2. Dua 'Pengawal' Populer
Popularitas tak hanya tentang ketenaran. Terkadang, itu artinya setiap gerak-gerikmu akan senantiasa diperhatikan.
Nida membuka mata perlahan, mengerjap-ngerjap. Cahaya matahari yang masuk melalui celah jendela mobil menerpa wajahnya. Sayup-sayup Nida mendengar sebuah suara yang tengah melantunkan ayat suci Al-Qur'an. Itu dua halaman terakhir dari Surah Yusuf. Surah kesukaan Nida. Ia bergegas menegakkan tubuh, selalu menyenangkan mendengar bacaan Bang Hilmi.
Nida menyimak sambil sesekali bergumam mengikuti. Meski bagi beberapa orang surah itu terbilang sulit, Nida justru menghafalkannya nyaris tanpa kendala.
Bukan tanpa alasan Nida menyukai surah Yusuf. Sekitar dua tahun yang lalu, Bang Hilmi pulang ke rumah dengan wajah lesu. Tak tampak semangat yang biasanya terpancar dari raut wajahnya. Juga tak ada cerita-cerita seru yang biasanya antusias diceritakan Bang Hilmi pada Nida. Semua keanehan itu terjawab saat Bang Hilmi meminta tolong disimak hafalannya. Surah itu ; Surah Yusuf. Tiga halaman pertama, suara Bang Hilmi masih terdengar mantap. Halaman berikutnya sedikit tersendat. Lantas bulir-bulir airmata mulai berkejaran dalam setiap kata yang Bang Hilmi ucapkan.
Kata-kata dalam Surah Yusuf itu entah kenapa terasa amat sulit dilafalkan Bang Hilmi. Tapi, bukan Hilmi Mursyid Haytsami namanya jika menyerah begitu saja. Maka, dalam satu bulan penuh liburannya, Nida setia menjadi penyimak Bang Hilmi melancarkan hafalan. Jadilah, surah yang bercerita tentang Nabi Yusuf alaihis salam itu akrab di hati dan telinga Nida.
Lamunan Nida buyar saat suara murattal live yang sedari tadi ia simak terdengar bergetar. Dahi Nida mengernyit heran. Bang Hilmi menangis? Ada apa lagi kali ini? Tentu saja bukan karena ayat-ayat cahaya itu tak tergambar utuh dalam benaknya, kan? Nida sempurna bertanya-tanya.
Suara Bang Hilmi terhenti. Terdengar helaan napas panjang, dan dengan suara yang agak bergetar kembali melanjutkan bacaan hingga akhir surah.
"Shodaqallahul 'Adzim."
Bang Hilmi tampak mengecup takzim mushaf biru tua kesayangannya. Setelah meletakkan kembali mushaf itu di ranselnya, Bang Hilmi menyondongkan badannya ke jok belakang. Sepertinya hendak mengambil botol air minum di sana.
"Udah bangun, Nid?"
"Dari tadi, Bang."
Nida membantu Bang Hilmi mengambil botol minum dan menyerahkannya. Nida hanya diam mengamati jejak airmata yang tak terlihat di wajah abangnya. Namun sembab masih tersisa di pelupuk mata Bang Hilmi.
"Bang Mi kenapa?"
"Eh? Kenapa apanya?"
"Bang Mi tadi nangis, kan? Ada apa lagi sama Surah Yusuf-nya?"
Sosok yang duduk di jok depan Nida kini sempurna mengalihkan perhatiannya.
"Nggak ada apa-apa, Nid. Babang Yusufnya kamu nggak ngapa-ngapain Bang Mi, kok," goda Bang Hilmi.
Nida menghela napas sebal. "Serius, ih. Bang Mi kenapa nangis?"
"Nggak, cuma lagi kepikiran aja. Nabi Yusuf itu kan, role model-nya para pemuda. Hidupnya lurus, baik. Tapi meski begitu, bukan berarti hidupnya luput dari cobaan. Malahan, cobaan yang ngejemput beliau terus menerus." Bang Hilmi menghela napas sejenak. "Abang cuma mikir, coba kalo satu aja, cobaan beliau itu ngehampirin abang. Apa abang sanggup ngejalanin semua seperti beliau? Dengan hati tulus murni, tanpa dendam, tanpa penghakiman."
Kilasan kisah Nabi Yusuf terbayang di benak Nida. Bang Hilmi benar, dengan semua kezhaliman yang beliau alami sejak kecil, sebenarnya beliau memiliki amunisi dan alasan yang amat kuat untuk membalas dendam. Pada saudara-saudaranya, pada Zulaikha yang memfitnahnya, pada tuan yang tak mempercayainya. Tapi jalan yang Nabi Yusuf ambil sangatlah berbeda.
"Oh iya, gimana kabar Surah Maryam-nya? Seru, kan?" Suara dengan nada menggoda dari jok di depannya membuyarkan lamunan Nida.
Nida mengerucutkan bibir. "Baru sekarang ngerasain gimana rasanya kayak Bang Hilmi yang nangis-nangis ngafalin Yusuf."
"Ngafal itu memang harus nangis-nangis dulu, Nid. Biar berasa mujahadahnya. Sekaligus, nguji niat kita. Kita bakal nyerah atau justru makin kuat berusaha," ujar Bang Hilmi.
Nida hanya manggut-manggut mengerti. Mobil yang mereka tumpangi telah sampai di tol dalam kota menuju pondok putri di Cikarang. Bang Hilmi menyenggol lengan Dzaki yang duduk di sampingnya.
"Ki, bangun. Udah mau nyampe Cikarang, nih."
Ajaib. Si biang kerok yang tadi subuh susah sekali dibangunkan agar bersiap-siap, justru sadar seketika saat mendengar perkataan Bang Hilmi.
"Hah? Udah nyampe Cikarang, Bang? Beneran?"
Dzaki langsung buru-buru merapikan rambutnya, menata kerah kemejanya dan berkaca di layar tabnya.
"Eh, mana pondoknya, Nid?"
Nida mendengkus geli sambil tertawa kecil melihat tingkah Dzaki, sedangkan Bang Hilmi sudah sedari tadi tertawa lepas.
"Ternyata gampang banget bangunin ente ya, Ki. Cukup bilang 'mau nyampe Cikarang' langsung melek. Kudu dipraktekkin nih, bangunin tahajjud besok," ledek Bang Hilmi.
Wajah Dzaki memerah menahan malu.
Setengah jam kemudian, mobil yang mereka tumpangi telah berhenti di halaman pondoknya. Nida menatap sekeliling, meski pondok putri tak seluas pondok pusat, tempat ini tetap saja ia rindukan. Bang Hilmi menurunkan koper dan ransel milik Nida.
"Mau dianterin, Nid?" tawar Bang Hilmi.
Nida menggeleng, "Nggak usah, Bang. Nida sendiri aja."
"Apa mau aku bantuin, Nid?" Dzaki menyahut tanpa diminta, yang langsung dihadiahi tatapan maut dari Nida.
Nida memutar mata. Sepupu tengilnya satu ini memang sukanya cari kesempatan dalam ksempitan. "Nggak perlu. Ntar kamu malah tebar pesona lagi di gerbang," dengkus Nida sebal.
"Kita numpang makan bakso di kantin ya, Nid. Laper nih," ujar Bang Hilmi. Lalu mengajak Pak Damar —supir pribadi Buya— untuk ikut dengannya dan Dzaki.
Nida hanya menghela napas sambil terus menggeret kopernya. Saatnya menebalkan telinga dari kasak-kusuk anak putri.
"Eh, eh ... itu Akhi Hilmi, kan?"
"Iya, ketua Imarah Thullab yang sering jadi wakil MTQ itu."
"Ih, enam bulan nggak ketemu kok makin kece sih."
"Dih, emang kamu pernah beneran ketemu sama Bang Mi?"
What? Nida langsung awas pada sekitarnya. Siapa itu tadi yang lancang sekali memanggil abangnya dengan panggilan kesayangan milik Nida? Pandangan Nida jatuh pada dua orang anak seangkatannya yang sedang berdiri di dekat kantor.
"Sabar ya, Nid. Emang gitu rasanya punya abang famous," ujar Kak Najmi jahil saat Nida mengisi daftar kehadiran.
Nida menghela napas. Paham sekali situasi yang membuat kupingnya pengang ini disebabkan karena apa. "Hu'um, Kak. Harus nyetok sabar yang banyak kalo gini, mah."
"Eh, iya. Nanti ana ikut ketemu abang anti, ya. Ada perlu sebentar," bisik Kak Najmi pelan dengan bahasa arab.
Nida mengangguk, bergegas meletakkan barang-barangnya di kamar.
Lima belas menit kemudian, Nida dan Kak Najmi sudah ikut duduk di kantin. Kantin pondok putri terletak di luar gerbang kedua. Lebih tepatnya berada di area khusus penjengukan santri. Jika hari biasa, tak semua santri diperbolehkan jajan di luar gerbang kedua. Hanya pada jam-jam tertentu saja. Dan sayangnya, hari ini bukanlah hari-hari biasa. Ini hari kedatangan santriwati tingkat SMA. Jelas saja kantin jadi ramai tak terkira.
Nida memutar mata sebal melihat gaya Dzaki yang sedari tadi sok jaim. Sok sibuk sendiri dengan tab miliknya. Sedangkan Bang Hilmi sudah terlibat diskusi seru dengan Kak Najmi soal pagelaran seni angkatan mereka.
"Eh, itu ... ketua angkatan enak banget ngobrol berdua di kantin begini."
"Tau, yak. Tumbenan lagi Hilmi mau ke pondok putri. Jangan-jangan janjian, lagi."
"Hush! Nggak boleh suudzon, siapa tau mereka lagi konsultasi soal Pentas Seni kita nanti."
"Itu juga mereka nggak berdua, kok. Ada adek sama sepupunya Hilmi juga."
Nida menghela napas sebal. Tampaknya setiap langkahnya takkan pernah tenang jika Bang Hilmi masih menjejak pondok putri. Kak Najmi tampak gelisah di tempat duduknya. Sepertinya, Kak Najmi menyadari kalau ia sudah menjadi bahan gosip di angkatan.
"Detailnya nanti dikabarin lagi ya, Mi," ujar Kak Najmi ingin menyudahi percakapan.
Bang Hilmi mengangguk pelan. "Iya, nanti email aja. Kalo ada yang kurang nanti kita diskusiin lagi."
Setelah sedikit basa-basi lain, Kak Najmi bergegas meninggalkan kantin. Baru saja ingin menghela napas lega, telinga Nida yang tampaknya terlalu sensitif hari ini kembali menangkap obrolan kepo tak tahu malu yang lain.
"Eh, itu yang di depan Kak Nida, kemeja ijo. Bukannya vokalis nasyid yang kemaren, ya?"
"Acapella, kali."
"Iya, itulah pokoknya."
"Kayaknya bener, sih."
"Yang suaranya keren itu, kan?"
Nida menaikkan alisnya heran. Sedangkan sosok yang disebut-sebut sudah bergaya mengedarkan pandangan sambil mengirim anggukan sopan pada sekelompok anak kelas sepuluh yang tadi membicarakannya. Nida otomatis mendengkus sebal.
"Kenapa, Nid?" Bang Hilmi menegur sambil menahan tawa melihat ekspresi Nida.
Nida melengos sebal. Mengirimkan tatapan maut pada Dzaki yang ada di seberang mejanya. "Heran aja Bang, sejak kapan si biang kerok ini punya popularitas bagus di pondok putri."
"Nggak seneng banget sih, liat saudara sendiri punya reputasi bagus, Nid," sahut Dzaki iseng.
Bang Hilmi tertawa geli, membuat beberapa teman seangkatan Nida yang sedari tadi memerhatikan Bang Hilmi tampak menahan napas terpesona. Aduh, tolong. Kayak nggak pernah lihat cowok kece aja sih, itu orang-orang. Nida sebal sendiri melihatnya.
Berdeham sejenak menghentikan tawa, Bang Hilmi menyahut, "Emang reputasi si biang kerok di sini gimana?"
"Yang pastinya, Bang ... bukan reputasi yang mencoreng nama besar dan suara keren milik Dzaki Auzan Ar Razi," ujar Dzaki sambil membusungkan dadanya bangga.
Nida memutar matanya sebal. Belum tahu saja mereka bentuknya si Dzaki kayak apa. Nida melirik jam tangannya, memutuskan untuk menyudahi kunjungan dari dua 'pengawal' populer yang ia punya. "Udah jam sebelas, loh. Nggak mau balik sekarang, Bang?"
"Eh, iya. Ayo, Ki! Ntar keburu Zuhur nyampe pondok."
Dengan berat hati, Dzaki mengikuti Bang Hilmi ke parkiran. Nida menyusul mereka dari belakang.
"Semangat ngafalin Maryam-nya, Nid!" ujar Bang Hilmi saat merangkul Nida.
"Doain, Bang ...."
"Insya Allah."
Mobil baru saja akan berjalan saat Dzaki menurunkan kaca jendela.
"Nid! Titip!"
Nida berkeras menggeleng, tangannya bersedekap sebal. "Ogah!"
"Ya udah, kotak kecil yang di ransel kamu tolong kasihin Riza, ya."
Nida melotot sebal. Kapan sepupu biang keroknya ini meletakkan barang di ranselnya? Emang ya, si Dzaki. Suka seenak jidatnya kalo ngapa-ngapain, rutuk Nida dalam hati.
"Bang Mi! Rapel aja hukuman buat Dzaki. Nggak usah nunggu disidang lagi," kesah Nida. Ia kesal bukan main. Padahal Nida sudah berjanji pada diri sendiri, kalau tahun ini akan lebih mengeraskan hati pada titipan-titipan Dzaki.
Bang Hilmi hanya menahan tawa sambil diam-diam mengambil tab yang diletakkan Dzaki di samping tempat duduknya.
"Eh, Bang Mi?"
"Abang sita sekarang tab-nya."
Wajah Dzaki tampak pias, "Tapi nyampe ke pondok masih dua jam lagi," ujar Dzaki memelas.
"Terus? Anggap aja ini DP hukuman kamu kalo yang nanti itu ketahuan."
Tawa Nida lepas melihat ekspresi Dzaki yang nelangsa. Baru saja mobil yang ditumpangi Dzaki dan Bang Hilmi keluar gerbang, sebuah suara antusias memanggil Nida dari belakang. Tubuh Nida menegang. Ia amat familiar pada suara yang memanggilnya.
Si biang kerok pergi, eh ratunya malah nyamperin, keluh Nida dalam hati.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top