18. Peta Cahaya

Kehidupan itu laksana lautan. Orang yang tiada berhati-hati dalam mengayuh perahu, memegang kemudi dan menjaga layar, maka karamlah ia digulung oleh ombak dan gelombang.

-Buya Hamka

Suara riuh rendah terdengar bergaung di auditorium besar tempat Hilmi dan teman-temannya berada sekarang. Mengedarkan pandangan, mau tak mau ia ikut mengangguk kagum melihat arsitektur megah di sekitarnya. Utsman bin Affan benar-benar semegah yang dibicarakan orang-orang.

Lihat saja lengkungan langit-langit auditorium ini yang sangat artistik. Bukannya memberikan kesan modern yang angkuh, dinding dan langit-langit sewarna kayunya justru menimbulkan kesan hangat yang nyaman. Saat berada di sini, Hilmi merasa memasuki Great Hall Hogwarts yang legendaris itu. Hanya saja alih-alih meja panjang, mereka justru duduk di tribun bertingkat yang didesain menghadap panggung.

Fokus Hilmi kembali pada diskusi seru yang masih berlangsung di antara teman satu kontingennya. Obrolan mereka mulai membahas juri-juri di MTQ tingkat provinsi kali ini.

"Akhirnya tahun ini Ustadz Deden bersedia jadi juri. Anak Hifzil harus kuat mental nih," celetuk Kang Hamid.

"Ustadz Deden Makhyaruddin, Kang? Penulis 'Rahasia Nikmatnya Menghafal Al-Qur'an' itu?" Hilmi bertanya memastikan.

Salah satu senior di kontingen kabupaten itu mengangguk. "Kalian udah pernah ikut seminar beliau?"

Alvi, Dzaki dan anak-anak Ruha lainnya menggeleng pelan. Kerutan di dahi Kang Hamid semakin menjadi. Sorot mata tegas itu pun beralih fokus pada sosok Hilmi.

"Kumaha atuh, Mi? Masa iya Ruha belum pernah ngundang ustadz Deden. Penting banget loh bahasannya beliau itu buat kita-kita yang hafal Qur'an. Nah, antum kan ketua, tahu bukunya beliau pula. Coba deh, diagendakan atau minimal sebarin virus RNMA ke anak-anak."

Hilmi hanya tersenyum tipis sambil mengangguk mengiyakan. "Udah sempat diusulin sih, Kang. Cuma timing-nya belum nemu yang pas."

"Beliau founder Indonesia Murojaah itu kan, Kang?" kali ini Alvi ikut bertanya.

Kang Hamid kembali mengangguk. "Programnya IM itu kebanyakan dirancang untuk membantu Para Penghafal biar bisa tetap murojaah walau nggak lagi ada di lingkungan pondok. Kalian harusnya bersyukur dan manfaatin waktu sebaik-baiknya selama masih di pondok. Karena nggak ada lingkungan yang kondusif buat ngafal di luaran sana, kecuali pondok."

"Bukunya beliau sih, recommended banget buat dibaca." Sosok ber-hoodie biru tua yang duduk di sebelah Hilmi angkat suara. Hilmi mengalihkan fokus seutuhnya pada junior yang selalu membuatnya berdecak kagum. Sosok yang selalu membuatnya iri karena pemahamannya yang luas serta pemikirannya yang cemerlang.

"Apa ya, beliau itu kayak membawa pemahaman yang lebih mendalam tentang esensi menghafal Qur'an. Dari memulai, proses hingga akhirnya menyelesaikan setoran. Dan RNMA itu bisa banget ngejaga semangatnya kita yang kadang suka up and down," celetuk Fatih.

"Oh!" suara pekikan terdengar dari arah tempat duduk Dzaki. "Yang bukunya warna pink bunga-bunga cantik itu kan, Bang?

Hilmi melengos sebal. Mungkin jika Nida berada di dekat mereka saat ini, adiknya itu sudah memutar mata karena mendengar tanggapan tidak penting dari Dzaki. "Don't judge book by its cover, Ki. Kalo ana rekomendasiin buku itu dibaca makanya, jangan diliatin doang."

Ledakan tawa terdengar dari sekitar mereka. Hilmi mau tak mau ikut mengulum senyum geli apalagi saat melihat tampang polos yang ditampilkan Dzaki saat ini.

"Anyway, Ki. Cetakan terbarunya warna tosca loh. Mau ana beliin, nggak?" tawar Fatih lagi dengan nada meledek yang kentara. Sedangkan sosok sepupu Hilmi itu hanya menyengir polos sambil berkata kalau liburan ini ia akan meminjam buku tadi di perpustakaan keluarga Haytsami.

Hilmi hanya menaikkan alis sebelah mendengar alasan dari sepupunya itu. Obrolan kembali bergulir ke sosok baru yang tampak duduk di deretan para juri. Akang-akang senior lantas membicarakan tentang sosok tersebut yang terkenal dengan inisial FJH, seorang Hafizh yang tidak pernah dan tidak mau terekspos prestasinya. Sekalipun beliau pernah mengikuti lomba MHQ internasional atas undangan Raja Arab Saudi.

Inilah yang disukai Hilmi dari MTQ. Atmosfer ukhuwah yang hangat juga diskusi seru penuh isi yang bergulir di kontingen kabupaten mereka selalu membuat Hilmi merindukan suasana ini. Hilmi banyak belajar dari orang-orang hebat di sini, bahkan sejak hari pertama ia mengikuti musabaqoh ini.

Diskusi seru mereka harus terjeda dengan dimulainya acara pembukaan. Debar antusias dan khawatir dirasakan Hilmi memenuhi dadanya. Ini kesempatan terakhirnya. Ia tak pernah terlalu berambisi mendapatkan tiket ke tingkat nasional, hanya saja Hilmi selalu berdoa agar dapat memberikan penampilan terbaik.

Saat-saat seperti inilah, Hilmi sangat sadar pada amanah yang harus dipikulnya. Adanya ia di sini, mewakili Ruha, pondoknya yang telah memberikannya kepercayaan. Mewakili keluarganya, untuk mengulas senyum bangga di wajah Ayah dan Bunda. Menjadi teladan yang sempurna, bagi adik dan sepupu-sepupunya.

Meski ambisinya yang terakhir, semakin lama semakin membuat Hilmi takut akan risiko yang mungkin kelak akan mematahkan hatinya- tidak, menghancurkan hatinya dalam sekejap. Menghela napas, Hilmi membisikkan doa dan harapan pelan-pelan. Semoga saja kesempatan terakhir ini bisa berjalan baik baginya, dan bagi seseorang yang menempati tempat khusus di hatinya.

*---*---*

Geng kontingen mereka membubarkan diri setelah melewati pintu keluar. Kang Hamid sempat mewanti-wanti agar seluruh anggota tetap melaksanakan sholat maghrib berjamaah di masjid nanti walau mereka memiliki waktu bebas hingga sholat isya.

"Bang, mau makan bakso nggak?"

Hilmi menoleh ke asal suara dan mendapati sosok yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri tersenyum polos. "Kenapa emang, Tih?"

"Kita ke kantin belakang yuk, Bang. Ana traktir deh," lanjut Fatih lagi yang disambut dengan anggukan dan senyum geli dari Hilmi.

Setelah hampir dua tahun selalu bertemu di tingkat kabupaten dan provinsi, Hilmi semakin paham dengan karakter Fatih. Sosok yang senang menggunakan hoodie baik saat hari panas atau dingin itu tak hanya tergila-gila pada jaket bertudung tersebut, namun juga ragam kuliner enak di sekitarnya.

Bahkan Fatih berhasil melobi pembimbing mereka agar anak-anak kontingen bisa mengunjungi pasar malam kemarin. Fatih dan makanan adalah kombinasi tak terpisahkan. Herannya, sosok yang kini berjalan di samping Hilmi ini tampaknya selalu memiliki berat badan yang ideal. Mungkin juga efek dari latihan silat rutin yang ia jalani.

"Jadi, adiknya Abang ikut MTQ provinsi kali ini?" tanya Fatih setelah hening beberapa saat menguasai mereka.

Hilmi mengangguk, "Iya, karena itu juga rasa-rasanya ana lebih nervous dari kemarin-kemarin. Mana ini lokasinya deket sama rumah Buya, tambah-tambah deh."

"Enak ya, Bang punya saudara. Punya adek, saudara sepupu juga deket. Ada yang bisa diajak main, ada yang bisa diusilin." Tawa kecil terdengar sesaat membuat Hilmi memerhatikan ekspresi wajah Fatih.

"Ya, ada enaknya ada nggaknya juga. Apalagi kalo satu sekolah sama adik dan sepupu. Dan antum jadi ketua OSIS, bayangin kayak apa repotnya," tanggap Hilmi.

Fatih tampak menahan tawa mendengar curhat colongannya. Pandangan Hilmi menangkap tiga sosok familiar yang sepertinya tengah asyik berdiskusi di tengah jalan.

"Eh, Nid. Lagi pada ngapain di sini?" sapa Hilmi tanpa basa-basi saat berpapasan dengan adiknya.

"Lagi jalan-jalan sore aja, Bang. Sebelum persiapan latihan lagi nanti malam," Nida menjawab pertanyaan Hilmi dengan nada yang agak enggan.

Anehnya lagi, Hilmi merasakan perubahan ekspresi yang signifikan dari sosok di sebelahnya. Yang entah bagaimana, juga ditanggapi dengan sinyal serupa oleh Nida.

"Eh, iya. Kenalin, ini Fatih. Anak kontingen kabupaten kita juga. Nggak pernah absen ngewakilin Jawa Barat di MTQ Nasional." Akhirnya Hilmi berinisiatif memperkenalkan Fatih, mencoba memotong atmosfer canggung yang entah bagaimana melingkupi mereka.

Fatih hanya mengangguk pelan sambil mengulas senyum tipis. Ekspresi juniornya itu tampak lebih netral sekarang.

"Ini Riza, Ulya. Nah yang paling kiri itu Nida, Tih. Adek ana yang sering ana ceritain itu," Hilmi kembali memperkenalkan tiga sosok di hadapannya pada Fatih.

Segera setelah kalimat terakhir ia ucapkan, Hilmi tahu jika ia melakukan kesalahan. Tatapan terkejut dan menghakimi dari sorot mata bening itu membuat Hilmi ingin bersembunyi. Ia yakin, jika tidak ada sosok Fatih di sini saat ini, Nida pasti sudah mengomelinya habis-habisan.

"Ketemu lagi kita, Tih." Alih-alih Nida, justru Riza sahabat adiknya yang bersuara.

Dahi Hilmi mengernyt mendengar sapaan akrab tadi. "Loh, udah pada kenal?"

Riza dan Fatih pun bergantian menjelaskan kalau mereka sudah pernah bertemu beberapa kali di olimpiade tingkat kabupaten maupun provinsi.

"Oh iya, antum ikut olimpiade juga sebelum ini, ya. Kok kamu nggak pernah cerita apa-apa, sih Nid?" tanya Hilmi penasaran. Kenapa setelah sekian lama ia justru baru tahu kalau adiknya juga mengenal Fatih?

"Abisnya, Bang Mi juga nggak pernah mau cerita, sih," jawab Nida acuh tak acuh.

Alih-alih merasa insecure seperti tadi, Hilmi justru mengulum senyum geli mendengar tanggapan adiknya. Sungguh, ia melakukan hal ini hanya untuk menghindari adanya selubung ketidaknyamanan antara ia dan Nida. Persoalan tentang MTQ dan olimpiade tidak pernah terlihat sederhana bagi mereka.

Dan kali ini, Hilmi merasa apa yang ia lakukan satu tahun terakhir sangatlah salah. Ia lantas berbasa-basi sejenak dan berpamitan dari tiga sekawan tadi. Hilmi dan Fatih kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Melewati bangunan asrama dan pepohonan rindang yang mendominasi tempat ini.

Obrolan ringan mereka seputar novel historical fiction sesekali terjeda dengan beberapa senior yang menyapa Fatih. Well, siapa pula yang tak mengenal sosok di samping Hilmi ini? Termasuk pula beberapa juri serta pembimbing dari Kemenag yang disapa oleh Fatih. Ya, penerima beasiswa Huffazh provinsi sepertinya pasti dikenal banyak orang penting, kan?

Setelah melalui sederetan orang-orang penting yang membuat perjalanan terasa lebih panjang, akhirnya mereka sampai di tempat yang Fatih maksud. Diskusi seru keduanya harus terpotong ketika pesanan mereka datang.

"Tih, antum pernah nggak, ngerasa capek ngejalanin semua ini?"

Meski ragu, akhirnya rasa penasaran membuat Hilmi melayangkan sebuah tanya. Pertanyaan yang agak melenceng sebenarnya, mengingat pembahasan terakhir mereka tentang pasukan Janissari di tanah Jawa.

Sosok junior di hadapannya tersenyum kecil, "Dengan semua sorot perhatian ini? Jujur iya, Bang." Fatih berhenti sejenak dari makannya. "Ana sendiri bahkan pernah sampai pada titik menghindari semua lomba yang berbasis hafalan. Apapun itu."

Hilmi memberikan perhatian penuh pada sosok di depannya. Inilah hal yang ia sukai dari Fatih. Mereka berdua, entah bagaimana bisa mudah memahami pikiran satu sama lain meski tanpa penjelasan lebih lanjut. Jangan lupakan juga ketertarikan mereka -yang menurut Nida sudah pada tahap fanatik- pada novel fiksi historis yang mengagumkan. Hilmi seperti menemukan sosok adik laki-laki yang ia impikan.

"Bang Hilmi pasti paham rasanya dipandang berbeda karena piala-piala ber-badge MTQ milik kita. Dan meski ana nggak pernah berangkat MTQ sebagai utusan sekolah, bukan berarti desas-desus tadi nggak pernah ada." Fatih menghela napas lelah.

"Meski hanya satu-dua, tapi isu seperti ... ikut MTQ cuma karena beasiswa Pemda, dipertanyakan keikhlasan kita ngafal karena keliatannya kok kayak ngotot banget ikut lomba, atau isu ikut MTQ demi popularitas. Isu-isu seperti ini, sebenarnya bisa aja diabaikan. Tapi kalau denger secara langsung, tetep aja rasanya sakit kan, Bang?"

Hilmi mengangguk menanggapi. Ia tahu persis bagaimana rasanya saat mendengar semua desas-desus serta tuduhan tidak masuk akal itu. Bahkan, meski Hilmi berada di pondok tahfizh, ada saja selentingan usil seperti tadi yang terdengar olehnya.

"Ana juga pernah ada di fase itu, sih. Tapi bukan berhenti, justru ana dulu merasa menyesal kenapa terpilih buat lomba MTQ. Bukan karena desas-desus tadi, tapi karena efek lanjutannya yang bahkan nggak pernah ana bayangkan sebelumnya," balas Hilmi. Ia kembali teringat masa-masa di mana adiknya menolak berbicara dengannya, mendiamkannya hingga ia kembali dari MTQ pertamanya.

Fatih mengangguk paham. "Awalnya, ana agak terpaksa juga balik MTQ lagi karena beasiswa Pemda. Tapi lama kelamaan, mulai bisa lebih santai nanggepinnya. Soal niat dan keikhlasan kan, cuma kita yang tahu. Toh, semua yang dekat dengan Qur'an akan mulia, kok. Selentingan-selentingan tadi anggap aja cuma sayap nyamuk yang berisik."

Hilmi tersenyum tipis mendengar statement Fatih. Andaikan saja masalah yang ia hadapi bisa ditanggapi dengan mudah seperti itu.

"Dan soal popularitas, jujur ana bukan tipikal orang yang seneng dapat perhatian dari orang banyak, Bang. Bahkan kalau bisa, ana pengen jadi seperti Kang FJH yang nggak disorot media mana pun. Nggak diperhatikan orang-orang kalau misal ada di suatu tempat, nggak disapa orang banyak kalau lagi jalan kayak tadi." Fatih lantas meminum es teh manis miliknya.

"Tapi itu kontradiktif, Tih. Karena kita jelas berkutat dengan sesuatu yang luar biasa. Karena Al-Qur'an itu mulia, dan sedari dulu selalu memuliakan siapa saja yang berakrab dengannya."

"Iya, Bang. Bahkan Kang FJH pada akhirnya nggak bisa menghindar dari popularitas tadi. Mungkin orang nggak banyak tahu seperti apa beliau, tapi namanya tetap melegenda apalagi dengan ketawadhuannya. Selain itu, sampai saat ini ana masih merasa nggak pantas dimuliakan oleh Al-Qur'an. Ana masih merasa nggak pantas dikenal orang banyak karena Qur'an."

Hilmi terdiam mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan Fatih. Begitu pun ia, rasa-rasanya berbagai kealpaan seringkali membuatnya lalai. Rasa-rasanya ia pun belum bisa disebut pantas menyematkan label Penghafal Qur'an di dadanya.

"Tapi, di sisi lain ada pula perhatian berlebih yang menuntut kita untuk bersikap sempurna. Padahal kan, yang sempurna itu ayat-ayat Al-Quran yang kita jaga. Bukan kita," desah Hilmi sambil menghela napas.

Ayat-ayat cahaya yang kami jaga memang sempurna. Tapi maaf, kami hanya manusia biasa. Yang tak luput dari alpa maupun lupa. Seuntai kalimat dari blogger favoritnya melintas di benak Hilmi.

"Apalagi dengan usia kita yang nggak bisa dibilang dewasa juga. Masih dalam tahap proses pembelajaran. Mana ada orang yang selagi belajar langsung bisa melakukan segala hal dengan sempurna, kan?" lanjut Hilmi lagi.

Sosok di depan Hilmi bersedekap. Seulas senyuman tulus terukir di bibir Fatih.

"Akhirnya, semua itu akan kembali lagi pada kita, Bang. Karena apa sebenarnya semua kelelahan dan perjuangan ini. Pada siapa sebenarnya kita harus membuktikan diri bahwa kita pantas. Apa dan siapa tujuan kita menghafalkan ribuan ayat-ayat ini."

Untuk kesekian kalinya hari ini, Hilmi kembali terpekur mendengar pernyataan sosok yang lebih muda satu tahun darinya. Jawaban dari semua kegelisahannya ternyata dekat sekali. Jawaban itu bahkan sudah ada di salah satu sudut hatinya, hanya tinggal menunggu pemiliknya mengetuk pintu untuk kembali memunculkan diri. Dan menjawab pertanyaan yang selama ini bergelayut di benaknya.

__________________________________________

Author's Note:

ALHAMDULILLAAAAH *sujud syukur

AKHIRNYA DPC BISA UPDATE! Maafkan alya yang absen hampir dua bulan, Kawan-kawan 😭😭😭 Selain kesibukan yang nggak bisa ditolerir, ada banyak hal yang harus disegerakan juga.

Dan, alya agak nyesel kenapa baru nulis part kece ini sekarang. Huhu. Keren banget nggak sih mereka berdua tuh? *lah Author-nya fangirling-an  ke tokohnya sendiri 😂😂😂
Oh iya, Fatih ternyata tukang makan! Haha, puas banget rasanya karakter lovable ini nggak perfect-perfect amat. Paslah ya, porsinya kayak Bang Mi yang rada usil dan agak maniak game.

Anyway, masih ada yang berminat ikut GiveAway nggak nih? Alya posting part khususnya agak siangan, yah. Nunggu Hp beres dicharge dulu. Hehe.

Selamat Membaca!

Boleh dong, share kesannya dikit setelah baca part berisi yang satu ini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top