17. Heart to Unbreak
Jalanku jalanmu belum sempurna
Biar masa depan yang sempurnakan
-Anandito Dwis, Mencintai Kehilangan
Nida menarik napas dalam-dalam saat sudah tiba di tempat penginapan. Sungguh, ia merindukan suasana tenang dan sejuk seperti ini. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali ia berada di rumah Buya yang memiliki suasana sama seperti ini. Dan saat teringat dengan rumah Buya, kilasan kenangan pada malam yang hampir purnama di sana tak bisa lagi ia cegah.
Malam itu, malam yang tak disangka Nida akan memberi banyak pengaruh akan keputusan-keputusan yang ia ambil selama semester ini. Mengendikkan bahu mencoba untuk tidak peduli, Nida berusaha mengenyahkan ingatan tidak menyenangkan tadi dari benaknya.
Toh, saat ini ia sudah membuktikan kalau ia berhasil sampai di titik ini. menjadi utusan pondok dalam MTQ tingkat provinsi. Sama seperti pencapaian Bang Hilmi pada tahun-tahun yang lalu.
"Nid, buru masuk! Ngapain bengong doang di situ?" ujar Riza dari depan beranda shelter kayu yang ada di hadapannya.
Nida hanya memberi cengiran khasnya dan bergegas masuk saat menyadari tak ada lagi anak-anak kontingennya yang masih berada di luar. Menginjakkan kakinya pada lantai kayu yang juga sejuk, Nida tak bisa tidak jatuh cinta pada tempat penginapan mereka ini.
Memiliki lima buah kamar dengan beranda yang cukup luas serta jendela yang lebar, mengingatkan Nida pada sebuah rumah adat yang memiliki desain hampir sama. Deretan penginapan ini terletak di dekat gerbang belakang pondok pesantren yang menjadi tuan rumah dari lomba MTQ provinsi saat ini. Nida tak bisa membayangkan semewah apa pondok yang katanya memiliki luas dua kali lipat dari pondok putra pusat.
"Ih, ini pondok meuni keren pisan. Kok ana nggak tahu ya, sebelumnya ada pondok sekece ini di daerah Bogor. Padahal kan, jaraknya juga lebih deket dari rumah," celetuk Riza sambil menata beberapa barangnya di atas nakas.
Nida yang sedang berbaring di atas kasur menyahut, "Sama. Apa emang kita yang nggak update kali ya, Za. Dari sini ke rumah Buya juga paling sejam-an gitu deh kayaknya."
"Kalian yang nggak update," gumam Ulya dengan senyum tertahan. Sosok Ning Kyai itu duduk di ujung kasur. "Masa sih, nggak pernah dengar Ma'had Utsman bin Affan Bogor sebelumnya? Mereka ini ma'had bahasa, loh. Nggak pernah absen dari MTQ atau lomba Qiraatil Kutub, pasti ada aja wakilnya yang sampe ke tingkat nasional."
Riza berdecak kesal lalu ikut duduk di samping Nida yang masih berbaring, "Bukannya nggak tahu atau nggak pernah denger nama pondok ini sebelumnya, Ya. tapi baru tahu kalo pondok Utsman bin Affan itu letaknya di sini dan tempatnya sekece ini!"
Ulya tertawa kecil. "Tes masuk ke sini rada susah, sih katanya. Makanya jadi terkesan kayak eksklusif gitu. Pernah tahu Insan Cendekia Boarding School yang ada di Padang? Itu kan ma'hadnya terletak di tempat-tempat Indah di Sumatera Barat."
"Tahu, tahu. ICBS Payakumbuh emang keren banget. Apalagi yang letaknya di Lembah Harau, beh. Ana kalo mondok di situ nggak mau pulang mungkin, saking betahnya," sahut Nida antusias sambil mengubah posisinya agar duduk sejajar dengan teman-temannya.
"Bagusnya pondok buat penghafal itu di tempat tenang dan sejuk kayak begini, sih. Anak-anak jadi terkondisikan suasananya, jadi bisa lebih fokus juga. Nggak kayak di Cikarang, kita aja kudu ngungsi ke Puncak kan buat karantina kelas akhir?" Riza memelankan suaranya pada kalimat terakhir.
Mereka bertiga tertawa kecil. "Ya, walau begitu Cikarang masih rada adem, tahu kalo pagi-pagi," bela Nida lagi.
"Eh, katanya di deket sini ada pasar malem, loh. Mau jajan-jajan di sana nggak, ntar abis Isya?" tawar Riza.
"Wah, boleh tuh. Tapi apa diizinin sama Ustadzah Rachma?"
Ulya tersenyum tipis. "Nanti coba ana tanyain, deh. Ajak yang lain juga biar rame, selagi kita masih free, kan?"
Inisiatif Ulya membuat Nida dan Riza tersenyum lebar. Semoga ini semua adalah awal yang baik untuk pengalaman pertama dan tak terlupakannya di sini.
*---*---*
Nida merapatkan jaketnya, berusaha menghalau udara dingin yang semakin terasa karena hembusan angin barusan. Berkat lobi yang bijak dari Ulya, mereka semua diizinkan pergi ke pasar malam meski hanya diberi waktu satu jam dan harus kembali sebelum jam sembilan malam.
Ia dan kedua sahabatnya berpencar tadi. Pasar malam ini tidak terlalu ramai, dengan stand-stand yang berjajar di sepanjang jalan. Nida pun tak merasa takut karena ada banyak temannya yang ikut berkeliling sepertinya. Tapi masalahnya, ia tak bisa menemukan baik Ulya maupun Riza di mana pun. Ia semakin khawatir saat melihat jarum jam bergerak mendekati angka sembilan.
Nida menghentikan langkah saat melihat dua sosok yang sangat ia kenali tengah berbicara di belakang salah satu stand. Mengernyitkan dahi, ia mencoba mengenali dua orang yang sedang saling berhadapan itu. Alis Nida meninggi saat menyadari keduanya adalah Riza dan Dzaki. Apa yang sedang mereka lakukan malam-malam begini?
Mengendap-ngendap, Nida berusaha berada sedekat mungkin dengan mereka berdua. Siapa tahu dia bisa mencuri dengar apa yang sedang dibicarakan oleh dua sejoli itu.
"Za, aku mau minta maaf." Sorot mata Dzaki begitu sulit diterjemahkan. Nida berpikir keras, kapan terakhir kali sepupunya itu menatap seseorang dengan pandangan serupa?
"Minta maaf buat apa, Ki? Udahlah, let gone be by gone. Yang paling penting, kita udah ada di sini. Menepati janji satu tahun yang lalu untuk bisa sampe ke titik ini." Suara Riza terdengar ringan dan tenang. Senyum tipis merekah dari sudut bibir gadis itu.
"Aku ... aku minta maaf, atas segalanya. Aku tahu, aku bodoh. Bahkan perbuatan bodohku nyaris saja buat kita berdua hampir diskors dan dicoret dari daftar kontingen."
Hening sejenak. Tak ada yang berbicara antara mereka, hingga keheningan tadi dipecahkan oleh Dzaki dengan tarikan napasnya yang terdengar tajam.
"I'm sorry ... aku minta maaf karena udah meruntuhkan semua kesempatan emas yang mungkin bakal kamu peroleh kalau saja kejadian bodoh itu nggak terjadi, Za. Nggak seharusnya kamu mengorbankan diri seperti ini. I'm not that worth to fight for. Aku nggak selayak itu untuk kamu perjuangkan seperti ini."
Nida bisa melihat raut tak suka yang kentara dari dahi Riza yang mengerut saat mendegar perkataan Dzaki tadi.
"Kamu ngomongin apa sih, Ki? Kalau ada yang harus disalahkan dari kejadian itu, ya jelas ini salahnya kita berdua. Kamu jangan nyalahin diri sendiri gitu, dong."
Dzaki terlihat menggelengkan kepalanya pelan. "Kamu juga nggak bakal mau berinisiatif ngelakuin hal itu kalau bukan karena bujukan aku, kan Za?"
Nida mendengus kesal. Walau kini hatinya sudah terasa lebih ringan karena hukuman yang mereka jalani sudah berakhir, tetap saja masih tersisa rasa jengkel yang teramat pada sepupunya itu.
"Za, gini. Kamu nggak lebih baik saat bersamaku. Kita nggak lebih baik saat bersama. Kamu mungkin nggak pernah ngerasa aku sakitin atau apa, tapi konsekuensi berjalannya hubungan ini lebih lama semakin memperkecil kemungkinan target-target prestasi yang udah kita susun itu tercapai," ujar Dzaki lirih, suaranya terdengar sedikit bergetar.
"Jadi mau kamu, apa?" Riza menjawab dengan suara bergetar.
Nida bisa melihat sepupunya itu tersenyum tipis. Senyuman yang dipaksakan.
"Aku mau kita putus. Jalan kita sama-sama masih panjang, Za. Aku dan kamu bahkan sama-sama masih stuck di juz 20-an. Sedangkan waktu yang kita punya hanya tinggal satu tahun setengah lagi."
Hening kembali menguasai mereka berdua. Nida sampai menahan napas karena terbawa atmosfer mellow dari dua orang yang berdiri tak jauh darinya.
"I'm sorry, Za. Tapi aku ngerasa semakin ngehalangin kamu dari cita-cita yang ingin kamu capai. Aku nggak mau jadi penghalang kamu untuk meraih semua pencapaian hebat itu. You still the best girl I've ever meet. Tapi kita nggak bisa begini terus."
Kepala Riza tampak tertunduk. "Oke, kalo itu yang kamu mau. Jangan pernah tunjukkin muka kamu di depan aku lagi!" sentak Riza dengan suara bergetar.
Seulas senyum sedih hadir dari sosok yang ada di depan Riza. "Sampai jumpa di Wisuda Tahfizh Nasional, Chairiza. Semoga kita bisa ketemu lagi di sana."
Saat sahabatnya itu memalingkan wajah dari tatapan intens Dzaki, sepupunya berbalik dan melangkah menjauh dari tempat mereka berbicara tadi. Nida bisa melihat jelas sebulir bening yang membasahi pipi Riza karena penerangan di sekitar mereka cukup terang.
Menghela napas, Nida berjalan mendekati Riza yang masih berusaha menahan tangis. Mengabaikan gestur terkejut Riza karena kehadirannya yang tiba-tiba, Nida segera memeluk sahabatnya itu.
"I hate him, Nid! Aku benci harus menyayangi orang seperti dia," bisik Riza dalam tangisnya. Nida mengusap punggung sahabatnya pelan. Satu hal yang Nida tahu pasti. Baik sepupunya maupun sahabatnya, malam ini ... untuk pertama kalinya Nida akui. Mereka telah melakukan hal yang tepat.
*---*---*
Dengan wajah yang masih agak sembab, Riza akhirnya keembali ke shelter bersama Nida dan Ulya. Tatapan penuh tanya dilayangkan Ulya saat bertemu mereka berdua di salah satu stand saat perjalanan pulang. Nida hanya menggeleng pelan. merasa bukan saat yang tepat jika mereka membicarakan hal ini di tengah jalan.
"Jadi, ada apa?" tanya Ulya begitu mereka bertiga berkumpul di ruang makan yang sepi dari lalu lalang teman-teman lainnya.
"Dzaki mutusin Riza barusan. Nggak ngerti gimana, tapi mereka ketemuan tadi." Nida menjawab mewakili Riza yang masih tampak shock.
Ulya hanya menganggukkan kepalanya saat mendengar penjelasan Nida.
"Ya, ini ... ini salah satu dari tiga ujian buat penghafal Quran yang waktu itu pernah anti ceritain, kan?" Nida teringat obrolan opini mereka saat awal-awal mereka dekat.
Ulya tampak berpikir, lalu kembali mengangguk. "Iya, sebenarnya ujian buat penghafal itu ada banyak bentuknya. Tapi secara garis besar, bisa dibagi jadi tiga kategori. Pertama, ujian dari diri sendiri yang bisa jadi berupa penyakit atau motivasi yang memengaruhi seseorang buat ngafal. Kedua, ujian yang berasal dari keluarga, bentuknya bisa apa aja. Ketiga, ujian yang paling berat. Ujian hati."
"Kenapa paling berat? Karena saat hati kita terpaut dan lebih condong pada sesuatu selain Quran, bisa jadi membuat kita merasa 'jauh' sama Quran."
"Maaf, Za." Ujar Ulya lirih karena takut menyinggung Riza yang masih sensitif.
"Nggak apa, Ya. Ana juga baru nyadar kalo akhir-akhir ini semakin teralihkan sama perasaan yang terlalu mendominasi dalam hati. Nida benar, kita emang nggak bisa ngatur sama siapa dan kapan kita jatuh hati. Tapi kita selalu bisa memilih langkah apa yang nggak akan menjerumuskan kita semakin dalam."
Nida merangkul Riza hangat. "Jangan benci Dzaki, Za. Dia cuma pengen yang terbaik buat kalian berdua."
Riza mendesah pelan. "Ana nggak benci dia karena keputusannya barusan, Nid. Ana benci karena ... setelah semua ini, masih ada rasa tersisa untuknya."
"Move on itu nggak mudah, Za. Tapi bukan berarti mustahil. Sekarang anti harusnya fokus aja sama apa yang ada di hadapan. Do the best. Dzaki aja udah mau berbenah loh, buat jadi lebih baik. Masa anti mau begini-begini aja saat dia bakal khatam semester depan?"
Seulas senyum tipis akhirnya timbul di sudut bibir Riza. Nida menghela napas lega. Semoga saja sahabatnya itu cepat membebaskan diri dari patah hati yang melandanya.
*---*---*
Nida tak berhenti takjub memandangi auditorium megah yang ia tempati saat ini. Ekspektasinya dan Riza tak meleset. Pesantren satu ini benar-benar keren dengan arsitektur modern yang berkelas. Ah, kalau saja ia memegang kameranya. Mungkin sudah tak terhitung berapa banyak gambar yang ia dapatkan dari suasana megah pondok ini.
Acara pembukaan MTQ sore ini sudah selesai. Sedangkan perlombaan baru akan dimulai besok. Nida dan dua sahabatnya memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar di sekitar pondok setelah keluar dari auditorium tadi.
"Kalo MTQ Provinsi tahun kemaren di mana, Za?" Nida bertanya penasaran.
Riza tampak berpikir sebentar, mengingat-ingat. "Di daerah kabupaten Bandung kalo nggak salah. Suasananya begini, juga. Pedesaan gitu, tapi tempatnya lebih sederhana, sih."
"Tahun kemarin acaranya bukan di pondok kayaknya. Tapi semacam madrasah gitu," sahut Ulya menimpali.
Mereka lalu berbincang mengenai banyak hal sampai sesuatu menarik perhatian Riza dan membuatnya berbisik antusias. "Eh, liat ke arah jam sembilan, deh. ada dua cowok kece jalan ke arah sini!"
Mengernyitkan dahi, Nida tak urung juga ikut penasaran dengan nada eksitasi dari sahabat usilnya itu. Benar saja, saat Nida mengedarkan pandangan ke samping tampak dua sosok familiar sedang berjalan bersama dan tampak sangat akrab.
"Gercep juga ya, si Aa. Belum apa-apa, udah PDKT sama calon abang ipar aja," celetuk Riza usil.
Nida hanya bisa mendengus sambil memutar matanya sebal.
"Eh, Nid. Lagi pada ngapain di sini?" Akhirnya Bang Hilmi menyapa mereka yang memang tak beranjak sejak menghentikan langkah karena celetukan usil Riza tadi.
"Lagi jalan-jalan sore aja, Bang. Sebelum persiapan latihan lagi nanti malam," jawab Nida sekenanya.
Sosok yang berdiri di samping Bang Hilmi tampak terkejut. Alis tebal milik cowok berjaket hoodie itu tampak menyatu. Nida mencoba mengontrol detak jantungnya yang entah sejak kapan selalu berdetak lebih cepat jika berada di sekitar sosok itu.
"Eh, iya. Kenalin, ini Fatih. Anak kontingen kabupaten kita juga. Nggak pernah absen ngewakilin Jawa Barat di MTQ Nasional." Nada suara Bang Hilmi terdengar ringan saat mengenalkan Fatih pada mereka.
Fatih hanya mengangguk pelan sambil mengulas senyum tipis.
"Ini Riza, Ulya. Nah yang paling kiri itu Nida, Tih. Adek ana yang sering ana ceritain itu." Bang Hilmi memperkenalkan mereka satu per satu sambil berisyarat.
Bola mata Nida membesar begitu mendengar kalimat terakhir yang meluncur dari mulut abangnya. Apa? Apa-apaan, ini. Bang Hilmi aja nggak pernah cerita kalo dia deket sama anak MTQ Provinsi. Kok tiba-tiba malah udah ngomongin tentang aku aja ke temennya? Protes Nida dalam hati.
Fatih hanya mengulum senyum dan kembali mengangguk.
"Ketemu lagi kita, Tih." Riza akhirnya bersuara setelah berusaha menahan diri agar tidak membuat Bang Hilmi merasa diabaikan.
Kernyitan di dahi Bang Hilmi jelas sekali menunjukkan bahwa ia baru tahu fakta yang satu ini. "Loh, udah pada kenal?"
"Iya, Bang. Kita udah pernah ketemu sejak Olimpiade tingkat provinsi tahun lalu." Kali ini Fatih yang menjawab.
"Oh iya, antum ikut olimpiade juga sebelum ini, ya. Kok kamu nggak pernah cerita apa-apa, sih Nid?"
Nida menyatukan alisnya sebal mendengar nada menuntut abangnya yang terdengar menyebalkan. "Abisnya, Bang Mi juga nggak pernah mau cerita, sih," jawabnya acuh tak acuh.
Bang Hilmi justru menahan tawa begitu mendengar nada sebal dari Nida. "Iya, deh. Kalian abis ini pada langsung mau balik ke shelter?"
Riza mengangguk menanggapi, "Iya kayaknya, Bang. Takut kesorean juga. Soalnya masih harus mantengin materi lagi, kan."
"Okay, then. Kami duluan, ya, Assalamualaikum." Bang Hilmi pun pamit dan berjalan bersama Fatih ke arah kafe yang terletak di bagian belakang pondok.
"Waalaikumussalam."
Nida bergegas melanjutkan langkah setelahnya. Seakan dia bisa ditelan bumi jika terlambat bergerak sedikit saja.
"Nid!"
Suara langkah kedua sahabatnya menyusul dari belakang.
"Ih, kenapa sih jadi sensitif gitu. Padahal abis ketemu Aa Fatih, juga." Riza masih menggodanya. Membuat Nida memalingkan muka sebal.
"Oh, itu namanya Fatih. Keliatan cerdas ya, orangnya. Aura charming-nya juga berasa beda, gitu," timpal Ulya lagi. Membuat senyum menggoda Riza semakin lebar.
"Beuh, jarang-jarang Ning Kyai muji orang loh, Nid. Gimana, Ya, gimana? Cocok nggak si Fatih sama Nida? Serasi ya, mereka." Masih belum berhenti, Riza terus membahas cowok berjaket hoodie tadi.
"Huum ... nggak tahu sih. Tapi kalo keliatannya oke aja, tuh," sahut Ulya lagi membuat Nida berpikir apa jangan-jangan Ulya salah makan tadi siang hingga kompak sekali meledekinya bersama Riza.
"Apaan, deh." Nida hanya menanggapi malas.
"Tunggu deh, Nid. Ana emang berekspektasi bakal ketemu Fatih lagi di sini. tapi nggak pernah nyangka kalo dia ternyata seakrab itu sama Bang Hilmi! Ini beneran semesta mendukung atau jangan-jangan Fatih emang lagi PDKT beneran sebagai calon adek iparnya Bang Hilmi?"
Lagi-lagi, analisis ngaconya Riza membuat Nida ingin menjitak kepala sahabatnya itu saat ini juga. Dan, hasrat serta rasa sebal digoda sedari tadi membuat Nida segera merealisasi apa yang ada di benaknya.
"Kalo ngomong jangan ngaco." Nida menjitak kepala Riza agak keras. Menyalurkan rasa sebal dirinya.
"Aduh! Ih, tega nih," keluh Riza sambil mengelus kepalanya yang terkena jitakan.
"Eh, tapi bener anti sama Akhi Hilmi nggak pernah cerita apa-apa soal lomba yang kalian ikuti? Sampe nggak saling tahu gitu, kalo kenal orang yang sama." Ulya justru menanyakan fakta menarik yang baru ia temukan.
Nida menghela napas. Entah kenapa pertanyaan Ulya barusan mengingatkannya pada masa-masa perang dingin yang pernah ia lalui dengan Bang Hilmi hanya karena abangnya itu berhasil terpilih menjadi kontingen MTQ tahun lalu.
Itulah kenapa keduanya jarang bercerita lebih jauh tentang lomba yang diikuti. Bang Hilmi menjaga betul perasaannya agar tidak tersinggung karena event bergengsi ini. Nida pun jadi sedikit enggan bercerita karena merasa pengalamannya tidak ada apa-apanya dibandingkan pencapaian abangnya yang terlalu cemerlang itu.
Nida menggeleng pelan, "Nggak. Kita jarang cerita tentang hal-hal begini sebenernya. Lebih ke apa pencapaian yang benar-benar diraih, sih ketimbang ketemu siapa aja selama lomba."
Ulya mengangguk paham. Sedangkan sorot simpati ia temukan dari balik tatapan kedua sahabatnya. Nida menghela napas dalam. Semoga saja semuanya berakhir baik nantinya. Ia lelah sudah merasa seperti ini pada abangnya selama bertahun-tahun.
____________________________________
A/N: This part dedicated to Intanrac yang udah nguber buat updet dari minggu kemaren 😅
Ini hampir 3000 kata, loh. Awas aja kalo masih protes 😒
Maaf baru bisa up sekarang. Minggu awal kuliah rada sibuk soalnya, mana lagi ada banyak acara juga 😯
Oh iya, Selamat Tahun baru 1440 Hijriah, semuanya. Semoga kita bisa berbenah jadi lebih baik lagi. Dzaki yang 'blangsak' aja udah mau berubah, loh. Kamu kapan? 😁
Oh iya, sesuai janji. Aku pengin bikin Giveaway sebagai syukuran akhirnya- AKHIRNYA lapak yang ditulis penuh darah dan air mata *abaikan- DPC dapet 10 k viewers! 🎉🎊
Tunggu part khusus GA-nya ya 🙋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top