15. Broken Inside
Jangan berani kau katakan mencintainya, jika yang kau lakukan justru menghancurkan seluruh asa dan cita miliknya
"Chairiza Ilmy Fakhrani! Ila ghurfatil mahkamah mubasyaroh!"
Suara tegas dengan nada dingin itu membekukan segala kesibukan di sekitarnya. Nida mengerutkan kening heran sekaligus khawatir. Apalagi melihat wajah Riza yang memucat seketika.
Nida yakin ini bukan hanya tentang novel fantasi tadi. Ada masalah yang jauh lebih besar hingga Kak Afra bersikap begitu reaktif seperti ini. Ia menarik tangan Riza saat sosok itu ingin mengikuti langkah ketua Imarah Thalibah menuju ruang sidang, mencoba mencari penjelasan atas apa yang terjadi.
Tapi sosok sahabatnya itu hanya bisa menunjukkan sorot mata bersalah yang teramat. Apa yang ia lewatkan? Masalah besar seperti apa yang mungkin bisa dibuat Riza sedangkan sahabatnya itu hampir duapuluh empat jam selalu berada di sampingnya dan Ulya?
Suasana di dekat meja pengawas setelah Riza pergi berangsur sepi. Nida sadar, bagian keamanan dengan personil lengkapnya sengaja menunggu kedatangan mereka sore ini. Ada apa sebenarnya? Apa yang ia dan Ulya lewatkan hingga menyebabkan masalah yang mengharuskan ketua Imarah Thalibah turun tangan?
"Perasaan ana nggak enak Ya," ungkap Nida saat mereka sudah berada di tangga menuju asrama.
Ulya mendesah pelan, "Feeling ana ini ada hubungannya sama anak seberang, Nid," bisik gadis berjilbab putih itu khawatir.
Nida terpekur seketika.
*---*---*
Menyembunyikan wajah di antara lutut, Nida hanya bisa bersandar menyudut di depan lemari. Sungguh, ia merasa sudah menjaga sahabatnya dengan sebaik-baiknya. Bahkan hadiah terlarang dari sepupu menyebalkannya itu masih tersimpan rapi di laci.
Apalagi? Selama hampir tiga bulan semester ini berlangsung tak sekalipun Nida menjadi tukang pos surat-surat antara Dzaki dan Riza. Bang Hilmi juga ikut mengawasi Dzaki saat kemarin berkunjung ke pondok putri. Lalu dari celah mana lagi hingga kasus cinta terlarang ini terungkap?
Sentuhan lembut pada lututnya membuat Nida mengangkat wajah. Ekspresi lembut milik Ulya langsung menyambutnya. Nida hanya bisa menatap Ning* Kyai di depannya dengan pandangan menyesal.
"Ana cuma bisa berharap semoga anti nggak ikut keseret kali ini, Ya. Ini mutlak kesalahan kami berdua," lirih Nida pelan.
Ulya balik menatapnya dengan sorot khawatir, "Kalaupun seandainya ana dianggap terlibat, nggak masalah, Nid. Ini salahnya kita semua. Hubungan Riza dan Dzaki seharusnya bisa kita cegah dari awal. Jangan sampe malah berimbas besar kayak gini."
Nida menegakkan duduknya, menatap penuh tekad pada sosok bijak di hadapannya. "Nggak bisa gitu, Ya. Anti nggak boleh—"
Gadis berlesung pipi itu belum sempat menyelesaikan kalimatnya saat pintu kamar mereka dibuka seseorang. Itu Kak Najmi. Personil inti dari bagian keamanan yang masih bertugas saat ini.
"Nida. Anti dipanggil Afra ke ruang sidang sekarang." Kalimat yang diserukan dengan nada datar itu terdengar seperti keputusan kematian di telinga Nida. Dengan langkah gontai, gadis itu terseok mengikuti jejak Kak Najmi yang memimpinnya menuju ruang sidang.
Ruangan yang kini akan menjadi tempat penghakiman dirinya.
*---*---*
"Nida!"
Gadis yang baru saja dipanggil namanya itu berjalan cepat tak peduli. Semua suara yang ada di sekitarnya terasa seperti latar belakang yang semakin memudar. Dia tidak ingin mendengarkan siapapun. Apalagi bisik-bisik dan tatapan terkejut dari orang-orang di sepanjang jalan yang ia lewati.
Menundukkan wajah dalam-dalam, Nida berusaha menahan airmatanya yang hendak tumpah. Tidak, setidaknya ia tidak boleh terang-terangan menangis di depan umum seperti ini. Mempercepat langkah, Nida bergegas kembali ke kamarnya.
Tak memedulikan perhatian yang langsung ia dapatkan saat memasuki kamar, Nida segera menghambur ke pelukan Ulya.
"I hate him, Ya! Aku benci harus ada di antara mereka berdua," isak Nida sebal. Rasa gerah dari jilbab hukuman berwarna nyentrik di kepalanya semakin membuatnya kesal bukan kepalang.
Tiga tahun. Selama tiga tahun terakhir sejak pertama kali Nida menginjakkan kakinya di Raudhatul Huffazh ia selalu berusaha untuk tidak melanggar peraturan atau membuat kesalahan. Meski pada akhirnya catatan kesalahannya tidak benar-benar bersih dari masalah, Nida selalu tahu batasan.
Ia tak mau mengambil risiko melakukan pelanggaran berat hanya untuk kesenangan dirinya saja. Toh, adanya dia di sini untuk belajar dan menghafal. Bukan yang lainnya. Hukuman paling berat yang ia peroleh terakhir kali adalah saat mereka bertiga dihukum menjadi bagian pengajaran.
Tak pernah terbayang sebelumnya ia akan memakai jilbab pelanggaran berwarna semaphore ini akan terpasang di kepalanya. Kelebatan khawatir terlintas di pikiran Nida. Bagaimana jika Bang Hilmi tahu? Bagaimana jika hukuman berat ini merusak reputasi abangnya di pondok pusat?
"Nida, maaf ...." Suara serak Riza terdengar. Nida memalingkan muka. Sungguh, ia tak habis pikir bagaimana bisa Riza berbuat senekat itu.
"Nid, maaf. Maafin ana yang ngebuat anti jadi keseret masalah ini," lirih Riza lagi.
Nida menahan isakannya. Ia tak berminat membalas perkataan sahabatnya itu. Entahlah, ia bahkan tak tahu siapa yang paling bersalah di sini. Dirinya yang tidak peka sampai tidak curiga sama sekali saat Riza terlalu lama di mushola. Atau pada dua orang paling menyebalkan yang membuat pelanggaran besar tidak jauh dari pondok putri.
"Ini salah kita semua. Salah ana dan Nida juga, nggak bisa mencegah hubungan kalian berjalan lebih jauh. Dan bahkan, kami sama sekali nggak tahu apa yang terjadi sebelum ini," ujar Ulya dengan suara pelan.
Nida menghela napas gemetar. Jelas, ia punya andil besar berkembangnya hubungan sahabat dan sepupunya itu. Harusnya, ia bisa mengeraskan hati saat kado dan surat-surat dari Dzaki sampai ke tangannya. Harusnya ia tak mudah luluh saat Riza membujuk sedemikian rupa waktu itu. Ah, ya ... harusnya ia bersikap tegas seperti ini dari awal. Tak mengizinkan Dzaki dan Riza punya kesempatan melanggar sejauh ini.
Gadis berparas manis itu menegakkan tubuhnya. Ditatapnya sorot mata Riza yang penuh penyesalan. "Akhibiriniy, kasih tahu ana, Za. Siapa yang memulainya duluan?" Meski bergetar Nida sangat berusaha suaranya terdengar tegas.
Wajah Riza semakin memucat. "Nggak usah berlagak ngelindungin Dzaki di depan ana. Siapa?" tegas Nida lagi hampir membentak.
Dan, jawaban yang terdengar dari sosok di hadapannya benar-benar membuat kemarahan Nida sampai ke ubun-ubun.
*---*---*
Nida menghela napas lega saat mobil pondok yang ia tumpangi telah meninggalkan gerbang. Ia bersyukur saat ini bisa kembali mengenakan jilbab seragam resmi dengan bordir hijau tua di pinggirnya. Yah, meski hanya sebentar tapi Nida bisa merasakan dadanya yang sedari kemarin sesak, agak terasa lapang.
Ia juga bersyukur Kak Afra tidak menarik posisinya mewakili tim Fahmil Quran dalam pengarahan MTQ di pondok pusat hari ini. Meski alasan utamanya karena tidak ada yang bisa menggantikan posisinya. Kak Afra sedang mengadakan rapat terbatas dengan seluruh staf inti Imarah Thalibah dan pengasuhan sedangkan Ulya tengah izin ke luar.
Sepagian ini, Nida tak lagi mendengar bisik-bisik ingin tahu dari sekitar. Entah karena dia yang memang bangun pagi-pagi sekali, berada di mushola paling awal hingga izin paling awal meninggalkan halaqoh untuk acara briefing di pondok pusat. Nida tak ingin peduli apa yang mereka katakan tentangnya.
Satu hal yang ia tahu, seseorang yang telah menginisiasi kejadian kemarin harus mendapatkan hukuman yang sama dengan mereka berdua. Nida membolak-balik jurnal di pangkuannya. Ia ingat sekali waktu itu sedang ada salah satu almamater kampus yang mencetak agenda di percetakan Bunda.
Ada sisa agenda yang gagal cetak. Hanya sampulnya, memang. Dan Bunda biasa menyimpannya di kotak sudut ruang percetakan. Bang Hilmi yang sedang iseng magang di kantor Bunda, menemukan agenda-agenda tersebut. Berbekal tanya-tanya pada desainer grafis percetakan Bunda, Bang Mi membuat sampul depan dan sampul dalamnya sendiri. Lalu menjilid isi agenda gagal cetak tadi menjadi miliknya.
Tak hanya mendesain miliknya, Bang Mi juga membuat sebuah booklet journal untuk Nida. Warna dasar biru langit yang lembut ditambah dengan emboss namanya di bagian kiri bawah sampul berhasil membuat Nida terpukau seketika. Belum lagi quote berukuran postcard simpel yang didesain sendiri oleh abangnya.
Ya, meski quote tersebut lagi-lagi milik Cahaya, blogger inspiratif favorite-nya Bang Mi. Jurnal bersampul manis ini setia menemaninya ke mana pun ia pergi. Dan setiap kali memegang jurnal ini, ia selalu teringat Bang Hilmi. Kebanggannya, inspiratornya, motivasi terbesarnya.
Nida memejamkan mata sejenak. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Bang Hilmi mengetahui tentang hukuman jilbab pelanggaran ini dari orang lain. Atau mungkin bahkan, dari pihak pengasuhan langsung. Bisa jadi, semua orang akan beranggapan Bang Mi tidak bisa menjaga dirinya. Meski Bang Hilmi masih menjabat sebagai ketua Imarah Thullab hingga saat ini.
Bayangan gapura pondok pusat yang megah mengalihkan Nida dari lamunannya. Mereka sudah sampai. Sepertinya akan langsung berhenti di depan masjid Ar-Raudhah pusat.
Kesibukan selama dua jam setelahnya sedikit mengalihkan Nida dari beban di pikirannya. Ia mulai bisa kembali berdiskusi santai dengan teman-teman lain meski lebih banyak diam. Nida menundukkan wajah saat menyadari tatapan kasihan yang ditujukan Kak Najmi padanya.
Bukan tanpa alasan sekretaris bagian keamanan itu berada di pondok pusat saat ini. Kak Najmi jelas punya tugas penting yang harus disampaikan pada jajaran pengasuh dan pengurus pondok putra pusat hari ini.
Setelah briefing terakhir dari ketua rombongan kontingen Ruha yang akan berangkat ke Bogor dua minggu lagi, perkumpulan dibubarkan. Mereka masih punya sedikit waktu sebelum sholat Zuhur dan pulang.
Nida memutuskan untuk keluar dari masjid sejenak. Jika beruntung, ia bisa bertemu Bang Mi atau Dzaki dan segera memberitahu mereka berdua akan situasi genting yang sedang ia hadapi.
Benar saja, hanya beberapa langkah meninggalkan tangga Nida melihat sosok Dzaki tersenyum lebar dengan teman-temannya. Gadis berjilbab putih itu mengepalkan tangan kirinya.
Senyum tanpa beban itu adalah bukti bahwa lead vocal Akhilla itu belum tahu jika apa yang ia lakukan kemarin menyebabkan masalah besar. Tak berapa lama, teman-temannya meninggalkan Dzaki sendiri. Tampaknya sepupunya itu sedang menunggu seseorang. Melihat situasi sekitar masjid yang mulai sepi, Nida nekat berjalan mendekat dan menyeret Dzaki ke arah samping masjid yang sepi.
"Eh, Nid. Ada apa?" Meski bingung, Dzaki tidak melawan. Justru malah mengikuti langkahnya yang tergesa.
"Madza hasola laka?! Apa sih yang terjadi denganmu?" sentak Nida dengan suara tertahan mencoba mencegah amarahnya meledak.
"Apanya?" Kening Dzaki mengerut. Sorot bingung dan tak mengerti dipancarkan dari bola mata coklat tua di depannya.
"Buat apa kamu ngajak Riza ketemuan? Apa kalian nggak mikir seberapa deket mall itu sama pondok putri?!" tanya Nida lagi dengan suara tinggi.
Ekspresi Dzaki tampak sedikit terkejut. "Darimana kamu tahu, Nid?" Dzaki malah balik bertanya sambil tetap mengerutkan kening.
Nida mendengkus sebal melihat reaksi sosok di hadapannya. "Darimana aku tahu? Fakkir. Ma'a anna roisah munazhomah qad tuhakkimuna ba'da raja'na ilal ma'had!**"
Wajah Dzaki pias seketika. "Tsumma, madza hadatsa lakuma?***"
"Jilbab pelanggaran satu minggu. Dan ancaman keluar dari list kontingen MTQ Provinsi," kata Nida datar.
Dzaki mengusap wajahnya frustrasi. Lantas mendesah keras sambil masih memijat keningnya.
"Apa kamu pernah mikir seberapa jauh masalah ini mungkin terjadi? Seberapa berat hukuman yang bakal kalian dapatkan dan risiko jangka panjang dari pelanggaran ini?" tanya Nida lagi terus menekan.
Dzaki menghela napas berat. "Aku cuma ... kebetulan Akhilla lagi dapet job nasyid di perkantoran belakang komplek mall itu. Lagian, kita ketemu nggak lebih dari limabelas menit, kok. Di basement pula."
"Limabelas menit. Dan kamu mempertaruhkan semua prestasi yang Riza bangun sejak awal hanya karena limabelas menit? Kamu sadar nggak sih, distrust dan label jelek yang bakal terpasang pada nama kalian bisa jadi akan menghabiskan semua kesempatan yang kalian punya pada tahun-tahun terakhir di sini?" sentak Nida lagi.
Dzaki baru saja ingin membalas perkataan Nida untuk mengeluarkan statement pembelaan dirinya saat keheningan sejenak yang terbentang antara mereka dijeda seseorang.
"Nid, Ki. Ada apa?"
Suara dengan nada penuh khawatir milik Bang Hilmi sukses membuat keduanya terdiam seketika.
_________________________________
Catatan :
*Ning Kyai : Sebutan putri kiai pimpinan pondok pesantren
** Fakkir. Ma'a anna roisah munazhomah qad tuhakkimuna ba'da raja'na ilal ma'had!: Coba pikir! Bahkan ketua pengurus langsung memberikan kami hukuman saat baru saja sampai ke pondok
***Tsumma, madza hadatsa lakuma: Lalu, apa yang terjadi pada kalian berdua? Hukuman apa yang kalian terima?
A/N: Maaf, telat update sampe tiga hari 🙏
Harusnya up kemarin, cuma ternyata part terakhirnya jdi banyak 😅
Selamat membaca! Komen dong, siapa yang geregetan sama duo trouble maker ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top