang mengendalikan rasa tidak nyaman yang diam-diam merayapi sudut hatinya.

Setelah beberapa pesan lainnya, Ustadz Hisyam menyudahi sesi latihan malam ini. Dari kontingen kabupaten mereka, ada lima orang lainnya yang akan mengikuti babak final esok hari. Termasuk juga Fatih. Sedangkan dari utusan Ruha, hanya dirinya seorang yang berhasil masuk final.

Hilmi memijit dahinya pelan. Entah kenapa semakin lama semuanya terasa semakin berat. Bukan, bukannya ia tidak ikhlas atau tidak rela menjalani semua ini. Tapi rasanya semua beban harapan serta tanggung jawab seperti diletakkan di pundaknya sekaligus.

"Bang." Suara berat Dzaki juga bayangan dirinya yang menghalangi cahaya lampu membuat Hilmi membuka mata. Hilmi hanya menaikkan alisnya, mengisyaratkan tanya pada sepupunya itu.

"Besok Buya jadi ke sini kata Nida."

Hilmi hanya berdeham menyahut. "Tadi ketemu Nida di mana?"

Sepupunya itu langsung mengambil posisi duduk bersila di depannya. "Nah, masalahnya ana tahu berita ini bukan dari Nida langsung, Bang."

Mendengar nada was-was milik Dzaki, Hilmi langsung mengerjapkan matanya cepat.

Dzaki melirik dengan ekor matanya, berisyarat pada seseorang yang juga ada di ruang tamu ini. "Disampein sama Fatih tadi."

Hilmi berdebas lelah. Jelas ada sesuatu yang tidak beres saat ini. Alih-alih memberitahu Dzaki atau dirinya tentang kedatangan Buya, Nida justru meminta Fatih untuk menyampaikan pesannya. Memejamkan mata erat, Hilmi mulai merasa kepalanya semakin sakit sekarang.

*---*---*

Kamu pernah merasakan patah hati? Saat sepasang mata milik seseorang yang kamu sayangi tidak lagi sudi membalas tatapanmu. Saat sosok yang memiliki ruang khusus di sudut hati justru menghindarimu seakan-akan kamu adalah penyakit menular yang harus dijauhi.

Jika bisa memilih, saat ini Hilmi lebih memilih diteriaki habis-habisan oleh Nida. Tak apa jika harus melihat wajah manis itu berlinang airmata. Tak apa jika ia harus jadi pelampiasan kemarahan adiknya tersebut. Apapun. Rasanya Hilmi ingin melakukan apapun agar adik kesayangannya itu tak lagi mengacuhkannya seperti ini.

Ia baru saja menghela napas lega setelah duapuluh menit penuh ketegangan di atas panggung, tapi kali ini ia harus dihadapkan dengan 'perang dingin' yang digelar Nida tanpa aba-aba. Adik kesayangannya itu sangat kecewa, sepertinya. Atau justru marah? Entah, yang pasti kediaman si cerewet itu cukup menyita perhatian Ayah dan Bunda yang ikut berkunjung.

Nida bahkan nyaris tidak mengatakan apapun dan hampir selalu melamun, jika tidak ada yang mengajaknya bicara. Kesunyian tetap menggantung di antara mereka bertiga hingga mobil Buya meninggalkan gerbang utama.

Memberanikan diri, Hilmi mencoba menggapai tangan adiknya.

"Nid? Are you okay?" ujarnya lirih.

Dan, tatapan balik dari sepasang mata di hadapannya nyaris membuatnya tak bisa bernapas. Binar cahaya di mata itu hilang, seperti tersedot entah kemana. Nida hanya tersenyum tipis. Senyum yang tak sampai ke matanya. Beberapa detik kemudian, adiknya melepaskan pegangan tangan Hilmi yang melonggar, lantas melangkah menjauhi ia dan Dzaki.

"Kenapa lagi, sekarang? Nida ada di MTQ sama kayak kita. Apalagi sih yang jadi masalah?" sungut Dzaki sebal.

Hilmi menarik napas dalam. Masalah yang terbentang antara ia dan adiknya tak pernah sesederhana kelihatannya. Ia tahu betul itu. Hanya saja, Hilmi masih belum tahu sejauh mana adiknya bereaksi dengan masalah yang mereka hadapi saat ini. Yang ia tahu, kondisi mereka kembali terasa seperti satu tahun yang lalu. Bahkan mungkin lebih buruk.

*---*---*

Dengan langkah tergesa, Hilmi bergegas menuju shelter kayu tempat kontingen putri berada. Yah, mungkin ia akan segera terkena cap abang paling picisan seantero Ruha setelah ini. Siapa peduli? Toh imej-nya sudah 'jelek' duluan di redaksi Tsaqofah sejak adik kesayangannya masuk Ruha dua tahun yang lalu.

Hilmi masih mengawang dengan berbagai pikiran di benaknya saat seseorang memekik di sampingnya memintanya berhati-hati.

"Hilmi?"

Tersadar, Hilmi menoleh ke asal suara. Terburu meminta maaf dan wajahnya langsung terasa memanas setelah mengetahui siapa yang baru saja nyaris ditabraknya.

"Madza taf'al huna*?"

Hilmi hanya bisa meringis mendengar pertanyaan itu. Tapi, kehadiran partner-nya yang satu ini bisa jadi menjawab kebimbangan yang sedari tadi terlalu ribut di benaknya.

"Uum, Fra? Boleh titip sesuatu?" Hilmi bersyukur Afra sedang tidak bersama siapapun saat ini. Setidaknya pasukan pem-bully di redaksi tak akan bertambah setelah ini.

Afra menaikkan alis, "Buat siapa? Ulya?"

Hilmi hanya mengangsurkan bungkusan plastik di tangannya tanpa ekspresi.

"Oke, oke. Iya, tahu buat Nida. Duh, kalian itu. Udah kayak orang pacaran lagi berantem tahu nggak?"

"Kaifa haluha bil haqiqoh**?"

Afra terdiam, "Idza taqsudu'l an annaha bikhoir**. Yg perlu antum tahu itu kejadian kemarin."

"Ini soal fahmil, kan? "

Afra mengangguk mengiyakan. "Ana nggak ngerti apa sebenernya motivasi terdalamnya Nida, apa itu ambisi atau bukan. Tapi, dia benar-benar kelihatan putus asa. Antum tahu, sepanjang siang dia dan gengnya nggak keluar dari kamar. Sampai dibujuk juga sama Ustadzah Rachma, tapi ya Nidanya diem aja. Sorenya baru keliatan agak mendingan. Itu juga sempat bikin panik karena kepisah dari temen-temannya waktu ke pasar malam."

Hilmi mengusap wajahnya frustrasi. Tatapan Afra tampak sedikit iba. Mau tak mau Hilmi mengalihkan wajah. Lantas berdebas keras.

"Ana mungkin nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian. Tapi sepertinya. antum harus ajak ngobrol Nida, secepatnya. Cuma antum yang bisa nyelesain ini semua."

Hilmi mengangguk pelan. Berbagai macam kemungkinan dan strategi tersusun di benaknya. Ia harus bisa berbicara dengan Nida sebelum kontingen putri pulang ke Cikarang.

____________________________________
Catatan :
*Madza taf'al huna: Kamu ngapain di sini?

**Kaifa haluha bil haqiqoh: bagaimana kabarnya yang sebenarnya?

***Idza taqsudu'l an annaha bikhoir: kalau yang kamu maksud itu sekarang, dia baik-baik aja.

A/N: Maaf baru balik lagi setelah sekian purnama 🙈. Just pray for me, please. Jujur aja satu sem ini overwhelmed sama perasaan Bang Mi-Nida dan bikin stuck nulisnya 🙈.

Next chapter bakal diunggah kalau vote sampai 40 ya 🙋
Setelahnya DPC bakal update reguler tiap Ahad, InsyaAllah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top