19. Retakan Awal

Bagaimana jika apa yang kau perjuangkan selama ini justru meruntuhkan semua asa dan cita milikmu?

Nida menghela napas panjang mencoba meredakan ketegangan yang semakin terasa di sekitarnya. Paket soal untuk masing-masing tim di grup mereka telah selesai dibacakan. Saat ini tim mereka berada di posisi kedua tertinggi dari keseluruhan tim.

Babak penyisihan membagi peserta Musabaqah Fahmil Qur'an menjadi enam sesi dengan jumlah enam tim dalam satu sesi. Menerapkan sistem gugur, menjadikan hanya pemenang sesi grup lah yang berhak melaju ke semi final.

"Kita mulai sesi soal lontaran. Harap berhati-hati, setiap jawaban benar mendapat nilai 100 dan jika jawaban Anda salah mendapat pengurangan nilai 100 juga. Hanya ada 15 soal dalam sesi ini, pertimbangkan dan jawab dengan cermat." Suara jernih nan tenang dari salah satu juri justru membuat detak jantung Nida semakin berdebar keras.

Lima soal pertama dilontarkan, Ulya berhasil menjawab pertanyaan tentang tujuh imam Qira'at serta Kak Afra menjawab soal faraidh- pembagian harta waris- yang cukup sulit.

Mereka membagi materi-materi Fahmil Quran sesuai dengan kapasitas masing-masing. Bagian hifzil, qira'at, tafsir dan tajwid menjadi tanggung jawab Ulya. Fiqh, ushul fiqh dan aqidah merupakan bagian Kak Afra. Sedangkan untuk sejarah islam, pengetahuan umum serta bahasa menjadi fokus materi Nida.

"Soal selanjutnya. Sebutkan tiga kerajaan nusantara yang memiliki hubungan diplomatis dengan Khilafah Islamiyah!"

Suara bel dari meja tim mereka terdengar melengking. Nida menghembuskan napas pelan saat menyadari hanya timnya lah yang mengajukan diri untuk menjawab.

"Ya, grup B?"

"Kesultanan Aceh, Kerajaan Sriwijaya, Kasunanan Yogyakarta," jawab Nida yakin dengan suara mantap.

"100 poin untuk grup B! Kali ini Depok utusan dari mana?"

"Ruha, Ustadz!" suara koor anak-anak kontingen yang menonton penampilan mereka menjawab pertanyaan beliau.

"MasyaAllah, Ruha ya. Luar biasa wawasan islam nusantaranya." Pujian dari juri tadi tak urung membuat Nida tersenyum tipis. Tak sia-sia ia membaca habis ringkasan sejarah islam nusantara yang di-print Bang Hilmi untuknya.

Tensi ketegangan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah soal yang dilontarkan. Sejauh ini tim mereka berhasil mengumpulkan poin tanpa menguranginya sedikit pun.

"Soal terakhir. Dengarkan baik-baik. Pengaruh paham keagamaan Ibnu Taimiyah berkembang pesat di Sumatera Barat. Hal ini tak lepas dari peran tiga tokoh ulama. Sebutkan satu dari tiga ulama tersebut!"

Nida menekan bel dengan yakin. Kali ini ia tak lagi terintimidasi dengan fakta bahwa hanya grup mereka yang menjawab. Nida perlu mengamankan satu kursi di semi final untuk Ruha.

"Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang lebih dikenal dengan Buya Hamka."

Seluruh keyakinan Nida luruh seketika saat sedetik setelahnya yang terdengar bukanlah sahutan pembenaran dari juri, namun suara bel yang menyatakan bahwa jawabannya salah.

"Yang lain, apa ada lagi yang ingin menjawab?" keheningan menguasai arena perlombaan yang membuat dada Nida terasa sesak di setiap detiknya.

"Grup B dikurangi 100 poin, jawaban yang benar adalah Abdul Karim Amrullah. Ayahanda dari Buya Hamka. Bukan Buya Hamka sendiri."

Nida memejamkan matanya yang terasa perih. Pengumuman nilai serta sorak-sorai dari grup A yang berhasil melaju ke semi final terdengar bagai dengungan di latar belakang baginya.

Ia merasakan sentuhan hangat di lengan kanannya. "Nid, anti nggak apa-apa?" suara lembut Ulya terdengar.

Nida membuka mata dan melirik ke arah sahabatnya itu. Seulas senyum kecil berusaha keras ia tampilkan. "Nggak apa-apa kok, Ya."

Jawaban pelannya tadi terasa sangat kejam bahkan di telinga Nida sendiri. Menarik napas pelan, Nida mengikuti langkah Ulya meninggalkan arena perlombaan. Ia merasa langkahnya teramat berat. Benaknya terlalu riuh untuk sekadar merefleksi apa yang baru saja terjadi.

Di tengah kekosongan antah berantah dalam pikirannya, Nida merasakan tubuhnya dipeluk seseorang dari arah depan. "It's okay, Nid. It's ok."

Suara Riza terdengar lirih sambil mengelus sisi lengan kirinya. Cukup. Semua pertahanan rapuh yang coba Nida tampilkan sedari tadi runtuh seketika. Tak lagi bisa ditahan, Nida terisak di pelukan sahabat baiknya.

*---*---*

"Nida, denger." Ulya berkata dengan suara teguh. Nida bisa merasakan tangan kanannya yang terasa hangat di genggaman sahabatnya itu.

"Ini bukan kesalahan anti. Meski memang pertanyaan tadi bagian dari materi yang harus anti kuasai, bukan berarti kesalahan kecil seperti ini jadi tanggung jawab anti sepenuhnya. Kita kerja tim, ingat?" tutur Ulya dengan lembut setelahnya. Nida hanya menunduk dalam-dalam mendengarkan.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Nida merasa menyesal telah mencoba. Jika sebelumnya ia hanya bergumam sedikit kesal karena tidak mengambil kesempatan, ternyata kecewa yang disebabkan oleh kenekatannya mencoba jauh lebih sakit rasanya.

Entahlah, Nida merasa dirinya tidak berguna. Ia tahu anggapan ini salah besar. Tapi ia sendiri tidak bisa mencegah perasaan ini mendominasi benaknya. Ia memang tidak bisa diandalkan. Harusnya aku nggak pernah ada di tim ini. Rasa egoku malah menghancurkan harapan terakhir Ulya dan Kak Afra untuk bisa sampai nasional, pikir Nida getir.

"Nid, anti udah berusaha maksimal untuk lomba ini. Reward your self. Nggak semua orang bisa sampai ke titik ini." Kali ini Riza juga ikut angkat suara.

Nida menghembuskan napas pelan. Ya, tidak semua orang bisa sampai ke titik ini. Dan bodohnya, ia justru menghancurkan kesempatan emas tadi dengan jawaban sok tahunya. Andaikan saja ia tidak bersikap impulsif saat pertanyaan terakhir tadi. Saat ini tim mereka mungkin sudah menghadiri sesi semi final di aula.

"Allah nggak ngelihat hasil, Nid. Allah menilai kita dari proses. Seberapa jauh kita berusaha, apa aja yang udah kita lakukan. Kita cuma bisa memaksimalkan ikhtiar, pada akhirnya semuanya Allah yang memutuskan."

Suara pelan Ulya terdengar lagi. Nida menyandarkan tubuhnya pada tembok di belakang. Pada titik ini, Nida merasa usahanya sangatlah jauh dari kata maksimal.

Persiapan olimpiade provinsi yang mengharuskannya mengikuti karantina H-3 sebelum lomba mengacaukan jadwal belajar yang telah ia buat. Padahal, jarak olimpiade dengan MTQ berselang kurang dari tiga minggu.

Nida merasakan sebelah lengannya kembali dirangkul seseorang.

"Nida. Rofiatun Nida Haytsami. Untuk kali ini, ana mohon. Tolong hargai diri anti sendiri. Kalau anti masih merasa usaha kurang maksimal, kami saksinya, Nid. Kami saksinya seberapa ngotot anti merjuangin semua ini. Nggak ada kurangnya usaha anti, nggak ada."

Bulir bening di sudut mata Nida mengalir mendengar perkataan Riza barusan.

"Jadi tolong, berhenti nyalahin diri sendiri. Anti udah berusaha sampai batas maksimal. Coba, hargai usaha anti untuk bisa sampai ke titik ini."

Air mata Nida kembali menderas. Entahlah, rasanya hati dan benaknya kewalahan mengelola perasaan yang mendominasinya saat ini. Kembali memeluk kedua sahabatnya dalam isak diam, Nida mencoba mengubur dalam-dalam berbagai kecamuk di sudut hatinya.

*---*---*

"Feeling better, Nid?"

Nida mengangkat wajah saat mendengar suara Kak Afra menegurnya. Raut wajah kakak kelas yang mendapat julukan 'Penyihir Putih' tampak melembut dengan senyum tipis terulas di bibirnya. Nida membalas senyuman itu dan mengangguk sekenanya.

"Jangan pernah menyesal sudah sampai ke titik ini, Nid. Walau ternyata hasilnya nggak seperti harapan kita. Mungkin Allah udah nyiapin sesuatu yang lebih baik lagi setelah ini."

Nida menghembuskan napas pelan. Ia memang sudah cukup tenang sekarang. Meski perasaan sedih masih mendominasi dan membebani sudut hatinya. Saat ini mereka berada di ruang multimedia tempat lomba MSQ -Musabaqoh Syarhil Quran- diadakan. Tim Riza berhasil masuk ke sesi semi final.

Kalau bisa memilih, saat ini Nida lebih ingin menenggelamkan diri dalam novel selundupan yang dibawanya. Tapi ia tak mau membuat kedua sahabatnya khawatir, jadilah Nida ikut saja ke venue lomba ini. Rencananya setelah acara mereka akan pergi ke pasar malam sebentar. Bazaar MTQ selalu menyenangkan untuk dikunjungi.

"Anti masih ingat kajian hadits kitab Bulughul Maram sesi terakhir, Nid?"

Kak Afra bertanya dengan nada ringan. Tentu Nida masih ingat kajian hadits dengan Ustad Rizal bulan lalu. Lagipula, sesi kuliah hadits dengan beliau selalu dinanti para santriwati.

"Masih, Kak. Yang Al-mu'minu qowiyyu khoirun wa ahabbu ilallah, kan?" Nida balik bertanya untuk memastikan sembari mengucapkan penggalan awal hadits yang dimaksud.

Nida mencoba menguraikan memori yang tersisa tentang kajian hadits bulan lalu. Al-mu'minu qowiyyu khoirun wa ahabbu ilallah minal mu'min dhoifi. Mukmin yang kuat itu lebih baik dan dicintai Allah daripada mukmin yang lemah.

Wa fi kullin khoirun. Dan di setiap hal dan kejadian yang dialami ada kebaikan. Ihrish 'ala ma yanfa'uka wasta'in billah. Berusahalah untuk hal yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan Allah.

"Hadits itu punya penjelasan yang dalem banget menurut ana. Allah menyuruh kita kuat, bukan cuma secara fisik. Tapi juga hati dan perasaan. Allah minta kita berusaha dan setelahnya berdoa. Kalau kita udah ngelakuin usaha serta doa secara maksimal, apapun hasilnya nanti pasti punya hikmah di baliknya. Kita cuma harus maksimalin doa dan ikhtiar, setelahnya serahin semua ke Allah."

Nida merasakan sesuatu seperti tersengat di sudut hatinya. Ia alpa, kali ini sangat fatal kesalahannya. Terlalu fokus pada rangkaian lomba dan materi yang harus dikuasai membuat Nida alpa berdoa secara khusus atas usahanya di lomba MTQ ini. Sombong sekali dia. Ia merasa seakan-akan apa yang ia perjuangkan pasti akan berjalan lancar hanya lewat usahanya.

"Jadi mukmin yang kuat, Nid," ujar Kak Afra sambil menepuk pundaknya pelan.

Gadis berjilbab biru itu memaksakan sebuah senyum kecil di sudut bibirnya. Hanya agar Kak Afra tidak memasang tampang khawatir. Setelahnya Nida bergerak bagai autopilot. Ikut bertepuk tangan, pura-pura serius menyimak penampilan, hingga tanpa berpikir mengikuti langkah teman-temannya ke bazaar MTQ.

Di satu titik, Nida menepi. Meski sebenarnya ia tak terlalu suka keramaian, sepertinya saat ini Nida memerlukannya. Tenggelam dalam hiruk pikuk orang banyak tanpa ada yang menatapnya khawatir secara langsung dapat membantu Nida melegakan hatinya.

Kamu kurang usaha kali, Dek. Suara jernih Bunda tiba-tiba saja tergiang di benak Nida. Ia menutup matanya. Sepertinya menerima telepon dari rumah dengan keadaan hati yang tidak stabil semakin membuat hatinya kacau saja.

Lagipula Bunda benar. Ia kurang berusaha. Usahanya tidak total pada kesempatan terbaik ini. Padahal mungkin, hanya kesempatan inilah yang ia punya.

Bunda nggak minta kamu sampai ke tingkat Nasional, Dek. Tapi seenggaknya usahakan yang terbaik, gitu. Lagi, celetukan Bunda di telepon kembali mengusik benaknya. Memejamkan mata, Nida merasa tusukan tajam kembali mengiris hatinya.

She never feel regret like this. Ia tidak tahu jika kekecewaan bisa menyakiti hatinya seperti ini. Lebih buruk lagi, Nida kecewa pada dirinya sendiri.

"Nid?"

Suara dengan nada tanya yang terdengar akrab itu membuyarkan Nida dari lamunannya. Mengangkat wajah, Nida menemukan Fatih sudah berdiri tegak di samping tempatnya duduk.

"Udah mau maghrib. Nggak mau balik ke shelter?"

Hanya itu. Fatih bahkan tidak bertanya kenapa ia sendirian atau apa keadaannya baik-baik saja. Seolah cowok itu sudah paham apa yang ia inginkan. Seolah Fatih sudah tahu, jika yang dibutuhkan Nida saat ini hanyalah ketenangan. Bukan lagi kalimat memastikan yang berlanjut wejangan.

Tak ada jawaban, Nida bangkit dari duduknya dan mengangguk singkat ke arah Fatih. Cowok ber-hoodie itu tersenyum hingga mencapai matanya. Membuat Nida mengalihkan pandangan ke mana saja asalkan bukan terpaku pada kerlip menenangkan dari sepasang netra berwarna cokelat pekat di depannya.

Mereka berjalan berdampingan dengan jarak. Sesekali Fatih menghentikan langkah jika jalan yang mereka lalui terlalu ramai atau jika Nida tertinggal agak jauh di belakangnya. Tidak ada kata, tidak ada percakapan. Hanya keheningan menenangkan yang melingkupi mereka.

"Nid!" Panggilan bernada lega terdengar dari belakang mereka. Membuat Nida menghentikan langkah dan berbalik. Tanpa aba-aba, ia langsung diserbu dengan pelukan erat dari kedua sahabatnya.

"Dari mana aja? Kita nyariin dari tadi," ujar Riza sambil memegang erat tangannya. Nida melontarkan alasan paling masuk akal yang ada di benaknya. Ulya menasehatinya dengan nada lembut, sedangkan Riza hanya memutar mata kesal karena dirinya menghilang dan membuat mereka panik.

"Sebentar, Za." Nida menahan tarikan Riza pada tangannya. Ia berbalik dan menghampiri Fatih yang masih berdiri di tempatnya.

"Thanks ya, Tih." Hanya kalimat itu yang bisa terlontar dari mulut Nida. Fatih mengangguk pelan dan tersenyum. Sedikit keheningan canggung terbentang antara mereka.

"Umm, Tih. Tolong sampein ke Dzaki, besok Buya jadi ke sini."

Fatih kembali mengangguk dan berkata akan menyampaikan pesan Nida. Kembali mengucapkan terimakasih, Nida tersenyum tipis dan melangkah meninggalkan Fatih.

____________________________________
AUTHOR'S NOTE:

I'M BACK! 😆😆😆
Sebelum nyampe sebulan, alya balik dulu wkwk. Maaf lama updatenya :" part ini emosional banget. Bikin stuck lama nulisnya 😯

Anyway, kayaknya untuk tahun ini bakal ada satu-dua part lagi sebelum akhir tahun. Alya lagi UAS juga di kampus soalnya. Minta doanya, dikejar DL akhir tahun nih :"

Makasih banyak buat yang masih setia ngikutin DPC sampai sejauh ini 🙏🙏🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top